6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Kajian Teori
2.1.1 Metode Discovery Dalam pengertian dan pemahaman discovery banyak teori yang dibicarakan. Berikut ini ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli adalah: Discovery dalam bahasa Indonesia berarti penemuan. Menurut pendapat Sund (1975), yang dikutip Suryabrata
(2002) dinyatakan bahwa metode
discovery adalah proses mental dimana siswamengasimilasikan sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya. : mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Yang dimaksud konsep misalnya : segi tiga, demokrasi, panas, energi, dan sebagainya. Sedangkan prinsip misalnya : logam apabila dipanasi mengembang, lingkungan berpengaruh terhadap kehidupan organisme, dan sebagainya. Sedangkan pendapat Gagne dan Berliner ( 1984 ) yang dikutip Moedjiono dan Moh. Dimyati ( 1991 ) dinyatakan bahwa metode discovery adalah metode dimana para siswa memerlukan penemuan konsep, prinsip dan pemecahan masalah untuk menjadi miliknya lebih dari pada sekedar menerimanya atau mendapatkannya dari seorang guru atau sebuah buku. Metode discovery menurut Rohani (2004) adalah metode yang berangkat dari suatu pandangan bahwa peserta didik sebagia subyek di samping sebagai obyek pembelajaran. Mereka memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu stimulus atau rangsangan yang dapat menantang peserta diidk untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktifitas pembelajaran. Peranan guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin pengajaran yang demokratis,sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan masalah atas bimbingan guru. Penggunaan teknik
7
discovery ini guru berusaha meningkatkan aktifitas siswa dalam proses belajar mengajar. Maka teknik ini memiliki keuntungan sebagai berikut: 1.
Teknik
ini
mampu
membantu
siswa
untuk
mengembangkan,
memperbanyak kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa. 2.
Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi individual sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
3.
Dapat membangkitkan kegairahan belajar mengajar para siswa.
4.
Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengankemampuannya masing-masing.
5.
Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.
6.
Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri.
Strategi itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja, membantu bila diperlukan. Walalupun demikian baiknya teknik ini toh masih ada pula kelemahan yang perlu diperhatikan ialah: 1.
Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
2.
Bila kelas terlalu besar penggunaan teknikini akan kurang berhasil.
3.
Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik penemuan.
4.
Dengan teknik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertiansaja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa.
8
5.
Teknik ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berpikir secara kreatif. Dari beberapa pendapat diatas penulis menyimpulkan metode discovery
adalah metode yang sengaja dirancang untuk meningkatkan keaktifan siswa yang lebih besar, berorientasi pada proses untuk menemukan sendiri informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan
instruksional. Dengan demikian
metode discovery berorientasi pada proses dan hasil secara bersama-sama. Metode discovery memiliki kebaikan-kebaikan seperti diungkapkan oleh Suryabrata (2002), yaitu: 1.
Dianggap
membantu
siswa
mengembangkan
atau
memperbanyak
persediaan dan penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan terpimpin. Kekuatan dari proses penemuan datang dari usaha untuk menemukan, jadi seseorang belajar bagaimana belajar itu. 2.
Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer.
3.
Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan.
4.
Metode ini memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri
5.
Metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga ia lebih merasa terlibat dan bermotivasi sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan khusus.
6.
Metode discovery dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan. Dapat memungkinkan siswa sanggup mengatasi kondisi yang mengecewakan.
9
7.
Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan pada siswa dan guru berpartisispasi sebagai sesama dalam situasi penemuan yang jawaban nya belum diketahui sebelumnya.
8.
Membantu perkembangan siswa menuju skeptisisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak.
Kelemahan metode discovery Suryabrata (2002), adalah: 1.
Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini. Misalnya
siswa
yang
lamban
mungkin
bingung
dalam
usanya
mengembangkan pikirannya jika berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, atau menemukan saling ketergantungan antara pengertian dalam suatu subyek, atau dalam usahanya menyusun suatu hasil penemuan dalam bentuk tertulis. Siswa yang lebih pandai mungkin akan memonopoli penemuan dan akan menimbulkan frustasi pada siswa yang lain. 2.
Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar. Misalnya sebagian besar waktu dapat hilang karena membantu seorang siswa menemukan teori-teori, atau menemukan bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu.
3.
Harapan yang ditumpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang sudahy biasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional.
4.
Mengajar dengan penemuan mungkin akan dipandang sebagai terlalu mementingkan memperoleh pengertian dan kurang memperhatikan diperolehnya sikap dan ketrampilan. Sedangkan sikap dan ketrampilan diperlukan untuk memperoleh pengertian atau sebagai perkembangan emosional sosial secara keseluruhan.
5.
Dalam beberapa ilmu, fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba ide-ide, mungkin tidak ada.
6.
Strategi ini mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk berpikir kreatif, kalau pengertian-pengertian yang akan ditemukan telah diseleksi terlebih dahulu oleh guru, demikian pula proses-proses di bawah
10
pembinaannya. Tidak semua pemecahan masalah menjamin penemuan yang penuh arti.
Langkah-Langkah Pelaksanaan Metode Discovery Langkah-langkah penggunaan
metode discovery menurut
Richard
Scuhman yang dikutip oleh Suryabrata (2002 ) sebagai berikut : 1.
Mengidentifikasi kebutuhan siswa
2.
Pemilihan pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi yang akan dipelajari.
3.
Pemilihan bahan dari masalah atau tugas-tugas yang akan dipelajari.
4.
Membantu memperjelas mengenai tugas atau masalah yang akan dipelajari masing-masing siswa
5.
