BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan di bahas mengenai penelaahan kepustakaan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan sedikit gambaran singkat mengenai konsep-konsep yang terkait dengan gambaran pengetahuan pasien tentang mobilisasi post operasi appendisitis. 2.1 2.1.1
Kajian Teori tentang Appendisitis. Definisi Appendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering, penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan. Appendisitis adalah peradangan/inflamasi pada apendiks, penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah dari rongga abdomen, untuk abdomen darurat (Mubarak, 2009) a. Appendisitis akut Appendisitis akut adalah appendisitis dengan onset gejala akut yang memerlukan intervensi bedah dan biasanya ditandai dengan nyeri di kuadran abdomen kanan bawah dan dengan nyeri tekan local dan alih, spasme otot yang ada diatasnya dan merupakan infeksi bakteri.
b. Appendisitis kronik Diagnosis appendisitis kronik baru dapat di tegakkan jika di penuhi semua syaraf : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks, dan keluhan menghilang setelah appendectomy. 2.1.2
Etiologi Menurut Sjamsuhidrat dan Jong (2005), penyebab dari appendisitis adalah:
a. Fekalit/massa fekal padat karena konsumsi diet rendah serat. b. Tumor apendiks. c. cacing ascaris. d. Hiperplasia. 2.1.3
Patofisiologi Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi mukosa mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedis bakteri, dan ulserasi mukosa, pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehinga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan disebut apendisitis superatif akut, bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gengren. stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Selanjutnya menurut (Smetzer dan Bare, 2002) appendisitis disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit dan benda asing, feses yang terperangkap dalam lumen appendisitis akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekalit yang akhirnya sebagai kuasa sumbatan. 2.1.4
Manifestasi Klinik Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau
perumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk, terdapat juga keluhan anoraksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi, biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada pemulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukan satu titik dengan nyeri maksimal, perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul bila tanda
rovsing, psoas, dan obturaturn positif, akan semakin meyakinkan diagnosis klinis appendisitis. 2.1.5
Penatalaksanaan Penatalaksanaan appendisitis menurut Mansjoer (2000) adalah sebagai
berikut: a. Sebelum operasi. 1) Observasi keadaan umum klien. 2) Intubasi bila perlu. 3) Pemberian antibiotik. b. Operasi Proses appendektomi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya sebagai berikut : 1) Insisi menurut Mc Burney (Girl Incision atau Muscle Spliting Incision). Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilkus pada batas seperitiga lateral (titik Mc.Burney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis, dan fasia. Keuntungan dari insisi ini adalah tidak terjadinya benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat. Kerugianya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas dengan memotong otot secara tajam.
2) Insisi menurut Roux (Muscle Cutting Incision). Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc.Burney, hanya sayatanya langsung menembus otot dinding perut tanpa melihat arah serabut sampai tampak peritoneum. Keuntunganya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana dan mudah. Sedangkan kerugianya adalah diagnosis yang harus tepat sehinga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehinga perdarahan lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan yang menganggu pasien. Nyeri pasca operasi lebih sering terjadi,
kadang-kadang
ada
hematoma
yang
terinfeksi
dan
masa
penyembuhan lebih lama. 3) Insisi pararektal, dilakukan sayatan pada garis bawah lateral m rektus abdominalis dekstra secara vertical dari cranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntunganya adalah tekhnik ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat di perpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugianya adalah sayatan ini tidak langsung mengarah ke apendiks atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi dibutuhkan jahitan penunjang. c. Pasca Operasi. 1) Observasi Tanda-Tanda Vital. 2) Baringkan Pasien dalam posisi semi powler. 3) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien dipuaskan.
4) Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam pasca operasi lalu tingkatkan menjadi 30 mil/jam. 2.1.6
Komplikasi Beberapan komplikasi yang dapat terjadi :
a.
Perforasi Keterlambatan penanganan merupakan penyebab terjadinya perforasi. Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut menjadi tegang dan kembung, nyeri tekan dan defans moskuler di seluruh perut, peristaltic usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik.
b.
Peritonitis Peradangan peritoneum biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari appendisitis. bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. dengan begitu, aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala yag timbul seperti demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, abdomen tegang/kaku, nyeri tekan, nyeri lepas dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).
