BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus
paranasal dengan karakteristik dua atau lebih gejala yaitu satu diantaranya dijumpai sumbatan hidung/ obstruksi/ kongesti atau sekret dihidung (anterior/ posterior nasal drip), ± Nyeri wajah/ tekanan, ± kurang atau hilangnya penciuman dimana gejala lebih dari 12 minggu (Soetjipto, 2006; Fokkens et al, 2007; Setiadi, 2009). Pada pemeriksaan nasoendoskopi dijumpai sekret mukopurulen dari meatus media atau udema/ obstruksi mukosa pada meatus media. Pada pemeriksaan CT scan sinus paranasal dijumpai perubahan pada mukosa kompleks ostio-meatal atau sinus (Soetjipto, 2006; Fokkens et al, 2007; Setiadi, 2009). Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinussinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung (Mangunkusumo, 2000). Kompleks ostio-meatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting dalam terjadinya rinosinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti inflamasi, edema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi rinosinusitis (Mangunkusumo, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya (Mangunkusumo, 2000). Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complex, lipopolisaccharide dan lain-lain. Mediator tersebut menyebabkan perembesan plasma dari pembuluh darah sehingga menyebabkan edema dan oklusi pada hidung (Mark et al, 2010).
2.2
Cyclooxygenase (COX) COX merupakan enzim bifungsional yang melaksanakan kompleks reaksi
radikal bebas dengan bertindak sebagai bis-dioksigenase dan peroksidase. Dimulai dengan mengkatalisir bisoksigenasi dan siklisasi AA untuk membentuk metabolit hydroperoxy arachidonate PGG2, setelah itu elemen peroksidase dari enzim COX mereduksi karbon posisi 15 hidroperoksida untuk membentuk PGH2 (Hamberg dan Samuelsson, 1973; Pagels et al, 1983; Stables dan Gilroy, 2010). Ada dua isoform utama yang terlibat dalam konversi AA, COX-1 dan COX-2. Sementara COX-1 hampir seluruhnya diekspresikan dalam kebanyakan sel dan jaringan, COX-2 biasanya tidak terdeteksi, tetapi cepat diinduksi apabila sel menerima stimulus inflamasi (Dubois, 1998; Stables dan Gilroy, 2010; Park et al, 2011). Secara umum, telah diketahui bahwa COX-1 terlibat dalam fungsi housekeeping selular yang diperlukan untuk aktivitas fisiologis normal sedangkan
Universitas Sumatera Utara
COX-2 bertindak terutama di tempat yang mengalami inflamasi (Shimizu et al, 1982; Chillinggworth et al, 2006; Stables dan Gilroy, 2010). Pembentukan prostanoid dari PGH2 terjadi melalui tindakan beberapa sintase yang diekspresikan pada jaringan dan sel-sel selektif. Sintase ini termasuk prostaglandin D sintase (PGDS), prostaglandin E sintase (PGES) (Tanaka et al,1987; Stables dan Gilroy, 2010), prostaglandin F sintase (PGFS), prostaglandin I sintase (PGIS), dan tromboksan A sintase (TXAS) yang masing-masing membentuk PGD2, PGE2, PGF2α, PGI2 (juga dikenal sebagai prostasiklin) TXA2 (Stables dan Gilroy, 2010). Ekspresi berbeda dari enzim ini dalam sel yang menentukan profil produksi prostanoid. Sebagai contoh, sel mast terutama menghasilkan PGD2 sedangkan makrofag memproduksi PGE2 dan TXA2. Selain itu, perubahan dari profil sintesis prostanoid dapat terjadi pada saat aktivasi sel sehingga makrofag yang tidak teraktivasi menghasilkan TXA2 lebih dari PGE2, tetapi