34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Konsep Kinerja a. Pengertian Kinerja Secara istilah kinerja adalah gambaran atas pencapaian suatu instansi atau organisasi dalam mencapai tujuan yang dipaparkan melalui visi dan misi serta strategi yang diindikasikan melalui keberhasilan atau kegagalan kegiatan-kegiatan yang direncanakan (Keputusan
Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara
Nomor
239/IX/6/8/2003 :hal. 18) Akuntabilitas Kinerja merupakan perwujudan kewajiban suatu isntansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tujuan atau sasaran
yang ditetapkan
melalui suatu alat secara periodik (Inpres No. 7 Tahun 1999). Kinerja pemerintahan daerah dikatakan baik apabila terpenuhi target yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Dalam studi analisis kinerja keuangan, pengelolaan keuangan daerah yang baik apabila pemanfaatan anggaran disalurkan secara efektif dan efisien untuk mendukung kemandirian suatu daerah. Kinerja yang baik dilihat dari beberapa faktor diantaranya surplus atau defisitnya suatu daerah.
commit to user
17
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pengelompokan Indikator Kinerja Pengukuran kinerja digunakan sebagai alat untuk menetapkan keberhasilan dan kegagalan suatu tindakan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan visi dan misi instansi pemerintah. Pengukuran yang dimaksud merupakan pengukuran penilaian secara sistemasik berupa indikator-indikator masukan, luaran, hasil, manfaat, dan dampak. Penilaian tidak terlepas dari proses mulai dari masukan hingga menghasilkan luaran yang dapat diambil sebuah kebijakan. Pengelompokan indikator kinerja adalah (Inpres No.7 Tahun 1999): 1. Indikator masukan / input segala sesuatu yang digunakan dalam melaksanakan (proses) kegiatan untuk menghasilkan keluaran. 2. Indikator proses / process adalah berbagai aktivitas
yang
menunjukkan upaya yang dilakukan dalam rangka mengelola masukan menjadi keluaran. Indikator proses tidak dipergunakan dalam sistem AKIP dan hanya dipergunakan pada saat evaluasi kinerja. 3. Indikator keluaran / output adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat diperoleh / dicapai dari suatu kegiatan. 4. Indikator hasil / outcome adalah hasil nyata yang diperoleh dari keluaran. Merupakan berfungsinya keluaran. 5. Indikator manfaat / benefit adalah manfaat keluaran bagi pemangku kepentingan commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6. Indikator dampak / impact adalah pengaruh (negatif/positif) yang ditimbulkan oleh manfaat. 2. Keuangan Daerah a. Konsep Pengelolaan keuangan daerah Berdasar Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 17 Tahun 2003, tugas pengelola keuangan daerah diantaranya adalah menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD, menyusun rancangan dan perubahan APBD, melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan melalui perturan daerah, melaksanakan fungsi bendahara umum daerah,
dan
menyusun
laporan
keuangan
yang
merupakan
pertanggungjawaban pelaksanaan APDB. Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (Pasal 1 ayat 5 PP No. 58 Tahun 2005) Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa Keuangan Daerah memiliki unsur penting yakni semua hak yang dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain yang sah sesuai ketentuan yang berlaku merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah. Sedangkan kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau sehubungan adanya tagihan daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan. Menurut UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 butir 7, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan Negara yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keuangan Negara merupakan segala hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu yang berupa barang maupun uang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan hak dan kewajiban Negara tersebut. Keuangan Negara meliputi (UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 2): 1) hak
negara
untuk
memungut
pajak,
mengeluarkan
dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; 2) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 3) Penerimaan Negara; 4) Pengeluaran Negara; 5) Penerimaan Daerah; 6) Pengeluaran Daerah; 7) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
8) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum. Secara peraturan, keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat.Secara rinci penjelasan dari masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1) Tertib yang dimaksud adalah keuangan dikelola secara tepat guna dan tepat waktu yang didukung dengan bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan. 2) Taat berarti pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada sumber-sumber peraturan tersebut. 3) Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. 4) Efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. 5) Ekonomis merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah. 6) Transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat Untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-Iuasnya tentang keuangan daerah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
7) Bertanggungjawab merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 8) Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. 9) Kepatutan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional. 10) Manfaat untuk masyarakat adalah bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. b. Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam melakukan kegiatan di era otonomi daerah, pemerintah daerah harus secara mandiri dapat melakukan pengelolaan keuangan guna melakukan kegiatan operasional serta pembagunan daerah. Ada beberapa dasar hukum sebagai pedoman dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah, yaitu: 1) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara 2) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara 3) UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 4) UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 5) UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) UU
No.
