BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 VAP 2.1.1 Pengertian Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencym paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (PAPDI, 2007). VAP adalah pneumonia yang diperoleh dari rumah sakit yang terjadi setelah 48 sampai 72 jam sejak dipakainya ventilator mekanik (Andini, 2012).
2.1.2 Etiologi VAP disebabkan oleh karena adanya bakteri yang membentuk koloni pada paru. Tiga penyebab utama VAP pada sebagian besar kasus adalah bakteri basil gram negatif, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Pasien yang memerlukan perhatian khusus adalah mereka yang berisiko terkena VAP yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus, karena resistensinya terhadap beberapa antibiotika dan hubungannya dengan angka mortalitas yang tinggi (Andini 2012). Secara umum, onset penyebab VAP dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: a. Early onset atau onset dini dan tanpa faktor risiko untuk multidrug-resistant pathogens, yaitu Enterobacter, Klebsiella, Proteus sp, Escherichia coli, Serratia marcescens, Haemophilus influenza, methicillin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan Streptococcus pneumoniae.
b. Late onset (onset lambat) atau faktor risiko untuk multidrug-resistant pathogens, yaitu organisme yang sama seperti di atas dan P.aeruginosa, Acinetobacter sp, methicillinresistant S.aureus (MRSA), Klebsiella pneumoniae, dan Legionella pneumophila. VAP onset dini pada empat hari pertama perawatan di ICU memiliki prognosis lebih baik disebabkan oleh kuman yang masih sensitif terhadap antibiotika. VAP onset lambat yang terjadi setelah lima hari atau lebih perawatan memiliki prognosis yang lebih buruk disebabkan oleh kuman patogen yang multidrug resistant (MDR).
2.1.3 Faktor Risiko Andini (2012) menyebutkan bahwa faktor risiko VAP dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : a. Faktor yang berhubungan dengan host Faktor risiko yang berhubungan dengan host termasuk kondisi sebelumnya seperti imunosupresi, penyakit paru obstruktif kronis dan penyakit distress pernapasan akut. Faktor yang berhubungan dengan host lainnya adalah posisi badan pasien, tingkat kesadaran, jumlah intubasi dan pengobatan, termasuk obat sedatif dan antibiotika. Pada suatu studi, kontaminasi bakteri pada sekret endotrakea lebih tinggi pada pasien dengan posisi supinasi dari pada pasien dengan posisi semi recumbent. Berdasarkan proses patofisiologi, pengobatan dan penurunan tingkat kesadaran menghasilkan hilangnya reflek batuk dan reflek muntah yang berkontribusi untuk risiko aspirasi sehingga meningkatkan risiko terkena VAP. b. Faktor yang berhubungan dengan alat Faktor yang berhubungan dengan alat antara lain pipa endotrakea, sirkuit ventilator dan pipa nasogastrik atau orogastrik. Genangan sekret di atas balon dari pipa endotrakea dan tekanan balon yang rendah dapat memicu mikroaspirasi dan atau kebocoran bakteri di sekitar balon
sampai ke trakea. Pipa nasogastrik dan orogastrik mengganggu spinkter gastroesofagus yang menyebabkan refluks dan peningkatan risiko terjadinya VAP. c. Faktor yang berhubungan dengan staf kesehatan. Pencucian tangan yang tidak benar yang mengakibatkan kontaminasi silang pada pasien adalah faktor risiko yang berhubungan dengan staf kesehatan yang terbesar yang menyebabkan VAP. Pasien yang diintubasi dan memakai ventilator mekanik sering memerlukan intervensi seperti suctioning atau manipulasi sirkuit ventilator. Intervensi ini meningkatkan kontaminasi silang antar pasien apabila tenaga kesehatan tidak melakukan teknik pencucian tangan dengan benar. Kesalahan pencucian tangan dan penggantian sarung tangan pada penanganan pasien yang terkontaminasi berhubungan dengan peningkatan insidensi VAP. Faktor risiko VAP dapat juga dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor yang bisa dimodifikasi dan yang tidak bisa dimodifikasi, serta dibagi lagi menjadi faktor yang berhubungan dengan pasien dan yang berhubungan dengan penatalaksanaan. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi dan berhubungan dengan pasien antara lain jenis kelamin terutama laki-laki, penyakit pernapasan yang sudah ada sebelumnya, koma, AIDS, trauma kepala dan gangguan sistem organ multipel. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi dan berhubungan dengan penatalaksanaan yaitu monitoring tekanan intrakranial, reintubasi, transportasi keluar ICU (Andini, 2012). Terjadinya VAP juga dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti pemakaian obat yang memicu kolonisasi bakteri (antibiotika dan pencegah stress ulcer), posisi pasien yang datar, pemberian nutrisi enteral, dan derajat keparahan penyakit pasien. VAP dapat pula terjadi akibat makroaspirasi lambung, bronkoskopi serat optik, penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat mengkontaminasi kuman patogen ke dalam saluran pernapasan bawah.