2.1.7
Appendectomy Appendectomy adalah pembedahan untuk mengangkat appendiks yang telah
meradang (Smeltzer, 2001). Appendectomy merupakan pengobatan yang paling baik bagi penderita appendicitis. Teknik tindakan appendectomy ada 2 macam, yaitu open appendectomy dan laparoscopy appendectomy. Open appendectomy yaitu dengan cara mengiris kulit daerah Mc Burney sampai menembus peritoneum, sedangkan laparoscopy appendectomy adalah tindakan yang dilakukan dengan menggunakan alat laparoscop yang dimasukkan lewat lobang kecil di dinding perut. Keuntungan laparoscopy appendectomy adalah luka dinding perut lebih kecil, lama hari rawat lebih cepat, proses pemulihan lebih cepat, dan dampak infeksi luka operasi lebih kecil (Schwartz Etal, 1999 dikutif dari Rizka Rismalia, 2009) 2.2 2.2.1
Konsep Operasi/Pembedahan Pengertian Operasi/Pembedahan Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh (Hannock,
1999 dikutip dari Rizka Rismalia, 2009). Operasi (elektif atau kedaruratan) pada umumnya merupakan peristiwa kompleks yang menegangkan (Smeltzer, 2001). Perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan praoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif. Operasi (perioperatif) merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh yang mencakup fase praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif (postoperatif) yang pada umumnya merupakan suatu peristiwa kompleks yang menegangkan bagi individu yang bersangkutan.
2.2.2
Fase Operasi/Pembedahan Seperti yang telah disebutkan di atas, menurut Long (1989 dikutip dari Rizka
Rismalia) terdapat tiga fase pembedahan yaitu : a.
Fase Praoperatif Fase praoperatif dimulai saat keputusan untuk tindakan pembedahan dibuat dan berakhir dengan mengirim pasien ke kamar operasi. Lingkup kegiatan keperawatan dari pengkajian dasar pasien melalui wawancara praoperatif di klinik, ruang dokter, atau melalui telepon, dan dilanjutkan dengan pengkajian di tempat atau ruang operasi. Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien yang akan menjalani operasi merupakan salah satu peran perawat pada fase praoperatif. Misalnya, memberikan pendidikan kesehatan mengenai pentingnya melakukan mobilisasi dini setelah operasi pada pasien yang akan menjalani appendectomy. Di samping itu, mengajarkan pasien bagaimana tahap-tahap melakukan mobilisasi dini juga merupakan hal yang penting disampaikan oleh perawat.
b.
Fase Intraoperatif Fase intraoperatif dimulai saat pasien dikirim ke ruang operasi dan berakhir saat pasien dipindahkan ke suatu ruang untuk pemulihan dari anestesi. Pada fase ini, lingkup tindakan keperawatan dari mengkomunikasikan asuhan perencanaan pasien, mengidentifikasi kegiatan keperawatan yang dianjurkan untuk hasil yang diharapkan, dan menetapkan prioritas tindakan keperawatan. Tindakan keperawatan disusun dalam pemikiran yang logis.
c.
Fase Pascaoperatif Fase pascaoperatif dimulai dengan mengirim pasien ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut di klinik atau di rumah. Lingkup keperawatan pada fase ini mencakup rentang aktivitas yang luas. Pada fase pascaoperatif langsung, fokus termasuk mengkaji efek dari agens anestesia, dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan. Salah satu peran perawat yang mendukung proses kesembuhan pasien yaitu dengan memberikan dorongan kepada pasien untuk melakukan mobilisasi setelah operasi. Hal tersebut penting dilakukan karena selain mempercepat proses kesembuhan juga dapat mencegah komplikasi yang mungkin muncul.
