BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Diabetes Mellitus
(DM) merupakan
suatu penyakit
atau
gangguan
metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas, atau kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). Terapi insulin merupakan pilihan utama bagi penderita DM tipe 1. Pada DM tipe 1, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita mengalami kerusakan sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin dan harus mendapat insulin eksogen untuk membantu metabolisme karbohidrat dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Insulin dapat diberikan kepada pasien DM tipe 2 apabila pengobatan lain secara peroral tidak mencukupi (Diabetes, 2014). Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya dikemas dalam bentuk vial. Insulin umumnya diberikan melalui injeksi terutama subkutan (di bawah kulit). Penyerapan yang paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong. Pemberian insulin melalui rute injeksi memiliki beberapa kekurangan yaitu rasa sakit pada saat menyuntikan insulin, lipoatropi pada daerah yang diinjeksi berulangkali, resiko terjadi infeksi dan
dibutuhkan
keterampilan
khusus
1
untuk
melakukan
injeksi
sehingga
2
memengaruhi kenyamanan dan kepatuhan pasien dalam terapi (Amani, 20012; Boylan dan Nail, 2002; Chen dkk., 2003). Rute penghantaran insulin secara oral mulai banyak diteliti karena faktor kenyamanan yang pada akhirnya berpengaruh pada kepatuhan pasien (Kalra dkk., 2010). Namun, aplikasi insulin secara oral menghadapi hambatan yaitu absorpsi insulin yang rendah pada saluran gastrointestinal disebabkan oleh degradasi enzimatik. Solusi potensial yang ditawarkan adalah formulasi insulin dalam bentuk nanopartikel. Menurut Mukhopadhayay (2012) formulasi insulin menjadi bentuk nanopartikel menggunakan kitosan dengan metode self assembled telah berhasil meningkatkan stabilitas insulin di saluran cerna, khususnya lambung. Hal tersebut terlihat dari persentase insulin yang terlepas di pH lambung lebih sedikit dibandingkan pada pH usus. Nanopartikel insulin dalam penelitian ini telah berhasil diformulasikan oleh Rosyidi
dalam
tesisnya
yang
berjudul
Formulasi
Nanopartikel
Insulin
menggunakan Kitosan Bobot Molekul Sedang dan Karagenan dengan Teknik Gelasi Ionik pada tahun 2015. Nanopartikel insulin yang dibuat menghasilkan nilai entrapment efficiency sebesar 46,07% ± 1,09%, dengan rata-rata diameter partikel 130,7 nm hingga 282,1 nm, berbentuk sferik, stabil dalam cairan lambung dan usus, serta tidak bersifat toksik (Rosyidi, 2015). Kitosan yang bermuatan positif akan berikatan dengan membran sel dan dilaporkan dapat menurunkan trans-epithelial electrical resistance (TEER) dari sel monolayer serta meningkatkan permeabilitas paraselular (Arthursson dkk., 1994; Dodane dkk., 1996), sedangkan karagenan memiliki daya mukhoadhesi yang baik
3
dan dapat digunakan pada formulasi penghantaran obat secara oral dan bukal. Karagenan telah digunakan dalam mikroenkapsulasi protein dan bakteri probiotik (Kailasapathy, 2002; Patil dan Speaker, 2000). Kombinasi kitosan dan karagenan sebagai polimer pembawa nanopartikel insulin diharapkan dapat meningkatkan bioavaibilatas insulin, sehingga efektivitas farmakologi insulin yang diberikan melalui rute per oral akan meningkat. Penelitian secara in vivo mengenai aktivitas antihiperglikemik nanopartikel insulin menggunakan polimer karagenan 0,01% dan kitosan 0,1% dengan teknik ionik gelasi belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, peneliti ingin mengetahui pengaruh formulasi nanopartikel insulin terhadap aktivitas antihiperglikemik pada tikus betina Wistar yang terinduksi aloksan dibandingkan dengan insulin tanpa formulasi menjadi nanopartikel. Pada penelitian ini, aktivitas antihiperglikemik diukur melalui parameter penurunan kadar glukosa dalam darah. Hasil yang diharapkan adalah aktivitas penurunan kadar gula darah nanopertikel insulin lebih signifikan daripada aktivitas antihiperglikemik pembandingnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Apakah insulin yang diformulasikan dalam bentuk nanopartikel menggunakan kitosan dan karagenan dengan metode ionik gelasi memiliki aktivitas penurunan kadar glukosa darah yang lebih signifikan apabila dibandingkan dengan insulin tanpa formulasi?
