6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apendisitis akut 2.1.1 Definisi Apendisitis akut merupakan radang akut pada apendiks vermiformis , yang disebabkan oleh bakteri yang terjadi karena penyebaran mikroorganisme secara hematogen atau limfogen, akibat obstruksi lumen apendik sehingga terjadi perubahan patogenitas kuman komensal (John Maa, 2008). Apendiks vermiformis merupakan organ berbentuk tabung atau sebuah penonjolan pada dinding posteromedial sekum. Kata vermiformis berasal dari bahasa Latin, yaitu vermiforma yang berarti berbentuk cacing. Apendiks vermiformis hanya terdapat pada manusia, monyet, dan marsupial. Organ ini pertama kali diidentifikasi oleh penduduk Mesir sekitar 3000 SM. Pada proses mumifikasi, bagian–bagian isi perut biasanya diambil dan ditempatkan pada sebuah wadah berisi pengawet bertuliskan cacing usus (Prystowsky et al., 2005). Apendisitis (Radang apendiks) mulai mendapat perhatian pada awal abad 20. Pada tahun 1900 penyakit ini telah diketahui, dan disebut dengan perithyphlitis yang berarti proses inflamasi di sekitar sekum. Dan ketika Raja Edward VII terkena apendisitis akut dan memerlukan operasi, penyakit ini menjadi dikenal oleh masyarakat umum. Pada saat itu terdapat pendapat bahwa pola diet yang tinggi gula dan rendah serat diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya radang pada apendiks (Prystowsky et al., 2005).
[Type text] 6
7
2.1.2 Epidemiologi Pada tahun 2000 prevalensi apendisitis akut di Negara Barat diperkirakan 7% per tahun. Di Inggris terdapat 40.000 pasien dengan apendisitis akut yang dirawat setiap tahunnya sedangkan di Amerika Serikat didapatkan insiden apendisitis akut adalah 1 per 1000 orang dan 86 kasus per 100.000 orang di dunia setiap tahunnya. Prevalensi apendisitis akut yang tertinggi adalah pada kelompok usia 10-19 tahun. Risiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya adalah antara 6-9%. Apendisitis lebih banyak didapatkan pada laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 1,4:1 (Humes dan Simpson, 2011). Apendisitis akut merupakan salah satu kegawat daruratan abdomen yang sering ditemukan di Amerika Serikat. Kira–kira 11 dari 10.000 manusia akan mengalami apendisitis selama hidupnya. Hal ini merupakan proses inflamasi apendiks yang memerlukan pengangkatan apendiks untuk mencegah terjadinya komplikasi yang mengancam nyawa seperti perforasi apendiks dan peritonitis. Sebuah studi di Denmark menunjukan penurunan insiden apendisitis akut antara tahun 1996 dan 2004. Apendisitis akut pada grup laki-laki kelompok usia 10–14 tahun adalah sebesar 27,8% dan pada kelompok usia 15-19 tahun adalah 12,8%. Tren ini juga sama pada populasi perempuan dengan insiden 35.9%, menurun pada kelompok usia 10-14 tahun dan 22,5% pada kelompok usia 15-19 tahun. Pada beberapa penelitian di Eropa menunjukan ada kecenderungan penurunan angka kejadian apendisitis akut pada dewasa muda yaitu usia 10 – 19 tahun. Penelitian di Swedia juga menunjukan adanya penurunan angka kejadian insidensi apendisitis pada usia dewasa muda (Buckius et al., 2012)
8
Tabel 2.1 Menunjukan frekuensi pasien yang didiagnosa sebagai apendisitis akut yang simpel maupun komplikasi (dikutip dari Buckius et al., 2012).