pada saat aktivasi rasio ini berubah untuk menghasilan PGE2 lebih dari TXA2 (Bezugla et al, 2006; Stables dan Gilroy, 2010). Beberapa mekanisme biokimia telah dikemukakan untuk menjelaskan perubahan profil sintetis. Pertama, telah dikemukakan bahwa kompartmen fisik dari COX-1 dan COX-2 dengan sintase terminal spesifik dapat menghubungkan aktivitas enzim ini dengan sintesis produk akhir prostanoid spesifik (Naraba et al, 1998; Stables dan Gilroy, 2010). Kedua, beberapa sintase dapat diinduksi dan ekspresi mereka dapat diregulasi oleh sinyal dari lingkungan, misalnya, ekspresi
Universitas Sumatera Utara
dari isoform glutathione-dependent, PGE-sintase ditingkatkan oleh IL-1β (Jakobsson et al,1999; Stables dan Gilroy, 2010). Akhirnya, telah dikemukan bahwa perbedaan pada afinitas substrat dan kinetik PGE-sintase dan TXA-sintase bertanggungjawab untuk profil produksi yang berbeda dari monosit yang teraktivasi dengan yang tidak teraktivasi (Penglis et al, 2000; Stables dan Gilroy, 2010). Ada juga bukti bahwa dua isoform COX dapat berkontribusi dalam sintesis prostanoid yang berbeda. Sebagai contoh, kajian yang dilakukan pada makrofag
peritoneal,
yang
mengekspresikan
semua
sintase
terminal,
mencadangkan bahwa COX-1 menghasilkan jumlah prostanoid yang seimbang (PGE2 PGD2, PGI2, dan TXA2) sedangkan COX-2 lebih banyak menghasilkan PGE2 dan PGI2 (Brock et al, 1999; Stables dan Gilroy, 2010). Prostanoids menghasilkan efek biologis dengan berikatan pada reseptor spesifik di permukaan sel. Setidaknya ada sembilan reseptor prostanoid yang diketahui pada tikus dan manusia: reseptor PGD DP1 dan DP2, reseptor PGE2, EP1, EP2, EP3 dan EP4; reseptor PGF, FP; reseptor PGI, IP, dan reseptor TXA, TP. Selain itu, ada pecahan varian dari reseptor EP3, FP dan TP yang berbeda hanya pada C-terminal (Stables dan Gilroy, 2010). 2.2.1
Metabolisme Asam Arakhidonat (AA) AA dibentuk dari membran pospolipid, dari kerja enzim phospolipase,
tetapi enzim phospolipase A2 merupakan enzim yang paling utama dalam pembentukan AA. AA dapat bereaksi dengan molekul oksigen tanpa menggunakan enzim sehingga menghasilkan isoprostanes atau dengan enzim
Universitas Sumatera Utara
oksigenase: Cyclooxygenase dengan lipooksigenase dan epoksigenase atau sitokrom P450 (Guilemany et al, 2008). 2.2.2
Jalur Cyclooxygenase (COX) AA dimetabolisme melalui COX dalam prostaglandin G2 dan setelah
proses peroksidasi dalam PGH2 diubah menjadi prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2a), prostasiklin (PGI2), dan tromboksan (TXA2) (Chandrasekharan dan Simmons, 2004; Guilemany et al, 2008). Adanya isoform berbeda dari enzim COX, dua di antaranya adalah COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim "konstitutif" yang ditemukan pada semua sel dengan kemampuan untuk mengendalikan beberapa proses fungsi fisiologis untuk menghasilkan prostanoids dalam kondisi basal. COX-2 merupakan enzim induktif yang diekspresikan apabila di stimulasi oleh sitokin dan growth factor (Turini dan Dubois, 2002; Chandrasekharan dan Simmons, 2004; Guilemany et al, 2008). Sebuah isoform baru yang ditemukan, COX (COX-3), telah dilaporkan untuk menginhibisi phenacetin, acitaminofen dan difiron. Namun, COX-3 merupakan pecahan dari COX-1 dan diubah namanya COX-1b (Nossaman et al, 2007; Guilemany et al, 2008). COX-3 pertama kali ditemukan pada tahun 2002, COX-3 merupakan enzim yang dikodekan oleh COX-1 gen, tetapi pada beberapa penelitian tidak fungsional pada manusia. COX-3 merupakan yang ketiga dan terakhir ditemukan, COX-3 yang mengkode protein berbeda sekali dengan sekuens asam amino dari COX-1 dan COX-2, oleh karena itu tidak mungkin bahwa COX-3 berperan dalam
