BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang kompleks dan memerlukan perawatan medis secara terus-menerus dengan strategi pengurangan risiko multifaktorial luar untuk mengontrol kadar gula dalam darah (ADA, 2014). Global status report on NCD World Health Organization (WHO) tahun 2010 melaporkan bahwa DM menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian. Sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat DM dan 4 persen meninggal sebelum usia 70 tahun. International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa lebih dari 371 juta orang di dunia yang berumur 20-79 tahun terdiagnosis DM. Indonesia merupakan negara urutan ke-7 dengan prevalensi DM tertinggi, di bawah China, India, USA, Brazil, Rusia dan Mexico. Diabetes melitus merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di dunia. Mortalitas pada DM meningkat dua kali lebih tinggi disebabkan adanya komplikasi DM yang meliputi penyakit kardiovaskuler, retinopati, nefropati, dan neuropati DM (Gaede et al., 2008). Pengendalian kadar glukosa darah yang ketat mampu mengurangi morbiditas penyakit DM tipe 2 (Nathan et al., 2006). Pengendalian kadar glukosa darah yang ketat dapat mengurangi komplikasi dan kejadian rawat inap pada pasien DM tipe 2 rawat jalan (Ajayi et al., 2010).
1
2
Beberapa penelitian tentang kontrol glukosa darah pada pasien rawat jalan menyatakan bahwa pasien yang mencapai outcome klinik atau tercapainya pengendalian glukosa darah masih sangat rendah. Menurut penelitian yang dilakukan di Cina, pasien yang mencapai target HbA1c ≤ 6,5% (kriteria IDF) hanya 40,2% dan yang mencapai target HbA1c ≤ 7% (kriteria PERKENI dan ADA) hanya 56,1%. Penelitian di Nigeria pada tahun 2010 menyatakan bahwa pasien DM yang mencapai target pengendalian glukosa darah juga masih rendah yaitu 29,3% berdasarkan standar IDF dan 32,5% dan berdasarkan standar PERKENI dan ADA. Penelitian di Amerika menyatakan bahwa tidak lebih dari 36% pasien yang mencapai target HbA1c ≤ 7%. Pengendalian glukosa darah secara ketat mampu mengurangi komplikasi mikrovaskuler pada DM tipe 2 dengan kadar HbA1c ≤ 6,5% berdasarkan IDF dan ≤ 7% berdasarkan PERKENI dan ADA (Yan Bi et al., 2010 ; Ajayi et al., 2010). Pencegahan morbiditas dan mortalitas DM dapat dilakukan dengan penatalaksanaan DM yang tepat (Perkeni, 2011). Penatalaksanaan DM ada 2 yaitu tanpa obat dan dengan obat. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan DM tanpa obat melalui pengaturan diet dan olahraga. Apabila belum tercapai maka dilanjutkan dengan terapi menggunakan obat baik dengan insulin maupun obat antidiabetik lain (Depkes RI, 2005). Tujuan terapi dengan obat adalah untuk mengurangi gejala dari hiperglikemia dan mencegah komplikasi DM jangka panjang (Bennet et al., 2011). Strategi pemberian terapi yang intensif pada pasien DM tipe 2 mampu mengurangi terjadinya komplikasi. Komplikasi pada pasien DM dapat memperburuk penyakit yang terkait dengan peningkatan
3
biaya dan penderitaan yang dialami dan dapat menyebabkan kematian dini (Szava-Kovats & Johnson, 1997). Kejadian komplikasi kardiovaskuler pada pasien DM tidak hanya dipengaruhi oleh kadar glukosa darah. Kondisi komorbid seperti hipertensi dan dislipidemia juga berpengaruh terhadap terjadinya komplikasi kardiovaskuler. Penurunan tekanan darah dan kolesterol dapat mengurangi kejadian komplikasi kardiovaskuler (Chrysant et al., 2011). Perkembangan penyakit DM tipe 2 yang semakin kompleks menyebabkan perubahan strategi terapi dalam pengendalian DM. Dahulu terapi DM difokuskan pada pengendalian nilai HbA1c. Dewasa ini, strategi terapi DM tipe 2 juga dilakukan untuk mengoreksi kondisi patologisnya atau yang disebut juga kondisi komorbid yang meliputi hipertensi, obesitas dan dislipidemia. Pemilihan terapi farmakologi DM hendaknya mempertimbangkan kemampuan obat tersebut dalam menurunkan nilai HbA1c, toleransi pada pasien, keamanan, dan efeknya pada berat badan, tekanan darah serta kadar lipid dalam darah (Aguilar, 2011). Penyakit DM dan komplikasinya yang kompleks membutuhkan terapi DM secara tepat dan rasional. Kerasionalan terapi dipengaruhi oleh proses diagnosis, pemilihan terapi, pemberian terapi, dan evaluasi terapi. Evaluasi pola pengobatan merupakan proses jaminan mutu yang dilakukan secara terus-menerus untuk menjamin agar obat-obat yang digunakan tepat, aman, dan efisien (Kumolosari et al., 2001). Adanya kebijakan baru dari pemerintah yaitu sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang penerapannya dilakukan dengan prinsip kendali biaya dan mutu. Masyarakat diharapkan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu namun
