BAB II KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN Appendiksitis adalah peradangan dari appendik vermiformis, dan semua penyebab akut yang paling sering (Mansjoer & Arif, 2000). Menurut Smeltzer C (2002), dalam Long (1996), pengertian appendiksitis adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira sekitar 10cm (4 inchi), melekat pada sekum tepat bawah katup ileocecal. Appendiksitis adalah suatu peradangan yang berbentuk cacing, yang berlokasi di katup ileocecal. Hal lain yang disebutkan (Price, 2006), appendiksitis adalah peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ. Jadi yang dapat disimpulkan peengertian dari appendiksitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada appendiks seperti jari yang kecil panjangnya kirakira sekitar 10cm (4 inchi), melekat pada sekum tepat bawah katup ilocecal yang merupakan dan memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk jika telah terjadi perforasi. Klasifikasi appendiksitis terbagi menjadi 2 macam yaitu: 1. Appendiksitis akut, dibagi atas: Appendiksitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal appendiksitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah. Appendiks akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus di 6
samping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks dan cacing ascaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendiksitis adalah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. 2. Appendiksitis kronik, dibagi atas: Apendiksitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendiksitis kronis oblivertiva yaitu appendiksitis miring, biasanya ditemukan pada usia tua. Diagnosis appendiksitis kronik ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik appendiks secara makroskopis
dan
mikroskopis,
dan
keluhan
menghilang
setelah
appendiktomi.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
http://www.google.co.id/search=anatom/fisiologi/sistem/pencernaan
7
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendiksitis
pada
usia
itu.
Pada
65%
kasus,
appendiksitis
terletak
intraperitonial. Kedudukan itu memungkinkan appendik bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungannya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, di belakang kolon assenden, atau tepi lateral kolon assenden. Gejala klinis appendiksitis ditentukan oleh letak appendiks. Persyarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesentrika superior dan a.apendikularis. Sedangkan persyarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendiksitis bermula dari umbilicus. Peradarahan appendiksitis berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika ini tersumbat misalnya karena thrombosis pada infeksi appendiks akan mengalami gangrene.
(De jong, dkk, 2004)
8
FISIOLOGI 1. Usus halus Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada sekum yang panjanngnya kurang lebih 6 m. Merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil pencernaan yang terdiri dari lapisan usus halus (lapisan mukosa [sebelah dalam]), lapisan otot melingkar (M.sirkuler), lapisan otot memanjang (M.longitudinal) dan lapisan serosa. 2. Duodenum Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya kurang lebih 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas (duktus wirsungi/duktus pankrestikus). Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase. Pankreas juga menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi sakarida, dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam amino atau albumin dan polipeptida. Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar-kelenjar bruner, berfungsi untuk memproduksi getah intesnium.
9
3. Jejenum dan ileum Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar kurang lebih 6 m. Dua perlima bagian atas adalah (jejenum) dengan panjang kurang lebih 23 m dan ileum dengan panjang 4-5 m. Lekukan jejenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesentrium. Akar mesentrium memungkinkan keluar dan masuknya cabangcabang arteri dan vena mesentirka superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritoneum yang membentuk mesentrium. Sambungan antara jejenum dan ileum tidak mempunyai batas tegas. Ujung bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan perantaan lubang yang bernama orifisium ileosikalis. Orifisium ini diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula sekalis atau valvula baukhini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon asenden tidak masuk kembali ke ileum. 4. Usus besar Usus besar atau intestinum mayor panjangnya kurang lebih 1,5 m, lebarnya 5-6 cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar: selaput lendir, lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus besar adalah menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri koli, tempat feses. 5. Sekum Dibawah sekum terdpat appendiks vermiformis yang berbenruk cacing sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritonium mudah bergerak walaupun tidak mempunyai 10
mesenterium dan dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup. 6. Kolon assendens Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kanan, membujur ke atas dari ileum ke bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica, dilanjutkan sebagai kolon transversum. 7. Appendiks (usus buntu) Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum, Mempunyai pintu keluar yang senpit tetapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus. Appendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor, terletak horizontal di belakang sekum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang appendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen. 8. Kolon transversum Panjangnya kurang lebih 38 cm, membujur dari kolon assendens sampai ke kolon desendens berada dibawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis. 9. Kolon desendens Panjangnya kurang lebih 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari kiri atas ke bawah fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung dengan kolom sigmoid.
