BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Caring Caring adalah kegiatan langsung untuk memberikan bantuan, dukungan, atau perilaku kepada atau untuk individu atau kelompok melalui antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi manusia atau kehidupan (George, 1990 dalam Anjaswarni, 2005). Marriner-Tomey, 1994 dalam Anjaswarni, 2005 menjelaskan caring adalah esensi dari keperawatan yang berarti juga pertanggungjawaban hubungan antara perawat-klien, dimana perawat membantu partisipasi klien, membantu klien memperoleh pengetahuan, dan meningkatkan kesehatan. Sedangkan Chitty, 1997 dalam Anjaswarni, 2005 menguraikan bahwa profesional caring adalah seseorang yang memperhatikan, mengurus, dan menyediakan atau memberikan bantuan kepada orang lain. Dia menjelaskan bahwa penekanan keperawatan adalah asuhan keperawatan yang bersifat humanistik, yang didasarkan pada pandangan hubungan profesional manusia kepada manusia daripada perawat kepada pasien, dan pengalaman pasien adalah aspek penting dalam keperawatan humanistik. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku caring perawat adalah sifat dasar perawat sebagai manusia untuk membantu, memperhatikan, mengurus, dan menyediakan bantuan, serta memberi dukungan untuk kemandirian klien melalui hubungan perawat-klien yang terapeutik, dan
7
merupakan intervensi keperawatan dalam rangka mencapai derajat kesejahteraan yang lebih tinggi dengan penuh perasaan berdasarkan kemanusiaan dan aspek moral. Dengan caring ini memungkinkan terjalinnya hubungan dan intervensi terapeutik antara perawat-klien. Caring merupakan dasar dalam melaksanakan praktik
keperawatan
profesional
untuk
meningkatkan
mutu
pelayanan
keperawatan dan memberikan kepuasan kepada klien (Anjaswarni, 2005).
2.2 Asumsi Yang Mendasari Konsep Caring Rawin, 2005 menjelaskan bahwa ada tujuh asumsi menurut Watson yang mendasari konsep caring tersebut. Adapun ketujuh asumsi itu dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Caring hanya akan efektif bila diperlihatkan dan dipraktekkan secara interpersonal. 2. Caring terdiri dari faktor carative yang berasal dari kepuasan dalam membantu memenuhi kebutuhan manusia atau klien. 3. Caring yang efektif dapat meningkatkan kesehatan individu dan keluarga. 4. Caring merupakan respon yang diterima oleh seseorang tidak hanya saat itu saja namun juga mempengaruhi akan seperti apakah seseorang tersebut nantinya. 5. Lingkungan
yang penuh caring sangat potensial untuk mendukung
perkembangan seseorang dan mempengaruhi seseorang dalam memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya sendiri,
8
6. Caring lebih kompleks daripada curing, praktik caring memadukan antara pengetahuan biofisik dengan pengetahuan mengenai perilaku manusia yang berguna dalam peningkatan derajat kesehatan dan membantu klien yang sakit. 7. Caring merupakan inti dari keperawatan. Watson juga menekankan dalam sikap caring ini harus tercermin sepuluh faktor carative yang berasal dari perpaduan nilai-nilai humanistik dengan ilmu pengetahuan dasar. Faktor carative membantu perawat untuk menghargai manusia dari dimensi pekerjaan perawat, kehidupan, dan dari pengalaman nyata berinteraksi dengan orang lain sehingga tercapai kepuasan dalam melayani dan membantu klien.
2.3 Faktor Carative Utama Dalam Caring Watson, dalam Nurachmah, 2006, menguraikan bahwa struktur untuk ilmu caring dibangun dari sepuluh faktor carative utama sebagai fokus dalam keperawatan. Watson memberikan rekomendasi agar perawat memberikan asuhan keperawatan kepada klien melalui sepuluh faktor carative yaitu yang berhubungan dengan sifat dan karakter perawat yang menjelaskan bagaimana perilaku caring dimanifestasikan. Sepuluh faktor carative dan bagaimana perilaku caring dimanifestasikan perawat dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pembentukan sistem nilai humanistik dan altruistic. Perawat menumbuhkan rasa puas karena mampu memberikan sesuatu kepada klien. Selain itu, perawat juga memperlihatkan kemampuan diri dengan memberikan pendidikan kesehatan pada klien.