2.1.3 Patofisiologi Apendisitis Akut Hingga saat ini etiologi dari apendisitis akut masih belum jelas diketahui dengan pasti, tetapi obstruksi lumen apendiks dianggap sebagai penyebab utama, dimana penyebab obstruksi terbanyak adalah adanya hiperplasia limfoid (60%), fekalit/fecal stasis (35%), benda asing (4%), dan tumor (1%) (Lamps, 2004). Sejumlah literatur menyatakan bahwa fekalit merupakan penyebab obstruksi yang paling sering sedangkan yang paling jarang menyebabkan obstruksi adalah hipertropi limfoid, sisa barium dari pemeriksaan rontgen sebelumnya, tumor, dan benda asing. Obstruksi proksimal pada lumen apendiks menyebabkan obstruksi
9
“close-loop” dan berlanjut dengan distensi lumen apendiks yang disebabkan sekresi cairan apendiks yang terus berlangsung. Kapasitas lumen apendiks hanya 0,1 mL, dimana peningkatan volume intraluminal apendiks sebesar 0,5 mL dapat meningkatkan tekanan intralumen setinggi 60 cmH2O. Distensi ini menyebabkan stimulasi saraf aferen sehingga timbul nyeri samar, tumpul, dan menyebar pada abdomen bagian tengah atau epigastrium. Peristaltik juga distimulasi oleh distensi usus yang berlebihan, sehingga menyebabkan rasa mual yang bercampur dengan nyeri visceral pada awal proses apendisitis. Distensi berlanjut dapat disebabkan oleh sekresi mukosa dan multiplikasi bakteri komensal pada apendiks yang berlebihan. Peningkatan tekanan intraluminal dan peningkatan tekanan vena yang sangat tinggi akan menyebabkan vena dan kapiler tersumbat tetapi aliran darah arteri masih berlanjut, sehingga terjadi pembengkakan apendiks dan hambatan vaskular. Proses inflamasi berlanjut pada serosa apendiks dan lipatan peritoneum parietal sehingga menyebabkan nyeri yang spesifik pada perut kanan bawah (Lamps, 2004; Prystowsky et al., 2005; Humes dan Simpson, 2011). Obstruksi lumen apendiks menyebabkan terjadinya pertumbuhan bakteri yang berlebihan yang diikuti dengan sekresi mukus, sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraluminal lumen. Terjadilah iskemia mukosa yang menurunkan aliran limfatik dan drainase vena yang akhirnya mengakibatkan proses inflamasi lokal yang dapat mengarah ke gangren dan perforasi (Lamps, 2004). Fenomena closed loop dan translokasi bakteri intraluminal apendiks akan menyebabkan apendisitis fokal (Kataralis). Dengan adanya kuman dalam
10
submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supuratif yang menghasilkan pus. Hal ini disebut dengan apendisitis supurativa atau plegmentosa. Kemudian dengan keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks menyebabkan tekanan intraluminal yang meningkat, desakan semakin besar dan menyebabkan gangguan pada sistim vasa dinding apendiks, mulai dari vasa limpatika, vena dan kemudian arteri. Dengan adanya gangguan pada vasa tersebut, membuat apendiks menjadi edema dan iskemia bahkan infark. Keadaan apendiks seperti ini yang umumnya disebut dengan apendisitis gangrenosa. Apendiks yang sedang mengalami saat gangrenosa dan tidak mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat akan mengalami ruptur atau perforasi apendiks (Lamps, 2004; Prystowsky et al., 2005; Humes dan Simpson, 2011).
2.1.4 Diagnosis Apendisitis Akut Diagnosis apendisitis akut ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 2.1.4.1 Anamnesis Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pasien dengan apendisitis akut, nyeri awalnya berasal dari abdomen bagian tengah, kemudian dalam waktu 24 jam berpindah ke fosa iliaka kanan, bersifat tajam, dan konstan. Hal itu pertama kali dideskripsikan oleh Murphy. Nyeri abdomen, panas badan, dan anoreksia merupakan gejala klasik dari apendisitis akut (Prystowsky et al., 2005; Petroianu, 2012).
11
Nyeri abdomen tersebut akan bersifat menetap di perut kanan bawah yang akan bertambah nyeri bila pasien bergerak, batuk atau bersin. Pada pasien dengan apendisitis akut juga dirasakan panas badan yang biasanya tidak terlalu tinggi (sekitar 380C). Anoreksia, mual, dan muntah dapat timbul beberapa jam kemudian (Prystowsky et al., 2005; Humes dan Simpson, 2011). Tabel 2.2 Frekuensi tanda dan gejala apendisitis akut (dikutip dari Prystowsky et al., 2005)
2.1.4.2 Pemeriksaan Fisik Apendisitis Akut Pada pemeriksaan abdomen akan ditemukan nyeri tekan pada perut kanan bawah (fosa iliaka dekstra) yaitu pada titik sepertiga lateral dari garis khayal yang menghubungkan Spina Iliaca Anterior Superior kanan dengan umbilikus, yang disebut dengan titik McBurney atau disebut juga Lanz, atau Munro. Adanya iritasi peritoneal merupakan hal yang sangat penting sebagai indikasi pembedahan. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosa apendisitis (Prystowsky et al., 2005; Humes dan Simpson, 2011).