Universitas Sumatera Utara
pembentukan prostaglandin yang dimediasi deman dan rasa nyeri (Nossaman et al, 2007; Guilemany et al, 2008). COX-3 mRNA telah diisolasi dibanyak jaringan termasuk korteks otak anjing dan manusia, aorta manusia, endotelium otak pengerat, jantung, ginjal dan jaringan saraf. Pada sel serangga dan anjing, protein COX-3 diekspresikan dan dihambat selektif oleh asetaminofen, namun pada manusia dan hewan pengerat yang sensitif dengan asetaminofen COX-3 protein tidak dinyatakan karena retensi intron-1 menambah 94 dan 98 nukleotida pada struktur COX-3 mRNA dan produksi protein yang terpotong dengan urutan asam amino yang sama sekali berbeda dari COX-1 dan COX-2 yang kurang sensitif asetaminofen (Nossaman et al, 2007; Guilemany et al, 2008). Salah satu dari prostaglandin yang paling penting adalah PGE2, yang dapat
melakukan
fungsi
yang
berlawanan
(misalnya,
bronkodilatasi,
bronkokonstriksi; anti-inflamasi dan proinflamasi), tergantung pada reseptor di permukaan sel (EP1, EP2, EP3, dan EP4) (Vancheri et al, 2004; Guilemany et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Tipe
Reseptor
Fungsi
• Vasodilatasi • Inhibit Agregasi Platelet • Bronkodilatasi PGE2 EP1 • Bronkokontriksi • Kontraksi Otot Polos GI Tract EP2 • Bronkodilatasi • Relaksasi Otot Polos GI Tract • Vasodilatasi EP3 • ↓ Sekresi Asam Lambung • ↑ Sekresi Mukus Lambung • Kontraksi Uterus (Ketika Hamil) • Kontraksi Otot Polos GI Tract Tidak Spesifik • Hiperalgesia • Pirogenik Tabel 2.2.2 Ikatan Prostaglandin dengan Reseptor (Owens et al, 2006). PGI2
2.2.3
IP
Jalur Lipooksigenase (LO) AA juga dapat dimetabolisme melalui jalur LO, menghasilkan tiga bentuk
LO; 5, 12, dan 15. Bentuk 5-lipoxygenase (5-LO) kebanyakan ditemukan di dalam sitoplasma sel dan terlibat dalam respon inflamasi. AA dikonversikan ke leukotrin (LT) A4 oleh 5-LO. Dalam beberapa sel, LTA4 dapat diubah menjadi LTB4 oleh hidrolase LTA4 atau ke LTC4 oleh sintase LTC4. LTC4 dibawa keluar luar sel dan kemudian dimetabolisme menjadi LTD4 dan LTE4. LTC4, LTD4, dan LTE4 membentuk leukotrien cysteinyl disebut (Cys-LTs), yang merupakan bronkokontriksi kuat yang meningkatkan pembentukan edema dan merupakan kemotaktik untuk eosinofil (Crofford 2003; Capra, 2004; Guilemany et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Cys-LTs merupakan mediator proinflamasi yang kuat yang dihasilkan dari AA melalui jalur 5-LO. Cys-LTs mengerahkan efek farmakologis dengan interaksi pada dua jenis reseptor: Cys-LT1 dan Cys-LT2. Leukotrien terdiri dari LTA4, LTB4 LTC4, LTD4, dan LTE4 (Ulualp et al, 1999; Guilemany et al, 2008). 2.2.4
COX: Ketidak Seimbangan Leukotrin/ Prostaglandin Dua puluh lima tahun yang lalu, Szczeklik dan Szczeklik et al,
menemukan teori COX, dimana inhibisi dari COX mengakibatkan reaksi biokimia yang menyebabkan asma (Guilemany et al, 2008). Pada beberapa pasien dengan asma, obat anti inflamasi non steroid menyebabkan bronkospasme, rinorea dan