4
dengan biaya yang terkendali. Evaluasi terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan perlu dilakukan. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui pelayanan kesehatan yang bermutu adalah keefektifan terapi yang diberikan. Keefektifan terapi bisa dilihat dari outcome klinik yang dihasilkan dan pola terapi yang tepat. Outcome klinik adalah peristiwa medis yang terjadi sebagai akibat dari kondisi atau pengobatan yang diberikan. Outcome digunakan untuk membantu pasien, payers, dan providers untuk membuat pilihan pengobatan yang rasional berdasarkan pengetahuan terbaik karena efek dari pilihan ini akan menentukan hidup pasien (Coons, 2005). Terapi yang rasional mampu meningkatkan outcome pada pasien DM yaitu tercapainya kontrol glukosa darah (Sivasankari et al., 2013). Penelitian tentang “Evaluasi Pola Terapi dan Outcome Klinik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan Jaminan Kesehatan Nasional” dilakukan untuk mengetahui pola terapi yang diberikan pada pasien DM Tipe 2 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan proporsi pasien yang mencapai outcome klinik sesuai kriteria ADA 2014 serta untuk mengetahui hubungan antara kerasionalan terapi yang diberikan terhadap outcome yang dihasilkan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pola terapi yang diberikan pada pasien DM tipe 2 rawat jalan JKN? 2. Berapa proporsi pasien DM tipe 2 rawat jalan JKN di RS Panti Rapih yang mencapai outcome klinik yaitu tercapainya target pengendalian kadar glukosa darah sesuai kriteria ADA 2014?
5
3. Bagaimana hubungan kerasionalan terapi terhadap outcome klinik pada pasien DM tipe 2 rawat jalan JKN ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pola terapi pada pasien DM tipe 2 rawat jalan JKN. 2. Untuk mengetahui proporsi pasien DM tipe 2 JKN yang mencapai outcome klinik yaitu tercapainya target pengendalian glukosa darah sesuai kriteria ADA 2014. 3. Untuk mengetahui hubungan antara kerasionalan terapi yang diberikan terhadap tercapainya outcome klinik pada pasien DM tipe 2 rawat jalan JKN. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Bagi Rumah Sakit dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan acuan dalam penatalaksanaan terapi DM tipe 2 sehingga mampu meningkatkan mutu pelayanan medis. 2. Bagi BPJS dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam meningkatkan kinerjanya pada proses pelayanan kesehatan khususnya terapi DM. 3. Bagi klinisi dapat digunakan untuk tambahan informasi guna peningkatan pelayanan kesehatan khususnya pola pengobatan yang sesuai dengan tata laksana terapi farmakologi DM untuk mendapatkan outcome klinik yang diinginkan.
6
E. Tinjauan Pustaka 1.
Diabetes Melitus
a.
Definisi, Klasifikasi, dan Diagnosis Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia dan kelainan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Penyebab hiperglikemia dan kelainan ini karena adanya gangguan pada sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau keduanya. Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi komplikasi mikrovaskuler kronis, makrovaskuler, dan neuropati (Triplit et al., 2008). Berdasarkan etiologinya DM diklasifikasikan menjadi 4 kategori yaitu : 1)
DM tipe 1 DM tipe 1 disebabkan karena kerusakan sistem imun pada sel β pankreas.
Penanda kerusakan imun pada sel β pankreas saat ini didiagnosis terjadi pada 90% individu dan termasuk pada sel islet antibodi, antibodi pada asam glutamate decarboxylase dan antibodi pada insulin. DM jenis ini biasanya terjadi pada anak dan dewasa muda namun bisa terjadi pada semua usia (Triplit et al., 2008). 2)
DM tipe 2 DM tipe 2 dikarakteristik dengan adanya resistensi insulin dan kurangnya
sekresi insulin, sekresi insulin secara progresif berkurang setiap waktu (Triplit et al., 2008). Risiko DM tipe 2 semakin bertambah seiring meningkatnya usia, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik (ADA, 2015).