4
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk. 1. Membandingkan aktivitas penurunan kadar glukosa darah insulin dalam bentuk formulasi nanopartikel menggunakan kitosan dan karagenan dengan metode ionik gelasi dengan insulin tanpa formulasi nanopartikel. D. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Mellitus Diabetes Melitus (DM) berasal dari bahasa Latin diabetes yang berarti penerusan dan melitus yang berarti manis (Lanywati, 2001). DM adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2008). Kondisi DM dibagi menjadi dua, yaitu DM tipe 1 (tergantung insulin) dan DM tipe 2 (tidak tergantung insulin). a. DM tipe 1 DM tipe 1 adalah tipe diabetes yang terjadi karena destruksi autoimun sel β pankreas yang berakibat defisiensi insulin dan hiperglikemia. Secara umum, DM tipe 1 timbul sebelum usia 40 tahun sehingga disebut diabetes juvenilis. Gejala timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada usia 9-14 tahun. Penderita penyakit DM tipe 1 sangat tergantung pada suntikan insulin. Penyakit ini bersifat auto-imun,
dengan berbagai antibodi antisel β yang
menimbulkan kerusakan sel β.
Sebagian antibodi ditunjukkan pada GAD
(dekarboksilasi glutamat). Enzim ini terdapat di sel β meski tidak memiliki fungsi penting di sel tersebut. Akan tetapi, enzim tersebut mempunyai fungsi yang sangat
5
penting di otak (Dalimartha, 2000; Ganong, 2003). Diduga, DM tipe 1 disebabkan oleh infeksi virus yang menimbulkan rekasi auto-imun berlebihan. Hal ini menyebabkan kelenjar pankreas ikut dirusak sehingga produksi insulin terhenti (Lanywati, 2001). b. DM tipe 2 Kelompok DM tipe 2 tidak tergantung pada insulin.
Penderitanya
didominasi berusia di atas 40 tahun dan tidak berkaitan dengan hilangnya seluruh kemampuan mensekresi insulin. Pankreas relatif cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin bekerja kurang sempurna. Tidak sempurnanya kerja insulin disebabkan oleh retensi insulin akibat kegemukan. Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel-sel β-pankreas menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila keadaan ini tidak ditangani dengan baik, pada perkembagannya penyakit selanjutnya penderita DM tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β-pankreas secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen (Departemen Kesehatan, 2005). 2. Insulin Insulin (bahasa Latin insula, ‘pulau’, karena diproduksi di pulau-pulau Langerhans di pankreas) adalah sebuah hormon polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat. Insulin merupakan efektor utama dalam homestasis karbohidrat. Selain itu, hormon ini juga ambil bagian dalam metabolisme lemak (trigliserida) dan protein.
Insulin
merupakan peptida
kecil (protein)
yang
6
mengandung 51 asam amino sintesis. Protein tersebut terdiri dari dua rantai, yaitu rantai A dan B. Keduanya dihubungkan oleh jembatan disulfida (sulfur-sulfur) di antara residu sistein (Dewitt dan Hirsh, 2003: Katzung, 1982).
Gambar 1. Struktur insulin (Mukhopadhyay, 2012)
Insulin adalah hormon yang secara kimia ditransfer ke dalam darah. Hormon tersebut mengontrol dan meregulasi aktivitas tertentu sel atau organ di dalam tubuh. Ketika kadar glukosa darah meningkat, pankreas akan menstimulasi pelepasan insulin ke dalam aliran darah. Pankreas memerintah jaringan untuk mengabsorbsi glukosa dari darah yang diawali dengan berikatannya insulin dengan jaringan. Saat insulin berikatan dengan reseptor di membran sel, protein pembawa glukosa dilepaskan dari sel ke permukaan membran sel kemudian membawa glukosa ke dalam jaringan untuk dimetabolisme. Metabolisme glukosa penting untuk pertumbuhan sel dan energi dalam hubungannya dengan fungsi sel. Tanpa insulin, sel tidak dapat mengabsorbsi glukosa yang ada di dalam darah (Dewitt dan Hirsh, 2003: Katzung, 1982). Insulin tidak memiliki efek hipoglikemik yang signifikan ketika diberikan secara
peroral
dikarenakan
insulin
mengalami
inaktivasi
dalam
saluran
7
gastrointestinal.