2.1.4 Diagnosis Andini (2012) menyebutkan bahwa diagnosis VAP dapat ditegakkan berdasarkan tiga komponen tanda infeksi sistemik yaitu : a. Demam lebih dari 38,3 oC. b. Takikardi dan leukositosis disertai gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di foto thorak. c. Penemuan bakteri penyebab infeksi paru.
2.1.5 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) CPIS didefinisikan sebagai suatu alat dalam menegakkan diagnosis ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada penderita dengan ventilator mekanik. Nilai atau score mulai dari 0 sampai 6 berdasarkan nilai pengukuran suhu tubuh, leukosit, sekret trakea, fraksi oksigen , foto thorak dan pemeriksaan mikrobiologi. Bila dari hasil pemeriksaan komponen tersebut didapatkan nilai > 6, maka dapat dinyatakan sebagai diagnosis VAP. Diagnosis VAP ini ditegakkan setelah menyingkirkan adanya pneumonia
sebelumnya. Pugin dkk (1991), menyatakan bahwa CPIS merupakan system
multifactor dalm menegakkan VAP.
2.1.6 Komponen CPIS Terdapat dua model komponen CPIS yang digunakan untuk menilai VAP. Yang pertama adalah CPIS klasik dengan disertai pemeriksaan kultur, sedangkan modifikasi tanpa disertai dengan pemeriksaan kultur. Keuntungan dari CPIS klasik dengan adanya pemmeriksaan kultur memberikan manfaat sehingga dapat dihindari pemberian antibiotika yang tidak perlu. Untuk
jenis modifikasi CPIS maka komponen yang diperiksa adalah suhu tubuh, leukosit darah, sekret trakea oksigenasi dan foto thorak. Yang dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
Tabel 1 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) Komponen 0
Temperatur ( C )
Leukosit per mm3
Sekret trakea
Foto thorak
Oksigenasi PaO2/FiO2
Nilai
Skor.
>36,5 dan < 38,4
0
> 38,5 dan< 38,9
1
>39,0 dan < 36,5
2
>4000 dan 11000
0
<4000 dan > 11000
1
Tidak ada sedikit
0
Ada,tidak purulent
1
Purulent
2
Tidak ada infiltrate
0
Infiltrate difus
1
Infiltrate terlokalisir
2
< 240/ARDS
0
≤ 240 dan tidak ada ARDS
2
Spesifisitas diagnosis VAP dapat ditegakkan dengan menghitung korelasi antara skor CPIS, bila nilainya lebih dari enam maka pasien diagnosis pneumonia (Sebayang K., 2011).
Berdasarkan derajat penyakit, faktor risiko dan onsetnya maka klarifikasi untuk mengetahui kuman penyebab VAP sebagai berikut : a. Penderita dengan faktor risiko biasa, derajat ringan-sedang dan onset kapan saja selama perawatan atau derajat berat dengan onset dini. b. Penderita dengan faktor risiko spesifik dan derajat ringan-sedang yang terjadi kapan saja selama perawatan. c. Penderita derajat berat dan onset dini dengan faktor risiko spesifik atau onset lambat.