33/2004
tentang
Perimbangan
Keuangan
antara
Pemerintah Pusat dan Daerah 7) PP No. 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan 8) PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah 9) Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah 3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ialah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 1, butir 8). Seluruh Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi harus dicatat dan dikelola dalam APBD.Sedang penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak dicatat dalam APBD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran.APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah
dan
semua
Belanja
Daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD.Seluruh pengeluaran daerah danbeban daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
daerah.APBD
menjadi
dasar
pula
bagi
kegiatan
pengendalian,
pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah. Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan.Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut. a. Fungsi APBD Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Fungsi APBD adalah sebagai berikut :
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Fungsi Otorisasi: Anggaran daerah merupakan dasar untuk melaksanakan
pendapatan
dan
belanja
pada
tahun
yang
bersangkutan. 2) Fungsi Perencanaan: Anggaran daerah merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3) Fungsi Pengawasan: Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 4) Fungsi Alokasi: Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. 5) Fungsi Distribusi: Anggaran daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan 6) Fungsi Stabilisasi: Anggaran daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. b. Prinsip-prinsip Anggaran daerah Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran Daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu : commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Kesatuan: Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran. 2) Universalitas: Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran. 3) Tahunan: Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu 4) Spesialitas: Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya. 5) Akrual: Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas 6) Kas: Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi pengeluaran/penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah. Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Struktur APBD Struktur APBD (PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Bab III Pasal 20) merupakansatu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiayaan. Selisih lebih Pendapatan Daerah terhadap Belanja Daerah disebut surplus anggaran, tapi apabila terjadi selisih kurang maka hal itu disebut defisit anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus atau jumlah defisit anggaran. 1. Pendapatan Daerah Pendapatan Daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah. Pendapatan daerah terdiri atas: a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), terdiri dari (PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Bab III Pasal 22): (1) Pajak daerah; (2) Retribusi daerah; (3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; (4) Lain-lain PAD yang sah, terdiri dari; (a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(b) Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; (c) Jasa giro; (d) Pendapatan bunga; (e) Tuntutan ganti rugi; (f) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; (g) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. b) Dana Perimbangan (PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Bab III Pasal 23), terdiri dari: (1) Dana Bagi Hasil (2) Dana Alokasi Umum (DAU), dan (3) Dana Alokasi Khusus (DAK) c) Lain-lain pendapatan daerah yang sah, meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hibah yang merupakan bagian dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat (PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Bab III Pasal 24) commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam analisis keuangan daerah, nominal pendapatan dijadikan
sebagai
salah
satu
tolak
ukur
keberhasilan
pengelolaan keuangan daerah. Pendapatan Daerah merupakan variabel dalam menghitung Kemandirian Daerah, Derajat Desentralisasi
Fiskal,
Efektivitas
PAD,
serta
Rasio
Pertumbuhan PAD dan TPD.Dengan variabel pada pos pendapatan di antaranya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan pendapatan diluar PAD yaitu Transfer Dana Pemerintah dan Pendapatan Lain yang Sah akan diketahui besarnya Rasio Kemandirian Daerah. Rasio Kemandirian daerah merupakan tolak ukur suatu daerah dalam kemampuannya membiayai sendiri operasioanl dan pembangunan daerah. Begitu pula Derajat Desentralisasi Fiskal yang membandingkan antara PAD dengan Total Pendapatan Daerah (TPD). Realisasi PAD juga dapat diukur besarnya efektifitas jika dibandingkan dengan target PAD yang diharapkan dan telah dirancang sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki. Apabila pengelolaan PAD dikatakan tidak efektif artinya pemerintah daerah belum secara optimal
memanfaatkan
potensi
yang
ada
di
daerah.Pertumbuhan PAD dan pertumbuhan TPD diukur dari tahun pertahun.Rasio Pertumbuhan menunjukkan apakah ada kemajuan atau justru kemunduran pemerintah daerah dalam menghasilkan pendapatan daerah. 2. Belanja Daerah
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Komponen berikutnya dari APBD adalah Belanja Daerah. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. (PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Bab III Pasal 26) Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan
yang
ditetapkan
dengan
ketentuan
perundang-
undangan. Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar kepada masyarakat yang
wajib
diselenggarakan
oleh
pemerintah
daerah.
Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintah yang secara nyata ada dan berpotensi
untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan, dan potensi keunggulan daerah. Belanja penyelenggaraan urusan wajib tersebut diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian Standar Pelayanan
Minimal
(SPM)
berdasarkan
urusan
wajib
pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Belanja Daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari (PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Bab III Pasal 27): a) Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkan klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari: (1) Belanja Pegawai; (2) Belanja Barang dan Jasa; (3) Belanja Modal; (4) bunga; (5) subsidi; (6) hibah; (7) bantuan sosial; (8) belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan (9) belanja tidak terduga. b) Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara. Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.Sedangkan klasifikasi belanja menurut fungsi
pengelolaan negara digunakan commit to user
untuk
tujuan
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: (1) Pelayanan Umum; (2) Ketertiban dan Keamanan; (3) Ekonomi; (4) lingkungan hidup; (5) perumahan dan fasilitas umum; (6) kesehatan; (7) pariwisata dan budaya; (8) agama; (9) pendidikan; serta (10) perlindungan sosial. Pendapatan Daerah dengan Belanja Baerah memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.Besarnya Pendapatan Daerah merupakan gambaran belanja yang seharusnya dikeluarkan oleh pemerintah. Apabila pos Belanja Daerah lebih besar dari pos Pendapatan Daerah maka akan terjadi devisit keuangan sehingga perlu dilakukan pembenahan pengelolaan keuangan ditahun berikutnya untuk mengatasi devisit yang terjadi di tahun sebelumnya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan Belanja langsung menunjukkan
Indeks
Pemerintah.Analisis
tersebut
Kemampuan
Rutin
mengartikan
seberapa
besarkemampuan daerah sendiri yang diwujudkan dalam PAD membiayai kegiatan operasional daerah.Variabelvariabel yang terdapat pada pos belanja digunakan sebagai gambaran mengenai Rasio Aktivitas/Keserasian, Efisiensi Belanja,
serta
Aktivitas/Keserasian
Rasio merupakan
Pertumbuhan.Rasio gambaran
mengenai
pengelolaan belanja yang dikeluarkan pemerintah untuk commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Belanja tidak langsung dan Belanja langsung terhadap total belanja pemerintah. Apabila realisasi Belanja tidak langsung lebih besar dari pada Belanja langsung, maka perlu adanya evaluasi yang mengakibatkan besarnya Belanja tidak langsung di pemerintahan tersebut. Belanja tidak langsung yang besar menunjukkan tidak efisien dalam penggunaan anggaran. Tidak demikian dengan Belanja langsung. Semakin besar porsi belanja yang digunakan untuk Belanja langsung maka semakin baik pemanfaatan serta pengelolaan anggaran belanja. Efisiensi Belanja merupakan gambaran mengenai Total Belanja yang dikeluarkan suatu daerah dengan
Total
Penerimaan
daerah
tersebut.