Absorpsi insulin melalui injeksi intramuscular
lebih
cepat
dibandingkan melalui injeksi subkutan. Insulin manusia dapat diabsorpsi sedikit lebih cepat pada jaringan dibandingkan insulin porcine atau bovine. Insulin dimetabolisme secara cepat terutama di dalam hati serta ginjal dan jaringan otot. Di ginjal, insulin direabsorbsi pada tubula proksimal kemudian dikembalikan ke dalam aliran darah atau dimetabolisme dan hanya sebagian kecil yang diekskresikan melalui urin dalam bentuk urin (Sweetman, 2009). 3. Nanopartikel Nanopertikel merupakan struktur koloidal yang berdimensi antara 10-1000 nm. Ukurannya yang sebanding dengan komponen sel manusia membuat nanopartikel sangat cocok untuk diaplikasikan dalam sistem penghantaran obat. Partikel berukuran nanometer dapat melewati membran dengan mudah karena ukuran kapiler lebih besar. Partikel yang mudah masuk dapat meningkatkan efisiensi obat. Nanopartikel memiliki kelebihan yang ada pada permukaannya. Permukaan nanopartikel dapat dimodifikasi sehingga dapat spesifik terikat pada ligan tertentu (Bisht et al., 2007). Nanopartikel mampu mengikat obat yang diinginkan, atau gen dalam partikel, atau menyerap obat tersebut pada permukaan partikel (Arayane dan Sultana, 2006). Material berukuran nanometer memiliki sejumlah sifat kimia dan fisika yang lebih unggul daripada material berukuran besar. Semakin kecil ukuran suatu material, maka luas permukaan semakin besar. Nanopartikel telah digunakan sebagai salah satu pendekatan fisika untuk mengubah dan meningkatkan profil farmakokinetik dan farmakodinamik dari
8
berbagai jenis molekul obat.
Nanopartikel mempunyai banyak
keuntungan
dibandingkan mikropartikel. Ukuran partikelnya yang lebih kecil dari 1 µm menyebabkan nanopartikel lebih cocok untuk penghantaran secara intravena. Pembuluh darah kapiler dalam tubuh berukuran 5-6 µm. Ukuran partikel yang didistribusi dalam darah harus lebih kecil dari 5 µm, tanpa membentuk agregat dan untuk memastikan partikel tidak akan menyebabkan emboli (Singh dan Lillard, 2009). Ada dua macam nanopartikel yang dibentuk dari polimer, yaitu nanokapsul dan nanosfer. Nanokapsul terdiri dari polimer yang membentuk dinding melingkupi senyawa obat yang terjerap di dalamnya atau teradsopsi pada bagian permukaan membran. Nanosfer merupakan sistem matriks dengan obat terdispersi atau teradsorpsi secara merata. Istilah nanopartikel digunakan karena terkadang sulit untuk
menentukan apakah partikel dalam bentuk
matriks
atau
membran
(Tiyaboonchai, 2003). Pengembangan nanopartikel polimer berasal dari polimer alami atau sintesis. Ada beberapa kriteria polimer yang ideal sebagai pembawa nanopartikel, biokompatibel,
di
antaranya
biodegradable,
mudah memiliki
untuk
disintesis
respon
imun
dan yang
dikarakteristik, minimal,
sifat
toksisitasnya rendah, larut dalam air, serta tidak mahal (Megafitriah, 2011). Nanopartikel harus tetap stabil dalam cairan ekstraseluler. Ketidakstabilan nanopartikel dalam cairan ekstraseluler dapat mengganggu interaksi polielektrolit. Setelah nanopartikel sampai ke sel target, nanopartikel kemudian terikat oleh membran sel yang bermuatan negatif dan memicu terjadinya endositosis (Mohanraj dan Chen, 2006).