2.1.7 Patogenesis Patogenesis VAP terbagi menjadi dua proses utama yaitu kolonisasi bakteri pada sistem respirasi dan digestif serta mikroaspirasi sekret dari jalan nafas atas dan bawah. Keadaan kritis dapat memicu kolonisasi yang cepat di orofaring dengan bakteri-bakteri patogen yang potensial. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada kemampuan pertahanan tubuh pasien, paparan antibiotika sebelumnya dan perubahan pada bakteri yang menempel atau reseptor permukaan dari penderita itu sendiri. Bakteri gram negatif aerob dan Staphlococcus aureus secara cepat menggantikan flora normal yang ada. Sumber infeksi lain yang juga potensial adalah material dari sinus dan plak gigi. Adanya sekret pada saluran endotrakhea tidak dapat mencegah aliran infeksi ke dalam saluran nafas. Sekret yang telah terkontaminasi menggenang di atas saluran endotrakhea yang memiliki volume tinggi dan tekanan rendah yang biasa digunakan di unit rawat intensif. Organismeorganisme ini kemudian dapat memperbanyak diri dan kemudian membentuk kolonisasi yang secara cepat dapat melapisi permukaan bagian dalam dari saluran endotrakhea. Hal ini seringkali diikuti dengan kolonisasi organisme patogen di trakhea. Material yang terinfeksi ini kemudian didorong ke saluran nafas distal oleh aliran udara inspirasi yang diperoleh dari ventilator
mekanik. Kadang-kadang, nebulizer yang terkontaminasi, sirkuit ventilasi atau pelembab udara juga dapat menjadi sumber infeksi. Pada pasien-pasien yang kritis terjadi gangguan sistem imun sehingga mekanisme pertahanan tubuhnya tidak dapat berlangsung dengan efektif. Ketika bahan yang terinfeksi mencapai saluran nafas yang lebih distal, sistem imunitas di paru akan bereaksi untuk membunuh organismeorganisme patogen yang ada. Makrofag alveolus, neutrofil dan elemen-elemen penyusun sistem imun humoral akan berinteraksi untuk membentuk suatu respon inflamasi. Ketika sistem imun tubuh memberikan reaksi yang berlebihan, maka terjadilah pneumonia.
2.1.8 Penatalaksanaan Pemberian terapi awal, dengan pemberian antibiotika empiris yang adekuat dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita VAP. Apabila dicurigai adanya dugaan VAP, kultur harus segera diambil dengan cepat dan pengobatan dimulai tanpa penundaan. Dugaan VAP harus dipertimbangkan untuk pasien dengan skor CPIS > 6, atau adanya infiltrat paru yang diikuti setidaknya dua dari tanda berikut: demam, leukositosis, dan sekresi purulen. Piperasilintazobaktam merupakan antibiotika yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida (25%)
2.1.7.Pencegahan Dokter harus fokus pada eliminasi atau meminimalisir insidensi VAP melalui teknik preventif. Pencucian tangan dengan teliti dan benar selama kurang lebih 20 detik harus dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Selain itu, sarung tangan harus dipakai saat kontak dengan sekret oral atau endotrakhea, serta
Menjaga kebersihan mulut pasien. Andini (2012) menyebutkan bahwa pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi dua kategori, yaitu : a. Strategi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan pertumbuhan kuman patogen dalam saluran cerna, meliputi : 1) Mencegah penggunaan antibiotika yang tidak perlu. 2) Membatasi profilaksis tukak lambung pada penderita risiko tinggi. 3) Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis tukak lambung. 4) Menggunakan antibiotika untuk dekontaminasi saluran cerna secara selektif. 5) Menjaga kebersihan mulut (oral hygiene) 6) Menggunakan antibiotika yang sesuai pada penderita risiko tinggi. b. Strategi non farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi, meliputi : 1) Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal sesegera mungkin. 2) Posisi penderita semifowler atau setengah duduk. 3) Intubasi oral atau non nasal. 4) Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan. 5) Ventilasi masker non invasive untuk mencegah intubasi trakea. 6) Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan. Pencegahan VAP secara non farmakologi saja kurang efektif dalam mengurangi angka risiko terjadinya VAP. Oleh karena itu perlu dikombinasikan dengan pencegahan VAP secara farmakologi, sehingga lebih efektif dan mampu untuk menurunkan angka kejadian VAP.