9
2. Memberikan
kepercayaan-harapan
dengan
cara
memfasilitasi
dan
meningkatkan asuhan keperawatan yang holistik. Di samping itu, perawat meningkatkan perilaku klien dalam mencari pertolongan kesehatan. 3. Menumbuhkan kesensitifan terhadap diri dan orang lain. Perawat belajar menghargai kesensitifan dan perasaan klien, sehingga ia sendiri dapat menjadi lebih sensitif, murni, dan bersikap wajar pada orang lain. 4. Mengembangkan hubungan saling percaya. Perawat memberikan informasi dengan jujur, dan memperlihatkan sikap empati yaitu turut merasakan apa yang dialami klien. Sehingga karakter yang diperlukan dalam faktor ini antara lain adalah kongruen, empati, dan kehangatan. 5. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif klien. Perawat memberikan waktunya dengan mendengarkan semua keluhan dan perasaan klien. 6. Penggunaan sistematis metoda penyelesaian masalah untuk pengambilan keputusan. Perawat menggunakan metoda proses keperawatan sebagai pola pikir dan pendekatan asuhan kepada klien. 7. Peningkatan pembelajaran dan pengajaran interpersonal, memberikan asuhan mandiri, menetapkan kebutuhan personal, dan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan personal klien. 8. Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural, dan spritual yang mendukung.
10
Perawat perlu mengenali pengaruh lingkungan internal dan eksternal klien terhadap kesehatan dan kondisi penyakit klien. 9. Memberi bimbingan dalam memuaskan kebutuhan manusiawi. Perawat perlu mengenali kebutuhan komprehensif diri dan klien. Pemenuhan kebutuhan paling dasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat selanjutnya. 10. Mengijinkan
terjadinya
tekanan
yang
bersifat
fenomenologis
agar
pertumbuhan diri dan kematangan jiwa klien dapat dicapai. Kadang-kadang seorang klien perlu dihadapkan pada pengalaman/pemikiran yang bersifat profokatif. Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan pemahaman lebih mendalam tentang diri sendiri. Kesepuluh faktor carative di atas perlu selalu dilakukan oleh perawat agar semua aspek dalam diri klien dapat tertangani sehingga asuhan keperawatan profesional dan bermutu dapat diwujudkan. Selain itu, melalui penerapan faktor carative ini perawat juga dapat belajar untuk lebih memahami diri sebelum memahami orang lain (Nurachmah, 2006).
2.4 Konsep Implementasi Perilaku Caring Perawat Implementasi perilaku caring perawat digambarkan dalam sepuluh perilaku caring perawat yang terdiri dari : 1. Mendengar dengan perhatian 2. Memberi rasa nyaman 3. Berkata jujur 4. Memiliki kesabaran
11
5. Bertanggung jawab 6. Memberi informasi sehingga klien dapat mengambil keputusan 7. Memberi sentuhan 8. Memajukan sensitifitas 9. Menunjukkan rasa hormat pada klien 10. Memanggil klien dengan namanya (Bidang Keperawatan RSUP Sanglah Denpasar, 2011)
2.5 Pengertian Kepuasan Pasien Kepuasan merupakan persepsi terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapan dari konsumen/pasien. Karena itu, pasien tidak akan puas apabila mempunyai persepsi bahwa harapannya belum terpenuhi. Sebaliknya, rasa puas akan diperoleh jika persepsi pasien sama atau lebih dari yang diharapkan (Irawan, 2009). Pohan (2007) menyatakan kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya. Teori yang menjelaskan bagaimana kepuasan atau ketidakpuasan terbentuk
adalah
The
Expectancy
Disconfirmation
Model.
Teori
ini
mengemukakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan konsumen atau pasien, merupakan dampak dari perbandingan antara harapan pasien sebelum pembelian dengan yang sesungguhnya diperoleh pasien dari produk atau jasa yang dibeli
12
tersebut. Produk atau jasa yang dibeli akan berfungsi sebagai berikut (Sumarwan, 2004): 1. Produk atau jasa berfungsi lebih baik dari yang diharapkan, hal ini disebut diskonfirmasi positif (positive disconfirmation). Jika ini terjadi maka konsumen akan merasa puas. 2. Produk atau jasa berfungsi seperti yang diharapkan, inilah yang disebut sebagai konfirmasi sederhana (simple confirmation). Produk atau jasa tersebut tidak memberikan rasa puas, dan produk tersebut pun tidak mengecewakan konsumen. Konsumen akan memiliki perasaan netral. 3. Produk atau jasa berfungsi lebih buruk dari yang diharapkan, inilah yang disebut sebagai diskonfirmasi negative (negative disconfirmation). Produk yang berfungsi buruk, tidak sesuai dengan harapan konsumen akan menyebabkan kekecewaan, sehingga konsumen merasa tidak puas.