7
3)
Diabetes gestasional Diabetes gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang terjadi
selama kehamilan. Diabetes gestasional terjadi pada 7% dari semua kehamilan. Deteksi klinik itu penting untuk terapi yang akan mengurangi morbiditas dan mortalitas (Triplit et al., 2008). 4)
Diabetes tipe spesifik lain Diabetes tipe spesifik lain disebabkan oleh infeksi, obat, endokrinopati,
kerusakan pankreas, dan kelainan genetik. Diabetes yang disebabkan karena kelainan genetik yang dikarakteristik dengan adanya gangguan sekresi insulin dengan sedikit atau tanpa resistensi insulin (Triplit et al., 2008). Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Beberapa keluhan dapat dirasakan oleh penderita DM. Kecurigaan terhadap DM dilakukan jika pasien mengalami keluhan klasik yaitu poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain seperti badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2011). Gambar 1 merupakan skema langkah pemeriksaan pada kelompok yang memiliki faktor risiko DM namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menemukan pasien DM atau intoleransi glukosa secara lebih dini, sehingga penanganan bisa lebih tepat (Perkeni, 2011). Faktor risiko DM antara lain usia dan obesitas dengan risiko tambahan seperti kurangnya aktivitas fisik, ibu hamil yang terdiagnosis diabetes gestasional, hipertensi, dan kadar lipid yang tinggi (ADA, 2014).
8
Keluhan Klinik Diabetes
Keluhan klinis diabetes (+)
GDP Atau GDS
≥126
<126
≥200
<200
Keluhan klasik (-)
GDP Atau GDS
≥126
100-125
<100
≥200
140-199
<140
Ulang GDS atau GDP
GDS GDP Atau GDS
≥126
<126
≥200
<200
TTGO GD 2 jam
≥200
140-199
TGT
Diabetes Melitus 1. Evaluasi status gizi 2. Evaluasi penyulit DM 3. Evaluasi perencanaan makan sesuai kebutuhan
1. 2. 3. 4. 5.
<140
GDPT
Normal
Nasihat umum Perencanaan makan Latihan jasmani Berat idaman Belum perlu obat penurun glukosa
Keterangan GDP=Glukosa Darah Puasa GDS=Glukosa Darah Sewaktu GDPT=Glukosa Darah Puasa Terganggu TGT=Toleransi Glukosa Terganggu TTGO= Tes Toleransi Glukosa Oral
Gambar 1. Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa (Perkeni, 2011)
9
Menurut Perkeni diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu: 1. Keluhan klasik DM dan kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. 2. Keluhan klasik DM dan kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. 3. Kadar gula plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Pemeriksaan HbA1c (>6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM. Pemeriksaan ini dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik. b.
Patofisiologi
1)
DM tipe 1 DM tipe 1 sering dikarakterisasikan sebagai defisiensi fungsi sel β
pankreas secara absolut karena kerusakan sel imun, tetapi proses terjadinya belum diketahui. Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan T-lymposit dengan sirkulasi autoantibodi. Antibodi yang sering terdeteksi dan berhubungan dengan DM tipe 1 adalah sel islet antibodi. Selain sel islet antibodi ditemukan juga autoantibodi yang berhubungan dengan dekarboksilase asam glutamat, tirosin
10
fosfatase, dan atau insulin. Antibodi inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel β (Triplit et al., 2008). Kerusakan fungsi sel β pankreas karena kekurangan insulin dan amylin secara absolut dapat menyebabkan hiperglikemia. Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan berbagai mekanisme yaitu stimulasi jaringan uptake glukosa, menekan produksi glukosa oleh liver dan menekan pelepasan asam lemak bebas dari sel lemak. Amylin merupakan hormon glucoregulatory peptide yang disekresikan bersama insulin yang mempunyai peranan untuk menurunkan kadar glukosa darah melalui perlambatan pengosongan lambung, menekan pengeluaran glukagon dari sel α pankreas, dan peningkatan kekenyangan (Triplit et al., 2008). 2)
DM tipe 2 DM tipe 2 dikarakterisasikan sebagai kelainan sekresi insulin dan