2.1.8 Prognosis
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (2005) menyebutkan bahwa prognosis pasien VAP menjadi lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu : a. Umur > 60 tahun. b. Koma saat masuk. c. Perawatan di Instalasi Perawatan Inap (IPI). d. Syok. e. Pemakaian alat bantu napas yang lama. f. Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral. g. Kreatinin serum > 1,5 mg/dl. h. Penyakit yang mendasarinya berat. i. Pengobatan awal yang tidak tepat. j. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P. aeruginosa, S. malthophilia, Acinetobacter spp. atau methicillin-resistant S. aureus / MRSA). k. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen. l. Gagal multiorgan. m. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan perdarahan usus.
2.2 Oral Hygiene 2.2.1 Pengertian
Pengertian oral hygiene mengacu pada kebersihan mulut. Oral hygiene merupakan tindakan untuk membersihkan dan menyegarkan mulut, gigi dan gusi (Clark, 2005). Oral Hygiene dalam kesehatan gigi dan mulut sangatlah penting, beberapa masalah mulut dan gigi bisa terjadi karena kita kurang menjaga kebersihan mulut dan gigi. Kesadaran menjaga oral hygiene sangat perlu dan merupakan obat pencegah terjadinya masalah gigi dan mulut yang paling manjur.
2.2.2 Tujuan Oral Hygiene Menurut Taylor et al (2000), tujuan oral hygiene yaitu : a. Menjaga kontinuitas bibir, lidah dan mukosa membran mulut. b. Mencegah terjadinya infeksi rongga mulut. c. Melembabkan mukosa membran mulut dan bibir. Sedangkan menurut Clark (2005), oral hygiene bertujuan untuk : a. Mencegah penyakit gigi dan mulut . b. Mencegah penyakit yang penularannya melalui mulut. c. Mempertinggi daya tahan tubuh. d. Memperbaiki fungsi mulut untuk meningkatkan nafsu makan. Faktor-faktor yang mempengaruhi oral hygiene Menurut Perry dan Potter (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan oral hygiene yaitu citra tubuh, praktik sosial, status sosial ekonomi, pengetahuan, kebudayaan, pilihan pribadi dan kondisi fisik. Perry dan Potter (2005) menyebutkan faktor-faktor risiko untuk masalah oral hygiene, yaitu : a. Masalah umum 1) Karies gigi
Karies gigi merupakan masalah umum pada orang muda, perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi dikarenakan kekurangan kalsium. 2) Penyakit periodontal Adalah penyakit jaringan sekitar gigi, seperti peradangan membran periodontal. 3) Plak Adalah transparan dan melekat pada gigi, khususnya dekat dasar kepala gigi pada margin gusi. 4) Halitosis Merupakan bau napas, hal ini merupakan masalah umum rongga mulut akibat hygiene mulut yang buruk, makanan tertentu atau proses infeksi. 5) Keilosis Merupakan gangguan bibir retak, terutama pada sudut mulut. b. Masalah mulut lain 1) Stomatitis Kondisi peradangan pada mulut karena kontak dengan pengiritasi, defisiensi vitamin, infeksi. 2) Glositis Peradangan lidah hasil karena infeksi atau cidera, seperti luka bakar atau gigitan. 3) Gingivitis Peradangan gusi biasanya akibat kebersihan mulut yang buruk atau defisiensi vitamin.
