BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang
banyak diderita oleh penduduk dunia dan hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang efektif untuk menyembuhkannya. (Depkes RI, 2006). Menurut American Diabetes Association (ADA, 2003) dalam Soegondo (2004), DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduaduanya. Penyakit DM sering disebut The Great Imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan bermacam keluhan. Gejala sangat bervariasi dan secara perlahan-lahan sehingga penderita tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum menjadi lebih banyak, buang air kecil menjadi lebih sering ataupun berat badan yang menurun (Basuki, 2003). Penderita DM dapat mengalami cacat seumur hidup, dan berisiko terhadap terjadinya penyakit lain yaitu 24 kali berisiko terjadi penyakit jantung, 25 kali berisiko terjadi kebutaan, 17 kali terjadi gagal ginjal, 5 kali terjadi gangren dan 2 kali terjadi gangguan pembuluh darah otak. Dampak lain dari penyakit DM adalah terjadinya gangguan secara psikologis akibat rendahnya penerimaan penderita di masyarakat. Hal ini terjadi karena masih ada stigma masyarakat yang menganggap penyakit DM merupakan penyakit menular (Soegondo, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2004, bahwa dari 14 juta orang menderita DM, 50% diantaranya sadar telah mengidapnya (30% diantaranya yang mau berobat teratur dan 70% lainnya belum mengikuti pengobatan secara teratur), selain itu masih ada 50% lainnya yang tidak menyadari dirinya menderita DM. Keadaan ini mencerminkan bahwa pemahaman masyarakat tentang penyakit DM dan upaya pencegahannya masih rendah. Berdasarkan laporan Centers for Disease and Prevention (CDP) Tahun 2007, bahwa prevalensi DM mencapai 4% diseluruh dunia yang diprediksi mencapai 5,4% pada tahun 2025. Jumlah penderita DM di Cina dan India mencapai 50 juta orang. Sedangkan di Amerika Serikat merupakan jenis penyakit peringkat ke-enam penyebab kematian. Selanjutnya dinyatakan bahwa 10% jenis DM tipe 1 dan 90% jenis DM tipe 2 dapat menyerang semua kelompok umur, biasanya menyertai penyakit-penyakit lainnya seperti jantung koroner, infeksi pankreas, dan jenis penyakit degeneratif lainnya. Angka kesakitan dan kematian akibat DM di Indonesia cenderung berfluktuasi setiap tahunnya sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah penderita DM di Indonesia lebih dari 5 juta penderita dan di dunia 239,9 juta penderita (Depkes RI, 2009). Berdasarkan laporan pola penyakit RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi pada tahun 2010, diketahui penyakit DM menempati urutan nomor 1 dari 10 kunjungan penyakit degeneratif. Jumlah kunjungan penderita DM selama kurun waktu satu tahun terakhir sebanyak 5100 kunjungan, yang terdiri dari 394
Universitas Sumatera Utara
kasus DM ( 7,73%) rawat inap dan 4706 kasus DM ( 92,3%) rawat jalan dengan 461 kasus baru. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian serius untuk ditanggulangi. Kepatuhan
yaitu
tingkat/derajat
dimana
penderita
DM
mampu
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh petugas kesehatan (Smet, 1994). Shilinger (1983) yang dikutip Travis (1997) menyatakan bahwa kepatuhan mengacu pada proses dimana penderita DM mampu mengasumsikan dan melaksanakan beberapa tugas yang merupakan bagian dari sebuah regimen terapeutik. Trekas (1984) dalam Ratanasuwan, dkk (2005), kemampuan penderita DM untuk mengontrol kehidupannya dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan. Seseorang yang berorientasi pada kesehatan cenderung mengadopsi semua kebiasaan yang dapat meningkatkan kesehatan dan menerima regimen yang akan memulihkan kesehatannya. Upaya yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan dalam meningkatkan kepatuhan penderita DM dalam menjalani pengobatan adalah dengan menciptakan komunikasi yang terbuka dengan penderita DM dan memberikan suatu perhatian dalam komunikasi tersebut. Tenaga kesehatan sangat diperlukan dalam memonitor perkembangan kepatuhan penderita DM dan juga harus terfokus pada perkembangan motivasi penderita DM dan berupaya mengintegrasikan penyakit kedalam konsep diri penderita DM untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang, serta membantu penderita DM melakukan perubahan gaya hidup yang sesuai dengan anjuran kesehatan (Rowley, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Konseling dapat mengatasi ketidakpatuhan penderita DM. Edukasi yang baik dan tepat akan menggugah kesadaran penderita untuk mau melaksanakan anjuran kesehatan. Nicolucci et al (1996) dalam Day (2002) melaporkan bahwa penderita DM yang tidak mendapatkan edukasi memiliki risiko 4 kali lebih tinggi terkena komplikasi dibandingkan yang mendapatkan edukasi. Penerapan komunikasi dalam pelayanan kesehatan mempunyai peran yang sangat besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi meningkatkan hubungan interpersonal dengan pasien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dimana pasien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya (Sundberg, 1989). Kondisi saling percaya yang telah dibangun antara petugas kesehatan dan pasien tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Stuart G.W.,et al, 1998). Komunikasi yang baik dapat meningkatkan kepatuhan
pasien
dalam
hal
pengobatan
dan
perawatan
penyakitnya
(Anggraini,2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2000) pada pasien di poliklinik penyakit dalam RSU.dr.Sardjito Yogyakarta menyatakan bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes mellitus. (Palestin, 2002). Berdasarkan ketentuan Depkes (2004) Pelayanan Informasi Obat (PIO) oleh Farmasi Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan oleh apoteker rumah sakit dalam memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini baik kepada dokter, perawat, profesi kesehatan lainnya dan terutama kepada