resistensi insulin pada otot, liver, dan jaringan adiposa. Resistensi insulin terjadi akibat gangguan pada penggunaan glukosa jaringan, peningkatan produksi glukosa hepar, dan akumulasi pengeluaran glukosa ke sirkulasi sistemik. Peningkatan resistensi insulin juga dipengaruhi oleh faktor luar yaitu obesitas dan gaya hidup (Koda Kimble et al., 2009). DM tipe 2 berhubungan dengan berbagai macam penyakit seperti, hiperlipidemia, hipertensi, dan aterosklerosis. Kelebihan berat badan berhubungan dengan resistensi insulin. Peningkatan resistensi insulin dengan berat badan secara langsung berhubungan dengan jaringan adipose viseral. Asam lemak dilepaskan ke sirkulasi portal, kemudian menuju liver untuk menstimulasi produksi
11
lipoprotein dengan densitas sangat rendah dan menurunkan sensitivitas insulin pada jaringan periferal (Koda Kimble et al., 2009). 3)
Diabetes Gestasional Diabetes gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang timbul
selama masa kehamilan dan berlangsung sementara. Diabetes gestasional dapat pulih setelah melahirkan, namun dapat mempunyai dampak yang buruk bagi bayi yang dikandung. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita diabetes gestasional yang umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua (Depkes RI, 2005). 4)
Diabetes tipe spesifik lain Diabetes tipe spesifik lain disebabkan oleh banyak faktor, seperti kelainan
genetik (gangguan pada fungsi sel β pankreas dan gangguan aksi insulin), penyakit pada eksokrin pankreas (pankreatitis, pankreatektomi, dan cystic fibrosis), endokrinopati (hipertiroid, Cushing’s syndrom, dan acromegaly), obatobatan atau induksi bahan kimia (asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, fenitoin, dan β-adrenergic agonis) dan infeksi (congenital rubella dan cytomegalovirus). Kelainan genetik bisa disebabkan salah satunya oleh ketidakmampuan
dalam
mengubah
proinsulin
menjadi
insulin
yang
mengakibatkan hiperglikemia (Triplit et al., 2008). c.
Tatalaksana Terapi Tatalaksana untuk DM dimulai dengan pengaturan pola makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (kurang lebih 2-4 minggu). Jika kadar glukosa
12
darah belum mencapai sasaran maka diberikan intervensi farmakologis. Tata laksana terapi DM antara lain: 1)
Edukasi Edukasi ditujukan untuk perubahan perilaku sehat. Edukasi yang
komprehensif dan peningkatan motivasi dibutuhkan untuk mencapai perubahan perilaku. Partisipasi yang aktif dari pasien, keluarga, dan masyarakat mampu meningkatkan keberhasilan terapi DM (Perkeni, 2011). 2)
Terapi Gizi Medis Prinsip pengaturan makan pada penderita DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Hal yang perlu ditekankan pada pasien DM adalah pentingnya keteraturan makanan dalam jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan meliputi karbohidrat (45-65%), lemak (20-25%), protein (10-20%), natrium (6-7 gram), dan serat (± 25 g/hari) yang berasal dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta karbohidrat tinggi lemak (Perkeni, 2011). 3)
Latihan Jasmani Latihan jasmani sehari-hari yang dilakukan secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit) merupakan salah satu hal yang berpengaruh dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani dapat bermanfaat untuk menjaga kebugaran, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga dapat memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
13
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani (Perkeni, 2011). 4)
Terapi farmakologis Terapi farmakologis yang diberikan pada penderita DM terdiri dari obat
oral dan injeksi. Berdasarkan cara kerjanya, obat antidiabetik oral dibagi menjadi 5 golongan yaitu pemicu sekresi insulin (contohnya sulfonilurea dan glinid), peningkat sensitivitas insulin (contohnya
metformin dan tiazolidindion),
penghambat glukoneogenesis (contohnya metformin), penghambat absorpsi glukosa (penghambat glukosidase alfa), dan DPP-IV inhibitor (Perkeni, 2011). a)