2.2.4 Cara Menjaga Oral Hygiene Menurut Denstisty (2010), cara-cara yang dapat dilakukan sendiri dan efektif dalam menjaga oral hygiene adalah sebagai berikut: a. Sikat gigi
Pengenalan teknik sikat gigi yang tepat, memotivasi untuk sikat gigi secara teratur dan pemilihan pasta gigi dengan tepat. Teknik sikat gigi yang secara horisontal adalah umum dilakukan dan itu merupakan suatu kesalahan karena dengan cara demikian lambat laun dapat menimbulkan resesi gingival dan abrasi gigi. b. Kumur-kumur antiseptik Terdapat berbagai bahan aktif yang sering digunakan sebagai kumur-kumur, seperti metil salisilat, chlorhexidine 0,2% dan H2O2 1,5% atau 3,0%. Kumur-kumur yang lebih murah dan cukup efektif adalah dengan air garam hangat. c. Dental flos atau benang gigi Cara ini mulai banyak diperkenalkan dan cukup ampuh untuk membersihkan di sela-sela gigi. d. Pembersih lidah Tumpukan debris di dorsum lidah penuh dengan kuman-kuman oportunis serta candida yang bermukim sebagai flora normal maupun transient.
2.2.5 Bahaya Oral Hygiene Terhadap Penyakit Sistemik Menurut Wikipedia (2010), beberapa studi klinis terbaru menunjukkan hubungan langsung antara kebersihan mulut yang buruk (bakteri dan infeksi rongga mulut) dan penyakit sistemik, yaitu: a. Penyakit kardiovaskuler (serangan jantung dan stroke). b. Bakteri pnemonia. c. Bayi lahir berat badan rendah. d. Komplikasi diabetes. e. Osteoporosis
2.2.6 Prosedur Oral Hygiene Dengan Chlorhexidine Pada Pasien Yang Terpasang Ventilator Menurut Perry (2006) dalam Ambarwati (2012) menyebutkan bahwa prosedur oral hygiene dengan chlorhexidine pada pasien yang terpasang ventilator, yaitu : a. Persiapan 1) Gelas kumur berisi air bersih atau NaCl 0,9%. 2) Handuk. 3) Bengkok. 4) Kapas deppers. 5) Arteri klem atau pinset. 6) Cairan Chlorhexidine 0,2%. 7) Catatan keperawatan pada rekam medik.
b. Prosedur kerja 1) Perawat cuci tangan. 2) Pakai sarung tangan. 3) Posisikan kepala miring kanan atau kiri. 4) Tempatkan handuk di bawah wajah klien dan bengkok di bawah dagu. 5) Secara hati-hati regangkan gigi atas dan bawah klien dengan spatel lidah. 6) Bersihkan mulut klien dengan menggunakan sikat gigi dan deppers yang dibasahi dengan pencuci mulut (chlorhexidine 0,2%). 7) Hisap sekresi bila terakumulasi.
8) Jelaskan pada penderita bila anda telah melakukan prosedur. 9) Lepaskan sarung tangan dan buang pada wadah yang tepat. 10) Kembalikan posisi nyaman klien. 10) Bersihkan peralatan dan kembalikan pada tempat yang tepat. 11) Perawat cuci tangan. 12) Lakukan dokumentasi.
2.2.7 Prosedur Oral Hygiene Dengan Povidone iodine 1% Pada Pasien Yang Terpasang Ventilator Menurut Perry (2006) dalam Ambarwati (2012) menyebutkan bahwa prosedur oral hygiene dengan chlorhexidine pada pasien yang terpasang ventilator, yaitu : c. Persiapan 1) Gelas kumur berisi air bersih atau NaCl 0,9%. 2) Handuk. 3) Bengkok. 4) Kapas deppers. 5) Arteri klem atau pinset. 6) Cairan Povidone iodine 1% 7) Catatan keperawatan pada rekam medik. d.
Prosedur kerja
1) Perawat cuci tangan. 2) Pakai sarung tangan. 3) Posisikan kepala miring kanan atau kiri. 4) Tempatkan handuk dibawah wajah klien dan bengkok dibawah dagu.
