BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1.
Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menganalisis hubungan kontraktual di antara dua
atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika prinsipal mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen (Zimmerman, 1977). Hal tersebut terjadi karena adanya asimetri informasi dimana salah satu pihak (agen) memiliki informasi yang lebih banyak. Ada dua bentuk asimetri informasi yaitu adverse selection dan moral hazard (Scott, 2011). Dalam adverse selection, pada awalnya terdapat indikasi untuk memberikan informasi tetapi karena pihak lain tidak tahu atau dianggap tidak tahu maka informasi tidak jadi diberikan, sedangkan bentuk moral hazard sejak awal sudah terdapat indikasi untuk tidak memberikan informasi tersebut pada pihak lain. Agency problem juga terjadi di dalam organisasi pemerintahan (Zimmerman, 1977). Dalam penelitian ini, masalah keagenan terjadi dalam 2 bentuk hubungan yaitu hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Hubungan antara pemerintah pusat sebagai prinsipal dengan pemerintah daerah sebagai agen dapat dilihat dari tindakan pendelegasian wewenang dari pusat kepada daerah. Pemerintah pusat mentransfer dana perimbangan kepada daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban dari adanya pendelegasian wewenang 16
17
tersebut dan dana itu digunakan untuk membiayai seluruh belanja pemerintah daerah. Hubungan keagenan juga terjadi diantara pemerintah daerah sebagai agen dengan masyarakat sebagai prinsipal. Masyarakat selama ini sudah memberikan sumber daya ke daerah dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi, dan lain-lain. Mereka seharusnya mendapatkan imbalan dari pemerintah daerah sebagai pengelola keuangan daerah. Pemerintah daerah bisa memberikan timbal baliknya dalam bentuk penyediaan sarana prasarana dan pelayanan publik yang memadai bagi masyarakat. Berdasarkan kesepakatan diantara prinsipal dengan agen untuk mengelola
dan
mengendalikan
kekayaan
daerah
dalam
rangka
memaksimalkan kesejahteraan publik, akuntansi berkepentingan dalam hal pelaporan keuangan kesatuan usaha (agen). Kesatuan usaha menjadi kesatuan pelapor yang bertanggungjawab kepada pemilik. Kesatuan usaha menjadi pusat
pertanggungjawaban
dan
laporan
keuangan
menjadi
media
pertanggungjawabannya. Bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah sebagai agen dari pemerintah pusat dan masyarakat yaitu dengan menyusun Laporan Realisasi Anggaran daerah. Laporan tersebut berisi realisasi pendapatan dan belanja daerah selama satu tahun anggaran. Dalam laporan realisasi anggaran bisa dilihat varian diantara anggaran dan realisasi yang terjadi selama satu tahun anggaran tertentu, mulai dari komponen Pendapatan Asli Daerah sampai belanja modal. Prinsipal membutuhkan pihak ketiga untuk meyakinkan mereka bahwa yang dilaporkan agen adalah benar. Akuntan sektor publik
18
diharapkan berperan besar sebagai pihak ketiga, karena sebagian (atau sebagian besar) laporan yang diberikan pemerintah daerah berbentuk informasi keuangan (Santoso dan Pambelum, 2008). 2.1.2. Pendapatan Daerah Pendapatan daerah menurut Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 adalah semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah digunakan oleh masing-masing daerah untuk mendanai kegiatan pembangunan di daerahnya, baik yang berwujud fisik maupun non fisik (sosial ekonomi). Sumber pendapatan daerah menurut UU No. 33 tahun 2004 diantaranya Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. 2.1.2.1. Pendapatan Asli Daerah Menurut Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh suatu daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan Peraturan PerundangUndangan tertentu. PAD dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada semua pemerintah daerah dalam menjalankan kegiatan otonomi daerahnya dengan memanfaatkan potensi kekayaan daerah yang dimilikinya sebagai perwujudan sistem pemerintahan desentralisasi. Ardiansyah et al (2014) menjelaskan bahwa PAD merupakan tulang punggung pembiayaan daerah,
19
sehingga kemampuan keuangan suatu daerah bisa diukur dari besarnya kontribusi PAD di dalam APBD. Semakin besar kontribusi PAD dalam APBD, berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat. Ada bermacam-macam sumber Pendapatan Asli Daerah diantaranya pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, perusahaan milik pemerintah/BUMN, serta penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat, dan lain-lain PAD yang sah seperti jasa giro, pendapatan bunga, komisi, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan lain-lain (UU No. 33 tahun 2004). 2.1.2.2. Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 33 tahun 2004). Dana perimbangan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dana perimbangan dibagi menjadi 3 yaitu: 2.1.2.2.1.Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum merupakan salah satu bentuk transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersumber dari APBN. UU
20