obstruksi hidung. Reaksi yang di
induksi NSAID timbul dari inhibisi COX-1, yang kemudian mengaktifkan jalur LO sehingga akhirnya meningkatkan pelepasan Cys-LTs, menyebabkan bronkospasme dan obstruksi hidung (Martins et al, 2007; Guilemany et al, 2008). Berkenaan dengan metabolisme AA pada pasien
dengan asma akibat
intoleransi NSAID telah dilaporkan : 1) Penurunan produksi prostaglandin E2, akibat defisiensi regulasi COX-2; 2) Peningkatkan ekspresi LTC4 sintase; dan 3) Penurunan produksi metabolit (lipoxins) yang dilepaskan dari metabolisme AA (Guilemany et al, 2008). Pasien dengan asma intoleransi NSAID memiliki kadar Cys-LT yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan asma-toleran NSAID. Selain itu, kadar Cys-LT pada pasien dengan intoleran NSAID sangat meningkat setelah dilakukan tes provokasi dengan NSAID. Belum ada penjelasan yang
Universitas Sumatera Utara
menghubungkan semua temuan ini, meskipun anomali regulasi COX- 2 dapat dipertanggung jawabkan (Guilemany et al, 2008). Sebelumnya dikenal sebagai zat bereaksi lambat dalam proses anafilaksis, LTs merupakan mediator inflamasi yang diproduksi oleh beberapa jenis sel, termasuk sel mast, eosinofil, basofil, makrofag, dan monosit. Sintesis dari mediator ini mengakibatkan pembelahan dari AA di membran sel. Mediator ini memberi efek biologis dengan berikatan dan mengaktifkan adapter spesifik. Hal ini menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas, kemotaksis sel dan meningkat permeabilitas vaskular (Parnes, 2003; Guilemany et al, 2008). 2.2.5
Peran Prostanoid pada Proses Inflamasi Prostanoid dihasilkan di kebanyakan jaringan dan sel yang fungsinya
untuk meregulasi proses-proses biologis seperti tonus otos polos, permeabilitas kapiler, hiperalgesia, demam dan agregasi platelet (Stables dan Gilroy, 2010). PGE2 dan PGI2 merupakan prostanoid yang paling dominan ditemukan pada
proses
inflamasi
yang
kedua-duanya
menyebabkan
vasodilatasi,
pembentukan edema dan peningkatan permeabilitas kapiler, PGE2 merupakan agen piretik yang paling kuat (Stables dan Gilroy, 2010; Dannhardt dan Laufer 2000). PGE2 diperkirakan menyebabkan peningkatan termogenesis melalui aktivasi jaringan adiposa dan mengurangi Pasive Heat Loss. PGE2 dan PGI2 telah dibuktikan menyebabkan hiperalgesia dari saraf perifer dan sentral apabila berikatan dengan reseptor EP1, EP3 dan EP3 (Stables dan Gilroy, 2010).
Universitas Sumatera Utara
TXA2 dibentuk dari COX 1 menyebabkan agregasi platelet dan kontraksi otot polos vaskuler, produksi yang berlebihan dari TXA menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti angina pektoris, infark miokard dan strok. (Stables dan Gilroy, 2010).
Phospholipids Arachidonat COX COX-2
LOX
COX-1
Cyclic Endoperoxides
PGI2 inhibits platelet aggregation hyperalgesia, vasodilator
5-HPETE
TXA2 Stimulates platelet Aggregation, Vasoconstriction
LTA4 LTB4 Chemotaxis LTC4
PGD2 Inhibits platelet Aggregation, Vasodilator
Gambar 2.2.5 2.2.6
PGE2 Vasodilator, Hyperalgesia
PGF2alfa Bronchoconstriction Myometrial contr. Hyperalgesia
LTD4 LTE4
Brochoconstriction Increase Vascular Permeability
Proses metabolisme phospolipid (Owens et al, 2006).
Peran Cyclooxygenase-2 (COX-2) pada Proses Inflamasi Enzim Cyclooxygenase (COX) mengkatalisis sintesis prostaglandin.