2.3 2.3.1
Konsep Dasar Mobilisasi Pengertian Mobilisasi Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas,
mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatanya (A.aziz alimul H, 2011) Mobilisasi dini adalah pergerakan yang dilakukan sedini mungkin di tempat tidur dengan melatih bagianbagian tubuh untuk melakukan peregangan atau berjalan (Sulaiman, 2000). Mobilisasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan pasca pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernafasan, latihan batuk efektif dan
menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan ke luar kamar (Smeltzer, 2001 ). Mobilisasi merupakan suatu aspek terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian dan sangat penting dalam percepatan hari rawat dan mengurangi resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah, gangguan pernafasan dan gangguan peristaltic maupun berkemih (Carpenito, 2000). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mobilisasi adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fingsi fisiologis. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong untuk mengerakan kaki dan tungkai bawah segera mungkin, dalam waktu 12 jam. 2.3.2
Prinsip dan Tujuan Mobilisasi Menurut Dombovy ML dikutip oleh Yahya (2009), mengemukakan bahwa
beberapa prinsip dalam melakukan mobilisasi yaitu mencegah dan mengurangi komplikasi sekunder seminimal mungkin, menggantikan hilangnya fungsi motorik, memberikan rangsangan lingkungan, memberi dorongan bersosialisasi, memberi kesempatan untuk dapat berfungsi dan melakukan aktivitas sehari-hari serta memungkinkan melakukan pekerjaan seperti sebelumnya. Kottke (2004) menyebutkan tujuan untuk mobilisasi yaitu untuk mencegah terjadinya bronkopneumonia, kekakuan sendi, mencegah tromboplebitis, atropi otot,
penumpukan sekret, memperlancar sirkulasi darah, mencegah kontraktur, dekubitus serta memelihara faal kandung kemih agar tetap berfungsi secara baik dan pasien dapat beraktivitas. Sedangkan mempertahankan
menurut fungsi
Garrison
tubuh,
(2004)
memperlancar
tujuan
mobilisasi
peredaran
darah,
adalah
membantu
pernapasan menjadi lebih baik, mempertahankan tonus otot, memperlancar eliminasi BAB dan BAK, mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal memenuhi kebutuhan gerak harian, dan memberi kesempatan perawat dan pasien untuk berinteraksi dan berkomunikasi. 2.3.3
Tahap-Tahap Mobilisasi pada Pasien Pasca Operasi Mobilisasi pasca operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan pasca
pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernapasan, latihan batuk efektif, dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar (Smeltzer, 2001). Tahap-tahap mobilisasi pada pasien pasca operasi meliputi : 1.
Pada saat awal (6 sampai 8 jam setelah operasi), pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk dan diluruskan, mengkontraksikan otot-otot termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan.
2.
Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk di
atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakkan. 3.
Pada hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya memang sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya ke toilet atau kamar mandi sendiri. Pasien harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin, hal ini perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien pasca operasi untuk mengembalikan fungsi pasien kembali normal.
2.3.4
Manfaat Mobilisasi Menurut Kozier, et.al. (2004) dalam buku Fundamentals of Nursing,
keuntungan yang dapat diperoleh dari mobilisasi bagi sistem tubuh adalah sebagai berikut : 1.
Sistem Muskuloskeletal Ukuran, bentuk, tonus, dan kekuatan rangka dan otot jantung dapat dipertahankan dengan melakukan latihan yang ringan dan dapat ditingkatkan dengan melakukan latihan yang berat. Dengan melakukan latihan, tonus otot dan kemampuan kontraksi otot meningkat. Dengan melakukan latihan atau mobilisasi dapat meningkatkan fleksibilitas tonus otot dan range of motion.
2.
Sistem Kardiovaskular Dengan melakukan latihan atau mobilisasi yang adekuat dapat meningkatkan denyut jantung (heart rate), menguatkan kontraksi otot jantung, dan menyuplai darah ke jantung dan otot. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) meningkat karena aliran balik dari aliran darah. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) normal adalah 5 liter/menit, dengan mobilisasi dapat meningkatkan cardiac output sampai 30 liter/ menit.
3.
Sistem Respirasi Jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan oleh paru (ventilasi) meningkat. Ventilasi normal sekitar 5-6 liter/menit. Pada mobilisasi yang berat, kebutuhan oksigen meningkat hingga mencapai 20x dari kebutuhan normal. Aktivitas yang adekuat juga dapat mencegah penumpukan sekret pada bronkus dan bronkiolus, menurunkan usaha pernapasan.
4.
Sistem Gastrointestinal Dengan beraktivitas dapat memperbaiki nafsu makan dan meningkatkan tonus saluran pencernaan, memperbaiki pencernaan dan eliminasi seperti kembalinya mempercepat pemulihan peristaltik usus dan mencegah terjadinya konstipasi serta menghilangkan distensi abdomen.
5.