Pemicu Sekresi Insulin
(1)
Sulfonilurea Efek utama dari obat golongan sulfonilurea adalah meningkatkan sekresi
insulin oleh sel β pankreas, sehingga obat ini akan efektif ketika sel-sel β pankreas masih dapat memproduksi insulin namun karena suatu hal terhambat sekresinya (Depkes RI, 2005). Obat golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan bagi pasien DM dewasa yang baru terdiagnosis dengan berat badan normal dan kurang atau tidak pernah mengalami ketoasidosis. Sulfonilurea mampu menurunkan nilai HbA1c sebanyak 1,5% (Nathan et al., 2009). Pemberian obat golongan sulfonilurea pada pasien DM yang mengalami kerusakan sel-sel β pankreas tidak bermanfaat. Obat golongan ini sebaiknya tidak diberikan kepada pasien dengan gangguan hati (Perkeni, 2011). Efek samping utama pada penggunaan sulfonilurea adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Contoh obat golongan
14
sulfonilurea antara lain glibenklamid, gliklazid, glimepirid, dan glipizid (Nathan et al., 2009). (2)
Glinid Efek obat ini sama dengan sulfonilurea yaitu bekerja dengan efek
peningkatan sekresi insulin melalui ikatan dengan reseptor yang berbeda (Nathan et al., 2009). Obat ini diabsorpsi dengan cepat secara peroral dan diekskresi secara cepat di hati, sehingga obat ini dapat digunakan untuk mengatasi hiperglikemia post prandial. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu : repaglinid dan nateglinid (Perkeni, 2011). Obat ini mampu menurunkan nilai HbA1c sebanyak 1,5%. Efek samping obat ini sama seperti sulfonilurea yaitu peningkatan berat badan namun efek samping pada hipoglikemia lebih rendah (Nathan et al., 2009). Obat-obat golongan ini digunakan dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik lain (Depkes RI, 2005). b)
Peningkat sensitivitas terhadap insulin
(1)
Thiazolidindion Efek kerja dari golongan obat ini adalah menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan jumlah glukosa perifer yang diambil. Thiazolidindion akan berikatan dengan Peroxisome Prolifereator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ) yang merupakan suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak sehingga mampu meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin (Depkes RI, 2005). Thiazolidindion mampu menurunkan nilai HbA1c sebanyak 0,5 -1,4 % (Nathan et al., 2009). Pemeriksaan nilai HbA1c dilakukan setelah 8-12 minggu pengobatan (Perkeni, 2011).
15
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan thiazolidindion adalah peningkatan berat badan dan retensi cairan dengan edema perifer (Nathan et al., 2009). Obat golongan ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema atau retensi cairan dan pada gangguan faal hati. Monitoring faal hati perlu dilakukan secara berkala pada pasien yang menggunakan thiazolidindion. Contoh obat dari golongan ini adalah pioglitazone (Perkeni, 2011). c)
Penghambat glukoneogenesis
(1)
Metformin Efek utama dari obat golongan metformin adalah mengurangi produksi
glukosa hati dan memperbaiki jumlah glukosa perifer yang diambil (Perkeni, 2011). Metformin menurunkan produksi glukosa di hati dengan cara mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis. Obat ini mampu memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 10-40% (Depkes RI, 2005). Metformin efektif untuk menurunkan HbA1c dan mengurangi kolesterol total dan LDL (Hermansen et al., 2008). Metformin mampu menurunkan nilai HbA1c sebanyak 1,5 % (Nathan et al., 2009). Metformin direkomendasikan sebagai terapi farmakologi awal untuk DM tipe 2 jika tidak terjadi kontraindikasi dan toleransi (ADA, 2015). Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dl) dan hati serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia (seperti pada penyakit serebrovaskuler, sepsis, dan gagal jantung) (Perkeni, 2011). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan metformin adalah efek pada gastrointestinal (Nathan et al., 2009).