9
Salah satu metode pembuatan nanopartikel polimerik adalah ionik gelasi. Ionik gelasi merupakan metode yang digunakan untuk formulasi nanopartikel menggunakan polimer polisakarida. Pada metode ini, polisakarida (alginat, gelatin dan pektin) dilarutkan dalam air atau medium asam lemah. Kemudian larutan ini diteteskan pada larutan lain yang mengandung counter ion dalam pengadukan konstan. Cara tersebut menyebabkan kompleksasi akibat muatan yang berbeda antara polisakarida dan counter ion. Lalu terjadi gelasi ionik dan presipitasi yang membentuk partikel sferis. Metode ionik
gelasi sering digunakan untuk
preparasi nanopartikel
menggunakan kitosan. Pada larutan asam, gugus –NH2 dari kitosan akan terprotonasi dan berinteraksi dengan agen gelasi dalam muatan yang berbeda. Agen gelasi yang sering digunakan adalah tripolifosfat (TPP) yang menghasilkan interaksi antara muatan positif dari gugus amina yang terprotonasi pada kitosan dengan muatan negatif TPP untuk membentuk kompleks dengan ukuran dalam rentang nanopartikel (Racovita dkk., 2009). 4. Nanopartikel Insulin Metode preparasi nanopartikel yang digunakan pada penelitian ini adalah metode ionik gelasi. Prinsip dari metode ini didasarkan pada interaksi elektrostatik antara gugus amina yang bermuatan positif dengan suatu anion yang bermuatan negatif (Tiyaboonchai, 2003). Formulasi nanopartikel insulin dihasilkan melalui reaksi gelasi ionik, yang diawali dengan interaksi antara muatan positif kitosan (NH3 +) dengan muatan negatif insulin.
10
Setelah terjadi enkapsulasi insulin dalam matriks kitosan, maka akan terbentuk suatu nanopartikel. Gugus (NH3 +) yang tersisa pada polimer kitosan dalam suatu kompleks partikel akan saling tolak menolak satu sama lain yang menyebabkan ketidakstabilan kompleks (Daud, 2015). Penambahan karagenan yang bermuatan negatif dengan adanya gugus (OSO3 -) akan mengaitkan polimer kitosan satu dengan yang lain, membentuk kunci yang akan mencegah kitosan yang sudah mengenkapsulasi insulin untuk terurai/terlepas. Hal ini akan meningkatkan stabilitas nanopartikel terbentuk sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Ilustrasi pembentukan nanopartikel insulin yang terenkapsulasi matriks polimer kitosan-karagenan. (Rosyidi, 2015)
Pembentukan nanopartikel yang baik harus menggunakan perbandingan kitosan, karagenan, dan senyawa obat yang tepat (Kunjachan dkk., 2010). Pembuatan nanopartikel insulin pada penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Rosyidi dalam tesisnya yang berjudul Formulasi Nanopartikel Insulin Menggunakan Kitosan Bobot Molekul Sedang dan Karagenan dengan Teknik Gelasi Ionik (2015), yaitu nanopartikel insulin menggunakan perbandingan konsentrasi insulin 0,1%, kitosan 0,1%, dan karagenan 0,01%.
11
Formula nanopartikel yang terbentuk berdiameter 130,7 nm hingga 282,1 nm. Data distribusi ukuran partikel yang dinyatakan sebagai Polydispersity Index (PI) dari formula yang dibuat menunjukkan bahwa formula memiliki distribusi ukuran partikel yang homogen dengan rentang harga PI antara 0,330 hingga 0,381. Pemeriksaan morfologi nanopartikel insulin sebelum liofilisasi menggunakan TEM pada magnifikasi 20.000. Hasil pemeriksaan tersebut menyatakan bahwa telah terbentuk nanopartikel yang solid dan kompak berbentuk mendekati sferis dengan ukuran diameter dibawah 200 nm. Nanopartikel sferis yang terbentuk menunjukkan bahwa karagenan telah berhasil membentuk tautan silang antar kitosan BM sedang dan insulin sehingga terbentuk nanopartikel yang uniform. Partikel-partikel yang ada terpisah antara satu dengan yang lain menunjukkan bahwa sistem dispersi nanopartikel yang terbentuk adalah stabil dan tidak mengalami pengumpulan atau pengelompokkan (Rosyidi, 2015).
