BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Menyimpang Perilaku menyimpang adalah prilaku dari para warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana memang dapat dikatakan, bahwa seseorang dapat berprilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat (minimal di suatu kelompok atau komunitas tertentu) prilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma sosial yang berlaku. Menurut Clinard & Meier, 1989:4-7 (dalam buku(Dwi Narwoko-Bagong Suyanto(ed) 2007: 98). Perilaku menyimpang dianggap sebagai sumber masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Masalah sosial menurut persperkif ini diawali dengan identifikasi akan adanya prilaku meyimpang, dan tolak ukur untuk melakukannya adalah pranata sosial yang didalamnya juga termasuk nilai, norma dan aturan-aturan sosial. Tindakan menyimpang merupakan kegagalan mematuhi aturan kelompok. Terjadinya prilaku menyimpang dapat bersumber dari banyak faktor. Terbentuknya sikap itu banyak dipengaruhi dari lingkungan sosial dan kebudayaan seperti: keluarga, norma golongan agama, dan adat istiadat. Dalam hal ini keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk sikap putraputranya. Sebab keluargala sebagai kelompok primer bagi anak merupakan pengaruh yang paling dominan. Sikap seseorang tidak selamanya tetap. Ia dapat
9
berkembang manakala mendapat pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar yang bersifat positif dan negatif (Abu Ahmadi, 2007:156). Sebab munculnya prilaku menyimpang banyak macamnya yaitu, selain dorongan dari dirinya juga dari faktor yang berasal dari luar, seperti dari pola-pola kelakuan yang dibiasakan. Meskipun secara nyata kita dapat menyebutkan berbagai
bentuk
prilaku
menyimpang,
namun
mendefinisikan
perilaku
menyimpang itu sendiri merupakan hal yang sulit karena kesepakatan umum tentang itu berbeda-beda diantara berbagai kelompok masyarakat ada segolongan orang yang menyatakan perilaku menyimpang adalah ketika orang lain melihat perilaku itu sebagai sesuatu yang berbeda dari kebiasaan umum. Namun, ada pula yang menyebut perilaku menyimpang sebagai tindakan yang dilakukan oleh kelompok minoritas atau kelompok tertentu yang memiliki nilai dan norma sosial berada dari kelompok sosial yang lebih dominan. Jadi dengan demikian perilaku menyimpang bersifat relatif, tergantung dari masyarakat yang mendefinisikannya, nilai budaya dari suatu masyarakat, masa, zaman, atau kurun waktu tertentu. Jadi amatlah wajar bila diberbagai kelompok masyarakat mempunyai anggapan yang berbeda-beda mengenai tindakan yang digolongkan sebagai menyimpang. Sifat nilai dan norma sosial yang berlaku didalam masing-masing kelompok sosial bersifat relatif dan senantiasa mengalami perubahan atau pergeseran dari waktu ke waktu. Yang dimaksud dengan relatif adalah nilai dan norma yang berlaku didalam kelompok satu mungkin atau bisa saja tidak berlaku dikelompok sosial lainnya.
10
Adapun yang dimaksud dengan pergeseran dari kurun waktu tertentu ke kerun waktu yang lain adalah, nilai dan norma sosial senantiasa mengalami pergeseran dari kurun waktu yang satu ke kurun waktu yang lain. Dengan adanya pergeseran waktu, ada kemungkinan nilai dan norma yang berlaku pada saat itu di wadtu yang lain tidak berlaku lagi seiring dengan pergeseran zaman atau waktu. Dapat disimpulkan bahwa tidak semua perilaku menyimpang bersifat negatif, tetapi adakalanya perilaku menyimpang justru dari pola yang di anggap salah ke pola kelakuan yang dia anggap benar. Paul Horton mengemukakan ada enam ciri-ciri perilaku menyimpang diantaranya: 1. Penyimpangan harus dapat didefinisikan, yiatu perilaku tersebut memang benar-benar telah dicap sebagi penyimpangan karena merugikan banyak orang atau membikin keresahan masyarakat, walaupun pada kenyataanya perilaku menyimpang merugikan orang lain. 2. Penyimpangan bisa diterima bisa juga ditolak, artinya tidak semua perilaku menyimpang dianggap negatif, tetapi adanya perilaku menyimpang itu justru mendapat pujian. 3. Penyimpangan negatif dan penyimpangan mutlak, artinya tidak ada satu pun manusia yang sepenuhnya berperilaku seharus- harusnya sesuai dengan nilai dan norma sosial atau sepenuhnya perilaku menyimpang. 4. Penyimpangan terhadap budaya nyata dan budaya ideal, artinya suatu tindakan yang senyatanya jika dilihat dri budaya yang berlaku di dalam struktur masyarakat tersebut dianggap komform, namun oleh peraturan hukum positif di anggap menyimpang. 5. Terdapat norma-norma penghindaran dalam penyimpangan, maksudnya adalah pola perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginannya tanpa harus menentang nilai dan norma tetapi sebenarnya perbuatan itu menentang norma. 6. Penyimpangan sosial bersifat adaptif (penyesuaian), artinya tindakan ini tidak menimbulkan ancaman disintegrasi sosial, tetapi justru diperlukan untuk memelihara integritas sosial.