16
d)
Penghambat Glukosidase Alfa
(1)
Acarbose Efek acarbose adalah dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus
dengan cara menghambat enzim alfa glukosidase. Enzim ini berfungsi menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus sehingga efektif untuk mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya yang mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini hanya efektif untuk menurunkan kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempunyai pengaruh pada penurunan glukosa darah setelah itu. Obat-obat inhibitor alfa glukosidase dapat diberikan dalam bentuk tunggal maupun kombinasi dengan obat hipoglikemik lain (Depkes RI, 2005). Acarbose mampu menurunkan 0,5 - 0,8 % nilai HbA1c (Nathan et al., 2009). Obat ini tidak memiliki efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering adalah kembung dan flatulens (Perkeni, 2011). e)
DPP-IV inhibitor Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan perangsang kuat pelepasan
insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. GLP-1 ini dapat dengan cepat diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif, sehingga diperlukan suatu senyawa yang mampu menghambat kinerja enzim DPP-4 ataupun memberikan hormon asli atau analognya (GLP-1 agonis) untuk meningkatkan konsentrasi GLP-1 dalam bentuk aktifnya (Perkeni, 2011). Obat ini mampu menurunkan nilai
17
HbA1c sebanyak 0,6 – 0,9% baik terapi tunggal maupun kombinasi (Aguilar, 2011). Obat dari golongan ini antara lain vildagliptin, sitagliptin, dan saxagliptin. Sediaan injeksi diketahui ada 2 jenis, yaitu insulin dan agonis GLP-1 incretin mimetic. f)
Insulin Terapi insulin digunakan untuk melakukan koreksi terhadap terjadinya
defisiensi insulin. Defisiensi insulin bisa berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial ataupun keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menyebabkan timbulnya hiperglikemia setelah makan (Perkeni, 2011). Terapi insulin mempunyai efek yang menguntungkan pada kadar kolesterol HDL namun mempunyai efek peningkatan berat badan hingga 2-4 kg (Nathan et al., 2009). Efek kerja dari insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel. Ketika tubuh kekurangan insulin maka glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel. Glukosa darah akan meningkat dan sel-sel tubuh akan kekurangan sumber energi yang membuatnya tidak mampu memproduksi energi sebagaimana mestinya (Depkes RI, 2005). Insulin dibedakan menjadi empat golongan berdasarkan onset dan durasinya. Tabel I menjelaskan waktu mula kerja insulin, waktu puncak, dan lama waktu insulin berefek. Tabel I. Macam Insulin Berdasarkan Onset dan Durasi (Depkes RI 2005) Jenis Sediaan Insulin Masa kerja singkat Masa kerja sedang Masa kerja sedang, Mula kerja cepat Masa kerja panjang
Mula kerja (jam) 0,5 1-2 0,5 4-6
Puncak (jam) 1-4 6-12 4-15 14-20
Masa kerja (jam) 6-8 18-24 18-24 24-36
18
Macam insulin berdasarkan onset dan durasi dibedakan menurut waktu yang dibutuhkan insulin untuk mulai bekerja dan lama waktu insulin berefek di dalam tubuh. Insulin mampu menurunkan nilai HbA1c dengan jumlah yang tidak terhingga (Koda-kimble et al., 2009). Respon kerja insulin bersifat individual sehingga jenis sediaan dan frekuensi penyuntikan ditentukan secara individual. Tahap awal pemberian insulin diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian
ditambahkan
insulin
dengan
kerja
singkat
untuk
mengatasi
hiperglikemia setelah makan. Tersedia insulin jenis campuran insulin regular dan insulin kerja sedang untuk memudahkan pasien (Depkes RI, 2005). g)
Agonis GLP-1 incretin mimetic Pengobatan menggunakan agonis GLP-1 bekerja sebagai perangsang
pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 mempunyai efek untuk menghambat pelepasan glukagon yang berperan pada proses glukoneogenesis (Perkeni, 2011). Obat golongan agonis GLP-1 yaitu exenatide. Agonis GLP-1 mempunyai efek penurunan HbA1c sebanyak 0,5-1% terutama penurunan pada kadar glukosa darah post prandial. Efek samping yang sering muncul adalah gangguan gastrointestinal yaitu mual, muntah, dan diare (Nathan et al., 2009). Terapi kombinasi dapat dilakukan pada antidiabetik oral kombinasi maupun antidiabetik oral dengan insulin. Terapi dengan antidiabetik oral kombinasi harus dipilih dua golongan obat dengan mekanisme aksi yang berbeda. Bila kadar glukosa darah belum tercapai, bisa dilakukan 3 kombinasi antidiabetik
19
oral dari 3 golongan obat dengan mekanisme yang berbeda atau kombinasi antidiabetik oral dengan insulin. Kombinasi antidiabetik oral dengan insulin yang sering digunakan adalah kombinasi antidiabetik oral dengan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Kombinasi dari terapi tersebut dapat diperoleh kendali glukosa yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil (Perkeni, 2011). d.
