BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh skuama tebal berwarna keperakan. Melibatkan beberapa faktor misalnya: genetik, sistem imunitas, lingkungan serta hormonal. Lesi paling sering terdapat pada daerah kulit kepala, siku, lutut, tangan, kaki, badan dan kuku.6,10
2.1.1
Epidemiologi Psoriasis dapat terjadi secara universal, tetapi prevalensinya pada berbagai
populasi yang berbeda nampak bervariasi. Penelitian epidemiologi dari seluruh dunia memperkirakan prevalensi psoriasis berkisar antara 0,1% sampai 11,8%.4,11 Prevalensi psoriasis bervariasi berdasarkan wilayah geografis serta etnis. Prevalensi psoriasis pada populasi di Amerika Serikat dan Inggris adalah sekitar 2%.12 Faktor – faktor etnis mempengaruhi prevalensi psoriasis, dimana hal ini jelas terlihat bila dibuat perbandingan dengan tingkat prevalensi di Amerika Serikat.13 Prevalensi psoriasis di Afrika Barat adalah 0,7%. Di Amerika Serikat setiap tahunnya dijumpai 150.000 dan 260.000 kasus baru per tahun. Insidensi pada kedua jenis kelamin sama besarnya.12 Pada sebuah studi, insidensi tertinggi ditemukan di pulau Faeroe yaitu sebesar 2.8%. Insidensi yang rendah ditemukan di Asia (0.4%) misalnya Jepang dan pada ras Amerika-Afrika (1.3%). Winta RD
Universitas Sumatera Utara
dkk, melaporkan di RSUP. Dr. Kariadi Semarang terdapat 198 (0,97%) kasus psoriasis selama rentang waktu 5 tahun (2003-2007). Sedangkan pada tahun 20072011 dilaporkan oleh Indranila dkk terdapat 210 kasus psoriasis (1.4%) dari 14.618 penderita di tempat yang sama dengan jenis psoriasis vulgaris yang paling dominan.5 Di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data rekam medis selama periode Januari - Desember 2012, dari total 5.327 orang yang berobat ke SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 32 pasien (0,6%) merupakan pasien psoriasis. Dari jumlah tersebut 20 pasien (62,5%) berjenis kelamin laki – laki dan 12 pasien (37,5%) berjenis kelamin perempuan. Sementara itu psoriasis tidak ditemukan pada suku Aborigin Australia dan Indian yang berasal dari Amerika Selatan.5,11,14 Penelitian yang dilakukan Ferrandiz dkk, di Spanyol ditemukan bahwa prevalensi psoriasis pada kedua jenis kelamin adalah sama, diperkirakan sebesar 1,17% sampai 1,43%. Tingkat prevalensi tertinggi ditunjukkan pada subjek dengan usia 20 sampai 50 tahun.15 Gelfand JM dkk, pada penelitiannya mendapatkan sejumlah 1.145.21 pasien dengan psoriasis dari total populasi pasien, yaitu sejumlah 7.533.475 orang (1,5%). 16
2.1.2
Etiologi dan Patogenesis Etiopatogenesis psoriasis belum diketahui secara pasti, namun ada banyak
faktor yang diduga berperan dalam terjadinya psoriasis, meliputi faktor genetik, stress, infeksi, trauma, hormon, obat – obatan, pajanan sinar ultraviolet (UV), obesitas, merokok, dan konsumsi alkohol.6,10,17 Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit akibat gangguan keratinosit, tetapi saat ini psoriasis
Universitas Sumatera Utara
dikenal sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai dengan adanya sel T helper (Th) 1 yang predominan pada lesi kulit dengan peningkatan kadar interferon-γ (IFN-γ), tumor necrosing factor-α (TNF-α), interleukin (IL-2) dan IL-18. Baru-baru ini jalur Th17 telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam mengatur proses inflamasi kronik. Sebagai pusat jalur ini terdapat sel T CD4+, yang pengaturannya diatur oleh IL-23 yang disekresikan oleh sel penyaji antigen (sel dendritik dermal). Sel Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang berperan pada peningkatan dan pengaturan proses inflamasi dan proliferasi epidermal.6
2.1.3
Gambaran Klinis Psoriasis merupakan penyakit peradangan kronik yang ditandai oleh