Universitas Sumatera Utara
pasien. PIO terhadap pasien DM bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai penggunaan obat dan pengobatan kepada pasien, meliputi: (1) nama obat, (2) tujuan pengobatan, (3) jadwal pengobatan, (4) cara menggunakan obat, (5) lama penggunaan obat, (6) efek samping obat, (7) tanda-tanda toksisitas, (8) cara penyimpanan obat, dan (9) penggunaan obat lain-lain, serta upaya meningkatkan kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatannya. Tingkat kepatuhan pasien DM dalam penggunaan obat dan pengobatan, diharapkan dapat mencapai output PIO berupa penggunaan obat yang tepat dan benar serta melaksanakan anjuran petugas terhadap tindakan pengobatan yang dijalani oleh pasien. Khususnya Pasien DM Rawat Jalan sangat membutuhkan informasi yang lengkap tentang obatnya, karena informasi tersebut menentukan keberhasilan terapi yang dilakukannya sendiri di rumah. Ketidaksepahaman (non corcondance) dan ketidakpatuhan (non compliance) pasien dalam menjalankan terapi merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi. Hal ini sering disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman pasien tentang obat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan obat untuk terapinya (Rantucci, 2007). Menurut Siregar (2004) PIO pada pasien rawat jalan sangat diperlukan mengingat pasien rawat jalan tidak berada dalam lingkungan yang terkendali seperti halnya pasien rawat inap. Pasien rawat jalan harus bertanggung jawab untuk perawatan kesehatannya sendiri. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, pasien dapat menggunakan obat bebas yang diperolehnya dari luar Instalasi Farmasi Rumah
Universitas Sumatera Utara
Sakit (IFRS). Oleh sebab itu IFRS harus berperan aktif dalam penggunaan obat yang tepat oleh pasien. Petugas IFRS merupakan anggota terakhir dari tim pelayanan kesehatan yang bertemu dengan pasien rawat jalan sebelum menggunakan obatnya tanpa pengawasan medik langsung. Petugas IFRS juga bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan tepat serta memberikan informasi yang tepat terhadap penggunaan obat oleh pasien rawat jalan. Menurut Rantucci (2007), lebih dari 200 penelitian tentang penggunaan obat oleh pasien yang tidak dirawat inap menunjukkan bahwa 50% pasien akan menggunakan obat secara tidak benar. Menurut laporan Department of Health and Human Services (DHS) tahun 2004, 48% dari seluruh penduduk Amerika Serikat, dan 55% manula, gagal mengikuti regimen pengobatan. Selain itu, sebuah penelitian menunjukkan bahwa 32% pasien yang mendapat perintah pengulangan resep dari dokter tidak mengulangi pembelian resep tersebut. Ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat dapat memperlama masa sakit atau meningkatkan keparahan penyakit. Selain itu ketidakpatuhan dapat membuat dokter berasumsi bahwa diagnosis penyakit salah akibat buruknya respon terhadap obat yang dianjurkan. Hal ini juga dapat mengakibatkan dokter melakukan lebih banyak tes dan memberikan tambahan obat baru. Berdasarkan survei awal di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi (April, 2010), dengan mewawancarai 38 orang pasien rawat jalan,
diperoleh
informasi tentang beberapa hal yang menjadi keluhan pasien berkenaan dengan penggunaan obat yang dianjurkan, diantaranya adalah: (1) 76 % menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
dokter, perawat, dan petugas farmasi/apotek sangat kurang dalam memberikan informasi tentang khasiat/manfaat, efek samping, dan berbagai hal yang berkaitan dengan obat yang tertulis dalam resep dokter; (2) 48 % menyatakan tidak mengetahui adanya Pelayanan Informasi Obat (PIO) yang diselenggarakan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit; (3) 56 % menyatakan tidak mengetahui haknya untuk memperoleh informasi yang lengkap tentang penggunaan obat secara tepat dan benar. Selain itu PIO yang diselenggarakan oleh IFRS merupakan kegiatan yang dilakukan hanya berdasarkan minat dan kesempatan yang dimiliki oleh IFRS guna memenuhi Standar Pelayanan Minimal Farmasi Rumah Sakit (SPM-FRS), hal ini disebabkan karena belum adanya kebijakan manajemen RS yang mengatur tentang kegiatan pelayanan informasi di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi seperti yang diamanatkan oleh Depkes RI (1999) tentang Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS). Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa kajian atas keterkaitan komunikasi petugas pelayanan informasi obat terhadap
kepatuhan minum obat
pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi menjadi sangat penting dilakukan.
1.2
Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan
penelitian adalah sebagai berikut : bagaimanakah pengaruh
komunikasi petugas
Universitas Sumatera Utara
pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.
1.3
Tujuan Penelitian Menganalisis Pengaruh Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat
terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Diabetes Mellitus Rawat Jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.
1.4
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh komunikasi petugas
pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.
1.5 1.
Manfaat Penelitian Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
2.
Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi mengenai pentingnya pelayanan informasi terhadap pasien khususnya pelayanan informasi obat sebagai salah satu upaya Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit
Universitas Sumatera Utara
(PKMRS) dan diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan rumah sakit yang terfokus pada pelayanan informasi kepada konsumen. 3.
Petugas PIO Sebagai bahan pembelajaran dan sumber informasi dalam mengkaji Pelayanan Informasi Obat untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.
Universitas Sumatera Utara