Apabila
Penerimaan lebih besar maka akan terjadi surplus, namun sebaliknya jika belanja lebih besar dari pada pendapatan maka akan terjadi defisit keuangan daerah. Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung secara tahun ke tahun juga dapat dilihat pertumbuhannya. 3. Pembiayaan Daerah Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima
kembali,
baik
pada
tahun
anggaran
yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan
daerah
tersebut
terdiri
dari
penerimaan
pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan (PP No. 58 Tahun commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Bab III, Pasal 28). a. Penerimaan pembiayaan mencakup: 1) SiLPA tahun anggaran sebelumnya; 2) pencairan dana cadangan; 3) hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; 4) penerimaan pinjaman; dan 5) penerimaan kembali pemberian pinjaman. b. Pengeluaran pembiayaan mencakup: 1) pembentukan dana cadangan; 2) penyertaan modal pemerintah daerah; 3) pembayaran pokok utang; dan 4) pemberian pinjaman. Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan
terhadap
pengeluaran
pembiayaan.Jumlah
pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran. 4. Kemandirian Keuangan Daerah Kemandirian Keuangan Daerah merupakan gambaran seberapa mampu suatu pemerintah daerah membiayai kegiatan daerahnya sendiri dalam kebijakan Otonomi Daerah. Sesuai dengan kebijakan yang telah dilaksanakan dalam UU No. 32 Tahun 2005 mengenai tingkat kemandirian pemerintah daerah, diharapkan setiap daerah mampu melaksanakan kegiatan daerahnya
sendiri
tanpa banyak commit to user
bergantung
terhadap
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
pemerintah pusat. Kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Dalam analisis, semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Untuk mengetahui Kemandirian Keuangan Daerah dapat dilakukan dengan berbagai analisis antara lain Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal, Indeks Kemampuan Rutin, dan Rasio Pertumbuhan. B. Penelitian Terdahulu Studi mengenai analisis pendapatan dan belanja daerah sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa orang diantaranya oleh Nanik Wahyuni pada tahun 2011, Soelistidjono Boedi pada tahun 2012, Retno Dwiyanti dan Rusherlisyanti pada tahun 2013, I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto pada tahun 2010, Afriyanto dan Weni Astuti pada tahun 2013. 1. Rasio Kemandirian Keuangan daerah (KKD) Analisis mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukan oleh Nanik Wahyuni, Soelistijono Boedi, I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto, serta Afriyanto dan Weni Astuti. a. Nanik Wahyuni (2011) Penelitian mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukanoleh Nanik Wahyuni menggunakan rasio perbandingan antara PAD dengan bantuan pusat dan provinsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasio kemandiriancommit keuangan to userdiatas bahwa kemampuan
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di Kota Malang pada tahun anggaran 2004 sampai dengan 2006 masih cukup rendah rata-rata 13,07% kurang dari 50%. b. Soelistijono Boedi (2012) Penelitian mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukan oleh Soelsitijono
Boedi
pada
tahun
2012
menggunakan
rasio
perbandingan antara PAD dengan bantuan pusat dan provinsi. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa kemandirian kabupaten banjar dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, modal, dan pelayanan masyarakat dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan atau rendah sekali. c. Bisma dan Heri (2010) Penelitian mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukan oleh I Dewa
Gde
Bisma
dan
Hery Susanto
menggunakan
rasio
perbandingan antara PAD dengan dana perimbangan. Hasil analisis menunjukkan rata-rata tingkat kemandirian keuangan daerah Provinsi NTB selama periode tahun anggaran 2003-2007 adalah 54,58 % sehingga diklasifikasikan menurut kriteria penilaian kemandirian keuangan daerah adalah Provinsi dengan tingkat Kemandirian Keuangan Daerah sangat kurang. d. Afriyanto dan Weni (2013) Penelitian mengenai Rasio Kemandirian telah dilakukan oleh Afriyanto dan Weni Astuti menggunakan rasio perbandingan antara commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PAD dengan bantuan pusat dan provinsi. Hasil analisis menunjukkan selama periode 2009-2012 dapat diketahui bahwa kemandirian keuangan daerah Kabupaten Rokan Hulu masih sangat rendah bahkan
mengalami
naik
turun
dari
tahun
ketahun.