5) Secara hati-hati regangkan gigi atas dan bawah klien dengan spatel lidah. 6) Bersihkan mulut klien dengan menggunakan sikat gigi dan dilanjutkan dengan menggunakan deppers yang dibasahi dengan pencuci mulut (Povidone iodine 1%) 7) Hisap sekresi bila terakumulasi. 8) Jelaskan pada penderita bila anda telah melakukan prosedur. 9) Lepaskan sarung tangan dan buang pada wadah yang tepat. 10) Kembalikan posisi nyaman klien. 11) Bersihkan peralatan dan kembalikan pada tempat yang tepat. 12) Perawat cuci tangan. 13) Lakukan dokumentasi.
2.2.8 Kriteria Hasil Oral Hygiene Mukosa mulut dan lidah terlihat merah muda, lembab, utuh. Gusi basah dan utuh, gigi terlihat bersih, dan licin. Lidah berwarna merah muda dan tidak kotor. Bibir lembab, mukosa dan faring tetap bersih (Perry and Potter 2006).
2.3 Chlorhexidine Chlorhexidine merupakan garam aromatik yang sangat besar yang memiliki sifat antimikroba, dengan kata lain membunuh bakteri dan mikroorganisme lainnya. Chlorhexidine sering digunakan sebagai bahan aktif dalam mouthwash untuk membunuh plak gigi dan bakteria oral yang lain, selain itu juga digunakan sebagai pewangi nafas. Obat kumur mengandung Chlorhexidine 0,2 % ,
11% alkohol dan pemanis dengan nama Peridex, Periogard atau
DentiCare sangat efektif dalam membunuh bakteri di mulut dan mengurangi jumlah untuk jangka waktu yang lama. Studi menunjukkan bahwa berkumur dengan Chlorhexidine dua kali sehari selama dua minggu akan mengurangi jumlah bakteri di dalam mulut selama tiga sampai enam bulan (Dede, 2010). Sejak diperkenalkan, berbagai negara mulai menggunakan chlorhexidine sebagai antiseptik di rumah sakit. Chlorhexidine dipakai sebagai desinfektan pada kulit sebelum operasi, cuci tangan sebelum operasi dan juga sebagai desinfektan alat-alat kedokteran terutama alat-alat operasi. Obat ini merupakan salah satu antiseptik pada operasi yang terutama banyak digunakan di kedokteran gigi. Chlorhexidine bersifat bakteriostatik untuk kuman gram-negatif, ragi, jamur, protozoa, alga dan virus, serta sangat sensitif pada beberapa spesies kuman seperti pseudomonas spp, proteus spp, haemophilus spp, diptheroid spp dan actinomyces spp. Chlorhexidine pada pH fisiologis dapat mengikat bakteri dipermukaan rongga mulut, disebabkan adanya interaksi antara muatan positif dan molekul-molekul Chlorhexidine dengan dinding sel bakteri yang menyebabkan terjadinya penetrasi ke dalam sitoplasma dan pada akhirnya menyebabkan kematian mikroorganisme. Streptokokus tertentu dapat terikat oleh Chlorhexidine pada media polisakarida di luar sel, sehingga dapat meningkatkan sensitvitas sterptoccocus dalam rongga mulut terhadap Chlorhexidine. Sifat bakterostatik Chlorhexidine terbentuk pada konsentrasi antara 432 mg/m1 konsentrasi yang lebih tinggi akan menyebabkan efek bakteriside karena terjadinya presipitasi protein sitoplasma. Hambatan pertumbuhan plak oleh chlorhexidine dihubungkan dengan sifat chlorhexidine yang membentuk ikatan dengan komponen-komponen pada permukaan gigi tersebut terjadi setelah kumur dan lebih dari 1/3 bagian chlorhexidine diserap.