12
Lokasi dari nyeri sangat tergantung dari posisi appendiks. Umumnya nyeri didapatkan pada titik McBurney di daerah perut kanan bawah. Dari beberapa literatur nyeri ini didapatkan sekitar 96% dari pasien, tetapi penemuan ini tidaklah spesifik. Penemuan yang lebih spesifik adalah rebound tenderness, nyeri ketok, rigiditas dan guarding. Rebound tenderness adalah nyeri perut kanan bawah yang terjadi saat tekanan di perut kanan bawah dilepaskan. Rigiditas dan guarding adalah timbulnya tahanan pada dinding perut saat dilakukan palpasi. Selain pemeriksaaan tersebut dapat juga dilakukan pemeriksaan lain seperti (Petroianu, 2012): 1. Rovsing sign Penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, hal ini dilakukan dengan prinsip perpindahan tekanan yang dilakukan di perut bagian kiri yang berpindah ke kanan. 2. Blumbergs sign Bila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah, hal ini mempunyai prinsip perpindahan tekanan di dalam peritoneum yang akan meransang nyeri pada apendiks. 3. Rosenstein sign Nyeri pada perut kanan bawah bertambah bila pasien berubah posisi dari berbaring terlentang kemudian berbaring ke sisi kiri 4. Psoas stretch sign Otot psoas kanan berjalan sepanjang pelvis dekat dengan apendiks, pemeriksaan ini dilakukan dengan cara membuat otot psoas kanan berkontraksi
13
sehingga menyentuh ujung apendiks sehingga nyeri. Pemeriksa akan menahan lutut pasien sementara pasien berusaha mengangkat kaki di posisi tidur. Pemeriksaan Psoas sign sering dilakukan untuk mengetahui adanya apendisitis retrocaecal. Pemeriksaan ini baik dilakukan dengan pasien berada di sisi kiri dimana panggul dihiperekstensikan dengan lutut yang sedikit dibengkokkan. 5. Obturator sign. Obturator sign diperiksa dengan memfleksikan panggul dan lutut kemudian melakukan rotasi interna pada panggul. 6. Pemeriksaan rectum juga diperlukan dimana pada apendisitis akut nyeri atau massa dapat dirasakan pada sisi kanan pada regio supralevator. 2.1.4.3 Pemeriksaan Penunjang Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosa apendisitis akut diantaranya: 1. Pemeriksaan laboratorium Didapatkan peningkatan sel darah putih (leukositosis) dan C-reactive protein (CRP). Jumlah leukosit berkisar antara 10.000-20.000/ml. Namun sekitar 21-65% pasien apendisitis akut memiliki leukosit yang normal (Petroianu, 2012; Zikrullah et al., 2012). 2. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG), CTScan, dan MRI. Beberapa penulis mengatakan bahwa lokasi nyeri sangat penting untuk pemeriksaan radiologi seperti ultrasonografi (USG) (Ozkan et al., 2015). USG direkomendasikan untuk mengevaluasi nyeri perut kanan
14
bawah.sedangkan CT-Scan direkomendasikan untuk nyeri pada kuadran kanan dan kiri bawah (Prystowsky et al., 2005; Humes dan Simpson, 2011; Petroianu, 2012). Akurasi dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut melalui USG berkisar antara 71-97%. Hal ini tergantung daripada kemampuan operator. Pada pemeriksaan ultrasonografi, apendiks yang mengalami inflamasi akan memiliki diameter 6 mm atau lebih. Ditemukan juga adanya perubahan inflamasi pada jaringan sekitar khususnya pada jaringan lemak yang mengelilinginya. Pada apendiks yang mengalami perforasi gambaran ultrasonografi menunjukkan adanya penumpukan cairan di sekitar sekum (Humes dan Simpson, 2011; Prystowsky et al., 2005; Petroianu, 2012). Pada penelitian tentang validitas diagnosa USG pada apendisitis akut di RSUP Sanglah Denpasar Bali didapatkan sensitivitas 88,2%, spesifisitas 100%, akurasi 88,9% (Mahayasa 2006) Pada pemeriksaan CT-Scan, apendiks yang mengalami inflamasi akan memiliki diameter lebih besar dari 6 mm dan cenderung mengalami perubahan inflamasi pada jaringan sekitarnya. Perubahan ini meliputi adanya flegmon, cairan bebas, abses, dan udara bebas. Pemeriksaan CT-Scan memiliki akurasi antara 93-98% yang lebih superior dalam mendiagnosis apendisitis akut. Dikarenakan organ yang terlihat lebih jelas, sehingga dapat menyingkirkan diagnosis banding yang ada. Pemeriksaan ini juga dapat membedakan penyebab apendisitis seperti obstruksi lumen akibat malignansi (Petroianu, 2012; Humes dan Simpson, 2011; Prystowsky et al., 2005).