Rasio
Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Rokan Hulu yang paling tinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 4,15%, sedangkan yang paling rendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 2,66%. Hal ini menunjukkan bahwa kemandirian daerah dalam mencukupi kebutuhan pembiayaan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat masih sangat rendah. Dalam studi tersebut akan dilakukan analisis dengan menggunakan rasio perbandingan antara PAD dengan Transfer Dana Pemerintah (Daper) dan pendapatan lain yang sah. 2. Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Penelitian mengenai Desentralisasi Fiskal sebelumnya pernah dilakukan oleh Retno Dwitanti dan Rusherlistyanti, Soelistijono Boedi, serta I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto. a. Retno Dwitanti dan Rusherlistyanti (2013) Penelitian
mengenai
Derajat
Desentralisasi
Fiskal
telah
dilakukan oleh Retno Dwitanti dan Rusherlistyanti menggunakan rasio perbandingan PAD dengan TPD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan rata-rata rasio kemandirian dari tahun 2008-2010 adalah sebesar 73,84 yang dinyatakan sedang dan Provinsi Papua Barat berada pada commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peringkat terakhir dengan rata-rata rasio kemandirian adalah sebesar 3,8 yang dinyatakan sebagai rendah sekali. b. Soelistijono Boedi (2012) Penelitian mengenai Derajat Desentralisasi Fiskal telah dilakukanoleh Soelistijono Boedi menggunakan rasio perbandingan PAD dengan TPD. Analisis menunjukkan hasil bahwa Rasio derajat desentralisasi fiskal
kabupaten banjar masih cukuptinggu. Hal
tersebut berarti pelaksanaan kegiatan otonomi masih banyak dibiayai dari transfer pemerintah pusat. c. Bisma dan Hery (2010) Penelitian mengenai Derajat Desentralisasi Fiskal telah dilakukan oleh I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto menggunakan rasio perbandingan PAD dengan TPD .Berdasarkan hasil analisis terhadap rata-rata tingkat desentralisasi fiskal Provinsi NTB periode tahun anggaran 2003-2007 adalah 32,61 % sehingga diklasifikasikan menurut kriteria penilaian tingkat desentralisasi fiskal adalah Provinsi dengan tingkat Desentralisasi Fiskal cukup. 3. Rasio Efektivitas PAD a. Nanik Wahyuni (2011) Penelitian mengenai rasio efektivitas PAD telah dilakukan oleh Nanik Wahyuni dengan menggunakan rasio antara total penerimaan PAD dengan target PAD berdasarkan potensi riil. Hasil analisis menujukkan pengelolaan keuangan daerah Kota Malang commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cukup baik karena realisasi PAD diatas 100% yaitu rata-rata dari tahun 2004-2006 adalah sebesar 100,88%. b. Soelistijono Boedi (2012) Soleistijono menggunakan rasioa Total Penerimaan PAD dengan target PAD yang ditetapkan secara riil untuk menghitung rasio efektivitas PAD. Hasil dari analisis tersebut adalah kemampuan pemerintah Kabupaten Bajnar dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil adalah efektif. c. Retno dan Rusherlisyanti (2013) Analisis rasio efektivitas PAD yang dilakukan oleh Retno dan Rusherlisyanti
menggunakan perbandingan
antara Total
Penerimaan PAD dengan target PAD yang ditetapkan berdasarkan potensi riil. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 20082010 rata0rata rasio efektivitas Provinsi Papua Barat adalah sangat efektif yaitu sebesar 178,52%. d. Bisma dan Heri (201) Penelitian mengenai analisis efektivitas PAD yang dilakukan oleh Bisma dan Hari menggunakan rasio Total Penerimaan PAD dengan target PAD yang ditetapkan berdasarkan potensi riil. Hasil dari penelitian tersebut adalah selama periode 2003-2007 tingkat efektivitas Provinsi NTB adalah efektif yaitu sebesar 102,14%.
commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Afriyanto dan Weni (2013) Analisis Rasio efektivitas PAD yang dilakukan oleh Afriyanto dan Weni menggunakan perbandingan antara Total penerimaan PAD dengan target PAD yang ditetapkan berdasarkan potensi riil. Hasil dari analisi menyatakan bahwa Kabupaten Rokanhulu belum efektif pada tahun dan 2008 karena tingkat efektivitasnya hanya sebesat 42,95% dan 82,17%. Pada tahun 2009 dan 2010 dapat efektif yaitu tingkat efektifitasnya sebesar 128,07 pada tahun 2009 dan 103,93% pada 2010. Sedangkan pada tahun 2011 kembali tidak efektif. Tingkat efektivitas pada tahun 2011 tersebut hanya sebesar 98,79%. 4. RasioAktivitas/Keserasian a. Nanik Wahyuni (2011) Penelitian dilakukan
mengenai
oleh Nanik
Rasio
Wahyuni
Aktivitas/Keserasian
telah
menggunakan alat analisis
perbandingan antara total belanja langsung dengan APBD dan total belanja tidak langsung dengan APBD. Dari perhitungan rasio aktifitas terlihat bahwa sebagian besar dana dialokasikan untuk belanja tidak langsung sehingga rasio pembangunan tehadap APBD masih sangat rendah. b. Soelistijono Boedi (2012) Penelitian
mengenai
Rasio
Aktivitas/Keserasian
telah
dilakukan oleh Soelistijono Boedi menggunakan alat analisis perbandingan antara total belanja langsung dengan APBD dan total commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
belanja tidak langsung dengan APBD. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasio aktivitas pemerintah Kabupaten Banjar kurang baik dikarenakan belanja modal selama 5 tahun masih lebih kecil dibandingkan belanja operasional. c. Retno dan Rusherlisyanti (2013) Penelitian
mengenai
Rasio
Aktivitas/Keserasian
telah
dilakukan oleh Retno Dwiyanti dan Rusherlisyanti menggunakan alat analisis perbandingan antara total belanja langsung dengan APBD dan total belanja tidak langsung dengan APBD. Dari beberapa provinsi yang rata-rata belanja langsungnya lebih besar dari belanja tidak langsung, terlihat Sulawesi Barat lebih menonjol rata-rata belanja langsungnya dibandingkan belanja tidak langsung yaitu sebesar 82,48% sedangkan rata-rata belanja tidak langsungnya sebesar 20,14%. Provinsi yang rata-rata biaya rutinnya lebih besar dari belanja langsung adalah Provinsi Sumatra Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tenggah, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. d. Afrianti dan Weni (2013) Penelitian mengenai Rasio Aktivitas/Keserasian telah dilakukan oleh Afrianti dan Weni Astuti menggunakan alat analisis perbandingan antara total belanja langsung dengan APBD dan total belanja tidak langsung dengan APBD. Rasio Aktivitas`Kabupaten Rokan Hulu dilihat dari Rasio keserasian pada Belanja tidak commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
langsung yang paling tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 81,77% dan yang paling rendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebasar 61,99%. Sedangkan Rasio Keserasian pada Belanja langsung yang paling tinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 37,96% dan yang paling rendah terjadi pada tahun 2011 yaitu sebasar 18,11%. Hal ini menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir Rasio Keserasian Kabupaten Rokan Hulu diprioritaskan untuk Belanja tidak langsung. Dalam studi tersebut akan digunakan rasio perbandingan Belanja tidak langsung dan Belanja langsung dengan Total realisasi belanja APBD. 5. Rasio Efisiensi Belanja Studi mengenai Rasio Efisiensi telah dilakukan oleh Retno Dwiyanti
dan
Rusherlisyanti
pada
tahun
2013.Studi
tersebut