Prostaglandin mempunyai peran yang penting dalam beberapa proses fisiologis seperti pemeliharaan integritas gastrointestinal dan proses patologis seperti inflamasi dan neoplasia (Zang et al, 2002; Guilemany et al, 2008; Pane et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa
mekanisme
telah
dikemukakan
tentang
perkembangan
rinosinusitis kronis, tetapi pada akhirnya proses ini melibatkan epitel mukosa, matriks dan inflamasi sel dan mediator, sedangkan sumber selular untuk aktivitas COX pada inflamasi akut dan kronis, seperti pada rinosinusitis kronis tidak sepenuhnya dipahami (Guilemany et al, 2008). Rinosinusitis adalah penyakit multifaktorial dimana elemen pentingnya adalah patensi ostium. Masih kurang dipahami walaupun telah banyak hipotesis yang mengemukakan tentang penyebabnya. Rinosinusitis kronis telah menjadi salah satu penyakit kronis yang paling umum, dengan penelitian melaporkan bahwa sampai dengan 6% dari populasi mengeluhkan nasal discharge dan 40% memiliki tanda-tanda pembengkakan mukosa lebih dari 3 mm pada pemeriksaan MRI (Gordts et al, 1996; Kaliner et al, 1997; Guilemany et al, 2008). Konsensus EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and nasal Polyps 2007) mendefenisikan rinosinusiris kronis dengan nasal poliposis sebagai dua atau lebih gejala sinonasal. Salah satunya hidung tersumbat atau sekret di hidung dan nyeri wajah atau hilangnya penciuman dengan gejala yang menetap lebih dari 12 minggu (Fokkens et al, 2007; Guilemany et al, 2008). Faktor yang berkontribusi untuk terjadinya rinosinusitis kronis termasuk penurunan fungsi mukosiliar, infeksi, alergi, dan udem mukosa, atau obstruksi hidung yang disebabkan oleh variasi anatomi (Slavin, 1997; Bhattacharyya, 2002; Zacharek dan Krouse, 2003; Guilemany et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.7
Peran Cyclooxygenase (COX) pada Rinosinusitis Kronis Penyakit saluran nafas atas terutama sindrom hipersensitifitas aspirin telah
dihubungkan dengan perubahan pada kaskade AA; Namun, kekhasan dari perubahan dan hubungannya dari reaksi inflamasi masih kontroversial. Penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan tingkat peptido-leukotrin basal dan penurunan kadar PGE2 basal, pada pasien yang sensitif aspirin (Sousa et al, 1997; Guilemany et al, 2008). Sebuah penelitian awal menganalisis reaktifitas imun dari COX-1 dan COX-2 pada polip hidung, sinus maksilaris dan biopsi konka yang diperoleh dari delapan pasien dengan rinitis alergi kronis dan rinosinusitis dan tanpa polip hidung, 15 pasien dengan rinitis non alergik kronis dan rinosinusinusitis dan tanpa polip hidung, dan lima kontrol (Demoly et al, 1998; Guilemany et al, 2008). Kedua-COX 1 dan COX-2 paling banyak diekspresikan di epitel; COX-1 ditemukan pada 57% subjek penelitian dan COX-2 pada 89,2% subjek. Para peneliti tidak menemukan perbedaan antara populasi pasien dan tidak ada korelasi antara salah satu dari parameter klinis yang diteliti. Mereka menyimpulkan bahwa kedua enzim COX di ekspresikan pada epitel normal saluran pernafasan atas dan tidak meningkat pada rinosinusitis kronis atau polip hidung, yang menunjukkan bahwa produk COX mungkin tidak memiliki peran penting sebagai mediator inflamasi saluran pernafasan atas yang kronis (Demoly et al, 1998; Guilemany et al, 2008). Dengan menggunakan analisis High Performance Liquid Kromatografi, Jung et al, menunjukkan bahwa metabolik yang dominan pada polip hidung
Universitas Sumatera Utara