Tindakan menyimpang, baik primer maupun skunder, tidak terjadi begitu saja tetapi berkembang melaui priode waktu dan juga sebagai hasil dari serangkaian terhadap interaksi yang melibatkan interpretasi tentang kesempatan
11
untuk bertindak menyimpang. Karier menyimpang juga didukung oleh pengendalian diri yang lemah serta kontrol masyarakat yang longgar ( permisif ). Norma-norma kemasyarakatan terbentuk sebagai hasil dari proses-proses sosial, yaitu dalam proses interaksi sosial terjadi pola-pola aksi dan interaksi di dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, hanya melalui proses sosial saja norma sosial bisa tercipta. Akan tetapi, tidak semua norma sebagai hasil atau produk interaksi sosial tersebut mesti ideal dengan norma-norma yang bersifat umum ( general ). Atrinya dalam proses interaksi soaial tidak selalu menghasilkan norma yang positif sebab aksi interaksi yang bersifat negatif juga akan dapat menghasilkan produk norma yang negatif pula. Adapun sebab musabab terjadinya perilaku menyimpang yaitu: 1. Sikap mental yang tidak sehat adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan jiwa, kehendak, dan pikiran manusia. Adapun yang dimaksud dengan mental yang tidak sehat berarti keadaan jiwa seseorang atau sekelompok orang yang tidak stabil sehingga berperilaku diluar batas manisia pada umumnya. 2. Ketidak harmonisan dalam keluarga yitu ketika ketika keluarga tidak dapat menjaga kebutuhannya, sehingga keluara yang bersangkutan akan mengalami broken home. 3. Pelampiasan rasa kecewa biasanya muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak terpenuhi keinginan dan harapannya. 4. Dorongan kebutuhan ekonomi adalah dorongan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 5. Pengaruh lingkungan dan media massa adalah lingkungan yang tidak sehat, seperti lingkungan dengan banyak anggota masyarakat yang menyimpang akan sangat berpengaruh pada perilaku anak-anak. 6. Keinginan untuk dipuji terutama dikalangan anak-anak merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, jika keinginan ini tidak terpenuhi, maka anakanak akan mencari langkah lain. 7. Proses belajar yang menyimpang adalah proses ini dimana anak-anak mengidentifikasi prilaku dilingkungannya yang menyimpang, terutama dari kelompok yang seusianya dan sepermainan mereka. 8. Kegagalan dalam proses sosialisasi tidak jarang, ada seorang tokoh agama, atau anak-anak yang terdidik menjadi anak yang anti sosial dan melakukan penyimpangan.