15
Pemeriksaan MRI ternyata tidak lebih baik dibandingkan pemeriksaan lain dalam mendiagnosis apendisitis akut. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa MRI memiliki keuntungan yaitu menurunkan insiden laparotomi negatif. MRI menghabiskan lebih banyak waktu dan biaya dibandingkan pemeriksaan lain (Prystowsky et al., 2005; Petroianu, 2012; Humes dan Simpson, 2011).
Gambar 2.1. Gambaran USG pada pasien dengan apendisitis akut. Terdapat penebalan dinding apendiks atau donught sign (dikutip dari N Kouame et al., 2012)
16
Gambar 2.2. Pada gambar ini ditemukan pembesaran apendiks (> 6 mm) (dikutip dari N Kouame et al., 2012)
2.2
Sistim Skor Diagnosis Apendisitis Akut Sejumlah sistim skor telah dikembangkan dalam mendiagnosis apendisitis
akut dan mempengaruhi penatalaksanaan kasus tersebut. Sistim tersebut merupakan penunjang diagnosis yang berharga dalam membedakan suatu apendisitis akut dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik. Ada beberapa sistem skor diagnosa yang dikenal (Memon et al., 2013). 2.2.1 Skor Alvarado Pada tahun 1986 Alvarado telah memperkenalkan sistem penilaian baru (Sistem skoring) untuk mendiagnosis apendisitis akut pada seseorang dan telah banyak digunakan oleh banyak ahli bedah di dunia. Skor Alvarado dibuat sebagai alat diagnosis dan pengelompokan pasien yang dicurigai menderita apendisitis akut dengan diagnose banding yang bermacam-macam. Skor ini terdiri dari 10 poin dengan akronim MANTRELS (Tabel 3), hal ini dinilai berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Jumlah skor yang didapatkan akan menentukan apakan pasien yang dicurigai tersebut akan dipulangkan, diobservasi, atau dioperasi (Memon et al., 2013; Wray et al., 2013). Berdasarkan sistim skor ini, pasien yang dicurigai menderita apendisitis akut dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: 1.
Skor 7-10 (emergency surgery group): Semua penderita dengan skor ini disiapkan untuk tindakan operasi
17
2.
Skor 5-6 (observation group) Semua penderita dengan skor ini di rawat inap dan dilakukan observasi
selama 24 jam dengan evaluasi secara berulang terhadap data klinis dan hasil. Jika kondisi pasien membaik yang ditunjukkan dengan penurunan skor, penderita dapat dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk. 3. Skor 1-4 (discharge home group). Penderita pada kelompok ini setelah mendapat pengobatan secara simptomatis dapat dipulangkan dengan catatan harus segera kembali bila gejala menetap atau memburuk.
Tabel 2.3. Alvarado/MANTRELS Score (Wray et al., 2013).
