1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan proliferasi berlebihan di epidermis. Normalnya seseorang mengalami pergantian kulit setiap 3-4 minggu sekali, namun bagi penderita psoriasis akan mengalami masa pergantian yang relatif cepat antara 2-3 hari sekali dan tidak merata hingga menyebabkan timbulnya bercak-bercak merah pada kulit. Gambaran klinis dari psoriasis berupa kulit bersisik yang berlapis berwarna keperakan, dengan dasar berwarna merah disertai rasa gatal atau perih. Pasien dengan psoriasis berat biasanya cenderung merasa malu dalam lingkungan sosialnya dan timbul ketakutan akan penularan, penolakan serta penghindaran dari orang yang tidak terbiasa melihatnya. Penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan dasar genetik yang kuat ini ditandai dengan perubahan kompleks pada pertumbuhan epidermis dan abnormalitas diferensiasi, berbagai biokimiawi, imunologi dan vaskuler. Psoriasis tidak membahayakan jiwa, tetapi sangat mengganggu kualitas hidup (Gudjonsson dkk., 2012; Nestle, 2009). Psoriasis ditemukan diseluruh dunia dengan prevalensi yang bervariasi dari 0,1 persen sampai 11,8 persen. Insiden tertinggi yang dilaporkan di Eropa adalah terjadi di Denmark 2,9 persen (Gudjonsson dkk., 2012). Prevalensi psoriasis pada kaukasia antara 1,5 sampai 3 persen, sedangkan di Asia berkisar
1
2
antara 0,1% sampai 0,3%. Insiden psoriasis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Cipto Mangunkusumo, selama tahun 2000 sampai 2001 mencapai 2,3 persen. M. Cholis dkk. mengemukakan bahwa terdapat variasi prevalensi psoriasis dari masing-masing rumah sakit di Indonesia. Penelitian di RSUP Dr. Kariadi terdapat 138 kasus psoriasis (0,73%) selama kurun waktu 3 tahun (1998-2000). Selama rentang waktu 2003-2007 di tempat yang sama terdapat 198 kasus (0,97%) (Budiastuti dkk., 2009). Sebuah penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari – Desember 2010, dari total 3.230 orang yang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin, 34 pasien (1,05%) diantaranya merupakan pasien psoriasis. Dari jumlah tersebut 16 pasien (47,1%) berjenis kelamin laki-laki dan 18 (52,9%) berjenis kelamin perempuan (Natali, 2013). Onset umur dari psoriasis ini bervariasi dengan dua puncak kejadian, tipe dengan onset yang lebih awal (16-22 tahun) dan tipe onset lambat (57-60 tahun). Psoriasis terdistribusi secara seimbang antara laki-laki dan perempuan tetapi pada perempuan cenderung berkembang lebih awal (Patel dkk., 2011). Kurang lebih 1/3 dari pasien psoriasis melaporkan beberapa keluarga mereka menderita penyakit yang sama. Penelitian terakhir menemukan bahwa jika salah satu orang tua menderita psoriasis, maka psoriasis dapat terjadi sekitar 8,1% pada keturunannya. Nilai ini akan meningkat sampai 41% jika kedua orang tua mereka menderita psoriasis (Gudjonsson dkk., 2012).