2.3 Povidone Iodine
Povidone Iodine merupakan salah satu antiseptik dari golongan halogen. Senyawa ini merupakan kompleks antara iodin dengan polivinil pirolidon. Bentuk kompleks ini merupakan bentuk iodofor, yaitu campuran iodin dengan surfaktan yang bekerja sebagai pembawa dan pelarut iodin. Golongan ini berdaya aksi dengan cara oksidasi, namun tidak efektif untuk membunuh beberapa jenis bakteri gram positif dan ragi (Wikipedia, 2012) Povidone Iodine merupakan iodine kompleks yang berfungsi sebagai antiseptik, mampu membunuh mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus, protozoa dan spora bakteri. Selain sebagai obat kumur (mouthwash) yang digunakan setelah gosok gigi, povidone iodine gargle digunakan untuk mengatasi infeksi-infeksi mulut dan tenggorok, seperti gingivitis dan sariawan (Asnan, 2007). Povidone iodine tersedia dalam bentuk obat kumur dengan konsentrasi 1%,dapat mengurangi populasi kuman sampai 85% efektif untuk satu jam dan kembali ke populasi normal setelah 8 jam.Tahun 1995, povidone iodine mulai diperdagangkan setelah banyak diminati sebagai desinfektan, bekerja sebagai bakterisida yang juga membunuh spora, jamur, virus dan protozoa. Povidone iodine diabsorbsi secara sistemik sebagai iodine, digunakan dalam perawatan luka namun dapat menyebabkan dermatitis kontak pada kulit, mempunyai efek toksikogenik terhadap fibroblast dan leukosit, menghambat migrasi notropil dan menurunkan sel monosit (Asnan, 2007).
2.4 Efektivitas Pemakaian Chlorhexidin Untuk Oral Hygiene terhadap insiden VAP VAP adalah suatu jenis pneumonia yang didapat dari perawatan di rumah sakit pada pasienpasien yang mendapat bantuan nafas dengan ventilator yang berbeda dengan pneumonia yang didapat dari masyarakat, yang sering disebabkan oleh bakteri spesies S.pneumoniae, H.influenzae atau S.aureus. VAP sering disebabkan oleh Pseudomonas. VAP juga berbeda dengan pneumonia
jenis lain dalam hal antibiotika
yang digunakan,
prosedur diagnosis, prognosis dan cara
pencegahan (Ari, 2010). Kombinasi antara kebersihan mulut yang tidak terjaga dan sistem respirasi yang buruk juga dapat meningkatkan risiko pneumonia terkait ventilator atau VAP (Andini, 2012). CPIS merupakan sebuah tes untuk membantu menegakkan diagnosis VAP. Komponen yang diperiksa dalam tes CPIS ini antara lain suhu tubuh, leukosit, sekret trakea, indeks oksigenasi, pemeriksaan radiologi dengan foto torak dan kultur. Terdapat beberapa cara untuk mencegah terjadinya VAP antara lain kebersihan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, menghindari volume lambung yang besar dan diperlukan adanya oral hygiene yang efektif dan efisien (Andini, 2012). Oral hygiene merupakan tindakan untuk membersihkan dan menyegarkan mulut, gigi dan gusi (Clark, 2005). Tujuan dari oral hygiene menurut Taylor et al (2000) yaitu untuk menjaga kontinuitas bibir, lidah dan mukosa membran mulut, mencegah terjadinya infeksi rongga mulut serta melembabkan mukosa membran mulut dan bibir. Sedangkan menurut Clark (2005), oral hygiene bertujuan untuk mencegah penyakit gigi dan mulut, mencegah penyakit yang penularannya melalui mulut, mempertinggi daya tahan tubuh serta memperbaiki fungsi mulut untuk meningkatkan nafsu makan. Mulut merupakan bagian pertama dari saluran makanan dan bagian dari sistem pernafasan (Wolf, 2004). Mulut juga merupakan gerbang masuknya penyakit (Adam, 2002). Dalam rongga mulut terdapat saliva yang berfungsi sebagai pembersih mekanis dari mulut (Taylor, et.al., 2000). Selain itu, di dalam rongga mulut juga terdapat berbagai macam mikroorgnisme meskipun bersifat komensal, pada keadaan tertentu bisa bersifat patogen apabila respon penjamu terganggu (Roeslan, 2002). Pembersihan mulut secara alamiah yang seharusnya dilakukan oleh lidah dan