Sistem Metabolik Dengan latihan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme, dengan demikian peningkatan produksi dari panas tubuh dan hasil pembuangan. Selama melakukan aktivitas berat, kecepatan metabolisme dapat meningkat sampai 20x
dari kecepatan normal. Berbaring di tempat tidur dan makan diit dapat mengeluarkan 1.850 kalori per hari. Dengan beraktivitas juga dapat meningkatkan penggunaan trigliserid dan asam lemak, sehingga dapat mengurangi tingkat trigliserid serum dan kolesterol dalam tubuh. 6.
Sistem Urinary Karena aktivitas yang adekuat dapat menaikkan aliran darah, tubuh dapat memisahkan sampah dengan lebih efektif, dengan demikian dapat mencegah terjadinya statis urinary atau kejadian retensi.
2.3.5. Rentang Gerak dalam Mobilisasi Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi ada tiga rentang gerak, yaitu: 1.
Rentang gerak pasif Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
2.
Rentang gerak aktif Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya pasien berbaring sambil menggerakkan kakinya.
3.
Rentang gerak fungsional Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan.
2.3.6. Faktor yang mempengaruhi mobilisasi 1.
Gaya Hidup Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari.
2.
Proses Penyakit/Cedera. Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh, sebagai contoh; orang yang menderita fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bagian bawah.
3.
Kebudayaan Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. sebagai contoh orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memilki kemampuan mobilitas yang kuat, sebaliknya ada orang yang mengalami ganguan mobilitas (sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.
4.
Tingkat Energi. Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
5.
Usia dan Status Perkembangan. Seseorang terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.
2.4. Konsep Pengetahuan 2.4.1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan merupakan unsur yang sangat penting terbentuknya suatu tindakan perilaku (practice) yang menguntungkan suatu kegiatan. Pengetahuan yang kurang akan mengakibatkan kurang dapat menerapkan suatu keterampilan ( Notoatmodjo, 2007 ). Menurut Mandey (2002) pengetahuan mencakup segala apa yang kita ketahui tentang suatu objek. Tujuan akhir dari pengetahuan adalah suatu pemahaman dengan memadukan intuisi dan konsep. Dari pengertian di atas tentang pengetahuan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu tentang suatu objek melalui penginderaan yang tergantung dari proses belajar. Bloom (1956) dikutip dari Rizka Rismalia (2009) mengatakan dalam proses belajar diperlukan tiga unsur ranah, yaitu : 1.
Kognitif, yakni dipelajari melalui fakta, membuat keputusan, membuat kesimpulan atau berpendapat.
2.
Afektif yang dikaitkan dengan emosi atau perasaan. Pembelajaran afektif mengubah kepercayaan, perilaku atau nilai-nilai sensitivitas dan suasana
emosional mempengaruhi semua tipe pembelajaran tetapi yang paling penting berpengaruh pada domain afektif. 3.
Psikomotor, berkaitan dengan pergerakan otot yang dihasilkan dari beberapa pengetahuan yang menjadi dasar diperolehnya keterampilan baru. Domain psikomotor mudah diukur karena dapat didemonstrasikan secara fisik.
2.4.2. Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yang tercakup dalam domain kognitif, yaitu : a.
Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b.
Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, objek yang dipelajari.
menyimpulkan, meramalkan terhadap
c.
Menerapkan (application) Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d.
Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lainnya. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e.
Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasiformulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f.
Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu obyek atau materi. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada. g.
Pengukuran Pengetahuan Dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo.2007).
2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1.
Pengalaman Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain.
2.
Tingkat Pendidikan Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akanmenghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang diperkenalkan.
3.
Keyakinan Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.
4.
Fasilitas Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan buku.
5.
Pekerjaan Pekerjan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun, bila seseorang memiliki pekerjaan yang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.
6.
Sosial Budaya Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.
2.5. Kerangka berpikir 2.5.1. Kerangka Teori
Faktor yang mempengaruhi : a. b. c. d. e. f.
Mobilisasi :
Pengalaman Tingkat Pendidikan Keyakinan Fasilitas Penghasilan Sosial Budaya
a. Pengertian b. Prinsip dan tujuan c. Tahap-tahap Mobilisasi d. Rentang Gerak e. Faktor yang mempengaruhi
Pengetahuan
Tingkat Pengetahuan : a. b. c. d. e. f.
Tahu Memahami Menerapkan Analisis Sintesis Evaluasi
2.1.2 Kerangka Konsep
Mobilisasi post Pengetahuan
operasi appendisitis
Keterangan : : Variabel yang diteliti