adalah asam 15-hydroxyeicosatetraenoic (15-HETE), terutama pada pasien dengan asma sensitif aspirin. Kadar 15-HETE dan PGE2 lebih tinggi pada polip pasien yang mempunyai riwayat alergi dibandingkan dengan pasien yang non alergik. Metabolik COX (TXB2, PGE2, dan 6-keto PGF1) dan metabolit LO (LTB4 dan LTC4) yang diteliti pada polip hidung, konka hipertropi, dan mukosa hidung dari 14 pasien dengan rinitis non alergik, rinitis alergi, dan asma sensitif aspirin yang menjalani polipektomi (Guilemany et al, 2008). Dalam polip hidung dengan pasien alergi, kadar LTB4 yang lebih tinggi dijumpai bersamaan dengan kecenderungan untuk menghasilkan produk COX yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang non alergi, sedangkan pada konka pasien yang non alergik kadar LT lebih tinggi dibandingkan dengan pasien rinitis alergi. Pasien dengan asma sensitif aspirin mempunyai rasio COX/ LO yang rendah, mendukung hipotesis ketidakseimbangan metabolisme AA dalam sindrom ini (Guilemany et al, 2008). Schmid et al, meneliti produksi PGE2 dan peptido-leukotrin (Cys-LT = LTC4/D4/E4) pada mukosa sinonasal dan menemukan bahwa Cys-LT pada penderita polip hidung dengan asma intoleran-aspirin lebih tinggi daripada mukosa normal dari pasien dengan asma intoleran-aspirin dan kontrol yang sehat (Schmid et al, 1999; Guilemany et al, 2008). Kowalski et al, dengan hipotesisnya bahwa produksi lokal dari eikosanoid dalam epitel saluran pernafasan pada pasien dengan asma sensitif-aspirin dengan rinosinusitis berbeda dari pasien pasien toleran aspirin dengan rinosinusitis. Sel epitel yang tidak distimulasi pada pasien dengan asma sensitif-aspirin dengan
Universitas Sumatera Utara
rinosinusitis menghasilkan lebih sedikit PGE2 dibandingkan dengan pasien yang toleran aspirin dengan rinosinusitis (0,8 ± 0,3 vs 2,4 ± 0,5 ng / mg double stranded DNA) (Kowalski et al, 2000; Guilemany et al, 2008). Selain itu, sel diinkubasi dengan 200 Mikro M aspirin selama 60 menit dan menghasilkan peningkatan pada 15-HETE (rata-rata + 359%) hanya pada pasien asma sensitif aspirin dengan rinosinusitis, sedangkan tidak ditemukan 15-HETE pada pasien yang toleran aspirin dengan rinosinusitis. Hasil ini menunjukkan bahwa sel epitel pada polip hidung pasien sensitif aspirin memiliki abnormalitas dalam produksi eikosanoid yang mungkin disebabkan oleh mekanisme sensitivitas aspirin (Kowalski et al, 2000; Guilemany et al, 2008). Picado et al, (2003), meneliti ekspresi COX-2 mRNA dengan polymerase chain reaction reverse transkripsion (RT-PCR) di mukosa hidung yang normal dan di polip hidung pasien dengan asma intoleran aspirin dan tidak menemukan perbedaan pada ekspresi COX-1 mRNA di mukosa hidung dan polip hidung dari kedua kelompok pasien. Namun, ekspresi COX-2 mRNA pada polip dari pasien dengan asma intoleran aspirin jauh lebih rendah dibandingkan dengan polip dari pasien asma toleran aspirin dan mukosa nasal yang normal (Picado et al, 1999; Vries, 2006). Beberapa penelitian telah mengkonfirmasikan regulasi abnormal dari metabolisme COX di polip hidung dari kedua kedua kelompok pasien. Penelitian itu menyimpulkan bahwa ada perbedaan pada ekspresi enzim Cyclooxygenase (COX) dan LO ada diantara pasien dengan polip hidung dan kontrol, tetapi tidak bergantung pada sensitivitas aspirin (Hirai et al, 1999; Guilemany et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Picado et al, (1999), meneliti penurunan aktivitas nuklir faktor (NF) - kβ, suatu regulator untuk transkripsi COX-2. Polip hidung diambil dari 17 pasien dengan asma intoleran aspirin dengan rinitis dan 23 pasien dengan asma toleran aspirin dengan rinitis. Ekspresi COX-2 mRNA ekspresi diukur dengan RT-PCR. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ekspresi COX-2 mRNA yang rendah berhubungan dengan penurunan regulasi aktifitas NF-kβ (Picado et al, 2003; Guilemany et al, 2008). Pujols et al, Mengukur ekspresi regulasi COX-1 dan COX-2 mRNA pada polip hidung dan mukosa hidung dengan real-time PCR. Polip hidung diambil dari 16 pasien dengan asma toleran aspirin dengan rinitis dan 18 pasien asma intoleran aspirin dengan rinitis. Mukosa hidung diambil dari 12 subyek yang menjalani pembedahan koreksi hidung. Kadar basal COX-2 mRNA lebih rendah pada polip hidung kedua kelompok daripada mukosa hidung. Ekspresi COX 2 mRNA tidak berubah pada mukosa hidung tapi meningkat (p<0,05) pada polip hidung pasien yg aspirin toleran setelah 60 menit (Pujols et al, 2004; Guilemany et al, 2008). COX-1 mRNA lebih tinggi di polip hidung daripada di mukosa hidung dan ekspresinya tidak berubah dari waktu kewaktu pada setiap kelompok pasien. Hasil ini menunjukkan perbedaan secara kinetika COX-2 mRNA antara mukosa hidung dan polip hidung. Polip pada aspirin intoleran memiliki kelainan yang lebih besar dari jalur-2 COX daripada polip aspirin toleran (Pujols et al, 2004). Novo et al, meneliti jaringan sinonasal pada pasien dengan rinosinusitis kronis terkait dengan polip hidung (n = 13) dan tanpa polip hidung (n = 11), dengan polip hidung dan sensitivitas aspirin (n = 13), dan mukosa hidung normal
Universitas Sumatera Utara
dari subjek yang sehat (n = 8). Mereka menunjukkan bahwa konsentrasi COX-2 mRNA dan PGE2 sama pada rinosinusitis kronis dan jaringan mukosa normal, namun menurun pada jaringan polip hidung, terutama pada kelompok dengan sensitivitas-aspirin (Novo et al, 2005; Guilemany et al, 2008). Konsentarsi LTC4 sintase, 5-LO mRNA, LTC4, LTD4 dan LTE4 meningkat dengan keparahan penyakit di antara kelompok pasien. Konsentrasi 15LO dan lipoxin A4 meningkat pada kelompok rinosinusitis kronis apabila dibandingkan dengan kelompok mukosa normal, tetapi menurun pada kelompok yang sensitif aspirin apabila dibandingkan dengan polip hidung. IL-5 dan protein kationik eosinofil meningkat pada kedua kelompok jaringan polip hidung dibandingkan dengan kelompok mukosa normal dan kelompok rinosinusitis kronis dan berkorelasi langsung dengan konsentrasi LTC4, LTD4, LTE4 dan sebalikannya dengan PGE2 (Novo et al, 2005; Guilemany et al, 2008). Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa penurunan regulasi COX-2 mungkin terlibat dalam terjadinya rinosinusiris kronis, bertentangan hasil yang didapat Okano et al, yang menemukan peningkatan regulasi COX-2 dalam terjadinya rinosinusiris kronis (Okano et al, 2006). Cyclooxygenase-2 (COX-2) adalah enzim yang di induksi pada proses inflamasi sesuai daripada hasil penelitian sebelumnya yang mendapatkan peningkatan ekspresi COX-2 pada inflamasi kronis. Pada rinosinusitis kronis mungkin
COX-2
dapat
meningkat
atau
tidak
tergantung
dari
proses
patogenesisnya (Guilemany et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.8
Ekspresi COX-2 pada Rinosinusitis Kronis Pada pasien rinosinusitis kronis tanpa polip hidung, COX-2 mRNA dan
PGE2 yang ditemukan lebih tinggi dibandingkan rinosinusitis kronis dengan polip hidung sedangkan 15-Lipoxygenase dan lipoxin A meningkat pada rinosinusitis kronis jika dibandingkan dengan mukosa sinonasal yang normal (Fokkens et al, 2007). 2.2.9
Ekspresi COX-2 pada penderita rinosinusitis kronis dikaitkan dengan umur dan jenis kelamin Belum ada penelitian yang menggambarkan hubungan secara langsung
keterkaitan antara peningkatan nilai ekspresi COX-2 dengan umur dan jenis kelamin, beberapa penelitian hanya menggambarkan peningkatan ekspresi COX-2 yang terjadi pada rinosinusitis kronis, seperti pada penelitian Wang et al, dimana ekspresi COX-2 di mukosa sinonasal lebih signifikan yang merupakan kunci proses patofisiologi inflamasi yang berperan sebagai mediator dalam terjadinya rinosinusitis kronis (Wang et al, 2009). Pada beberapa penelitian hanya menggambarkan keterkaitan antara umur dengan terjadinya rinosinusitis kronis dimana rinosinusitis kronis lebih sering terjadi pada usia dewasa muda, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor lingkungan (alergen, polutan), perubahan gaya hidup, pola makan serta infeksi (Hellgren, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.10 