hiperproliferasi dan inflamasi epidermis dengan gambaran morfologi, distribusi, serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi. Lesi klasik psoriasis biasanya berupa plak berwarna kemerahan yang berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis yang berwarna keputihan pada permukaan lesi. Ukurannya bervariasi mulai dari papul yang berukuran kecil sampai dengan plak yang menutupi area tubuh yang luas. Lesi kulit pada psoriasis biasanya simetris dan dapat disertai gejala subjektif seperti gatal dan rasa terbakar.6 Suatu tanda yang berguna bila terdapat keraguan mengenai diagnosis adalah dengan menggores lesi secara kuat dan mengangkat seluruh keratin yang
Universitas Sumatera Utara
ikatannya longgar. Kemudian akan muncul suatu permukaan yang berkilat dengan bintik – bintik darah kapiler (tanda Auspitz).18 Fenomena Koebner (juga dikenal sebagai respon isomorfik) adalah induksi traumatik pada psoriasis pada kulit yang tidak terdapat lesi, yang terjadi lebih sering selama berkembangnya penyakit dan merupakan suatu all-or-none phenomenon (misalnya bila psoriasis terjadi pada salah satu sisi luka, maka akan terjadi pada semua sisi dari luka). Reaksi Koebner biasanya terjadi 7 sampai 14 hari setelah trauma, dan sekitar 25% pasien kemungkinan memiliki riwayat trauma yang berhubungan dengan fenomena Koebner pada beberapa waktu dalam hidupnya. Fenomena Koebner tidak spesifik untuk psoriasis tetapi dapat menolong dalam membuat diagnosis ketika terjadi.6 Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat beberapa tipe klinis psoriasis: a.
Psoriasis vulgaris Bentuk ini paling sering dijumpai, mencapai 90% kasus, disebut juga psoriasis plakat kronis. Klinis berupa plak eritematosa, berskuama putih seperti mika, berlapis, mudah lepas dalam bentuk lembaran, tetapi dapat melekat erat dan terlepas setelah digaruk seperti ketombe. Umumnya mengenai bagian ekstensor ekstremitas, khususnya siku dan lutut, skalp, lumbosakral bagian bawah, bokong dan genital. Predileksi pada daerah lain termasuk umbilikus dan intergluteal.4,6,19
b.
Psoriasis gutata Psoriasis yang ditandai dengan bentuk papul berdiameter 0,5 sampai 1,5 cm pada tubuh bagian atas dan bagian proksimal ekstremitas
Universitas Sumatera Utara
yang khas pada anak dan dewasa muda. Lebih dari 30% pasien psoriasis mendapat episode pertamanya sebelum usia 20 tahun. Infeksi streptokokus pada tenggorokan dapat mengawali 1 sampai 2 minggu atau bersamaan dengan onset berkembangnya lesi.4,6,19 c.
Psoriasis inversa Lesi psoriasis berupa plak eritematosa, berbatas tegas dan mengkilat yang terdapat di daerah lipatan, seperti aksila, lipatan payudara, lipatan paha, bokong, telinga, leher dan glans penis. Skuama biasanya sedikit atau tidak ada. Pada pasien obesitas atau diabetes dapat mengenai lipatan sempit seperti interdigitalis dan subaurikuler, berupa lesi satelit dan maserasi. Infeksi, friksi dan panas dapat menginduksi psoriasis tipe ini.4,6,19
d.
Psoriasis eritroderma Eritroderma menunjukkan bentuk generalisata dari penyakit yang mengenai wajah, tangan, kaki, kuku, badan dan ekstremitas. Eritroderma yang parah berbentuk skuama dan eritema difus yang biasanya disertai demam, menggigil dan malese. Dapat muncul sebagai manifestasi awal dari psoriasis namun biasanya terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami penyakit kronis. Faktor presipitasi termasuk penggunaan kortikosteroid sistemik, pemakaian kortikosteroid topikal yang berlebihan, terapi topikal yang mengiritasi, komplikasi fototerapi, tekanan emosional yang berat, penyakit terdahulu seperti infeksi.4,6,19
Universitas Sumatera Utara
e.