12
Pemahaman tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang dapat berperilaku menyimpang dapat dipelajari dari persperktif teoritis. Paling tidak ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok orang berperilaku
menyimpang. Yaitu
dengan perspektif individualitas dan teori-teori sosiologi. (Setiadi. Usman Kolip: 2011: 189-240) Teori asosiasi diferensiasi memiliki beberapa proposisi yaitu: a. Prilaku menyimpang adalah hasil dari proses belajar atau yang dipelajari. Ini berarti bahwa penyimpangan bukan diwariskan atau diturunkan, bukan juga dari hasil intelegensi yang rentah atau karena kerusakan otak. b. Perilaku menyimpang dipelajari seseorang dalam interaksinya dengan orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang intens. c. Bagian utama dari belajar tentang prilaku menyimpang terjadi didalam kelompok-kelompok personal yang intim atau akrab. Sedangkan media massa, seperti TV, majalah atau koran, hanya memainkan peran skunder dalam mempelajari penyimpangan. d. Hal-hal yang dipelajari di dalam proses terbentuknya prilaku menyimpang adalah: teknis-teknis penyimpangan, yang kadang-kadang sangat rumit, tetapi kadang-kadang juga sangat sederhana e. Petunjuk-petunjuk tentang motif dan dorongan untuk berprilaku menyimpang itu dipelajari dari definisi-definisi tentang norma-norma yang baik atau tidak baik. f. Seseorang menjadi menyimpang karena ia menganggap lebih menguntungkan untuk melanggar norma daripada tidak. Sutherland (dalam duku Narwoko & Bagong, 2004: 112-114)
2.1.1 Kontrol Sosial Ide utama di belakang teori kontrol adalah bahwa penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini di bangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh terhadap hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum. Menurut Peter L. Berger 1997 (dalam buku Dwi Narwoko & Bagong), yang dimaksud dengan pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang sementara itu,
13
menurut Rucek (1965), pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana atau tidak untuk mengajar individu agar dapat menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan nilei kelompok tempat ia tinggal. Sementara itu pada individu-individu tertentu, daya self-enforcing dari norma-norma itu sering kali melemah atau bahkan hilang sama sekali. Dalam hal demikian ini individu-individu pada saat situasi-situasi tertentu mungkin saja merasa bahwa mengikuti bunyi situasi norma tertentu itu justru malahan tidak riwarding bahkan sebaliknya mengalami kerugian. Beberapa faktor yang yang menyebabkan warga masyarakat berprilaku menyimpang dari norma yang berlaku adalah sebagai berikut: Soekanto, 1981:45 dalam buku J. Dwi Naewoko- Bagong Suyanto (ed): 1. karena kaidah-kaidah yang tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidak memenuhi kebutuhan dasarnya. 2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan. 3. Karena didalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan 4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara nyata.
Pada situasi dimana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau menyimpang suatu norma dia malah akan memperoleh sesuatu reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka didalam hal demikian lah selfenforcing, demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Kontrol sosial didalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti masyarakat agar tetap konform dengan keharusan-keharusan norma hampir selalu
14
dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi. Ada tiga jenis sanksi yang digunakan didalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini yaitu: 1. sanksi yang bersifat fisik, 2. sanksi yang bersifat psikologik, dan 3. sanksi yang bersifat ekonomik. Sanksi fisik adalah sanksi yang mengakibatkan penderitaan fisik pada mereka yang dibebani sanksi tersebut, misalnya didera dipenjara, diikat, dijemur dipanas matahari, tidak diberi makan dan sebagainya. Sanksi psikologik yaitu beban penderitaan yang dikenakan pada pelanggar norma itu bersifat kejiwaan, dan mengenai perasaan, misalnya hukuman dipermalukan didepan umum, di umumkan segala kejahatan yang telah pernah dibuat. Sanksi ekonomik yaitu beban penderitaan yang dikenakan kepada pelanggar norma adalah berupa pengurangan kekayaan atau potensi ekonomiknya, misalnya pengenaan denda, penyitaan harta kekayaan, dan sebagainya.( NarwokoBagong 2007: 135) Tidak selamanya kontrol sosial efektif mengendalikan prilaku sosial. Proses sosialisasi merupakan langkah awal untuk menanamkan ketaatan anggota masyarakat, akan tetapi jika langkah awal tersebut tidak mencapai hasil yang positif, maka peran kontrol sosial perlu diefektifkan. Dalam situasi kritis, batas toleransi kontrol sosial trhadap pelanggran norma sosial mungkin berubah. Suatu pelanggaran norma sosial yang semula dianggap sebagai normaliter sebagai suatu pelanggaran yang amat keji, pada situasi, situasi kritis mungkin sekali dianggap sebagai hal yang lumrah bisa di mengerti sebagai perbuatan yang selayaknya dimaafkan.