18
Berdasarkan Skor Alvarado, kemungkinan pasien menderita apendisitis akut dengan skor 1-4 adalah 30%, skor 5-6 adalah 66%, dan skor 7-10 adalah 93% (Memon et al., 2013). Pada beberapa penelitian skor Alvarado memiliki nilai sensitivitas sekitar 7391% dan nilai spesifisitas sekitar 78-92%, bahkan ada penelitian yang menyebutkan Alvarado skor memiliki nilai sensivisitas yang lebih rendah pada pasien dengan usia anak-anak dan pada wanita dengan usia produktif (Yousaf et al., 2006) . Peneliti lainnya tentang apendisitis akut di RSUP Sanglah Denpasar Bali, Stefanus Dhe Soka pada tahun 2010 didapatkan angka sensitivitas 85,2%, spesifisitas 62,5%, dan akurasi 82,3%. 2.2.2 Skor Tzanakis Pada tahun 2005 Tzanakis dan rekan-rekannya memperkenalkan sistem skor yang sederhana untuk mendiagnosa apendisitis akut, yang dikenal dengan skor Tzanakis untuk diagnosis apendisitis akut. Skor ini terdiri dari variabel gejala secara klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan ultrasonografi untuk mendiagnosa pasien yang dicurigai menderita apendisitis akut. Skor Tzanakis adalah suatu system penilaian yang digunakan untuk menegakkan diagnosis apendisitis akut yang didasarkan atas 2 gejala klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan ultrasonografi yaitu: skor 1. Right lower abdominal tenderness
4
2. Rebound tenderness
3
3. White blood cells > 12.000
2
19
4. Positive ultrasound scan finding off apendisitis
6
Nilai maksimal dari sistem skor ini 15. Dimana pasien dengan nilai skor 8 atau lebih di diagnosa dengan apendisitis akut. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa skor Tzanakis memiliki sensitivitas 95,4%, spesifitas 97,4% dan akurasi sebesar 96,5% (Sigdel GS et al., 2010). 2.2.3 Skor RIPASA Tahun 2010, suatu tim dari Rumah Sakit Raja Isteri Pengiran Anak Saleha (RIPAS) di Brunei, mengembangkan suatu sistem skoring apendisitis akut yang disebut dengan RIPASA. Merupakan sistem skoring kualitatif yang mudah dengan 14 parameter klinis ( 2 demografi, 5 gejala klinis, 5 tanda klinis, dan 2 investigasi klinis) dan 1 parameter tambahan (Chong et al., 2011).
20
Tabel 2.4. RIPASA Score (Chong et al., 2011).
Penelitian tentang validitas diagnostik skor Ripasa di RSUP Sanglah Bali oleh Ruth Feronica 2011 sensitivitas 81,4%, spesifisitas 74,3%. 2.3 Penatalaksanaan Apendisitis Akut Apendisitis akut merupakan penyakit yang memerlukan diagnosis yang tepat untuk kemudian dilakukan pembedahan segera (Humes and Simpson, 2006). Tindakan resusitasi yang diikuti dengan operasi apendisektomi merupakan pilihan pertama pada pasien dengan apendisitis akut. Tidak dianjurkan untuk pemberian obat analgetik karena akan mengaburkan gejala. Semua pasien harus mendapatkan antibiotika spektrum luas preoperatif (1-3 dosis) untuk menurunkan resiko infeksi postoperatif dan pembentukan abses intra abdomen (Humes dan Simpson, 2011). Apendisitis kataralis seharusnya dapat diterapi secara konservatif, didiagnosa dengan pemeriksaan fisik, tes darah, USG, dan CT-Scan atau dengan nyeri tanpa
21
tanda rangsangan iritasi peritoneal. sehingga pasien dengan apendisitis katarhalis seharusnya dirawat dan diberi antibiotik (Memon et al., 2013). Penelitian sebelumnya tidak menunjukkan adanya perbedaan komplikasi antara pembedahan (apendisektomi) yang dilakukan secepatnya (<12 jam) dengan apendisektomi yang dilakukan pembedahan yang dilakukan antara 12-24 jam kemudian. Namun jika onset dari munculnya gejala pertama telah lebih dari 36 jam maka kemungkinan terjadinya perforasi adalah antara 16-36% dan resiko perforasi bertambah 5% setiap penundaan operasi 12 jam. Sehingga saat diagnosis apendisitis akut ditegakkan maka disarankan untuk melakukan pembedahan segera. Pembedahan yang segera dilakukan bisa mengurangi angka kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan penyembuhan biasanya cepat dan sempurna. Apendiks yang pecah memiliki prognosis yang lebih buruk (Humes dan Simpson, 2011).