Psoriasis pustulosa Ditandai dengan pustul putih kekuningan, terasa nyeri, dengan dasar eritematosa. Dapat lokalisata atau generalisata. Beberapa varian klinis psoriasis pustulosa yaitu psoriasis pustulosa generalisata (tipe Von Zumbusch), psoriasis pustulosa anulare, impetigo herpetiformis, psoriasis pustulosa palmoplantar dan akrodermatitis kontinua.4,6,19
2.1.4
Diagnosis Diagnosis psoriasis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
gambaran klinis. Kadangkala diperlukan pemeriksaan penunjang seperti biopsi histopatologi dan pemeriksaan laboratorium darah, apabila riwayat penyakit dan gambaran klinis tidak jelas.6 Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah biopsi kulit dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Dimana akan tampak penebalan epidermis atau akantolisis serta elongasi rete ridges, diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum
granulosum, parakeratosis. Neutrofil dan limfosit
tampak bermigrasi dari dermis. Sekumpulan
neutrofil dapat membentuk
mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularitas dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit dan sel mast.6 Selain biopsi kulit, abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium biasanya tidak spesifik dan tidak dapat ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang berat, psoriasis pustulosa generalisata dan eritroderma dapat di deteksi penurunan serum albumin yang merupakan indikator keseimbangan
Universitas Sumatera Utara
nitrogen negatif dengan inflamasi kronis dan hilangnya protein pada kulit. Pada pasien psoriasis terlihat perubahan profil lipid (peningkatan high density lipoprotein, rasio kolesterol – trigliserida serta plasma apolipoprotein - A1). Peningkatan marker inflamasi sistemik seperti C-reactive protein, α-2 makroglobulin, dan erythrocyte sedimentation rate dapat terlihat pada kasus-kasus yang berat. Pada pasien dengan psoriasis yang luas juga dapat ditemukan peningkatan kadar asam urat serum.6 Pada beberapa penelitian yang dilakukan akhir – akhir ini, tampak peningkatan kadar NO serum pada pasien psoriasis vulgaris dibandingkan dengan kelompok kontrol.7-9
2.1.5
Diagnosis Banding Untuk bentuk yang spesifik diagnosis psoriasis tidak sulit, tetapi gambaran
ini dapat berubah setelah diobati. Perubahan lesi klinis maupun histopatologis ini membuat diagnosis sulit ditegakkan, sehingga penentuan diagnostik psoriasis sangat diperlukan.4 Psoriasis dapat didiagnosis banding dengan dermatomiositis, lupus eritematosus, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, liken planus, eksema dan sifilis sekunder. Distribusi psoriasis pada permukaan ekstensor, terutama pada siku dan lutut, skalp; dermatomiositis juga berdistribusi pada daerah – daerah tersebut, sedangkan lupus eritematosus pada umumnya kurang melibatkan permukaan ekstensor. Pasien dengan dermatomiositis dapat menghambat suatu heliot rope sign, atrofi, poikiloderma dan perubahan lipatan kuku. Lesi yang lanjut dari lupus
Universitas Sumatera Utara
eritematosus diskoid sering menunjukkan hiperkeratosis folikular (carpet tack sign).10 Predileksi dermatitis seboroik pada alis mata, sudut nasolabial, telinga, daerah sternum dan fleksura dengan skuama berminyak dan kekuningan. Pada pengangkatan skuama pada psoriasis dijumpai tanda Auspitz sedangkan hal ini tidak terjadi pada dermatitis seboroik.10 Lokalisasi lesi pitiriasis rosea adalah pada lengan atas, badan dan paha, dan durasinya berminggu – minggu. Bentuk khas lesi adalah oval dan mengikuti garis tegangan kulit. Lesi menunjukkan kerutan pada epidermis dan kolaret. Sering dijumpai adanya herald patch.10 Liken planus terutama mengenai permukaan fleksor pergelangan tangan dan kaki. Sering berwarna keunguan yang nyata. Pada individu yang berkulit gelap, lesi cenderung menjadi hiperpigmentasi yang nyata. Kuku tidak berbintik – bintik seperti pada psoriasis, namun menonjol secara longitudinal, kasar dan menebal. Pembentukan pterigium adalah khas pada liken planus.10 Eksema pada tangan dapat menyerupai psoriasis. Pada umumnya lesi psoriasis cenderung berbatas yang lebih tegas, namun terkadang tidak dapat dibedakan. Sifilis sekunder dalam bentuk papular adalah erupsi lain dari onset yang mendadak yang terlihat pada usia dewasa muda. Akan tetapi pada sifilis, keterlibatan telapak tangan, kaki dan wajah sering terjadi. Jika terdapat keraguan, uji serologi sifilis harus dilakukan.10