menggunakan analisis perbandingan antara Realisasi Pengeluaran dengan Realisasi Penerimaan. Hasil dari studi tersebut adalah Provinsi Bali pada tahun 2008-2010 adalah sebesar 90,59% yang dinyatakan kurang efisien. Sedangkan Provinsi DI Jogjakarta pada kurun waktu tersebut dinyatakan tidak efisien dengan tingkat efisiensi sebesar 105,75%. 6. Rasio Indeks Kemampuan Rutin (IKR) Penelitian mengenai Rasio Indeks Kemampuan Rutin dilakukan oleh David Evendi dan Sri Wuryadi (2011). Penelitian tersebut menggunakan perhitungan rasio PAD dengan total pengeluaran rutin. Hasil analisis menunjukkan bahwa Rasio Indeks Kemampuan Rutin commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
selama enam tahun pada pemerintah Kabupaten Nganjuk masuk dalamskala yang sangat kurang, karena berada dalam skala interval antara 0,00-20,00 yaitu sebesar 13,58%. Dalam studi ini akan dilakukan analisis rasio antara Pendapatan asli daerah (PAD) dengan Belanja tidak langsung dan Belanja langsung 7. Rasio Pertumbuhan a. Nanik Wahyuni (2011) Penelitian mengenai Rasio Pertumbuhan telah dilakukan oleh Nanik Wahyuni menggunakan alat analisis pertumbuhan PAD. Dari perhitungan dapat diketahui bahwa pertumbuhan APBD kotaMalang pada tahun anggaran 2004 sampai dengan 2006 menunjukan pertumbuhan positif. b. Soelistijono Boedi (2013) Penelitian mengenai Rasio Pertumbuhan telah dilakukan oleh Soelistijono Boedi menggunakan alat analisis pertumbuhan PAD. Analisis menghasilkan Rasio pertumbuhan PAD Kabupaten Banjar dalam tahun 2005-2010 mengalami penuruanan sebesar 180,08%. c. Retno dan Rusherlisyanti (2013) Penelitian mengenai Rasio Pertumbuhan telah dilakukan oleh Retno Dwianti dan Rusherlisyanti menggunakan alat analisis rasio perumbuhan PAD, rasio pertumbuhan TPD, rasio pertumbuhan belanja tidak langsung, dan rasio pertumbuhan belanja langsung dari tahun ke tahun. Hasil analisis menunjukkan pada tahun 2009 pertumbuhan PAD secara merata provinsi se-Indonesia mengalami commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penurunan yang sangat jauh dari tahun sebelumnya. Ada dua provinsi yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun selama kurun waktu tiga tahun yaitu Provinsi Riau dan Sulawesi Selatan, sedangkan provinsi lainnya berfluktuasi dari tahun ke tahun selama tiga tahun. Ada dua provinsi yang mengalami kenaikan setiap tahunnya selama tiga tahun yaitu Provinsi DI Jogjakarta sebesar 3,68%, 2,18% dan 6,85% dan Gorontalo sebesar 2,87%, 4,59% dan 5,74% naiknya secara perlahan. Sebaliknya provinsi yang mengalami penurun dari tahun 2008-2010 yaitu Provinsi Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua Barat. Provinsi lainnya berfluktuasi dari tahun ke tahun selama tiga tahun
dari
tahun2008-2009
dalam
memepertahankan
dan
meningkatkan keberhasilan pendapatan daerah. Pertumbuhan belanja tidak langsung dari tahun 2008-2010, ada provinsi yang mengalami penurunan dari tahun 2008-2010 yaitu Provinsi Sumatra Utara, Riau, Jambi, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua. Sebaliknya provinsi yang mengalami kenaikan dari tahun 2008-2010 adalah Provinsi Bengkulu dan DKI Jakarta.Provinsi lainnya berfluktuasi dari tahun ke tahun, selama tiga tahun periode 2008-2009.Dilihat pertumbuhan belanja langsung dari tahun 20082010, sehingga dapat melihat tingkat kemampuan setiap provinsi dalam memperathankan dan meningkatkan belanja langsung. Provinsi yang mengalami penurunan dalam waktu tiga tahun dari commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tahun 2008-2010 yaitu Sumatra