BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) yang disebabkan oleh pemakaian ventilator dalam jangka waktu yang lama pada pasien (Smeltzer & Bare, 2001). Pneumonia jenis ini berbeda dengan pneumonia yang didapat dari masyarakat, yang sering disebabkan oleh bakteri spesies S.pneumoniae, H.influenzae atau S.aureus. VAP sering disebabkan oleh Pseudomonas. VAP juga berbeda dengan pneumonia jenis lain dalam hal antibiotika yang digunakan, prosedur diagnosis, prognosis dan cara pencegahan (Ari, 2010). Menurut Fartoukh (2003) VAP merupakan infeksi nosokomial yang paling sering terjadi di ICU (Intensive Care Unit) yang sampai sekarang masih merupakan masalah perawatan kesehatan di seluruh dunia. Angka kematian oleh karena VAP masih sulit dipastikan, karena pasien-pasien yang membutuhkan penggunaan ventilator pada dasarnya memiliki angka kematian yang tinggi. Dikatakan VAP memberikan angka kematian sekitar 33-50% (Ari, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Victor, dkk (2006) untuk International Nosocomial Infection Control Consortium selama 2002-2005 di 55 Instalasi Perawatan Intensif pada 46 rumah sakit didapatkan dari 21.069 pasien yang dirawat di Instalasi Perawatan Intensif selama 137.740 hari (dihitung secara agregat), 3.095 mengalami infeksi terkait alat yang digunakan, dengan keseluruhannya 14,7% atau 22,5 infeksi per 1000 hari rawat inap di Instalasi Perawatan Intensif. Pneumonia terkait ventilator merupakan yang terbanyak, yaitu 41%, diikuti dengan kateter vena sentral sebanyak 30% dan infeksi traktus urinarius sebanyak 29%. Didapatkan juga 84% 1
Staphylococcus aureus disebabkan oleh Methicillin-resistant strains, 51% dari isolat
Enterobacteriaceae resisten terhadap ceftriaxone dan 59% dari isolat Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap florokuinolon. Angka mortalitas secara kasar didapatkan 35,2% untuk infeksi terkait pemasangan kateter vena sentral dan 44,9% untuk
pneumonia terkait pemasangan
ventilator (USU, 2008). Meskipun belum ada penelitian mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa kejadian VAP cukup tinggi yaitu dari penelitian beberapa kasus di Amerika oleh Cindy (2004) disebutkan bahwa kejadian VAP mencapai 9%-28%, angka kematian akibat VAP sebanyak 24%-50% dan mungkin kematian ini dapat meningkat mencapai 76% pada infeksi yang disebabkan oleh pseudomonia atau acinetobacter (Wiryana, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azis (2013) disebutkan bahwa angka kejadian VAP di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2012 sebesar 15,48‰ masih melebihi standar nasional. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh bagian PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) RSUP Sanglah Denpasar, didapatkan jumlah kejadian VAP dari bulan Januari sampai Juni 2013 (insiden per-1000 hari pemasangan ventilator), yaitu kejadian VAP pada bulan Januari sebesar 21,3904, bulan Pebruari sebesar 5,78305, bulan Maret sebesar 4,85437, bulan April sebesar 10,7527, bulan Mei sebanyak 4,52489, bulan Juni sebesar 16,3043. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat fluktuasi jumlah kejadian VAP. Data kejadian VAP paling banyak pada bulan Januari, kemudian terjadi penurunan kasus VAP selama beberapa bulan dan pada bulan Juni jumlah kejadian VAP kembali mengalami peningkatan. VAP merupakan komplikasi 28% dari pasien yang menerima ventilasi mekanik. Insiden VAP meningkat seiring dengan peningkatan durasi penggunaan ventilasi mekanik. Estimasi insiden adalah sebesar 3% per hari selama lima hari pertama, 2% per hari selama enam sampai 10 hari,
dan 1% per hari setelah 10 hari (Rochdiat, 2010). Pasien yang terpasang ventilasi mekanik mempunyai risiko 6-21 kali lebih tinggi untuk terjadi pneumonia nosokomial dibandingkan pada pasien yang tidak terpasang ventilator (Schaefer dkk,1996 dalam Tietjen, 2004). Seiring perkembangan teknologi, berbagai jenis ventilator telah dibuat seefisien mungkin untuk kebutuhan pasien, namun semakin mutahir jenis ventilator semakin kompleks pula berbagai setting yang harus diperhitungkan baik secara matematis maupun secara fisiologis. Pengamatan pada pasien dengan dukungan ventilator merupakan pengamatan yang harus dilakukan secara terus menerus dan dinilai secara berkesinambungan. Tanpa adanya perawatan yang tepat maka seringkali timbul komplikasi pada penderita dengan ventilator mekanik di ICU (Kartinawati, 2010). Penggunaan ventilator mekanik ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi pada paru, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat, sistem gastrointestinal dan psikologi. Biasanya komplikasi ini disebabkan oleh kesehatan mulut yang menurun akibat sakit kritis atau karena penggunaan ventilator mekanik, pipa endotrakea dan pipa orofaring pada pasien kritis yang terintubasi, dapat menjadi faktor untuk migrasi kuman patogen. Kolonisasi mikroorganisme pada orofaring oleh flora yang berpotensi patogen seperti Staphylococcus auereus, Streptococcus pneumoniae atau bakteri gram-negatif bentuk batang. Keadaan tersebut sangat berisiko terjadinya VAP yang merupakan satu hal yang sangat potensial pada penderita yang terpasang ventilator (Wijaya, 2012). Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya VAP, diantaranya tindakan suction yang dilakukan dengan tidak benar (Joyce, 2005), kurangnya kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan prosedur cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, pemasangan ventilator mekanik, posisi istirahat pasien yang tidak ditinggikan, penggunaan antibiotika, pemasangan pipa nasogastrik, stress ulcer dan pemberian obat penenang (Cindy, 2009). Selain