Ekspresi COX-2 pada Penderita Rinosinusitis Kronis Dikaitkan dengan Proses Inflamasi dan Rasa Nyeri. Peningkatan ekspresi Cyclooksigenase-2 berkaitan erat dengan proses inflamasi dan rasa nyeri yang terjadi pada penderita rinosinusitis. COX-2 membentuk PGE2 dan PGI2 yang menyebabkan beberapa proses biologis seperti peningkatan permeabilitas kapiler, agen piretik dan hiperalgesia (Fowler et al, 2005; Stables dan Gilroy, 2010). PGE2 dan PGI2 telah dibuktikan menyebabkan hiperalgesia dari saraf perifer dan sentral apabila berikatan dengan reseptor EP1, EP3 dan EP3 (Stables dan Gilroy, 2010). Sakit yang berasal dari hidung dan sinus paranasal dapat timbul pada beberapa daerah di wajah dan menjalar jauh ke daerah kepala dan leher. International Classification of Headache Disorder II mengklasifikasikan sakit kepala menjadi sakit kepala primer dan sakit kepala sekunder. Sakit kepala yang berhubungan sinus termasuk sakit kepala sekunder (Olesen et al, 2004). Sakit kepala yang ditimbulkan oleh penyakit yang berasal dari hidung dan sinus paranasal umumnya berhubungan dengan gejala (kongesti hidung, rasa penuh, pus, dan sumbatan hidung). Adakalanya gejala penyakit di hidung dan sinus hanya sakit kepala saja (Amanpreet, 2008). Sakit di pelipis mungkin disebabkan oleh masalah di sinus frontal atau etmoid atau kontraksi otot pada tension headache. Sakit di sinus maksilaris dapat berlokasi di sekitar sinus maksilaris sampai ke gigi kaninus dan daerah temporal. Sinusitis etmoid lebih sering menyebabkan sakit di daerah kantus tetapi dapat
Universitas Sumatera Utara
meluas ke daerah parietal dan temporal dan dapat sampai ke servikal atas. Sinusitis sfenoid biasanya menyebabkan sakit kepala di daerah retroorbital dan merata ke daerah bahu dan gigi kaninus (Howard, 2005). Keterlibatan beberapa sinus membuat sakit dan gejala yang lebih rumit karena dapat menimbulkan sakit ke beberapa daerah. Pada pasien dengan penyebab lain rasa sakit di wajah etiologinya masih membingungkan, oleh karena itu sebaiknya dipahami tentang gejala dalam memastikan diagnosa, khususnya hal yang berhubungan dengan gejala sakit dan nyeri tekanan di wajah (Howard, 2005). Anamnesa sakit kepala sangat penting untuk mempersempit etiologi sakit dan nyeri tekan di wajah. Penting untuk mengetahui lokasi sakit, sifat sakitnya (menetap, berdenyut, menekan, seperti dijepit, menusuk, tajam, tumpul, ringan, berat, dll), durasi dan frekuensi sakit kepala. Beberapa pasien menderita lebih dari satu jenis sakit kepala. Penting juga untuk mengetahui berapa banyak jenis sakit kepala yang ada dan apa yang membuat sakit kepala tersebut menjadi lebih ringan atau memberat dan apakah ada hubungan gejalanya dengan aura, nausea, muntah, fotofobia, dan fonofobia. Penting untuk mengetahui hubungan antara sumbatan hidung dan drainase sinus dan perubahan rasa dan penciuman (Howard, 2005).
2.3
Penilaian Immunohistokimia COX-2 Cara penilaian dengan metode konsensus dan terdiri dari skor intensitas
pewarnaan (0,1,2 atau 3) dan tingkat pewarnaan (0= 0%; 1 = < 10%; 2 = 10-50%; 3 = >50%). Hasil untuk skor intensitas pewarnaan dan tingkat pewarnaan yang
Universitas Sumatera Utara
dikalikan untuk memberikan skor COX-2 pada setiap kasus, sel-sel tersebut dianggap sebagai COX-2 positif (skor ≥ 4) dan negatif (skor ≤ 3) (Soo et al, 2005).
Gambar 2.3.1 Cyclooxygenase-1 ditemukan 2+ pada pewarnaan sitoplasma lapisan apikal epitel (dengan 20x pembesaran) (Owens et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3.2 Cyclooxygenase-2 ditemukan 3+ pada pewarnaan sitoplasma lapisan apikal epitel (dengan 20x pembesaran) (Owens et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.4
Kerangka Konsep
Phospolipid
Asam Arakhidonat
COX-2
Prostasiklin
Prostaglandin
Tromboksan
Inflamasi
Rinosinusitis Kronis
Universitas Sumatera Utara