Nanopartikel
insulin
yang
tebentuk
menghasilkan
nilai
entrapment
efficiency sebesar 46,07 ± 1,09 %. Entrapment efficiency digunakan untuk mengetahui perbandingan antara senyawa yang berhasil terkompleks dalam sistem nanopartikel dengan total senyawa yang digunakan dalam formulasi. Nilai ini menggambarkan
kemampuan kitosan
mengikat
senyawa
dalam membentuk
nanopartikel. Semakin tinggi nilai entrapment efficiency maka semakin banyak senyawa yang terikat oleh polimer kitosan dalam suatu sistem nanopartikel. Hasil karakterisasi tambahan pada formula optimum nanopartikel insulin mengahasilkan nilai zeta potensial +38,8 mV. Potensial zeta bernilai positif menunjukkan bahwa permukaan partikel yang terbentuk didominasi oleh muatan positif yang berasal dari kitosan BM sedang dan insulin. Sebagian besar muatan
12
negatif dari karagenan diperkirakan telah berinteraksi dengan muatan positif kitosan BM sedang dan insulin untuk membentuk tautan silang sehingga terbentuk nanopartikel yang kompak. (Rosyidi, 2015). Nilai potensial zeta pada sistem dispersi nanopartikel formula optimum lebih besar dari (+/-) 30 mV dapat dikategorikan sebagai dispersi nanopartikel yang stabil. 5. Karagenan Karagenan, yang dikenal juga dengan nama carrageenan, carragenin, carraghenates, chondrus extract, atau irish moss extract, merupakan polisakarida hasil ekstraksi Rhodophyceae atau rumput laut merah (Sweetman, 2009). Karagenan hanya dapat dihasilkan dari alga yang berasal dari marga Euchema dan Hypnea. Habitat umum alga merah ini di terumbu karang, mulai dari garis pasang surut terendah hingga kedalaman 40 m dari permukaan laut (Kordi, 2010).
Gambar 3. Struktur molekul karagenan (Rowe dkk., 2009)
13
Berdasarkan kandungan ester sulfatnya, karagenan dibedakan menjadi 3, yaitu kappa, iota dan lambda (Pancomulyo dkk., 2006). Karagenan memiliki karakteristik serbuk berwarna putih hingga kuning kecoklatan, ada yang berbentuk butiran kasar hingga serbuk halus, tidak berbau, serta memberi rasa berlendir di lidah. Karagenan memiliki sifat larut dalam air bersuhu 80o C (Rowe dkk., 2009). Karagenan memiliki daya mukoadhesi yang baik dan dapat digunakann pada formulasi penghantaran obat secara oral dan bukal. Hydrogel beads dengan basis karagenan dan sodium alginat atau kitosan digunakan sebagai bahan pembawa obat dan sistem penghantaran obat terkendali (Mohamadnia dkk.,
2008;
Piyakulawat dkk., 2007). Karagenan juga dapat digunakan dalam nanoenkapsulasi molekul obat secara spontan serta mengatur pelepasan obat (Olivia dkk., 2002). Keberadaan karagenan menginduksi pembentukan partikel yang terbentuk akan tergantung pada asal dan konsentrasi karagenan yang digunakan (Daniel-da-Silva dkk., 2007). 6. Kitosan Kitosan adalah polisakarida turunan kitin yang terdiri dari ikatan Dglukosamin dan N-asetil-D-Glukosamin yang berikatan (1,4)-β-glikosidik. Rantai kitosan tidak linier dan mempunyai rumus molekul C6 H11 NO4 atau disebut [poli (2amina-2-deoksi-β-(1,4)-D-glukopiranosa] (Fernandez, 1999). Salah satu polimer polikationik yang digunakan sebagai penghantar adalah kitosan dengan polimer bertoksisitas rendah, biodegradabel dan biokompatibel, larut dalam asam encer, serta bermuatan positif (Aranaz dkk., 2010).
14
Kitosan merupakan basa lemah dengan nilai pKa 6,5 sehingga larut dalam medium asam, seperti asam asetat, asam sitrat, dan asam aspartat, serta tidak larut dalam suasan pH netral dan alkali (Guliyeva dkk.,2006). Kitosan tidak larut dalam air, larutan basa kuat, dan beberapa pelarut organik, seperti alkohol, aseton, dimetilformamida, dan dimetil sulfoksida. Kitosan akan bermuatan positif dalam kondisi asam dan dapat membentuk kompleks polielektrolit dengan senyawa yang memiliki muatan negatif (Muzzarelli, 1996).