Universitas Sumatera Utara
2.1.6
Pengukuran Derajat Keparahan Psoriasis Metode yang sering digunakan untuk menilai derajat keparahan psoriasis
terutama psoriasis vulgaris yaitu dengan menggunakan skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI). Berupa suatu rumus kompleks yang diperkenalkan pertama kali oleh Fredriksson dan Pettersson pada tahun 1978. PASI menggabungkan elemen pada presentasi klinis yang tampak pada kulit berupa eritema, indurasi dan skuama. Setiap elemen tersebut dinilai secara terpisah menggunakan skala 0 - 4 untuk setiap bagian tubuh: kepala dan leher, batang tubuh, ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Penilaian dari masing-masing tiga elemen kemudian dijumlahkan, selanjutnya hasil penjumlahan masing-masing area tubuh dikalikan dengan skor yang didapat dari skala 1 - 6 yang merepresentasikan luasnya area permukaan yang terlibat pada bagian tubuh tersebut. Skor ini kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang terdapat pada tiap area tubuh (0.1 untuk kepala dan leher, 0.2 untuk ekstremitas atas, 0.3 untuk batang tubuh, dan
0.4 untuk
ekstremitas bawah). Akhirnya skor dari keempat area tubuh ditambahkan sehingga menghasilkan skor PASI. Kemungkinan nilai tertinggi PASI adalah 72 tetapi nilai ini secara umum dianggap hampir tidak mungkin untuk dicapai.4,20 Berdasarkan nilai skor PASI, psoriasis dapat dibagi menjadi psoriasis ringan (skor PASI < 8), sedang (skor PASI 8-12), dan berat (skor PASI >12).21 Oleh karena kompleksitas skor PASI tersebut, skor ini jarang digunakan pada praktek klinis. Skor PASI merupakan suatu sistem penilaian yang sering digunakan untuk tujuan penelitian. Pada uji klinis, persentase perubahan pada PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis. The United
Universitas Sumatera Utara
States Food and Drug Administration (FDA) menggunakan 75% perbaikan pada skor PASI sebagai penilaian respon terapi pada pasien psoriasis.22
2.2
Nitric Oxide (NO) NO merupakan suatu radikal bebas yang mempunyai peran fisiologi dan
patofisiologi pada hampir semua sistem organ. Selain berfungsi sebagai messenger yang dapat berdifusi pada sistem vaskular dan neuron, NO berperan pada innate immunity dan inflamasi. Perkembangan terbaru memungkinkan pengidentifikasian jalur NO pada beberapa tipe sel yang berada pada kulit termasuk keratinosit, melanosit, sel langerhans, fibroblast dan sel – sel endotel.23 Melanosit dan keratinosit menghasilkan NO sebagai respon terhadap sitokin – sitokin inflamasi dan produksi NO pada keratinosit diinduksi oleh penyinaran sinar UV.24 Penelitian yang dilakukan Deliconstantinos dkk menunjukkan bahwa penyinaran dengan ultraviolet B (UVB) pada sel – sel endotel yang dikultur mengakibatkan peningkatan NO dan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) yang tergantung dosis, respon yang sama juga ditimbulkan pada keratinosit yang dikultur dengan peningkatan NO dan sitrulin yang signifikan, perubahan yang terjadi dalam 10 menit penyinaran UV.25 NO juga meningkatkan aktifitas tirosinase dan melanogenesis.24 Bukti – bukti yang meyakinkan mengajukan bahwa sintesis NO pada sel – sel tersebut dapat diatur oleh calcium agonists maupun berbagai stimulus inflamasi dan imun, dan dengan demikian menyebabkan patogenesis pada beberapa penyakit kulit pada manusia. Penggambaran dari stimulus regulatori intrinsik dan ekstrinsik dari sintesis NO mengupayakan pengetahuan substansial
Universitas Sumatera Utara
