BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang penelitian Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kalangan strata masyarakat dan merupakan penyakit kronis yang dialami seumur hidup. Penyakit tersebut juga menjadi penyebab meningkatnya morbiditas dan mortalitas (Katon et. al., 2005; Rustad et. al., 2010; Sacco and Bycowski, 2010; Yavari and Mashinchi, 2010; Papelbaum et. al., 2011). Seiring dengan perubahan gaya hidup „modern‟, dari waktu ke waktu jumlah penderita DM semakin bertambah. Saat ini di Indonesia DM menempati posisi ke-4 dari jumlah penderita DM seluruh dunia. Prevalensi DM untuk semua kelompok umur di seluruh dunia diperkirakan 4,4% pada tahun 2030. Sedangkan prevalensi DM di negara berkembang diperkirakan meningkat dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2030 (Wild et. al., 2004). Manusia terdiri dari unsur bio-psiko-sosio-spiritual. Unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya. Apabila unsur bio (fisik) terganggu maka akan berpengaruh pada unsur psikologis, sosial dan spiritualnya (Fisher et. al., 2012). Gangguan medis yang dialami seseorang akan menyebabkan orang tersebut menjadi rentan mengalami gangguan psikologis (jiwa). Penyakit kronik seperti DM adalah salah satu penyakit fisik yang dihubungkan dengan kerentanan
1
2
pasiennya mengalami gangguan jiwa (depresi) (National Institute of Mental Health (NIMH), 2011; Andri, 2012). Sebuah review komprehensif dari 9 penelitian menggunakan kelompok kontrol, depresi didapatkan pada kelompok DM 2-3 kali dibanding kelompok kontrol (Eaton, 2002). Penelitian oleh Zahid, et. al. (2008) terhadap komunitas rural di Pakistan menemukan prevalensi depresi lebih tinggi yaitu 14,7% (6.6– 22.8) diantara penderita DM dibanding 4.9% (3.7–6.1) diantara orang non DM. Gejala-gejala DM secara signifikan mengganggu kualitas hidup dan berkontribusi pada ketidakmampuan fungsional dan distres psikologis (Ludman et. al., 2004). Hasil penelitian Nouwen et. al. (2010); Ali et. al. (2006) dan Anderson et. al. (2001) menemukan bahwa orang DM (tipe 2) lebih mungkin mengalami depresi dibanding orang yang tidak sakit DM. Hsu et. al. (2012) juga mendapatkan hasil bahwa insiden depresi terjadi 1,80 kali lebih tinggi pada kelompok DM dibanding kelompok non DM. Stres psikologis terkait dengan penyakit kronis dan progresif seperti DM mungkin juga meningkatkan resiko depresi (McIntosh et. al., 2008; Hermanns and Kulzer, 2008; Katon et. al., 2009; Egede and Ellis, 2010). Demikian juga dapat terjadi sebaliknya, orang yang mengalami gangguan depresi mempunyai kerentanan untuk mengalami sakit DM. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Hert et. al. (2011) yang menemukan bahwa orang depresi 1,2 2,6 kali lebih mungkin untuk mengalami DM dibanding orang yang tidak depresi. Depresi meningkatkan resiko DM melalui perilaku perawatan diri yang buruk, misalnya merokok, makan berlebihan dan kurang aktivitas. Perilaku buruk
3
ini menimbulkan keadaan yang disebut kelebihan berat badan atau obesitas. Obesitas merupakan keadaaan yang dihubungkan dengan resistensi insulin yang merupakan awal dari DM tipe 2 (Nurtanio dan Wangko, 2007; Pusparini, 2007). Terdapat 3 gejala utama DM yaitu „3P‟: banyak kencing (poliuri), banyak minum (polidipsi) dan banyak makan (polifagi). Ketiga gejala ini berkaitan langsung dengan kadar gula darah yang tinggi. Akibat hilangnya sejumlah besar kalori melalui poliuri, perjalanan penyakit DM menyebabkan penderitanya mengalami penurunan berat badan. NIMH (2011) mengatakan bahwa dari beberapa penelitian, pasien DM dengan depresi mempunyai gejala DM yang lebih parah dibanding dengan pasien yang hanya menderita DM tanpa depresi. Pada pasien DM yang mengalami depresi secara perilaku kebanyakan tidak mampu melakukan hal-hal positif untuk menjaga agar penyakitnya tidak bertambah parah. Seperti dibuktikan oleh Anastasia (2009) pada penelitiannya tentang hubungan tingkat depresi dengan kecenderungan berperilaku sehat pada penderita DM yang sudah menderita DM selama sedikitnya 3 tahun, mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan negatif yang kuat diantara keduanya. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat depresi akan semakin rendah kecenderungan berperilaku sehat. Penelitian tentang apakah lama menderita DM berhubungan dengan tingkat depresi belum banyak berkontribusi memberikan hasil yang konsisten. Namun demikian beberapa penelitian menemukan adanya hubungan lama menderita DM dengan kejadian depresi (Shahrakivahed et. al., 2012). Walaupun
4