No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 1 angka 21 menyebutkan “Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi” Dana Alokasi Umum ini bersifat “Block Grant” yang artinya penggunaan DAU akan diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (DJPK, 2013). Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan menyatakan bahwa besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN. DAU bermanfaat untuk menutup celah fiskal daerah, yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas/potensi fiskal yang dimiliki daerah. Komponen kebutuhan fiskal daerah yang digunakan untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah meliputi: jumlah penduduk, luas wilayah, IPM, indeks kemahalan konstruksi, dan produk domestik regional bruto. Komponen kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan daerah berasal dari dua komponen yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil (DJPK, 2013). 2.1.2.2.2.Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan oleh pusat kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai prioritas
21
nasional (UU No. 33 tahun 2004). Dalam pasal 40 UU No. 33 tahun 2004 pemerintah menetapkan 3 kriteria DAK yaitu kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan mempertimbangkan peraturan Perundang-undangan dan karakteristik daerah, sedangkan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara atau departemen teknis. DAK ini digunakan oleh masing-masing Pemda untuk mendanai kebutuhan sarana prasarana yang menjadi prioritas nasional di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain. Ardiansyah et al (2014) juga menyatakan jika DAK ini bisa juga digunakan untuk mendanai biaya pemeliharaan kebutuhan sarana prasarana tertentu untuk periode terbatas. 2.1.2.2.3.Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 33 tahun 2004). Pemberian DBH ini dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah (vertikal). Dana Bagi Hasil dapat bersumber dari pajak maupun sumber daya alam. Pengelolaan dan penggunaan DBH menjadi wewenang Pemda, tetapi ada beberapa komponen dari DBH yang penggunaannya ditentukan negara berdasarkan peraturan terkait/earmarking. Komponen tersebut diantaranya
22
DBH Kehutanan yang berasal dari dana reboisasi untuk rehabilitasi hutan dan lahan, DBH migas untuk tambahan anggaran pendidikan dasar, dan DBH cukai untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberantasan barang kena cukai illegal (Ardiansyah et al, 2014). Porsi DBH yang tidak terlalu besar dalam APBD dan adanya earmarking dari ketiga komponen DBH diatas membuat total Dana Bagi Hasil yang bisa digunakan secara fleksibel oleh pemerintah daerah untuk melakukan belanja modal menjadi sedikit. Selain itu, hal tersebut juga membuat Dana Bagi Hasil menjadi tidak signifikan dalam memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (Ardiansyah et al, 2014). Oleh karena itu, dana perimbangan yang berupa DBH tidak dimasukkan sebagai variabel dalam penelitian ini. 2.1.3.
Belanja Modal Menurut PSAP Nomor 2 pengertian belanja modal adalah
pengeluaran anggaran untuk memperoleh asset tetap dan asset lain yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Didalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.02/2011 menjelaskan bahwa belanja modal adalah pengeluaran untuk pembayaran perolehan asset dan/atau menambah nilai aset tetap/asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal kapitalisasi asset tetap/asset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Belanja modal meliputi belanja untuk tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan mesin, serta belanja modal untuk asset tidak berwujud.
23
Syaiful (2008) menyatakan bahwa belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka membentuk modal yang sifatnya menambah asset tetap atau inventaris yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalam belanja modal adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya untuk mempertahankan atau menambah umur manfaat, meningkatkan kapasitas, serta kualitas asset tetap tersebut. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.02/2011 tentang klasifikasi anggaran mengelompokkan belanja modal menjadi 6 kategori utama yaitu belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan, belanja modal fisik lainnya, serta belanja modal Badan Layanan Umum (BLU). 2.1.4.
Kualitas Pembangunan Manusia Pembangunan manusia menurut Human Development Report (1990)
yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Pembangunan manusia dapat meningkatkan kesejahteraan manusia secara menyeluruh. Jika pertumbuhan pembangunan lambat dan pendistribusian hasilhasil pembangunan tidak merata maka hal tersebut akan berdampak pada masyarakat sebagai sasaran akhir dan fokus utama dari seluruh kegiatan pembangunan karena pemerintah tidak mampu memberikan pelayanan secara
24
maksimal dalam berbagai segi kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi (Santoso dan Pambelum, 2008). Outcome dari kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakatnya dapat tercermin melalui indikator Indeks Pembangunan Manusia. Pencapaian kualitas pembangunan manusia juga bisa diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Dimensi kesehatan diukur dengan menggunakan angka harapan hidup waktu lahir. Dimensi pengetahuan diukur menggunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Dimensi hidup layak menggunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak (BPS, 2015).