3
Sampai saat ini penyebab pasti dari psoriasis masih diperdebatkan, namun beberapa faktor yang dilaporkan memperburuk kondisi psoriasis termasuk trauma fisik, infeksi, stres, perubahan musim dan iklim, obat-obatan tertentu, termasuk garam litium, beta blocker dan obat antimalaria klorokuin (Brezinski dkk., 2013). Demikian juga halnya dengan konsumsi alkohol, merokok dan obesitas dapat memperburuk psoriasis atau mempersulit penatalaksanaan psoriasis (Behnam dkk., 2005; Diluvio dkk., 2006; Fry dkk., 2007). Meskipun berbagai gen suseptibilitas telah diidentifikasi, masih belum ditemukan pengobatan yang memuaskan, serta mengakibatkan beban sosial dan ekonomi (Smith dkk., 2005). Banyak penelitian selama beberapa dekade terakhir telah menambah pengetahuan mengenai patogenesis psoriasis, dengan tujuan akhir
untuk
mendapatkan
terapi
yang
lebih
efektif
atau
benar-benar
menyembuhkan psoriasis (Orgaz-Molina dkk., 2012). Dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan penelitian-penelitian tentang vitamin D, peranannya dalam sistem imun maupun pada psoriasis (Prussick dkk, 2013). Vitamin D melakukan fungsi yang berbeda selain perannya yang terkenal dalam metabolisme kalsium dan fosfor, seperti ditemukannya reseptor vitamin D (VDR) dan CYP271 (enzim yang bertanggung jawab untuk sintesis 25hydroxyvitamin D) pada jaringan yang lain. Setidaknya terdapat 60 tipe sel yang diketahui mengekspresikan VDR dan lebih dari 200 gen dimodulasi oleh vitamin D (Holick, 2007). Vitamin D pada sistem imun diperankan oleh VDR pada limfosit T yang teraktivasi serta efek supresif atau inhibisi dari 1,25dihydroxyvitamin D. Temuan in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa vitamin D
4
menyebabkan perubahan dalam sistem kekebalan tubuh (Orgaz-Molina dkk., 2012). Bukti-bukti yang ada juga menujukkan vitamin D memegang peranan dalam memodulasi fungsi sel dendritik dan meregulasi keratinosit serta fungsi sel T sehingga mungkin memiliki implikasi penting dalam patogenesis psoriasis (LoPiccolo dkk, 2010). Kondisi autoimun yang sering dikaitkan dengan penurunan level vitamin D termasuk arthritis rematoid, diabetes melitus tergantung insulin dan multipel sklerosis, dengan gambaran imunologi yang mirip dengan psoriasis, seperti disregulasi Th1/Th2 (Orgaz-Molina dkk., 2012). Hubungan antara vitamin D dan psoriasis telah dipelajari sejak 1930-an. Pada tahun 1985, Morimoto dkk. mendapatkan perbaikan psoriasis dengan pemberian vitamin D3 pada kasus yang dilakukan isolasi. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Orgaz-Molina dkk di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat hasil yang lebih rendah secara signifikan pada pasien psoriasis dibandingkan dengan kontrol (Orgaz-Molina dkk., 2012). Demikan juga penelitian yang dilakukan di Mesir oleh Gutte dkk., kadar vitamin D pada pasien psoriasis secara signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol dengan nilai OR 27,58 (Gutte dkk., 2014). Secara klinis beberapa pasien dengan psoriasis memberikan respon terhadap terapi analog vitamin D topikal, yang juga menunjukkan perannya dalam mengatasi penyakit ini (Prussick dkk., 2013). Berdasarkan data tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada pasien psoriasis dibandingkan dengan bukan psoriasis untuk membuktikan apakah benar terjadi
5
defisiensi kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada pasien psoriasis dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian psoriasis vulgaris. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau tambahan pemikiran dalam rangka mendukung pengembangan ide pemanfaatan 25-hydroxyvitamin D plasma dalam pemilihan terapi psoriasis. Sehingga nantinya kesulitan mengendalikan penyakit ini dapat diatasi dengan pemberian terapi yang hemat biaya seperti suplementasi vitamin D yang mampu memperbaiki kondisi penyakit ini. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada subyek psoriasis vulgaris lebih rendah dibandingkan kontrol? 2. Apakah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya psoriasis vulgaris?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Mengetahui rendahnya kadar 25-hydroxyvitamin D plasma merupakan faktor risiko kejadian psoriasis.
1.3.2
Tujuan khusus: 1. Mengetahui kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada subyek psoriasis vulgaris lebih rendah dibandingkan kontrol.
6
2. Mengetahui rendahnya kadar 25-hydroxyvitamin D plasma sebagai faktor risiko terjadinya psoriasis vulgaris. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan baru di bidang akademis mengenai peran 25-hydroxyvitamin D plasma pada kejadian psoriasis vulgaris 1.4.2
Manfaat praktis Terbuktinya kadar 25-hydroxyvitamin D plasma yang rendah sebagai faktor risiko pada psoriasis vulgaris sehingga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penatalaksanaan psoriasis vulgaris dengan pemberian vitamin D oral pada penderita psoriasis vulgaris.