15
Pada umumnya, kontrol sosial akan diterapkan lebih lunak jika menhadapi pelanggaran yang tidak seberapa asas, dari pada menghadapi persoalan prinsipil serta menyangkut kesejahteraan rohani. Pengendalian sosial mengacu pada alat yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota masyarakat ke “jalan yang benar”. Tidak ada kelangsungan hidup masyarakat tanpa adanya pengendallian sosial. Yang dimaksud dengan mekanisme pengendalian sosial dalam hal ini adalah cara-cara pemaksaan terhadap anggota masyarakat agar berprilaku konform. Artinya masyarakat dipaksa untuk berprilaku yang sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di dalam struktur masyarakat tersebut. Cara yang dilakukan masyarakat dalam melakukan fungsi control yaitu: 1. pengendalian secara persuasif yaitu bentuk pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara tidak menggunakan kekerasan. 2. Pengendalian secara koersif yaitu pengendalian yang dipahami sebagai bentuk tindakan pengendalian oleh pihak-pihak yang berwenag dengan menggunakan kekerasan atau paksaan. Metode kontrol sosial bervariasi menurut tujuan dan sifat kelompok yang bersangkutan. Disamping berbagai mekanisme seperti desas-desus, mengolokolok, mengucilkan, menyakiti, pengendalian ekonomi perencanaan ekonomi dan sosial. Rucek berpendapat bahwa pengendalian sosial pada dasarnya bisa dialankan melalui institusi atau tidak, ada yang dilakukan secara lisan dan secara simbolis, ada yang dilakukan secara kekerasan, ada yang dilakukan dengan menggunakan hukumhan, dan ada yang menggunakan imbalan, serta ada yang bersifat informal dan ada juga yang bersifat formal.
16
Koentjoroningrat (dalam buku Elly M. Setiadi & Usman Kolip 2011: 272 ) menyebutkan ada lima fungsi pengendalian sosial yaitu: 1. mempertebal keyakinan anggota-anggota masyarakat akan kebaikan norma-norma kemasyarakatan. 2. Memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang taat pada norma-norma kemasyarakatan. 3. Mengembangkan rasa malu dalam diri atau jiwa anggota masyarakat jika mereka menyimpang atau menyeleweng dari norma dan nilai kemasyarakatan yang berlaku. 4. Menimbulkan rasa takut (shock teraphy) di dalam diri seseorang atau sekelompok orang tersebut adalah resiko atau ancaman. 5. Menciptakan sistem hukum, yaitu sistem tata tertib dengan sanksi-sanksi yang tegas bagi para pelanggaran yang biasanya dapat dilihat didalam sistem hukum tiap-tiap struktur masyarakat yang berlaku.
2.1.2 Teori jaringan sosial Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi huubungan yang saling berdampingan dan dilakukan oleh prinsip kesukarelaan, kesamaan, kebebasan dan keadaban. Kemampuan anggota-anggota kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan sinergetis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial dalam masyarakat. Jaringan social tidak hanya digunakan sebagai kegiatan positif tetapi di sini jaringan social digunakan digunakan untuk kegiatan yang negative. Contohnya saja di Desa Mariah Jambi jaringan social digunakan untuk tindakan perilaku menyimpang atau tindakan operasi “ninja sawit” atau mereka sebut juga dengan kata-kata ngrenjer yang artinya adalah aksi pada saat melakukan tindakan “ninja sawit” Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi yang khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial 17
yang biasnya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan, pengalaman-pengalaman sosial turunan dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ke-Tuhanan cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibnagun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih moderrn. Kelompok dan jaringan memungkinkan orang untuk mengakses sumber-sumber dan berkolaborasi untukk mencapai tujuan, ini adalah konsep penting bagian dari modal sosial. Jaringan informal di manifestasikan dalam pertukaran yang spontan dan tidak teratur terhadap informasi dan sumber penghasilan kelompok seperti usaha dalam kerja sama, koordinasi dan saling membantu yang dapat memaksimalkan kegunaan sumber yang ada. Jaringan informal dapat dihubungkan dengan hubungan horizontal dan vertikal yang dibentuk melalui faktor-faktor lingkungan, termasuk pasar, kekeluargaan, dan persahabatan. Jenis lainnya adalah jaringan yang terdiri dari perkumpulan, dimana anggotanya dihubungkan secara horizontal. Jaringan seperti ini sering secara jelas menggambarkan struktur, peran dan peraturan yang memerintah bagaimana anggota kelompok bekerjasama untuk mencapai tujuan utama. Jaringan ini juga memiliki potensi alami untuk membangun diri sendiri, bantuan mutual, solidaritas dan upaya-upaya kerjasama dalam kelompok. Mata rantai modal sosial disisi lain, termasuk hubungan dan interaksi di antara kelompok dan pemimpinnya dan memperluas hubungan antara anggota masyarakat di kampung dengan masyarakat yang lebih luas
18