25
2.2.
Review Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menganalisis
pengaruh dari pendapatan daerah (PAD, DAU, dan DAK) terhadap kualitas pembangunan manusia. Beberapa penelitan terdahulu menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa hasil penelitian terdahulu diantaranya: Ardiansyah, Ari, dan Widiyaningsih (2014) melakukan penelitian tentang pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap IPM dengan mengambil sampel kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2010-2012. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Dana alokasi umum berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat diasumsikan bahwa kemampuan DAU dalam membiayai belanja modal tidak mempengaruhi IPM. Dana alokasi khusus berpengaruh negatif signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Temuan lainnya yaitu pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini berarti hipotesis peneliti sesuai dengan yang diharapkan (H0 ditolak, Ha diterima). Zebua dan Adib (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh alokasi belanja terhadap kualitas pembangunan manusia pada kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2013. Salah satu temuannya
26
menunjukkan bahwa belanja modal berpengaruh signifikan terhadap IPM dengan nilai signifikansi 0,027. Hasil penelitiannya ini sesuai dengan hasil penelitian Christy dan Adi (2009) dan Mirza (2012). Rizak (2015) melakukan studi tentang pengaruh pendapatan dan belanja daerah terhadap IPM di Sulawesi Tengah. Rizak (2015) menggunakan variabel PAD provinsi dan PAD kabupaten/kota serta belanja langsung provinsi dan belanja langsung kabupaten/kota untuk mengetahui pengaruhnya terhadap IPM. Hasil penelitian ini menunjukkan jika pengaruh belanja provinsi
langsung,
pendapatan
daerah
provinsi,
belanja
langsung
kabupaten/kota, dan pendapatan daerah kabupaten/kota terhadap IPM semuanya tidak signifikan (signifikansi lebih besar dari 5%). Namun diantara keempat variabel tersebut, pendapatan daerah kabupaten/kota memiliki pengaruh paling tinggi, sedangkan pendapatan daerah provinsi memiliki pengaruh paling rendah terhadap indeks pembangunan manusia. 2.3.
Pengembangan Hipotesis
2.3.1.
Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan yang diperoleh
daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan Perundang-undangan (UU No. 33 tahun 2014). Darmayasa dan Suandi (2014) mengatakan bahwa penyerahan wewenang untuk mengelola berbagai jenis pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah diharapkan bisa membantu daerah dalam meningkatkan PAD. Dalam era otonomi daerah saat ini, pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan dan mengembangkan
27
PAD-nya masing-masing dengan cara meningkatkan sumber daya yang dimiliki untuk membiayai kegiatan-kegiatan penciptaan sarana prasarana atau infrastruktur daerah melalui alokasi belanja modal dalam APBD (Wandira, 2013). Sekecil apapun presentase PAD dari total pendapatan, kontribusi PAD tersebut akan berpengaruh terhadap belanja modal daerah karena PAD merupakan salah satu jenis pendapatan yang digunakan untuk membiayai pelayanan publik. Beberapa penelitian terdahulu memberikan kesimpulan yang sama jika Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal (Darwanto dan Yustikasari, 2007; Kusnandar dan Siswantoro, 2012; Maimunah, 2008). Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa PAD memiliki korelasi positif dan signifikan terhadap belanja modal dengan nilai korelasinya sebesar 61,3 %. Dalam penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012) ditemukan walaupun persentase PAD cukup kecil terhadap total penerimaan daerah (7%), namun jumlah tersebut sangat berpengaruh dalam mengalokasikan
belanja
modal.
Berdasarkan
uraian
diatas,
dapat
dikembangkan hipotesis: H1: Pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal 2.3.2.
Dana Alokasi Umum dan Belanja Modal Dana Alokasi Umum merupakan salah satu jenis dana perimbangan
untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah. Dana perimbangan khususnya DAU dapat memberikan kepastian bagi setiap daerah untuk
28
mendapatkan sumber pembiayaan untuk membiayai semua kegiatan dan belanja yang menjadi tanggung jawab daerahnya (Darmayasa dan Suandi, 2014). Dasar pengalokasian DAU yaitu fiscal gap suatu daerah. Daerah yang memiliki fiscal gap kecil, maka akan mendapat distribusi DAU yang kecil juga, demikian sebaliknya. Pengalokasian DAU diserahkan sepenuhnya kepada daerah untuk meningkatkan pelayanan publik di daerahnya agar lebih efisien. Daerah yang memiliki jumlah PAD yang masih rendah tentu akan mengandalkan transfer dari pemerintah pusat ini untuk membiayai belanja modal daerahnya. Beberapa penelitian terdahulu memberikan kesimpulan yang sama jika DAU berpengaruh positif terhadap belanja modal (Darwanto dan Yustikasari, 2007; Maimunah, 2008; Christy dan Adi, 2009). Christy dan Adi (2009) menemukan jika 8,3% belanja modal bisa dijelaskan oleh DAU dengan signifikansi sebesar 0,002 yang mengindikasikan jika ketergantungan daerah sangat tinggi terhadap DAU untuk membiayai belanja daerah. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikembangkan hipotesis: H2: Dana alokasi umum berpengaruh positif terhadap belanja modal 2.3.3.