untuk menentukan akurasi lama menderita DM merupakan hal yang sulit, karena DM mungkin sudah ada selama beberapa tahun sebelum terdiagnosis. Katon et. al. (2009) pada penelitiannya terhadap penderita DM dengan desain kohort 5 tahun follow up menemukan bahwa kejadian depresi semakin meningkat dengan semakin lamanya menderita DM. Demikian juga Al-Amer et. al. (2011) dalam penelitiannya menemukan lebih banyak kejadian depresi pada penderita DM yang sudah menderita DM lebih dari 7 tahun dibandingkan mereka yang menderita DM kurang dari sama dengan 7 tahun. Shahrakivahed et. al. (2012) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara lamanya menderita DM dengan tingkat keparahan depresi. Raval et. al. (2010) pada penelitiannya menemukan bahwa lama menderita DM lebih dari 9 tahun mempunyai kemungkinan 1,03 kali untuk menderita depresi dibanding mereka yang menderita DM kurang dari sama dengan 9 tahun. Walaupun hasil ini kurang signifikan karena nilai p=0,56. Hasil yang bertentangan, walaupun kurang signifikan (p=0,07), didapatkan dari penelitian Téllez-Zenteno and Cardiel (2002) yang menemukan lama menderita DM lebih dari sama dengan 15 tahun mempunyai resiko yang lebih kecil untuk menderita depresi dibanding mereka yang menderita DM kurang dari 15 tahun. Oleh karena adanya beberapa kontroversi hasil penelitian, maka peneliti melakukan penelitian ini untuk menemukan data tentang depresi pada penderita DM tipe 2 non obes dan bagaimana hubungan lama menderita DM dengan tingkat depresi.
5
B. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut: “Apakah terdapat hubungan antara lama menderita DM dengan tingkat depresi pada penderita DM tipe 2 non obes di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?”
C. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lama menderita DM dengan tingkat depresi pada penderita DM tipe 2 non obes di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
D. Manfaat penelitian 1.
Manfaat bagi ilmu pengetahuan Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan masukan dalam khasanah ilmu pengetahuan tentang hubungan lama menderita DM dengan tingkat depresi pada penderita DM tipe 2 non obes di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan data pendukung untuk penelitian lain yang sejenis.
2. Manfaat dalam aplikasi klinis a.
bagi keluarga: dapat menjadi salah satu literatur tentang hubungan lama menderita DM dengan tingkat depresi sehingga dapat memberikan dukungan perilaku sehat kepada anggota keluarganya yang menderita DM.
b.
bagi pasien: sebagai pedoman dan motivasi untuk berperilaku sehat terkait dengan penyakit DM yang dideritanya.
6
c.
bagi pemerhati dan profesional kesehatan jiwa: sebagai perhatian dan tambahan wawasan tentang hubungan lama menderita DM dengan tingkat depresi pada penderita DM tipe 2 non obes.
E. Keaslian penelitian Dari hasil penelusuran, diperoleh beberapa penelitian mengenai kejadian depresi pada penderita DM sebagai berikut: Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti
Judul
Raval et.al., 2009
Prevalence & determinants of depression in type 2 diabetes patients in a tertiary care centre
Shahraki vahed et. al., 2012
TéllezZenteno and Cardiel, 2002
Frequency and Severity of Depression in Diabetic Patients Referred to Diabetes Center of Zabol
Risk Factors Associated with Depression in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus
Metode, Subjek dan variabel Cross sectional 300 pasien DM tipe 2 rawat jalan, var. umurjeniskelaminstatusnikah-durasiDMriwkeldepresidukungankel-ORkepatuhanobat/dietkomplikasiDMkadarguladarah cross sectional, 100 pasien DM, var. umur-jenis kelaminpendidikan-statusnikahtipeDM-durasiDMterapi-komplikasi (lukakaki,gagalginjal,hip ertensi),kadarguladarahkadarHbA1C
Alat ukur PHQ9
cross sectional, 189 pasien DM tipe 2, var. jenis kelaminstatusnikah-agamapendidikan-pekerjaanstatussosioekodurasiDM-komorbiditaskepatuhanterapi-kontrol guladarah.
BDI
BDI
Hasil Persamaan: Metode penelitian, var. umur, jenis kelamin, status nikah, durasiDM Perbedaan: Tempat, subjek, instrumen penelitian, var. riw kel depresi, dukungan kel, OR, kepatuhan obat/diet, komplikasi DM, kadar gula darah Persamaan: Metode, instrumen penelitian, var. umur, jenis kelamin, pendidikan, status nikah, durasi DM, terapi, luka kaki, hipertensi, komorbid (ginjal) Perbedaan: Tempat, subjek penelitian, var. tipe DM, kadar gula darah, kadar HbA1C Persamaan: Metode, instrumen penelitian, var. jenis kelamin, status nikah, pendidikan, pekerjaan, lama menderita DM, komorbiditas. Perbedaan: Tempat dan subjek penelitian, var. agama, status sosioekonomi, kepatuhan terapi, kontrol gula darah.