Gambar 4. Struktur molekul kitosan (Mukhopadhyay, 2012)
Formulasi
kitosan
dalam
bentuk
nanometer
lebih
efisien
dalam
menghantarkan senyawa protein (Fernandez-Urrusumo dkk., 1999; Ma dkk., 2005; Ma dan Lim, 2003; Pan dkk., 2002). Pemberian secara oral insulin dalam bentuk nanopartikel kitosan dengan ukuran sekitar 300 nm dan bermuatan positif pada tikus diabetes menyebabkan penurunan kadar glukosa dalam plasma selama 10 jam setelah pemberian (Pan dkk., 2002). Nanopartikel kitosan diduga dapat melindungi insulin terhadap degradasi pada gastrointestinal dan dapat meningkatkan uptake melalui mukoadhesi dan/atau peningkatan permeasi. 7. Glibenklamid Glibenklamid digunakan sebagai obat antidiabet oral yang merupakan pilihan pengobatanan awal untuk pasien DM tipe 2 dengan hiperglikemia tidak dapat dikontrol hanya dari makanan.Glibenklamid merupakan obat hipoglikemik
15
yang termasuk dalam golongan senyawa sulfonilurea generasi kedua. Glibenklamid (C23 H28 C1 N3 O5 S) dengan bobot molekul 494,0 memiliki sifat yang praktis tidak larut dalam air dan eter, sukar larut dalam etanol dan methanol, dan larut sebagian dalam kloroform (Depkes RI, 1995). Mekanisme aksi glibenklamid yaitu merangsang sekresi hormon insulin dari granul-granul sel β insulai Langerhans. Interaksi antara glibenklamid dengan reseptor spesifiknya pada sel β pankreas akan menyebabkan penutupan kanal adenosine triphosphate-sensitive potassium (KATP) sehingga ion K+ tidak dapat masuk ke dalam sel dan terjadi depolarisasi pada membran sel β pankreas. Menutupnya kanal KATP akan menyebabkan kanal ion Ca+ terbuka dan akan menyebabkan masuknya ion kalsium ke dalam sel yang akan mendorong terjadinya translokasi granul sekretori ke permukaan sel sehingga insulin akan dikeluarkan melalui proses eksositosis (Andayani, 2003; Federiuk dkk., 2004). Potensi
glibenklamid
200
kali
lebih
besar
daripada
tolbutamid.
Glibenklamid akan lebih efektif dan mencapai kadar optimal di plasma bila diminum 30 menit sebelum makan. Glibenklamid memiliki waktu paruh sekitar 4 jam. Dalam plasma, sekitar 90-99% terikat pada protein plasma, terutama albumin. Efek hipoglikemik glibenklamid berlangsung selama 12-24 jam sehingga cukup diberikan 1 kali sehari (Suherman, 2007).
16
Gambar 5. Struktur molekul glibenklamid
8. Aloksan Aloksan
(2,4,5,6-tetraoksipirimidin;
2,4,5,6-pirimidintetron)
adalah
turunan dari pirimidin yang teroksidasi dan menghasilkan aloksan hidrat dalam larutan akuades (Rohilla dan Ali, 2012). Menurut Merck dalam Shazad dkk. (2005), aloksan adalah bahan kimia pertama yang digunakan untuk induksi diabetes dalam penelitian. Aloksan ditemukan oleh Leibig pada ekskresi lendir (mucus) selama disentri. Menurut Bonar dalam Shazad dkk. (2005), dosis aloksan untuk membuat diabetes sangat bervariasi tergantung spesies, umur, dan keadaan metabolik dari hewan itu sendiri.
Gambar 6. Struktur molekul aloksan
17
Aloksan digunakan sebagai penginduksi dalam diabetes melitus karena aloksan dapat bekerja secara selektif dengan destruksi produksi insulin pada sel β pankreas. Aloksan menginduksi respon gula darah secara multiphase ketika diinjeksi ke hewan percobaan. Kemudian diikuti dengan perubahan struktur sel β yang nantinya menyebabkan nekrosis (Rohilla dan Ali, 2012). Waktu paruh aloksan yang pendek membuat aloksan harus terakumulasi dengan cepat dalam sel β (Hammarstrom dkk., 1967). Setelah beberapa menit di dalam darah, aloksan akan dikonversi menjadi non-diabetogenik aloksan (Lenzen dan Munday, 1997). Menurut Gomori dan Godner dalam Lenzen (2008), aloksan menjadi tidak efektif ketika aliran darah menuju pankreas mengalami gangguan selama beberapa menit setelah injeksi aloksan.
18
E. LANDASAN TEORI
Insulin eksternal menjadi satu-satunya pengobatan yang efektif untuk diabetes karena tuntutan keberhasilan terapi yang disebabkan kepatuhan pasien dalam
meminum
obat
yang
baik.
Namun,
fisikokimiawi
dari
saluran
gastrointestinal (GI) menjadi hambatatan bioavailabilitas insulin yang diberikan melalui per oral (Mukhopadhyay dkk., 2012). Di dalam lambung terdapat famili protease aspartat yang disebut pepsin, di dalam usus halus terdapat pancreatic protease yang terdiri dari serine endopetidase yang bertanggung jawab atas degradasi protein (Bruno dkk., 2013; Rao dkk., 1998). Hambatan tersebut dapat diatasi dengan memformulasikan insulin dalam bentuk nanopartikel menggunakan suatu polimer. Menurut Damge (2007) ketika insulin diformulasikan menjadi nanopartikel dengan kitosan dan diberikan secara oral, konsentrasi insulin dalam plasma meningkat. Hal tersebut membuktikan bahwa polimer kitosan dapat meningkatkan stabilitas insulin dalam saluran cerna. Berdasarkan penelitian Mukhopadhyay dkk (2012), formulasi nanopartikel insulin menggunakan polimer kitosan
dengan metode self-assembled
yang
diberikan secara oral menunjukan bahwa insulin yang diformulasikan menjadi nanopartikel dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit diabetes yang diinduksi aloksan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk (2012), pemberian secara oral nanopartikel insulin menggunakan thiolated eudragit menurunkan kadar glukosa pada tikus jantan galur Wistar diabetes yang diinduksi streptozotosin dengan dosis 65 mg/kgBB dengan mekanisme meningkatkan permeabilitas insulin
19
dan menghambat aktivitas enzim pencernaan. Karagenan juga telah dilaporkan dapat berikatan dengan polimer dengan muatan yang berlawanan misalnya kitosan (Rodrigues dkk, 2010). Salah satu metode pembuatan nanopartikel adalah dengan metode ionik gelasi. Metode ini berkaitan dengan terjadinya pembentukan kompleks oleh muatan berlawanan yang kemudian membentuk gel dalam ukuran nanopartikel. Muatan yang berlawanan berasal dari muatan positif gugus amina kitosan yang terprotonasi dalam suasana asam dengan muatan negatif pada gugus sulfat karagenan (Senthil dkk., 2010). Dengan adanya interaksi elektrostatik antara muatan positif kitosan dan negatif karagenan, terbentuklah matriks polimer yang menguntungkan dalam membawa insulin. Menurut penelitian Rodrigues dkk (2010) Nanopartikel kitosan dan karagenan dapat dibuat dengan perbandingan 4:1 hingga 7:1 dengan konsentrasi karagenan yang digunakan 0,25%. Insulin yang diformulasi menjadi nanopartikel menggunakan kombinasi polimer kitosan dan karagenan ini, diharapkan dapat melindungi insulin dari degradasi enzimatik dan non-enzimatik dan meningkatkan permeabilitas trans mukosa intestinal, sehingga absorpsi insulin ke dalam sirkulasi sistemik meningkat dan efektif menurunkan kadar glukosa darah apabila dibandingkan dengan insulin tanpa diformulasi nanopartikel insulin.
20
F. HIPOTESIS
Insulin yang diformulasi dalam bentuk nanopartikel menggunakan kitosan dan karagenan dengan metode ionik gelasi memiliki aktivitas penurunan kadar glukosa darah yang berbeda signifikan apabila dibandingkan dengan insulin tanpa diformulasi.