Dana Alokasi Khusus dan Belanja Modal Dana alokasi khusus merupakan salah satu jenis dana transfer dari
pemerintah pusat kepada daerah yang bersumber dari APBN. Jika dilihat dari pengertian DAK yang memang digunakan untuk mendanai kebutuhan fisik sarana prasarana yang menjadi prioritas nasional seperti di bidang pendidikan,
29
kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain, maka penggunaan DAK akan sangat berpengaruh pada peningkatan belanja modal. Pengeluaran DAK yang dialokasikan untuk belanja modal secara efektif dan efisien diharapkan bisa meningkatkan kualitas pembangunan manusia baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun pelayanan umum lainnya. Penelitian terdahulu yang memberikan kesimpulan jika DAK berpengaruh positif terhadap belanja modal yaitu Miharabi (2013) dan Wandira (2013). Wandira (2013) menemukan jika DAK berpengaruh positif terhadap belanja modal untuk seluruh provinsi di Indonesia tahun 2012. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikembangkan hipotesis: H3: Dana alokasi khusus berpengaruh positif terhadap belanja modal 2.3.4.
Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia Total penerimaan daerah baik yang bersumber dari PAD atau dana
perimbangan diharapkan bisa meningkatkan pelayanan daerah untuk masyarakatnya melalui peningkatan alokasi belanja modal daerah. Belanja modal bisa dialokasikan untuk pembangunan sarana pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum seperti jalan dan jembatan. Daerah yang PAD nya tinggi mungkin bisa merealisasikan anggarannya minimal 20% dari APBD untuk alokasi belanja modal dalam peningkatan asset untuk masyarakat (Christy dan Adi, 2009). Upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia bisa dilakukan dalam berbagai bidang. Di bidang pendidikan, Pemda
30
bisa memperbaiki dan meningkatkan fasilitas pendidikan di setiap sekolah serta memperbaiki gedung-gedung sekolah agar lebih baik dan nyaman. Di bidang kesehatan Pemda bisa meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk umum, memperbaiki masalah gizi buruk, mencukupi ketersediaan tenaga medis, serta pemerataan pelayanan
kesehatan di daerah terpencil.
Alokasi belanja modal memiliki peran yang penting untuk peningkatan pelayanan ini, yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas pembangunan manusia (Christy dan Adi, 2009). Christy dan Adi (2009) dalam penelitiannya menemukan jika belanja modal berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia dengan nilai adjusted R square sebesar 43,6%. Penelitian mengenai pengaruh belanja modal terhadap kualitas pembangunan manusia masih menunjukkan hasil yang belum konsisten. Belanja modal yang dianggarkan oleh setiap Pemerintah Daerah berbeda-beda tergantung kebutuhan masing-masing daerah. Sulit untuk mengidentifikasi belanja modal yang benar-benar digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka pembangunan manusia. Tidak semua belanja modal berefek pada pelayanan publik. Kebijakan Pemerintah Daerah dan pandangan atau kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda juga memengaruhi keputusan apakah pengelolaan belanja modal sudah tepat guna untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia (Adiputra et al, 2015). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikembangkan hipotesis: H4: Belanja modal berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia
31
2.3.5.
Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia Pendapatan Asli Daerah digunakan untuk mengukur tingkat
kemandirian daerah dalam sistem desentralisasi saat ini. Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari dalam daerah sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk merealisasikan potensi-potensi ekonominya menjadi bentuk kegiatan-kegiatan yang bisa menghasilkan perguliran
dana
untuk
pembangunan
berkelanjutan
(Darwanto
dan
Yustikasari, 2007). PAD merupakan pendapatan daerah yang bisa mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. PAD harus benar-benar digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat karena pendapatan daerah ini juga berasal dari masyarakat. Jika kualitas pelayanan umum yang diterima masyarakat tidak memuaskan, maka mereka tidak akan mau membayar pajak, retribusi, dan lain-lain Lugastoro (2013) menyatakan bahwa PAD memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dana perimbangan seperti DAK karena kewenangan pengelolaan PAD diserahkan sepenuhnya kepada daerah, tidak membutuhkan koordinasi dengan pihak lain seperti pusat dan swasta. Peningkatan input APBD yang berasal dari PAD akan membuat kemampuan daerah dalam membiayai
belanja
modalnya
menjadi
lebih
besar
sehingga
dapat
meningkatkan outcome dalam bentuk kenaikan IPM. Seperti yang dinyatakan oleh Lugastoro (2013) dan Ardiansyah et al (2014) bahwa PAD berpengaruh
32
positif signifikan terhadap IPM. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5: Pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap kualitas pembangunan manusia H6: Belanja modal memediasi hubungan antara pendapatan asli daerah dengan kualitas pembangunan manusia 2.3.6.
Dana Alokasi Umum Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia Kemampuan keuangan setiap daerah untuk membiayai kebutuhan
dan kegiatan di daerahnya tidak sama, sehingga menimbulkan ketimpangan keuangan antardaerah. Pemerintah pusat telah mendistribusikan dana perimbangan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan ini. Salah satu komponen dana perimbangan adalah Dana Alokasi Umum yang pengalokasiannya menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintah (UU No. 32 tahun 2004). Penggunaan DAU diharapkan digunakan untuk kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tuntutan otonomi daerah. Jadi yang harus dipikirkan setiap daerah saat ini bukan hanya alokasi yang tinggi bagi kemajuan daerah yang dilihat dari kekayaan daerah, tetapi juga pengalokasian dana yang tinggi untuk belanja bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat (Setyowati dan Suparwati, 2012). Hasil penelitian Ardiansyal et al (2014) menyatakan jika variabel DAU merupakan variabel yang berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap IPM dengan nilai signifikansi 0,981. Sementara itu Setyowati dan Suparwati
33
(2012) menemukan jika DAU berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H7: Dana alokasi umum berpengaruh positif terhadap kualitas pembangunan manusia H8: Belanja modal memediasi hubungan antara dana alokasi umum dengan kualitas pembangunan manusia 2.3.7.
Dana
Alokasi
Khusus
Terhadap
Kualitas
Pembangunan
Manusia Dana alokasi khusus merupakan salah satu jenis dana perimbangan yang berguna sebagai pelengkap dana perimbangan lainnya seperti DAU dan DBH. Namun, seiring berjalannya waktu komponen Dana Alokasi Khusus ini menjadi penting untuk mendanai pembangunan daerah karena proporsi Dana Alokasi Umum hanya cukup untuk mendanai belanja birokrasi saja seperti belanja pegawai. Pemanfaatan DAK oleh pemerintah daerah tetap diatur oleh pemerintah pusat melalui peraturan menteri keuangan dan peraturan lain agar pemanfaatannya sesuai dengan kepentingan nasional dan kepentingan publik. Pada tahun 2007 penggunaan DAK telah meliputi 7 bidang pelayanan pemerintahan yaitu bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, pekerjaan umum (jalan, irigasi, dan air bersih), prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, dan lingkungan hidup (Setyowati dan Suparwati, 2012). Dana Alokasi
Khusus
diharapkan
mampu
meningkatkan
pembangunan manusia melalui alokasi belanja modal daerah.
mutu
kualitas
34
Hasil penelitian Ardiansyal et al (2014) menyatakan jika variabel DAK merupakan variabel yang berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM dengan nilai signifikansi 0,013 dan nilai koefisiennya sebesar -2,554. Penelitian Setyowati dan Suparwati (2012) memberikan hasil yang berbeda dengan hasil penelitian Ardiansyal et al (2014) dimana DAK berpengaruh positif terhadap IPM melalui pengalokasian anggaran belanja modal. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H9: Dana alokasi khusus berpengaruh positif terhadap kualitas pembangunan manusia H10: Belanja modal memediasi hubungan antara dana alokasi khusus dengan kualitas pembangunan manusia
35
2.4.
Kerangka Pemikiran Penelitian ini menguji pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap
kualitas pembangunan manusia dengan belanja modal sebagai variabel mediasi. Studi dilakukan pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2013.
Kerangka
pemikiran
berdasarkan
uraian
diatas
yang
menggambarkan hubungan antar variabel dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 2.1 Diagram Skematik Kerangka Teoritis H5 (+)
PAD
DAU
H1 (+)
H2 (+) H3 (+)
DAK
H9 (+) H7 (+)
Belanja Modal
H4
KPM