terhadap peranan NO pada penyakit kulit inflamasi, hiperproliferasi dan autoimun serta kanker kulit, dan mungkin akhirnya dapat menjadi dasar intervensi terapi dimasa depan.23 NO disintesis dari asam amino L - arginin oleh isoform dari enzim nitric oxide synthase (NOS) yang terdiri dari 3 isoform, yaitu; neuronal nitric oxide synthase (nNOS/ NOS-1), inducible nitric oxide synthase (iNOS/ NOS-2) dan endothelial nitric oxide synthase (eNOS/NOS-3).26 NOS 1 diidentifikasi pada keratinosit manusia dan murine, dan juga pada melanosit. Keratinosit juga mengekspresikan N-methyl-D-aspartate (NMDA-like) receptor yang mengaktifkan NOS 1 pada neuron, memberikan suatu mekanisme yang penting untuk mengawasi pelepasan NO dari keratinosit. Tonus otot polos pada pembuluh darah diatur oleh suatu calcium-dependent constitutive endothelial isoform (NOS tipe 3). Isoform yang dapat diinduksi (NOS tipe 2) pertama kali diidentifikasi pada makrofag. Akan tetapi, saat ini banyak bukti mengenai produksi NOS2 dari keratinosit. NOS2 tidak diproduksi secara terus – menerus namun diinduksi pada banyak tipe sel oleh lipopolisakarida dan sitokin, khususnya tumour necrosis factor α (TNFα), interferon γ (IFN γ), interleukin 1β (IL-1β), IL-2, IL-6, IL-8, dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sementara NOS1 dan NOS3 menghasilkan kadar fisiologis dari NO sebagai messenger kimia, NOS2 menghasilkan kadar NO yang lebih tinggi ribuan kali. Kadar NO yang lebih tinggi ini bersifat sitotoksik terhadap patogen dan mengakibatkan nekrosis sel tumor dan apoptosis. Inhibisi produksi NO memodulasi inflamasi pada artritis adjuvant, carrageenin inflammation dan hipersensitifitas kontak.26
Universitas Sumatera Utara
Sejumlah kecil NO yang diproduksi oleh cNOS dalam endotelium berperan dalam relaksasi otot polos dan mencegah adhesi platelet dan leukosit pada endotelium. Hal ini merupakan efek anti inflamasi dari NO, tetapi jika diproduksi dalam jumlah besar, NO akan merusak jaringan dan mengganggu respon imun. Kadar NO yang tinggi ini tampak pada penyakit-penyakit imunologis misalnya SLE atau artritis reumatoid.8 Clancy dkk, dalam tulisannya menyebutkan bahwa NO berperan penting dalam autoimunitas dan inflamasi.27 Produksi dari NO sulit untuk diukur secara langsung karena memiliki waktu paruh fisiologis yang sangat pendek dan diproduksi dalam jumlah yang sangat kecil. Untuk mengatasi masalah pengukuran NO secara langsung, maka dikembangkan tehnik analitik dengan menentukan bentuk akhir dari oksidasi NO yang stabil yaitu NO3- (nitrat) dan NO2- (nitrit). Nitrit diukur dengan pemeriksaan kolorimetri metode Griess. Pemeriksaan ini melibatkan konversi enzimatik dari nitrat menjadi nitrit, oleh enzim Nitrat reductase, dilanjutkan dengan penambahan reagensia Griess yang akan mengubah nitrat menjadi gabungan azo dye berwarna. Pengukuran fotometrik dari absorbances yang berkaitan dengan kromofor azo ini secara akurat menentukan konsentrasi nitrit.28 Proporsi relatif dari nitrit dan nitrat bervariasi dan tidak dapat diprediksi dengan pasti. Dengan demikian indeks yang terbaik untuk produksi NO total adalah jumlah dari nitrit dan nitrat.28 Nilai normal nitrit serum adalah 0,06 sampai 0,6 mg/ml dan nitrat serum adalah 0,25 sampai 2,8 mg/ml.29
Universitas Sumatera Utara
2.3
Nitric Oxide dan Psoriasis Pada psoriasis ditemukan adanya ekspresi yang berlebihan dari berbagai
sitokin – sitokin proinflamasi kutaneus dan sistemik seperti interleukin (IL), tumor necrosis factor (TNF) dan interferon (IFN). Interaksi selular yang kompleks antara keratinosit epidermal, leukosit mononuklear, neutrofil, sel – sel dendritik dan sel T yang teraktivasi dengan faktor – faktor pertumbuhan, kemokin dan sitokin terlibat dalam perkembangan psoriasis.17 Suatu marker inflamasi yang penting adalah NO. NO merupakan suatu mediator yang labil yang dapat dideteksi pada kadar yang tinggi dengan adanya sitokin (IFNγ, TNFα, IL-8, IL-1 dan IL-6) ini. NO dilepaskan secara berkesinambungan pada konsentrasi rendah oleh cNOS, sedangkan untuk konsentrasi yang tinggi oleh iNOS.8 Peningkatan sintesis NO menunjukkan adanya peranan dalam patogenesis psoriasis. NO dapat mencetuskan proses terjadinya psoriasis, sedikitnya sebagian melalui peningkatan pelepasan dari calcitonin gene – related peptide (CGRP) dan vasorelaksasi yang diinduksi CGRP.8 CGRP menginduksi produksi dari endothelial leucocyte adhesion molecule - I pada endotelium. CGRP juga menyebabkan hiperproliferasi keratinosit, degranulasi sel mast, vasodilatasi dan kemotaksis neutrofil, ini merupakan gambaran histologi psoriasis.