2.6 Prinsip-prinsip Kepuasan Pasien Bisnis jasa merupakan aktifitas pelayanan kesehatan kepada pasien di rumah sakit pada dasarnya bertujuan memberikan kepuasan yang seutuhnya pada pengguna jasa tersebut. Untuk bisa memberikan kepuasan yang optimal kepada pelanggan yang dalam hal ini adalah pasien di rumah sakit, ada sepuluh prinsip kepuasan pelanggan yang bisa dijadikan pedoman (Irawan, 2009) yaitu: 1. Memulai dengan percaya kepada pentingnya kepuasan pasien. 2. Memilih pasien yang tepat dalam membangun kepuasan pasien.
13
3. Memahami harapan pasien merupaka kunci dalam meningkatkan kepuasan pasien. 4. Mencari faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien. 5. Faktor emosional mempengaruhi kepuasan pasien. 6. Pasien yang mengadu pada perusahaan/instansi pelayanan kesehatan merupakan pasien yang setia terhadap instansi tersebut. 7. Memberikan garansi akan meningkatkan kepuasan pasien secara cepat. 8. Mendengarkan suara pasien dengan cara melakukan riset kepuasan. 9. Karyawan memiliki peranan besar dalam menentukan kepuasan pasien. 10. Kepemimpinan merupakan teladan dalam kepuasan pasien.
2.7 Dimensi Penilaian Kepuasan Pasien Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen atau pasien. Salah satu faktor tersebut adalah kualitas pelayanan atau jasa yang berfokus pada lima dimensi (Rangkuti, 2006). Parasuraman et al (1990) dalam Waluyo (2010) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan yang dapat mempengaruhi kepuasan pasien terdiri dari dimensi reliability (keandalan), dimensi responsiveness (daya tanggap), dimensi assurance (jaminan), dimensi emphaty (kepedulian) dan dimensi tangibles (bukti langsung). 1. Reliability (keandalan) Reliability (keandalan) adalah kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, jujur, aman, tepat waktu, ketersediaan, akurat dan memuaskan. Keseluruhan aspek ini berhubungan dengan kepercayaan
14
terhadap pelayanan dalam kaitannya dengan ketepatan waktu pelaksanaan tindakan. 2. Responsiveness (daya tanggap) Responsiveness (daya tanggap) yaitu keinginan untuk membantu pasien dan segera merespon untuk memberikan pelayanan terhadap kebutuhan pasien, serta dengan cepat memperhatikan dan menyelesaikan masalahnya. 3. Assurance (jaminan) Assurance (jaminan) adalah mencakup kemampuan, pengetahuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki pada karyawan, bebas dari bahaya, resiko, keragu-raguan, memiliki kompetensi, percaya diri dan menimbulkan keyakinan kebenaran (obyektif). 4. Emphaty (kepedulian) Emphaty (kepedulian) meliputi kemudahan dalam melakukan komunikasi dan memahami kebutuhan pasien. 5. Tangibles (bukti langsung) Tangibles (bukti langsung) meliputi fasilitas fisik, ketersediaan peralatan perawatan dan komunikasi, kebersihan ruangan, ruangan yang teratur rapi, penampilan kerja perawat yang rapi.
2.8 Pengukuran Kepuasan Pasien Kepuasan pasien merupakan keluaran dari layanan kesehatan. Suatu perubahan dari sistem layanan kesehatan tidak mungkin tepat sasaran dan berhasil tanpa melakukan pengukuran kepuasan pasien. Hal itu terjadi karena hasil
15
pengukuran kepuasan pasien akan digunakan sebagai dasar untuk mendukung perubahan sistem layanan kesehatan (Pohan, 2007). Menurut Kotler (2004), ada beberapa macam metode dalam pengukuran kepuasan pasien: 1. Sistem Keluhan dan Saran Organisasi yang berorientasi pada pasien memberikan kesempatan yang luas kepada pasiennya untuk menyampaikan saran dan keluhan. Misalnya dengan menyediakan kotak saran, kartu komentar, dan hubungan telepon langsung dengan pasien. 2. Ghost Shopping Metode ini dilakukan dengan cara mempekerjakan beberapa orang yang berperan atau bersikap sebagai pengguna potensial untuk melaporkan temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk dari perusahaan atau rumah sakit pesaing berdasarkan pengalaman mereka sehingga dapat dijadikan sebagai koreksi terhadap kualitas pelayanan rumah sakit itu sendiri. 3. Lost Customers Analysis Metode ini dilakukan dengan cara pihak rumah sakit menghubungi para konsumen atau pasien yang telah berhenti menggunakan atau beralih ke rumah sakit lain, untuk memperoleh informasi penyebab hal tersebut. Informasi ini dapat dipakai untuk mengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas konsumen.