11
10. Kolon sigmoid Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S, ujungnya bawahnya berhubungan dengan rectum. 11. Rektum Rektum terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intesnium mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os koksigis. (Syarifuddin H, 2006)
C. ETIOLOGI/PREDISPOSISI Menurut (Smeltzer,2001) etiologi atau predisposisi appendiksitis adalah sebagai berikut: 1. Obstruksi lumen 2. Infeksi, biasanya secara hematogen. Antara lain jenis kuman: E. Coli, Streptocouccus. 3. Makan makanan yang rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendiks. Yang mempengaruhi terjadinya appendiksitis ada 4 faktor yaitu: 1. Adanya lumen 2. Derajat sumbatan terus meneurs 3. Sekresi mukus ysng terus menerus 4. Sifat inelastis/tak lentur dari mukosa appendik 12
D. PATOFISIOLOGI Appendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebutkan mukus yang diproduksi mukosa yang mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendiksitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiksitis supuraktif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti gangren. Stadium ini disebut dengan appendiksitis gangreosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiksitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat appendilkularis. Peradangan appendiks tersebut menjadi abses 13
atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan tejadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah. (Mansjoer. A, 2000)
E. MANIFESTASI KLINIK 1. Nyeri di daerah umbilikus atau periumbulikus. 2. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan ke titik Mc Burney, kadang juga tidak timbul nyeri. 3. Sering mual dan muntah. 4. Nafsu makan menurun. 5. Mengeluh sakit perut pada saat batuk dan berjalan. 6. Demam tidak terlalu tinggi suhu sekitar 37,50-38,50C. 7. Malaise.
F. KOMPLIKASI Appendiksitis merupakan penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perfoarsi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman dilakukan dalam masa tersebut. Tanda-tanda perforasi meliputi nyeri, spasne otot dinding peut kuadran kanan bawah dengan
14
tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositasis semakin jelas. Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang: tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian cairan dan elektrolit,
pemberian
penenang,
pemberian
antibiotik
berspektrum
luas
dilanjutkan dengan hasil kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septic secara intensif bila ada. Bila terbentuk abses appendiks akan teraba massa kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, genatmisin, metronidazol, atau klindamsin). Dengan sediaaan ini abses akan segera menghilang, dan appendiktomi dapat dilakukan 6-12 minggu. Pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan flukuasi posisi juga perlu dibutakan drainase Tromboflebitis sufuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila dietmukan demam sepsis, menggigil, hepatomaegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi appendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotic kombinasi dengan drainase. Kompilkasi yang lain dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
15
G. PENATALAKSANAN Appendiktomi Ada 3 cara tehnik operatif yang mempunyai keuntungan dan kerugian 1. Insisi menurut Mc.Burney (grid incision atau muscle splitting incision). Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis yang menghubungkan spinal iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik Mc.Burney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritonium parietal (mengkilat berwarna biru ke abu-abuan) yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum di kenal dari ukurannya yang besar, megkilat, lebih kelabu/putih, mempunyai hustrae dan taenia koli. Sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah, dan tidak mempunyai haustrae atau taenia koli. Basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia koli . Tehnik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam. 2. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision) Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc. Burney, hanya sayatannya langsung menembus dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai 16
tampak peritonium. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong syaraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi dan massa penyembuhan lebih lama. 3. Insisi pararektal Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. rektus abdominalis dekstra secara vertical dati cranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungan teknik ini dapat dipakai kasus-kasus appendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya sayatan ini tidak secara langsung mengarah ke appendiks atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi jahitan perlu dilakukan jahitan penunjang. H. PENGKAJIAN FOKUS 1. Data dasar pengkajian a. Aktivitas istirahat Gejala: malaise b. Sirkulasi Tanda: Takikardi c. Eliminasi 17
Gejala: Konstipasi pada awitan awal Diare (kadang-kadang) Tanda: Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan Penurunan atau tidak ada bising usus d. Makanan dan cairan Gejala: Anoreksia Mual/muntah e. Nyeri/kenyamanan Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang kanan ileum kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada appendiks) Tanda: Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak. f. Keamanan Tanda: Demam g. Pernapasan Tanda: Takipnea, pernapasan dangkal 2. Usia 3. Pemeriksaan fisik
18
a. Inspeksi perut: tidak ditemukan gambaran spesifik, kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat massa atau abses periappendikuler b. Palpasi: didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans musparietale. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis. c. Peristaltik usus sering normal: peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalsata akibat appendisitis perforate 4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak appendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau flesi aktif sendi panggul kanan atau flesi aktif sendi ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obrutor digunakkan untuk melihat apakah apendiks meradang kontak dengan m.obrutor interneus yang merupakan dinding panggul kecil. 5. Pemeriksaan penunjang a. Laboratorium 1) Leukosit ringan (10.000-20.000) dengan peningkatan jumlah nefrotil 2) Pemeriksaan urin 3) Pada kondisi akut tidak memperbolehkan melakukan barineum enema, namun jika kronik perlu dilakukan b. Pemeriksaan USG bila terjadi infiltrat appendikularis c. Pemeriksaan laparoskopi 19
I. PATHWAYS KEPERAWATAN Hyperplasia folikel limfoit, fekalit,benda asing, cacing, tumor, peradangan Obstruksi lumen appendik Pembengkakan jaringan limfoid Peningkatan produksi mukus Bendungan pada dinding appendiks Peningkatan tekanan intralumal sehingga menghambat Saluran limfe yang mengeluarkan mukus Edema dan ulserasi appendiks Appendisitis akut
Obstruksi vena dan perluasan peradangan gangguan pada aliran darah arteri gangrene,nekrosis, perforasi Apendiktomi Luka post operasi
Kurang pengetahuan Insisi bedah
resiko perdarahan
Terputusnya kontinuitas jaringan ketidakseimbangan cairan tubuh penurunan pertahanan primer tubuh
Resti kekurangan volume cairan
Nyeri
Gangguan rasa aman nyeri
Resti infeksi Manjoer,Arief (2000), Price, A.Sylvia (2006) 20
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Gangguan rasa aman nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah 2. Resiko kekurangan volume cairan ketidak seimbangan cairan tubuh 3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tubuh 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur tindakan K. FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL 1. Gangguan rasa aman nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah a. Fokus intervensi 1) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10) 2) Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler 3) Dorong ambulasi dini 4) Berikan aktivitas hiburan 5) Pertahankan puasa 6) Berikan analgesik sesuai indikasi b. Rasional 1) Berguna
dalam
pengawasan
keefektifan
obat,
kemajuan
penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya abses/peritonitis, memerlukan upaya evalusi medik dan intervensi 2) Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang
21
3) Meningkatkan
normalisasi
fungsi
organ,
contoh
merangsang
peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen 4) Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi, dan dapat meningkatkan kemampuan koping 5) Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan irigasi gaster/muntah 6) Menghilangkan nyeri mempermudah kerja sama dengan intervensi terapi lain contoh ambulasi, batuk 2. Resiko kekurangan volume cairan ketidakseimbangan cairan tubuh a. Fokus intervensi 1) Awasi TD dan nadi 2) Lihat membran mukosa, kaji turgor kulit dan pengisian kapiler 3) Pantau masukan dan keluaran; catat warna urine/konsentrasi, berat jenis 4) Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukkan peroral dimulai, dan dilanjutkan diet sesuai toleransi 5) Berikan cairan IV dan elektrolit b. Rasional 1) Tanda
yang
membantu
mengidentifikasi
fluktuasi
volume
intravaskuler 2) Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
22
3) Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan 4) Menurunkan iritasi gaster/muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan 5) Peritonium bereaksi terhadap iritasi/infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan
hipovolemia.
Dehidrasi
dan
dapat
terjadi
ketidakseimbangan elektrolit. 3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tubuh a. Fokus intervensi 1) Pantau tanda vital, perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen 2) Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptic. Berikan perawatan paripurna 3) Lihat insisi balutan. Catat karakteristik drainase luka drein (bila dimasukkan) 4) Berikan antibiotik sesuai indikasi b. Rasional 1) Dugaan terjdinya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis 2) Menurunkan resiko pentebaran bakteri 3) Memberikan
deteksi dini terjadinya
proses infeksi, dan/atau
pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya
23
4) Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen. 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur tindakan a. Fokus intervensi 1) Diskuksikan
perawatan
insisi,
termasuk
mengganti
balutan,
pembatasan mandi, dan kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/pengikat 2) Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medic, contoh peningkatan nyeri , edema/eritema luka, adanya drainase, demam b. Rasional 1) Pemahaman meningkatkan kerja sama dengan program terapi, menigkatkan penyembuhan dan proses perbaikan 2) Upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi serius contoh lambatnya penyembuhan, peritonitis.
24