air liur, bila tidak bekerja dengan semestinya dapat menyebabkan terjadinya infeksi rongga mulut, misalnya penderita dengan sakit parah dan penderita yang tidak boleh atau tidak mampu memasukkan sesuatu melalui mulut mereka (Bouwhuizen, 2006). Secara sederhana oral hygiene dapat menggunakan air bersih, hangat dan matang. Oral hygiene dapat dilakukan bersama pada waktu perawatan kebersihan tubuh yang lain seperti mandi, mengosok gigi dan lain-lain. Perawat perlu membantu penderita atau keluarga untuk melakukan perawatan tersebut guna meningkatkan peran serta aktif dalam memberikan perawatan kepada penderita. Pada penderita yang tidak berdaya perawat tidak boleh lupa memberikan perhatian khusus pada mulut penderita. Pengumpulan lendir dan terbentuknya kerak pada gigi dan bibir dikenal sebagai sordes. Jika terbentuk sordes atau lidahnya berlapis lendir menunjukkan kalau kebersihan rongga mulutnya kurang (Wolf, 2004). Penderita yang tidak sadar lebih rentan terkena kekeringan sekresi air liur pada mukosanya karena mereka tidak mampu untuk makan, minum, bernapas melalui mulut dan seringkali memperoleh terapi oksigen. Penderita yang tidak sadar juga tidak bisa menelan sekresi air liur yang mengumpul dalam mulut. Sekresi ini terdiri dari bakteri gram negatif yang bisa menyebabkan pneumoni jika dihembuskan ke paru-paru (Perry potter, 2000). Oral hygiene dengan penggunaan antibiotika ataupun antiseptik diharapkan dapat menurunkan pertumbuhan bakteri di orofaring, sehingga insiden terjadinya VAP menurun, tetapi dekontaminasi oral dengan penggunaan antiseptik lebih dianjurkan dari pada penggunaan antibiotika. Hal ini disebabkan karena penggunaan antibiotika yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi bakteri penyebab VAP. Oral Hygiene dalam kesehatan gigi dan mulut sangatlah penting, beberapa masalah mulut dan gigi bisa terjadi karena kita
kurang menjaga kebersihan mulut dan gigi. Kesadaran menjaga oral hygiene sangat perlu dan merupakan obat pencegah terjadinya masalah gigi dan mulut yang paling manjur. Penggunaan antiseptik pada tindakan oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik dapat dilakukan dengan chlorhexidine. Sebagai antiseptik, chlorhexidine dapat melawan aktivitas perkembangan mikroorganisme gram positif seperti Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Vancomisin-resistant Enterococcus (VRE),tetapi dalam melawan mikroorganisme gram negatif, efektivitas chlorhexidine menjadi kurang optimal. Chlorhexidine merupakan garam aromatik yang sangat besar yang memiliki sifat antimikroba, dengan kata lain membunuh bakteri dan mikroorganisme lainnya. Obat kumur mengandung Chlorhexidine, 11% alkohol dan pemanis dengan merk Peridex, Periogard atau DentiCare. Studi menunjukkan bahwa berkumur dengan Chlorhexidine dua kali sehari selama dua minggu akan mengurangi jumlah bakteri di dalam mulut selama tiga sampai enam bulan. Chlorhexidine memiliki toksisitas oral yang rendah sehingga sampai sekarang pun masih digunakan sebagai antiseptik di berbagai negara terutama di rumah sakit. Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa penggunaan chlorhexidine dapat menurunkan kolonisasi kuman di orofaring, sehingga diharapkan insidenVAP menurun. Penelitian Cindy, dkk (2009) membuktikan bahwa menggosok gigi saja tanpa menggunakan chlorhexidine tidak mengurangi risiko terjadinya VAP. Akan tetapi, pada pasien kritis yang menggosok gigi dengan menggunakan chlorhexidine, menunjukkan penurunan pneumonia awal terkait ventilator pasien yang sebelumnya tidak terdapat riwayat pneumonia.