Target Pengendalian Kadar Glukosa Darah Berdasarkan Standards of Medical Care for Diabetes-2014 pada Diabetes
Care Volume 37 parameter untuk target pengendalian glukosa pada pasien DM antara lain: 1)
Kontrol kadar glukosa HbA1c yang ditargetkan untuk pasien pada umumnya adalah < 7%. Kadar
glukosa darah prepandialnya 70-130 mg/dl (3,9 -7,2 mmol/l) dan kadar glukosa darah post prandialnya < 180 mg/dl (<10,00 mmol/l). 2)
Tekanan darah Tekanan darah harus diukur setiap kali kunjungan dilakukan. Target
tekanan darah untuk pasien diabetes melitus adalah < 140/80 mmHg. Target tekanan darah < 130/80 mmHg dilakukan untuk pasien tertentu seperti pasien yang masih muda. 3)
Kadar lipid Target LDL < 100 mg/dl, kadar trigliserid < 150 mg/dl, dan HDL > 40
mg/dl untuk laki-laki dan > 50 mg/dl untuk perempuan.
20
Hasil terapi DM tipe 2 harus dimonitor terus-menerus dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan Perkeni tahun 2011 pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain : 1.
Pemeriksaan kadar glukosa darah Tujuan dari dilakukannya pemeriksaan glukosa darah adalah :
a.
Untuk mengetahui pencapaian sasaran terapi
b.
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat jika sasaran terapi belum tercapai. Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan adalah pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa, 2 jam post prandial, atau kadar glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan. 2.
Pemeriksaan HbA1c Pemeriksaan HbA1c bertujuan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
minggu
pengobatan.
Pemeriksaan
HbA1c
merupakan
tes
hemoglobin
terglikosilasi atau disebut juga glikohemoglobin atau hemoglobin glikosilasi (Perkeni, 2011). Frekuensi pemeriksaan nilai HbA1c tergantung pada kondisi klinis, regimen terapi yang digunakan, dan diagnosis dokter (ADA, 2014). 3.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu
sekresi
insulin.
Waktu
pemeriksaan bervariasi
tergantung pada
tujuan
pemeriksaan yang terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan, menjelang waktu tidur, dan di antara siklus tidur.
21
PDGM terutama dianjurkan pada : a.
Pasien DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
b.
Pasien DM dengan terapi insulin berikut yaitu pasien dengan HbA1c yang tidak mencapai target setelah terapi, wanita yang merencanakan hamil, wanita hamil dengan hiperglikemia, dan kejadian hipoglikemia berulang.
4.
Pemeriksaan Glukosa Urin Pemeriksaan ini hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak
mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi. 5.
Pemantauan Benda Keton Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting
terutama pada pasien DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300mg/dL). Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sedangkan benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah < 0,6 mmol/l (normal), di atas 1,0 mmol/l (ketosis), dan melebihi 3,0 mmol/l (indikasi diabetik ketoasidosis). 2.
Evaluasi Kerasionalan Terapi Menurut WHO tahun 1985 penggunaan obat dikatakan rasional jika pasien
memperoleh obat yang dibutuhkan dalam waktu yang tepat dan harga yang terjangkau. Kerasionalan suatu terapi meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat
22
pasien yang meliputi interaksi dan kontraindikasi, tepat dosis, dan frekuensi serta waspada efek samping yang terjadi (Aslam et al., 2003). Penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria di bawah ini : a.
Tepat Diagnosis Obat dikatakan rasional jika sesuai dengan diagnosis yang tepat.
Penegakan diagnosis haruslah tepat untuk memperoleh obat yang tepat. b.
Tepat Indikasi Pemberian obat harus diberikan sesuai dengan indikasi penyakit tertentu.
c.
Tepat Obat Pemilihan obat harus sesuai dengan efek terapi yang diinginkan untuk
suatu penyakit. d.
Tepat Dosis Dosis obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi, sehingga pemberian
dosis obat harus sesuai. Pemberian dosis obat yang terlalu tinggi akan menyebabkan efek toksik dan dosis yang terlalu rendah akan menyebabkan efek terapi tidak tercapai sesuai dengan yang diharapkan. e.
Tepat Kondisi Pasien Respon individu terhadap efek obat sangat beragam, sehingga kondisi
pasien perlu diperhatikan ketika akan diberikan suatu pengobatan. f.
Waspada efek samping Pemberian obat bisa menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian dosis terapinya (Kemenkes, 2011).
23
3.
Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah jaminan perlindungan
kesehatan yang ditujukan kepada seluruh peserta supaya mendapatkan pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya
dibayar
oleh
pemerintah.