8,30
CGRP
dijumpai pada serabut saraf dan serabut saraf yg mengandung CGRP lebih padat pada epidermis psoriatik. Dengan demikian patogenesis lesi plak psoriasis sangat berkaitan dgn ekspresi berlebihan dari CGRP. Hal ini sesuai dengan hipotesis dari Morhenn yang menyatakan kemampuan NO dalam menigkatkan pelepasan dan efek CGRP, yang dianggap berperan penting dalam patomekanisme psoriasis.30
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan Kolb – Bachofen dkk, menunjukkan peningkatan ekspresi iNOS pada lesi plak psoriasis, dan menyimpulkan bahwa ekspresi iNOS terlibat dalam patogenesis inflamasi kulit pada psoriasis.7 Gerharz DB dkk, dalam penelitiannya mengenai peranan inducible NOS dalam inflamasi pada psoriasis membuktikan ekspresi inducible NOS pada biopsi kulit dari pasien dengan psoriasis yang tidak ditemukan dari spesimen kulit yang normal.23 Cals-Grierson dan Ormerod dalam tulisannya menyatakan bahwa NO menstimulasi sel – sel epitel untuk menghasilkan dan melepaskan kemokin dan mediator pertumbuhan lainnya seperti vascular endothelial growth factor yang berperan
dalam
proliferasi
keratinosit
dan
angiogenesis.
Mereka
juga
menyebutkan bahwa peningkatan ekspresi NOS2 dijumpai pada berbagai kondisi inflamasi termasuk psoriasis.25 Beberapa obat antipsoriatik seperti steroid, metotreksat, siklosporin diketahui dapat menghambat produksi NO.26 Tekin dkk, melakukan penelitian tentang kadar NO serum darah pasien psoriasis yang diterapi dengan metotreksat dan ternyata terdapat penurunan kadar NO serum darah setelah diterapi metotreksat. Metotreksat akan menghambat produksi NO dengan jalan penghambatan encim cNOS ataupun iNOS.8 Orem dkk, membuktikan dalam penelitiannya bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kadar NO serum dari pasien psoriasis setelah diberikan terapi topikal (cholecalciferol).31 Penelitian Ormerod dkk, menunjukkan bahwa pengaplikasian suatu krim yang melepaskan NO pada kulit normal menghasilkan peningkatan limfosit T dan
Universitas Sumatera Utara
sel – sel endotel, dimana keduanya merupakan gambaran psoriasis. Ia juga menunjukkan penurunan produksi NO pada plak psoriasis setelah aplikasi iNOS inhibitor – NG monomethyl L arginine (L-NMMA). Sedang penelitian Morhenn melaporkan perburukan plak setelah aplikasi donor NO yaitu nitrogliserin. Namazi, pada penelitiannya menunjukkan bahwa statin, yang diketahui menghambat ekspresi iNOS dan sitokin proinflamasi dapat efektif pada kondisi – kondisi seperti psoriasis.7
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka Teori
Faktor Genetik Faktor Lingkungan:
Faktor Imunologi
• • • • • • • • •
Psoriasis
Sitokin inflamasi (IFNγ, TNFα, IL-1, IL-6, IL-8)
Hormon Obat – obatan Sinar UV Infeksi Stress Trauma Obesitas Merokok Konsumsi alkohol
Peningkatan Kadar Nitric Oxide
• •
• • • •
Peningkatan Pelepasan CGRP Vasorelaksasi diinduksi CGRP
Hiperproliferasi keratinosit Degranulasi sel mast Vasodilatasi Kemotaksis neutrofil
Gambar 2.1 Diagram Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep
Kadar nitric oxide serum
Skor Psoriasis Area and Severity Index
Gambar 2.2 Diagram Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara