BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PNEUMONIA KOMUNITI Pneumonia komuniti (PK) adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. 19 2.1.1 Epidemiologi PK merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia.20 Di Amerika Serikat, sekitar 80% dari 4 juta kasus PK diobati sebagai pasien rawat jalan dan sekitar 20% kasus di rawat di rumah sakit. Dari 600.000 pasien PK yang di rawat di rumah sakit, rata-rata selama 64 juta hari mereka terbatas aktivitasnya dan sebanyak 45.000 pasien akhirnya meninggal dunia. Dana tahunan yang dikeluarkan berhubungan dengan PK diperkirakan sebesar US$9-10 milyar. Di Amerika Serikat tercatat 12 kasus PK per 1000 penduduk, dimana 12-18 kasus per 1000 penduduk adalah anak usia <4 tahun dan 20 kasus per 1000 penduduk usia >60 tahun.21 Di Indonesia, pneumonia komunitas termasuk pada sepuluh besar rawatan rumah sakit dimana penderita laki-laki sebanyak 53,95% kasus dan perempuan 46,05%, crude fatality rate (CFR) 7,6% yang merupakan tertinggi dibandingkan penyakit lain. Pada tahun 2012 tercatat jumlah penderita pneumonia komunitas yang dirawat inap di RSUP H.Adam Malik Medan sebanyak 256 pasien, di RSUP dr.M.Djamil Padang sebanyak 94 pasien, RSUP Persahabatan Jakarta sebanyak 117 pasien, RSUD dr.Moewardi Surakarta sebanyak 225 pasien, RSUD dr.Saiful Anwar Malang sebanyak 514 pasien dan RSUD dr.Soetomo Surabaya sebanyak 477 pasien.20 30
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Etiologi Berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan protozoa dapat menyebabkan pneumonia. Menurut ATS/IDSA 2007 PK banyak disebabkan oleh bakteri gram positif dan dapat pula bakteri atipikal. Data yang diperoleh dari beberapa rumah sakit di Indonesia tahun 2012 memperlihatkan penyebab PK terbanyak di ruang rawat inap yang didapat dari pemeriksaan dahak adalah kuman gram negatif seperti Klebsiella pneumonia, Acinetobacter baumanii dan Pseudomonas aeruginosa, sementara kuman gram positif hanya sedikit dijumpai seperti Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Data ini menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi perubahan pola kuman pada PK. 20,22 Angka kematian akibat PK akan meningkat apabila antibiotik terlambat diberikan.2,11 Oleh karena itu sangat penting untuk memberikan terapi antibiotik sedini mungkin setelah diagnosa PK ditegakkan. Saat ini belum diketahui berapa lama pemberian terapi antibiotik yang optimal dn efektif untuk pasien PK, pemberian antibiotik untuk PK saat ini adalah 7 sampai 21 hari, tergantung dari tingkat keparahan penyakit dan jenis patogen. Pada pasien lanjut usia terutama dengan komorbid dan juga pasien PK berat akan diberikan terapi antibiotik dengan jangka waktu yang lebih lama berpedoman pada gejala klinis.2 Telah diketahui patogen yang cenderung dijumpai pada faktor resiko tertentu, misalnya Haemophylus influenza pada pasien perokok, patogen atipikal pada pasien lanjut usia, gram negatif pada pasien dari rumah jompo dengan PPOK dan penyakit penyerta kardiopulmonal dan/atau pasca terapi antibiotik spektrum luas. Pseudomonas aeruginosa dijumpai pada pasien dengan
31
Universitas Sumatera Utara
bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan imunosupresi dengan disertai leukopenia.22 Pada pasien PK rawat jalan jenis patogen tidak diketahui pada 40% kasus. Dilaporkan adanya Streptococcus pneumoniae pada 9-20% kasus, Mycoplasma pneumoniae pada 13-37% kasus dan Chlamydia pneumoniae pada 17% kasus.14 Patogen pada PK rawat inap di luar ICU, sekitar 20-70% kasus tidak diketahui penyebabnya. Streptococcus pneumoniae dijumpai pada 20-60% kasus, Haemophylus influenzae pada 3-10% kasus. Staphylococcus aureus, gram negatif enterik, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella, dan virus terjadi pada 10% kasus. Kejadian infeksi kuman atipikal sebanyak 40-60%. Infeksi patogen gram negatif dapat mencapai 10%. Pseudomonas aeruginosa dilaporkan sebesar 4%.14 Sebanyak 10% dari pasien PK mendapat perawatan di ICU dan sebanyak 50-60% tidak diketahui penyebabnya. Sebanyak 33% disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae. Disamping patogen yang didapatkan pada pasien rawat inap non ICU, didapatkan juga peningkatan infeksi patogen Gram negatif. Enterobacteriacae dijumpai pada 20% kasus, dimana 10-20% diantaranya oleh Pseudomonas aeruginosa terutama pasien dengan bronkiektasis.14 Pada rumah jompo lebih sering dijumpai Staphylococcus aureus yang resisten methisillin (Methycilline resistant staphylococcus aureus / MRSA), bakteri Gram negatif dan virus tertentu (adenovirus, cyncytial virus/RSV dan influenza).14 Berbagai mikoplasma
mikroorganisme
dapat
menyebabkan
juga
mempunyai
inflamasi
karakteristik,
trakeobronkial,
virus
yakni dapat 32
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan
terjadinya
infeksi
interstitial,
streptokokus
lebih
banyak
menimbulkan pleuritis dan efusi pleura, sedangkan sedangkan pneumokokus lebih banyak menimbulkan kelainan pada parenkim paru. Stafilokokus dan gram negatif dapat membentuk abses sehingga terbentuk kaverna. Terganggunya fungsi paru tergantung dari lokasi infeksi. Pada virus dan mikoplasma, infeksi terjadi pada trakeobronkial, akan tetapi pada PPOK, faal paru marginal mengalami bronkopneumonia sehingga mudah terjadi kegagalan pernapasan dengan perburukan faal perfusi ventilasi. Edema yang disebabkan Pneumonia juga dapat menimbulkan gangguan obstruksi pada paru dan matching diantara ventilasi dan perfusi yang dapat menyebabkan terjadinya hipoksia. Ketidakseimbangan V/Q dapat disebabkan juga oleh karena nyeri. Pada pneumonia yang disebabkan oleh virus atau mikoplasma dapat menyebabkan terjadinya penurunan dari faal paru, compliance dan gangguan obstruksi paru.23
2.1.3 Patofisiologi Saluran napas bagian bawah di desain untuk melindungi diri secara efektif dari invasi patogen. Infeksi akan terjadi apabila mekanisme proteksi terganggu. Cara yang tersering menyebabkan infeksi saluran napas bawah adalah pada saat mikroorganisme turut teraspirasi bersama sekret orofaring. Kadang dapat juga terjadi infeksi secara hematogen dan akibat inhalasi dari droplet yang mengandung kuman. Ketika alveoli terganggu oleh kuman yang mencapai parenkim paru, terjadi respon inflamasi lokal. Sel inflamasi (sel darah putih, limfosit, monosit) dan cairan memasuki alveoli, yang menyebabkan konsolidasi pada paru. Terjadi peningkatan jumlah mediator inflamasi yang masuk ke 33
Universitas Sumatera Utara
sirkulasi darah sebagai respon sistemik yang dapat dijadikan sebagai gejala dan tanda dari pneumonia.24 Bakteri menyebabkan 60-80% kasus PK, dimana 15% kasus disebabkan oleh virus. Pada kasus PK yang memerlukan perawatan di rumah sakit sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae . Diantara pasien PK yang dirawat di rumah sakit, beberapa penelitian menyimpulkan Streptococcus pneumoniae bertanggung jawab untuk terjadinya 9-50% kasus PK, penyebab terbanyak kedua adalah Mycoplasma pneumoniae yang menyebabkan 15% dari semua kasus PK.24 Untuk pneumonia atipikal penularan dapat terjadi antar manusia melalui terhirupnya droplet dengan karakteristik onset yang bertahap dan gejalanya adalah sakit kepala, lelah, nyeri otot, sakit tenggorokan dan batuk kering. Mycoplasma pneumoniae sering sembuh sendiri dengan angka kematian yang rendah dan jarang menyebabkan perawatan dirumah sakit. Chlamydia pneumoniae dan Legionella pneumophila juga termasuk kuman yang berhubungan dengan pneumonia atipikal. Chlamydia pneumoniae sering pada usia lanjut dengan komorbid. Kebanyakan kasus yang disebabkan oleh Chlamydia pneumoniae sembuh sendiri tetapi dapat juga menjadi parah dan memerlukan perawatan di rumah sakit dengan angka kematian 9%.
Legionella pneumophila ditularkan
dengan paparan kuman di lingkungan tempat tinggal. Legionella pneumophila hidup di air bersih, sistem pemanas dan pendingin serta tanah yang lembab. Legionella pneumophila lebih sering terjadi pada individu dengan penurunan sistem imun, gagal ginjal, disfungsi hati, keganasan dan diabetes. Legionella pneumophila merupakan patogen atipikal yang meyebabkan keadaan klinis terburuk dengan angka kematian tertinggi yaitu 14%.24 34
Universitas Sumatera Utara
Virus juga merupakan penyebab dari pneumonia komuniti yang harus mendapat perawatan di rumah sakit. Virus influenza adalah penyebab tersering pneumonia yang diakibatkan oleh virus dan sering menjadi penyebab pneumonia bakteri sekunder akibat penurunan daya tahan tubuh dan bisa juga disebabkan penurunan fungsi silia dalam pembersihan saluran napas dari kuman. Respiratory syncytial virus adalah kuman yang biasa menyebabkan infeksi pada populasi anak dan frekuensinya meningkat pada saat dewasa, terutama pada pasien yang mendapat perawatan di rumah.24
2.1.4 Diagnosis PK didiagnosis dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan klinis, diagnosis fisik, foto toraks dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti untuk PK jika pada gambaran foto toraks tampak infiltrat baru ataupun infiltrat progresif ditambah dengan dua atau lebih gejala berikut ini : Batuk-batuk bertambah Perubahan karakteristik dahak / purulen Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam Pemeriksaan fisik : adanya tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki Leukosit ≥10.000 atau < 4500 19,20
35
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Penilaian derajat keparahan penyakit Pada PK, menilai tingkat keparahan penyakit dengan menggunakan sistem skoring yang telah banyak digunakan saat ini seperti PSI (pneumonia severity index) yang juga dikenal dengan nama PORT (Patient Outcome Research Team) skor, CURB-65 (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), IDSA / ATS (The Infectious Disease Society of America / American Thoracic Society) kriteria mayor dan minor, CURXO-80, SMART-COP dan CAP-PIRO dan lain-lain.5,9 Skor PSI terdiri atas beberapa variabel klinik yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari (kelas I= 0,1 – 0,4%; kelas II= 0,6 -0,7%; kelas III= 0,9 – 2,8%; kelas IV= 4 – 10%; kelas V: 27%). Skor PSI direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA) dengan kemampuan prediksi yang baik dengan AUC: 0,74 -0,83
25,26
Adapun sistem skoring PSI
ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sistem skoring PSI untuk menilai tingkat keparahan pasien PK.9,24,27 Karakteristik penderita
Jumlah poin
Faktor demografi -
-
Usia : Laki-laki
Umur (tahun)
Perempuan
Umur (tahun) – 10
Perawatan di rumah
+ 10
Penyakit penyerta -
Keganasan
+ 30
-
Penyakit hati
+ 20 36
Universitas Sumatera Utara
-
Gagal jantung kongestif
+ 10
-
Penyakit cerebrovaskular
+ 10
-
Penyakit Ginjal
+ 10
Pemeriksaan fisik -
Perubahan status mental
+ 20
-
Pernapasan ≥ 30 kali permenit
+ 20
-
Tekanan darah sistolik ≤ 90mmHg
+ 20
-
Suhu tubuh < 35°C atau ≥ 40°C
+ 15
-
Nadi ≥ 125 kali permenit
+ 10
Hasil laboratorium / Radiologik -
Analisis Gas Darah arteri : PH 7,35
+ 30
-
BUN > 30 mg/dL
+ 20
-
Natrium < 130 mEq/liter
+ 20
-
Glukosa > 250 mg/dL
+ 10
-
Hematokrit < 30%
+ 10
-
PO2 ≤ 60 mmHg
+ 10
-
Efusi pleura
+ 10
Poin total
Resiko
Kelas
Rekomendasi perawatan
I
Persentase mortaliti (jumlah pasien) 0,1 (3,034)
Tidak ada
Rendah
<70
Rendah
II
0,6 (5,778)
Rawat Jalan
71-90
Rendah
III
2,8 (6,790)
Rawat inap
90-130
Sedang
IV
8,2 (13.104)
Rawat inap
>130
Tinggi
V
29,2 (9.333)
Rawat inap
Rawat jalan
37
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kesepakatan PDPI 2003, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah : 1. Skor PORT > 70 2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini. •
Frekuensi napas > 30/menit
•
PaO2 / FiO2 < 250 mmHg
•
Gambaran foto toraks menunjukkan kelainan bilateral
•
Gambaran foto toraks melibatkan > 2 lobus
•
Tekanan sistolik < 90 mmHg
•
Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA 19,20 Menurut
Infectious Diseases Society of America (IDSA) / American
Thoracic Society (ATS) Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults 2007, kriteria pneumonia berat adalah apabila dijumpai salah satu atau lebih kriteria di bawah ini: Kriteria minor: Frekuensi napas ≥ 30/menit PaO2 / FiO2 ≤ 250 mmHg Foto toraks menunjukkan gambaran infiltrat multilobar Uremia (BUN ≥ 20 mg/dL) Leukopenia ( ≤ 4000 sel/mm3) Hipotermi (< 36°C) Hipotensi yang membutuhkan resusitasi cairan yang agresif 38
Universitas Sumatera Utara
Kriteria mayor adalah sebagai berikut : Membutuhkan ventilasi mekanik Septik syok yang membutuhkan vasopresor.3,24 2.1.6 Kriteria perawatan intensif Kriteria untuk pasien PK yang membutuhkan rawat inap di Ruang Rawat Intensif adalah yang mempunyai minimal 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventilasi mekanik dan membutuhkan vasopresor > 4 jam / syok septik) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (PaO2/FiO2 < 250 mmHg, gambaran foto toraks menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Adapun kriteria minor dan mayor lainnya bukan indikasi untuk rawat inap di Ruang Rawat Intensif.19,20
2.1.7 Pneumonia Atipikal Selain bakteri penyebab PK yang tipikal sering pula dijumpai bakteri/kuman atipikal.20 Bakteri atipikal tidak ditemukan dengan pewarnaan gram.23,24 Pneumonia akibat bakteri atipikal disebut pneumonia atipikal yang sering disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella spp. Penyebab lainnya adalah Chlamydia psittasi, Coxiela burnetti, Virus influenza tipe A dan B, Adenovirus dan Respiratory syncitial virus.24 Diagnosis pneumonia atipikal dapat ditegakkan dengan :
Gejalanya seperti demam, batuk non produktif, nyeri kepala dan mialgia.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai ronki basah difus, jarang terjadi konsolidasi.
Gambaran foto toraks menunjukkan infiltrat interstisial. 39
Universitas Sumatera Utara
Laboratorium : leukositosis ringan. Dengan pewarnaan gram, kultur dahak atau darah tidak ditemukan bakteri.
Pemeriksaan laboratorium untuk menemukan bakteri atipikal -
Isolasi biakan sensitivitasnya sangat rendah.
-
Deteksi Enzyme Immunoassay Antigen (EIA).
-
Polymerase Chain Reaction (PCR).
-
Uji serologi : o Cold Agglutinin o Uji fiksasi komplemen yang merupakan standar diagnosis M.pneumoniae o Micro Immunofluorescence (MIF), standar serologi untuk Chlamydia pneumoniae o Antigen dari urine untuk Legionella.19,20
Gambaran klinis pneumonia atipikal tidak sama dengan pneumonia tipikal. Tabel 2.2 menujukkan perbedaan klinis pneumonia atipikal dan tipikal.19,20
Tabel2.2.Perbedaan gambaran klinik pneumonia atipikal dan pneumonia tipikal.19,20 Tanda dan Gejala
Pneumonia Bakterial
Pneumonia Atipikal
(tipikal)
Onset
Akut
Gradual
Suhu
Tinggi, menggigil
Kurang tinggi
Batuk
Produktif
Non produktif
Dahak
Purulen
Mukoid
Gejala lain
Jarang
Nyeri kepala, mialgia, Sakit tenggorokan
Gejala diluar paru
Lebih jarang
Sering 40
Universitas Sumatera Utara
Pewarnaan gram
Kokus gram (+) atau
Sering flora normal atau spesifik
(-)
Radiologik
Konsolidasi lobar
“Patchy” atau normal
Laboratorium
Lebih tinggi
Lekosit normal kadang rendah
Gangguan fungsi
Jarang
Sering meningkat
hati
2.1.8 Penatalaksanaan Menurut ATS/IDSA 2007, untuk penatalaksanaan PK perhatikan
pasien
penting di
tanpa adanya riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan
sebelumnya dan pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya.
Adapun pemilihan antibiotik secara empirik
didasari atas beberapa faktor: -
Kemungkinan jenis kuman penyebab berdasarkan pola kuman.
-
Obat telah terbukti efektif pada penelitian sebelumnya.
-
Faktor resiko resisten terhadap antibiotik.
-
Ada atau tidaknya faktor komorbid juga perlu diperhatikan, faktor komorbid dapat mempengaruhi kecenderungan terhadap jenis kuman tertentu dan menjadi faktor penyebab kegagalan. Berikut ini adalah termasuk faktor komorbid yaitu : a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin -
Usia > 65 tahun
-
Memakai obat golongan β-laktam dalam 3 bulan terakhir
-
Pecandu alkohol
-
Penyakit gangguan kekebalan
-
Penyakit penyerta yang multipel 41
Universitas Sumatera Utara
4. Kuman enterik gram negatif -
Penghuni rumah jompo
-
Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung dan paru
-
Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
-
Riwayat pengobatan antibiotik
5. Pseudomonas aeruginosa -
Bronkiektasis
-
Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
-
Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
-
Gizi kurang19,20
Penatalaksanaan PK dibagi menjadi: 1. Penderita Rawat jalan
Pengobatan suportif/simptomatik -
Istirahat di tempat tidur (bed rest).
-
Minum yang cukup agar tidak dehidrasi.
-
Kompres bila demam tinggi atau beri obat penurun panas.
-
Kalau perlu berikan mukolitik atau ekspektoran.
Pemberian antibiotik sesegera mungkin. 19,20
2. Penderita rawat inap di ruang biasa
Pengobatan suportif / simptomatik -
Pemberian terapi oksigen
-
Pasang infus untuk rehidrasi, koreksi kalori dan elektrolit
-
Pemberian obat simptomatik seperti antipiretik dan mukolitik 42
Universitas Sumatera Utara
Pemberian antibiotik sesegera mungkin 19,20
3. Penderita rawat inap di ruang intensif / Intensive Care Unit (ICU)
Pengobatan suportif / simptomatik -
Pemberian terapi oksigen
-
Pasang infus untuk rehidrasi, koreksi kalori dan elektrolit
-
Pemberian obat simptomatik seperti antipiretik dan mukolitik
Pemberian antibiotik sesegera mungkin.
Bila ada indikasi di pasang Ventilator Mekanik.19,20
Berbagai petunjuk terapi empirik PK dibuat untuk memudahkan pemberian antibiotik sebagai terapi awal. Tabel 3. Menunjukkan terapi empirik antibiotik untuk PK menurut PDPI 2014.20
Tabel 2.3. Terapi empirik antibiotik untuk PK menurut PDPI 2014.20 Rawat jalan
o
Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya. -
golongan β-laktam atau golongan β-laktam + anti βlaktamase ATAU
o
makrolid baru (klaritromisin, azitromisin)
Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya. -
Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg, moksifloksasin) ATAU
-
golongan β-laktam + anti β-laktamase ATAU
-
golongan β-laktam + makrolid
43
Universitas Sumatera Utara
Rawat inap non ICU
o
Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg, moksifloksasin) ATAU
o
Ruang rawat intensif
golongan β-laktam + makrolid
Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas: o
β-laktam (sefotaksim, seftriakson atau ampisilin sulbaktam) + makrolid baru atau flurokuinolon respirasi iv
o Pertimbangan khusus
Ada faktor resiko infeksi pseudomonas: o
Antipneumokokal, antipseudomonas β-laktam (piperasilintazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) + levofloksasin 750 mg ATAU
o
β-laktam (piperasilin-tazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) + aminoglikosida dan azitromisin ATAU
o
β-laktam (piperasilin-tazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) + aminoglikosida dan antipneumokokal fluorokuinolon (untuk pasien yang alergi penisilin, β-laktam diganti dengan aztreonam) Bila curiga disertai infeksi MRSA
o
Tambahkan vankomisin atau linezolid
2.1.9 Prognosis pada PK Prognosis PK tergantung dari usia pasien, komorbid dan pengobatan yang tepat dan adekuat. Pada penderita usia muda tanpa komorbid akan sembuh dalam 2 minggu. Pada pasien usia tua dan pasien dengan komorbid akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh. 21
44
Universitas Sumatera Utara
2.2. PROCALCITONIN (PCT) Procalcitonin (PCT) adalah suatu peptida yang merupakan prekursor dari calcitonin dan terdiri dari 116 molekul asam amino dengan berat molekul 13 kDa.14,26,28,29 Secara enzimatis procalcitonin akan dipecah oleh sel-sel neuroendokrin yang terdapat pada kelenjar tiroid, paru dan pankreas sehingga menghasilkan 3 jenis molekul yaitu calcitonin, katacalcin dan aminoprocalcitonin.14 Sintesis procalcitonin berasal dari gen Calcitonin-1 (Calc-1) yang terletak pada kromosom 11.
28,-30
Kadar PCT dalam darah pada individu sehat
sangat rendah yaitu < 0,1 ng/mL. Lipopolisakarida (LPS) yang merupakan bagian dari endotoksin dapat merangsang sekresi PCT sehingga kadarnya meningkat pada sirkulasi sistemik tetapi tidak diikuti dengan peningkatan kadar calcitonin. Kadar PCT meningkat dalam 3-4 jam kemudian mencapai puncak setelah 6 jam dan menetap selama 24-48 jam, lalu turun ke nilai normal setelah 48 jam jika pengobatan berhasil, hal ini menunjukkan prognosis yang baik tetapi bila kadar PCT tetap tinggi atau bahkan terus meningkat menunjukkan kegagalan terapi.11 Waktu paruh PCT 25-30 jam.14 Pada penderita gangguan fungsi ginjal, waktu paruh PCT dapat memanjang mencapai 35 jam.11
45
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Skema asam amino dari procalcitonin 31 Kadar PCT akan meningkat pada infeksi bakteri sedangkan pada infeksi virus maupun reaksi inflamasi yang bersifat non infeksi kadarnya tidak meningkat.13 Rangsangan produk bakteri (endotoksin / LPS) dan mediator proinflamasi (TNF-α dan IL-1β) akan menyebabkan terjadinya induksi CT mRNA yang menyeluruh pada jaringan sehingga menyebabkan terjadinya sekresi yang masif dari dari beberapa prekursor calcitonin kedalam darah (termasuk PCT). Kadar PCT mengalami peningkatan yang lebih tinggi pada infeksi bakteri dibandingkan infeksi yang disebabkan oleh parasit ataupun jamur. Pada infeksi yang disebabkan virus, kadar PCT tidak meningkat diakibatkan oleh rangsangan virus terhadap makrofag akan menghasilkan interferon gamma (IFN-γ) yang akan menghambat mRNA sehingga mengurangi peningkatan sekresi PCT.
11,13
Tetapi
keadaan seperti trauma, pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, sindroma distress pernapasan, infeksi, nekrosis setelah pankreatitis akut dan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi dapat meningkatkan kadar PCT.4,29-32 Rendahnya kadar PCT tidak selalu meniadakan infeksi bakteri. Keadaan false 46
Universitas Sumatera Utara
negative ini dapat disebabkan oleh, antara lain: tahap awal infeksi, infeksi terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal (terutama kuman intraseluler).11 Studi oleh Ingram dkk mendapatkan hanya sedikit peningkatan kadar PCT pada pasien yang terinfeksi virus H1N1. 33 Pada sepsis sel-sel parenkim paru, hati, otak, otot dan jaringan lemak merupakan sumber utama PCT sehingga kadarnya dapat meningkat sampai lebih dari 100.000 kali dari kadar normal.13 Bakteri dengan ukuran ≤1 mm memasuki saluran napas hingga mencapai permukaan alveoli dan kemudian akan berinteraksi dengan komponen yang terlarut dalam cairan alveoli (misalnya Imunoglobulin G / IgG, komplemen, surfaktan) dan dengan makrofag alveoli. Dalam keadaan normal leukosit yang mengisi rongga alveoli sebagian besar terdiri dari makrofag (hampir 95%) sedangkan sisanya terdiri dari limfosit (1-4%) dan neutrofil (1%). Karena itu makrofag alveoli merupakan sel fagosit utama pada innate immunity di saluran napas dan paru. Selain fungsi fagositosis makrofag juga berperan sebagai antigen presenting cell (APC) dan sebagai sel yang dapat memproduksi sitokin-sitokin proinflamasi. Makrofag alveoli dapat memproduksi beberapa sitokin yang penting dalam proses inflamasi yaitu TNF-α yang berfungsi sebagai mediator inflamasi dan IL-1 yang berfungsi sebagai pirogen endogen dan berperan dalam aktivasi sel T helper. Endotoksin, IL-1, IL-6, dan TNF-α dapat merangsang produksi PCT oleh hati dan sel-sel makrofag di berbagai organ sebelum timbulnya gejala-gejala pneumonia.13
47
Universitas Sumatera Utara
Philippe Linscheid meneliti ekspresi gen Calc-1 secara in vitro dan in vivo pada sel-sel parenkim jaringan lemak dan memperlihatkan bahwa terdapat ekspresi CT mRNA dan pelepasan PCT pada jaringan lemak setelah penyuntikan LPS.13 Baik secara in vivo atau ex vivo kadar PCT sangat stabil meskipun pada suhu ruangan. Pembekuan dan pencairan juga tidak berpengaruh secara signifikan pada konsentrasi PCT. Pada sampel arteri dan vena konsentrasi PCT juga tidak berbeda. Konsentrasi PCT dalam sampel serum dan plasma dengan anti koagulan yang berbeda juga tidak menunjukkan perbedaan , hanya pada plasma lithiumheparin terdapat perbedaan konsentrasi PCT. Tetapi perbedaan ini sangat rendah dengan rata-rata perbedaan < 8%. Disamping itu, kehilangan konsentrasi PCT sehubungan dengan penyimpanan pada suhu 25°C juga rendah. Meskipun setelah penyimpanan 24 jam dengan suhu ruangan tenyata sekitar 12,4% (mean) dari konsentrasi sebenarnya yang hilang sedangkan pada suhu 4°C sebanyak 6,3% (mean) yang hilang. 14
Gambar 2.2. Diagram ekspresi Calc-1 pada jaringan adiposa dan kelenjar tiroid.13 48
Universitas Sumatera Utara
Terdapat
beragam
jenis
pemeriksaan
PCT,
seperti
ILMA
(immunoluminometric assay/ LIA, BRAHMS PCT-Q , VIDAS BRAHMS PCT , BRAHMS PCT KRYPTOR dan Elecsys BRAHMS PCT11,30,34-36. Saat ini, BRAHMS PCT KRYPTOR dan Elecsys BRAHMS PCT merupakan alat untuk memeriksa kadar PCT yang paling sensitif dan akurat dibandingkan alat-alat yang lainnya.11,29 2.2.1 Peran PCT sebagai pedoman penggunaan antibiotik pada PK Pada tahun 2004, Christ-Crain dkk melaporkan hasil penelitian tentang penggunaan PCT sebagai pedoman untuk penggunaan antibiotik untuk penyakit infeksi saluran napas bawah dengan menggunakan alat yang sangat sensitif (Kryptor,BRAHMS, Aktiengesellschaft, Hennigsdorf, Germany) dengan jumlah sampel sebanyak 243 pasien yang secara acak dibagi menjadi 2 grup, dimana grup kontrol diberi antibiotik sesuai prosedur standar sedangkan pada pasien grup PCT diberi antibiotik sesuai dengan algoritma standar PCT : < 0.1 ng/ ml: antibiotik sangat tidak dianjurkan < 0.25 ng/ ml: antibiotik tidak dianjurkan > 0.25 ng/ml: antibiotik dianjurkan > 0.5 ng/ ml: antibiotik sangat dianjurkan Ternyata pada grup PCT secara signifikan berkurang penggunaan antibiotik dan biaya pengobatan sebesar 50% .2 Kemudian pada tahun 2006, Christ-Crain dkk kembali melakukan penelitian pada, 302 pasien PK. Grup kontrol diberi antibiotik berdasarkan. gejala klinis. Grup PCT diberi antibiotik sesuai algoritma diatas. Hasilnya durasi penggunaan berkurang dari 13 hari menjadi 5 hari. 12
49
Universitas Sumatera Utara
Bukhart dkk membagi kadar PCT sebagai pedoman untuk penggunaan antibiotik, seperti yang terlihat pada gambar 2.3.37
Gambar 2.3. Pedoman penggunaan antibiotik berdasarkan kadar PCT 37
2.2.2 Peran procalcitonin dalam menentukan tingkat keparahan PK Pada penelitian oleh Huang dkk yang dilakukan sejak november 2001 sampai november 2003 dengan sampel sebanyak 1651 pasien PK . Hasilnya, pada kadar PCT< 0,1 ng/ml memiliki angka kematian hari ke-30 dan ke-90 akibat PK yang rendah walau skor PSI berada pada grup IV atau V dan skor CURB-65 ≥ 3. Hasil tersebut menunjukkan bahwa PCT lebih akurat dibandingkan skor PSI dan CURB-65 dalam memprediksi tingkat keparahan PK.1 Schuetz dkk melaporkan hasil penelitiannya antara bulan oktober 2006 sampai maret 2008 , dimana sebanyak 925 pasien PK dilibatkan. Hasilnya menunjukkan bahwa PCT mempunyai akurasi yang tinggi untuk prognosis perburukan pada PK .16 Jean dkk melibatkan 589 pasien PK dalam penelitiannya yang menghubungkan antara kadar PCT dengan skor PSI dan disimpulkan bahwa PCT ternyata dapat memprediksi kuman penyebab pada pasien PK dengan skor PSI kelas I-II dimana kadar PCT meningkat pada infeksi bakteri dibanding non50
Universitas Sumatera Utara
bakteri, sedangkan pada skor PSI yang tinggi (PSI kelas IV-V) PCT menjadi petunjuk tingkat keparahan yang baik pada PK.6,11 Masia dkk pada 15 oktober 1999 sampai 14 oktober 2001 meneliti dan melibatkan sebanyak 240 pasien PK, mendapatkan bahwa
PCT dapat
memprediksi kuman penyebab pada skor PSI yang rendah, sedangkan pada skor PSI yang tinggi, PCT lebih bermanfaat untuk menentukan prognostik.11,18 Penelitian Muller dkk pada rentang waktu desember 2002 sampai april 2003 dan November 2003 sampai Februari 2005 yang melibatkan 545 pasien, didapatkan hasil bahwa PCT lebih akurat dalam mendiagnosis dan menentukan tingkat keparahan PK dibanding CRP dan jumlah lekosit total, dan kadar PCT akan meningkat sejalan dengan peningkatan skor PSI pada pasien PK yang berat.6,7
51
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Kerangka Konsep Pembagian secara klinis dan epidemiologis
Pneumonia
Pneumonia Komuniti
Pneumonia Nasokomial
Pneumonia Aspirasi
Skor Pneumonia Severity Indeks (PSI)
Pneumonia yang berhubungan dengan Immunocompromised
Procalcitonin
Tingkat Keparahan Gambar 2.4. Kerangka Konsep
52
Universitas Sumatera Utara