Program
jaminan
kesehatan
ini
diselenggarakan oleh suatu badan yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) (Anonim, 2013). Jaminan kesehatan berupa pelayanan kesehatan kepada perorangan, yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan alat kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Pelayanan kesehatan kepada peserta jaminan kesehatan harus memerhatikan mutu pelayanan yang berorientasi pada keamanan pasien, efektivitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien serta efisiensi biaya (Anonim, 2013). Sistem pembayaran yang digunakan bagi fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan adalah sistem tarif paket INA CBG’s. INA-CBG’s merupakan sebuah singkatan dari Indonesia Case Base Groups yaitu sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim kepada pemerintah. INA-CBG’s merupakan sistem pembayaran dengan sistem "paket", berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Case Base Groups (CBG’s) adalah cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama (Anonim, 2014). Sistem INA CBG’s adalah tarif paket pelayanan kesehatan yang
24
mencakup seluruh komponen biaya RS, mulai dari pelayanan non medis hingga tindakan medis. Adanya paket biaya tersebut, RS dan dokter dituntut efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Tarif INA-CBG’s mempunyai 1.077 kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup/kelompok rawat inap dan 288 kode grup/kelompok rawat jalan, menggunakan sistem koding dengan ICD-10 untuk diagnosis serta ICD-9-CM untuk prosedur/tindakan. Rawat jalan adalah satu rangkaian pertemuan konsultasi antara pasien dan dokter serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi medis dan obat yang diberikan pada hari pelayanan yang sama. Pelayanan IGD, pelayanan rawat sehari dan pelayanan bedah sehari (One Day Care/Surgery) termasuk dalam rawat jalan (Anonim, 2014). F. Landasan Teori Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang kompleks dan memerlukan pengobatan secara terus-menerus. Manajemen terapi DM dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan mengurangi risiko terjadinya komplikasi jangka panjang (ADA, 2015). Tujuan terapi DM adalah penurunan morbiditas dan mortalitas DM (Perkeni, 2011). Morbiditas dan mortalitas DM paling banyak disebabkan oleh komplikasi dari penyakit DM (Gaede et al., 2008). Komplikasi DM meliputi komplikasi makrovaskuler (cardiovascular disease) dan komplikasi mikrovaskuler (retinopati, neuropati dan nefropati) (Sivasankari et al., 2013). Penyebab terjadinya komplikasi DM salah satunya adalah penggunaan obat yang tidak rasional (Olurishe et al., 2012). Komplikasi akibat hiperglikemia
25
pada pasien DM dapat dicegah dengan penggunaan obat antidiabetik oral dan insulin secara rasional (Hermansen et al., 2008). Penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien, dan waspada efek samping obat (Kemenkes, 2011). Penggunaan obat yang rasional pada penanganan DM diperlukan untuk meningkatkan pengendalian penyakit DM. Berdasarkan studi tentang kontrol glukosa pada pasien rawat jalan yang dilakukan di Nigeria, terapi DM yang tepat mampu meningkatkan outcome klinik DM yaitu tercapainya kontrol glukosa darah (Olurishe et al., 2012). Studi tentang pola penggunaan obat yang dilakukan di India menguatkan bahwa pengobatan yang rasional mampu meningkatkan kontrol glukosa darah dan menurunkan kejadian komplikasi DM (Sivasankari et al., 2013). Hubungan antara terapi dengan outcome klinik telah diteliti dan hasilnya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara terapi yang diberikan terhadap outcome klinik berupa tercapainya kontrol glukosa darah (Goudswaard et al., 2004). Outcome klinik pada pasien DM yaitu tercapainya kontrol glukosa darah dipengaruhi oleh faktor lain seperti gaya hidup, edukasi tentang DM, dan durasi DM. Gaya hidup pasien seperti pola makan dan olahraga secara signifikan berhubungan dengan outcome klinik pasien DM (Sanal et al., 2011). Pengetahuan pasien tentang DM dan durasi DM berpengaruh terhadap outcome klinik (Goudswaard et al.. 2004).
26
G. Kerangka Konsep
Pasien DM tipe 2 JKN
Pola Terapi
Outcome klinik
Kerasionalan terapi -
Tepat Indikasi
Target GDP dan atau
-
Tepat Obat
GDS
-
Tepat Dosis
-
Tepat Pasien
- Gaya hidup - Pengetahuan tentang DM - Durasi DM
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis Terdapat hubungan antara kerasionalan terapi yang diberikan kepada pasien DM tipe 2 terhadap outcome klinik berupa tercapainya target pengendalian glukosa darah.