hal tersebut faktor risiko yang mempengaruhi VAP menurut Chulay (2005) adalah penyakit dasar dari pasien yang antara lain pasien dengan riwayat trauma, penyakit pada susunan saraf pusat, penyakit paru kronis, penyakit jantung, usia di atas 60 tahun, operasi dada dan abdomen atau adanya depresi kesadaran. Bakteri patogen ini biasanya muncul menggantikan flora normal orofaring dalam waktu kurang lebih 48 jam dan berkolonisasi di saluran napas. Kartinawati (2010) menyebutkan pencegahan terhadap VAP dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan non farmakologi dan farmakologi. Cara non farmakologi meliputi kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, intubasi per oral, posisi kepala lebih tinggi 30 sampai 45° dan menghindari volume lambung yang besar. Pencegahan secara farmakologi dilakukan dengan cara dekontaminasi selektif menggunakan antibiotika pada saluran cerna (selective decontamination of the digestive tract/SDD) dan dekontaminasi orofaring (oropharyngeal decontamination/OD) menggunakan antiseptik. Sebayang, dkk (2011) dalam penelitiannya menyebutkan, bahwa penggunaan antiseptik terhadap oral hygiene merupakan salah satu cara farmakologi yang dapat menurunkan insiden VAP dengan menurunkan skor Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) pada penderita dengan ventilasi mekanik. Oral hygiene adalah tindakan membersihkan dan menyegarkan mulut, gigi, dan gusi (Clark, 1993). Oral hygiene dengan penggunaan antibiotika ataupun antiseptik diharapkan dapat menurunkan pertumbuhan bakteri di orofaring, sehingga insiden terjadinya VAP menurun, tetapi dekontaminasi oral dengan penggunaan antiseptik lebih dianjurkan daripada penggunaan antibiotika. Hal ini disebabkan karena penggunaan antibiotika yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi bakteri penyebab VAP. Penggunaan antiseptik pada tindakan oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik selama ini dilakukan dengan chlcorhexidine 0,2%, penggunaan cairan chlcorhexidine 0,2%, ini telah dilakukan penelitian oleh
Gemit, Broichiro Napolitamo Mc Carter Rogham (2004) terhadap risiko terjadiya VAP, dimana dengan penggunaan cairan ini terjadi penurunan insiden VAP. Sebagai antiseptik, chlorhexidine dapat melawan aktivitas perkembangan mikroorganisme gram positif, seperti Methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Vancomisin-resistant Enterococcus (VRE). Chlorhexidine memiliki toksisitas oral yang rendah sehingga sampai sekarang pun masih digunakan sebagai antiseptik di berbagai negara terutama di rumah sakit. Efektivitas dari penggunaan chlorhexidine pada pasien dengan ventilator mekanik dapat dinilai dengan CPIS, sedangkan Povidone iodine merupakan desinfektan halogen, yodium yang dilepaskan bekerja sebagai antiseptik yang berspektrum luas. Mengingat betapa pentingnya oral hygiene untuk pencegahan VAP, serta belum pernah dijumpainya penelitian tentang oral hygiene dengan chlorhexidine di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar, maka peneliti tertarik mengadakan penelitian tentang efektifitas pemakaian chlorhexidine 0,2% untuk oral hygiene terhadap insiden VAP di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian adalah : ”Seberapa besar efektifitas pemakaian chlorhexidine 0,2% untuk oral hygiene terhadap insiden VAP di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisa seberapa besar efektifitas pemakaian chlorhexidine 0,2% untuk oral hygiene terhadap insiden VAP di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014.
1.3.2 Tujuan Khusus a.
Mengidentifikasi karakteristik pasien dengan VAP (jenis kelamin, umur, penyakit dan lamanya pemakaian ventilator).
b.
Menganalisa efektifitas pemakaian chlorhexidin 0,2% untuk oral hygiene terhadap insiden VAP di Ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar .
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan dan pemahaman perawat tentang efektifitas pemakaian chlorhexidine untuk oral hygiene dalam upaya pencegahan VAP dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian penelitian selanjutnya.
1.4.2 Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan antiseptik yang sesuai untuk dekontaminasi orofaring pada penderita dengan ventilator mekanik.