16
4. Survei Kepuasan Survei dapat dilakukan dengan penyebaran kuesioner atau melalui wawancara langsung pada para konsumen. Konsumen atau pasien juga dapat diminta untuk mengurutkan berbagai elemen penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen dan seberapa baik perusahaan dalam masing-masing elemen (importanse/performance ratings). Melalui survei tersebut, rumah sakit dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan produk atau jasa yang dimiliki, sehingga dapat melakukan perbaikan pada hal yang dianggap kurang oleh para konsumen atau pasien. Pengumpulan data survei kepuasan pasien dapat dilakukan dengan berbagai cara tetapi pada umumnya dilakukan melalui kuesioner dan wawancara. Adapun penggunaan kuesioner adalah cara yang paling sering digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan, seperti proses yang mudah dan murah, menghasilkan data yang telah terstandarisasikan, dan terhindar dari bias pewawancara (Pohan, 2007).
2.9 Manfaat Pengukuran Kepuasan Pasien Menurut Gerson (2004), manfaat utama dari program pengukuran adalah tersedianya umpan balik yang segera, berarti dan obyektif. Dengan hasil pengukuran orang bisa melihat bagaimana mereka melakukan pekerjaannya, membandingkan dengan standar kerja, dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan berdasarkan pengukuran tersebut. Ada beberapa manfaat pengukuran kepuasan antara lain sebagai berikut:
17
1. Pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil dan berprestasi, yang kemudian
diterjemahkan
menjadi
pelayanan
yang
prima
kepada
konsumen/pasien. 2. Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar kinerja dan standar prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan mereka menuju mutu yang semakin baik dan kepuasan konsumen/pasien yang meningkat. 3. Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada pelaksana, terutama bila konsumen/pasien sendiri yang mengukur kinerja pelaksana atau yang memberi pelayanan. 4. Pengukuran memberi tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki mutu dan kepuasan konsumen/pasien. Informasi bagaimana harus melakukannya juga bisa datang dari konsumen/pasien. 5. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat produktivitasnya yang lebih tinggi. Menurut Azwar (1996) dalam Putra (2012), didalam situasi rumah sakit yang mengutamakan pihak yang dilayani (client oriented) dimana pasien merupakan penghuni terbanyak, maka banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh bila mengutamakan kepuasan pasien antara lain sebagai berikut: 1. Rekomendasi medis untuk kesembuhan pasien akan dengan senang hati diikuti oleh pasien yang merasa puas terhadap pelayanan rumah sakit. 2. Terciptanya citra positif dan nama baik rumah sakit karena pasien yang puas tersebut akan memberitahukan kepuasannya kepada orang lain. Hal ini secara
18
akumulatif akan menguntungkan rumah sakit karena merupakan pemasaran rumah sakit secara tidak langsung. 3. Citra rumah sakit akan menguntungkan secara sosial dan ekonomi. Bertambahnya jumlah orang yang berobat, karena ingin mendapatkan pelayanan yang memuaskan seperti yang selama ini mereka dengar akan menguntungkan rumah sakit secara sosial dan ekonomi (meningkatnya pendapatan rumah sakit). 4. Berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan rumah sakit, seperti perusahaan asuransi akan lebih menaruh kepercayaan pada rumah sakit yang mempunyai citra positif. 5. Didalam rumah sakit yang berusaha mewujudkan kepuasan pasien akan lebih diwarnai dengan situasi pelayanan yang menjunjung hak-hak pasien. Rumah sakitpun akan berusaha sedemikian rupa sehingga malpraktek tidak terjadi.
2.10 Hubungan Caring Dengan Tingkat Kepuasan Pasien Dalam upaya memenuhi tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, rumah sakit mulai melakukan pembenahan sistem pelayanan maupun manajemennya. Kepuasaan pasien sebagai salah satu indikator pelayanan berkualitas yang harus menjadi perhatian karena berhubungan langsung dengan pengguna pelayanan kesehatan (Lusa, 2007 dalam Herniyatun dkk, 2009). Salah satu cara untuk mengevaluasi mutu pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh perawat di rumah sakit adalah melakukan survei kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan. Perawat yang mempunyai kepedulian dalam
19
memberikan asuhan keperawatan pada pasien di rumah sakit adalah perawat yang memiliki sikap caring. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan Potter dkk., (2009) bahwa caring adalah perhatian perawat dengan sepenuh hati terhadap pasien. Kepedulian, empati, komunikasi yang lemah lembut dan rasa kasih sayang perawat terhadap pasien akan membentuk hubungan perawat – klien yang terapeutik (Abdul, 2013). Hal serupa juga diungkapkan oleh Sukesi (2013) bahwa terdapat kecenderungan semakin baik perilaku caring perawat, tingkat kepuasan pasien juga akan semakin tinggi. Demikian juga sebaliknya bila perilaku caring perawat kurang maka tingkat kepuasan juga akan rendah.
20