Utara, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua, sebaliknya provinsi yang mengalami peningkatan dari tahun 2008-2010 adalah Provinsi Aceh, Jambi, Jawa Tengah, DI. Jogjakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Provinsi lainnya berfluktuasi dari tahun ke tahun, selama periode 2008-2009. d. Afrianto dan Weni (2013) Penelitian mengenai Rasio Pertumbuhan telah dilakukan oleh Afrianto dan Weni Astuti menggunakan alat analisis rasio perumbuhan PAD, rasio pertumbuhan TPD, rasio pertumbuhan belanja tidak langsung, dan rasio pertumbuhan belanja langsung dari tahun ke tahun. Rasio Pertumbuhan Asli Daerah pada tahun 20072008sebesar 1,07%
mengalami kenaikan pada tahun 2008-2009
menjadi 32,54%, pada tahun 2009-2010 mengalami penurunan menjadi -7,96% dan pada tahun 2010-2011 mengalami kenaikan menjadi 22,90%. Rasio Pertumbuhan Total Pendapatan 2007-2008 mengalami penurunan di tahun 2008-2009 yaitu dari 24,82% menjadi –13,65%, mengalami kenaikan pada tahun 2009-2010 menjadi 13,56% dan mengalami kenaikan ditahun
2010-2011 menjadi 25,83%. Rasio
pertumbuhan belanja tidak langsung pada tahun 2007-2008 yaitu sebesar 2,78% mengalami penurunan di tahun 2008-2009 menjadi 0,36%, pada tahun 2009-2010 mengalami kenaikan menjadi 23,33% dan mengalami penurunan di tahun 2010-2011 menjadi 16,03%. Dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
Rasio pertumbuhan belanja langsung pada tahun 2007-2008 yaitu sebesar -14,49% mengalami penurunan pada tahun 2008-2009 menjadi -11,18%, pada 2009-2010 mengalami kenaikan menjadi 15,66% dan di tahun 2010-2011 mengalami penurunan menjadi 39,23% C. Kerangka Pemikiran Studi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran.APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Penggunaan APBD harus dikelola secara tertib dan efisien guna mencapai tujuan penganggaran yang nantinya akan menunjukkan kualitas pengelolaan keuangan dan tingkat pemerintah daerah itu sendiri. APBD digunakan sebagai alat pembangunan suatu daerah di era otonomi daerah sehingga realisasi penggunaan APBD harus diketahui secara transparan. Laporan realisasi APBD dan rincian PDRB Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Karanganyar tahun 2009-2012 yang selanjutnya dianalisis dengan berbagai alat yang sesuai, nantinya menunjukkan kinerja pengelolaan keuangan suatu daerah dan tingkat kemandirian pemerintah daerah tersebut. Analisis Rasio kemandirian, Derajat Desentralisasi Fiskal, Rasio Efektivitas PAD, Rasio Aktivitas/Keserasian, Rasio Efisiensi, Indeks Kemampuan Rutin,dan Rasio pertumbuhan dapat menjadi proyeksi Untuk mengetahui kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat kemandirian commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Karanganyar pada tahun tersebut. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten KaranganyarTahun 2009-2012
Pendapatan
Belanja
1. KKD 2. DDF 3. Efektivitas PAD
4. Aktivitas/ Keserasian
5. Rasio Efisiensi 6. Indeks Kemampuan Rutin 7. Rasio Pertumbuhan
Kinerja Pengelolaan APBD Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Karanganyar Tahun 2009-2012 Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Penelitian
Hasil analisis yang ditunjukkan oleh penelitian akan dapat ditarik simpulan sehingga dapat diambil suatu kebijakan guna mencapai keberhasilan keuangan daerah dan meningkatkan kemandirian pemerintah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Karanganyar. Kebijakan dapat diupayakan dari sisi perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya maupun pengurangan belanja.
commit to user