Mempersiapkan tempat dan alat-alat untuk penemuan.
6.
Mengecek pemahaman siswa tentang masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugasnya dalam pelaksanaan penemuan.
7.
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan penemuan dengan melakukan kegiatan pengumpulan data dan pengolahan data.
8.
Membantu siswa dengan informasi/data yang diperlukan oleh siswa untuk kelangsungan kerja mereka, bila siswa menghendaki.
9.
Membimbing para siswa menganalisis sendiri dengan pertanyaan, pengarahan dan mengidentifikasi proses yang digunakan.
10. Membesarkan hati dan memuji siswa yang ikut serta dalam proses yang digunakan. 11. Membantu siswa merumuskan kaidah, prinsip, ide generalisasi atau konsep berdasarkan hasil penemuannya
Langkah-langkah discovery menurut Arends (dalam Haryono, 2001) adalah: 1.
Menyampaikan tujuan, mengelompokkan dan menjelaskan prosedur discovery
2.
Menyampaikan suatu masalah dan mejelaskan masalah secara sederhana
11
3.
Eksperimen atau melakukan percobaan
4.
Membuat hipotesis
5.
Analisis proses penemuan
Langkah-langkah discovery menurut Mulyasa (2005) sebagai berikut: 1.
Adanya masalah yang akan dipecahkan
2.
Sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik
3.
Konsep atau prinsip yang harus ditemukan oleh peserta didik melalui kegiatan tersebut perlu dikemukakan dan ditulis secara jelas
4.
Harus tersedia alat dan bahan yang diperlukan
5.
Susunan kelas diatur sedemian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar
6.
Guru harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengumpulkan data
7.
Guru harus memberikan jawaban dengan tepat dengan data serta informasi yang diperlukan peserta didik.
Dari beberapa langkah-langkah discovery menurut para ahli, maka kesimpulan penulis adalah sebagai berikut : 1. Menyampaikan rumusan masalah yang akan dipelajari 2. Mendorong siswa untuk menyampaikan hipotesis dari permasalahan 3. Memfasilitasi siswa untuk melakukan kegiatan atau
percobaan dalam
menyelesaikan permasalahan yang dipelajari 4. Menganalisis hasil kegiatan atau percobaan yang sudah dilakukan 5. Memberi kesempatan siswa untuk menyampaikan hal-hal yang belum dimengerti yang berhubungan dengan permasalahan 6. Membimbing siswa untuk membuat kesimpulan Selanjutnya, langkah-langkah hasil kesimpulan penulis digunakan untuk penulisan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dalam pelaksanaan PTK. 2.1.2 Hasil Belajar
12
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011). Hasil belajar menurut Wragg (dalam Aunurrahman, 2009) adalah ditandai dengan perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar berkenaan dengan perubahan aspekaspek motorik, aspek afektif, dan kemampuan berpikir. Sedangkan menurut Hamalik (2011) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertianpengertian dan sikap-sikap serta apresiasi dan abilitas. Dari pendapat tersebut, hasil belajar adalah perbuatan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom dalam Agus Suprijono (2009) secara garis besar membagi menjadi 3 ranah, yakni: 1.
Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual.
2.
Ranah afektif, berkenaan dengan sikap.
3.
Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Hasil belajar harus diidentifikasi melalui informasi hasil pengukuran materi
dan aspek perilaku baik melalui teknik tes maupun non tes. Ketiga ranah tersebut dinamakan dengan taksonomi tujuan belajar kognitif. Taksonomi tujuan belajar domain kognitif menurut Benyamin S. Bloom yang telah disempurnakan David Krathwohl serta Norman E. Gronlund dan R.W. de Maclay ds (Wardani, Naniek Sulistya, dkk, 2010) adalah menghafal (Remember), memahami (Understand), mengaplikasikan (Aply), menganalisis (Analize), mengevaluasi (Evaluate), dan membuat (create). Dari pendapat para ahli di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah mengalami pembelajaran di kelas yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Hasil belajar digunakan guru sebagai ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari aktivitas pengukuran. Secara sederhana pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa angka. Alat
13
untuk melakukan pengukuran ini dapat berupa alat ukur standar seperti meter, kilogram, liter dan sebagainya, termasuk ukuran-ukuran subyektif yang bersifat relatif, seperti depa, jengkal, “sebentar lagi”, dan lain-lain (Endang Poerwanti, dkk, 2008). Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan pengukuran (Measurement) adalah suatu proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris untuk mengumpulkan informasi yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Jadi pengukuran memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu dengan satuan ukuran tertentu sehingga data yang dihasilkan adalah data kuantitatif atau data angka. Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket. Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur hasil belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Teknik yang dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar ada 2 yaitu tes dan non tes.
1.
Tes Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang
harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu dari peserta tes. Dalam kaitan dengan pembelajaran aspek tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi. Tes berasal dari bahasa Perancis yaitu “testum” yang berarti piring untuk menyisihkan logam mulia dari material lain seperti pasir, batu, tanah, dan sebagainya. Kemudian diadopsi dalam psikologi dan pendidikan untuk menjelaskan sebuah instrumen yang dikembangkan untuk dapat melihat dan mengukur dan menemukan peserta tes yang memenuhi kriteria tertentu. Cronbach (dalam Azwar, 2005) mendefinisikan tes sebagai “a systematic procedure for observing a person’s behavior and describing it with the aid of a numerical scale or category system”. Menurut Ebster’s Collegiate (dalam Arikunto, 1995), tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain
14
yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Menurut Endang Poerwanti, dkk (2008), tes adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur tingkat pemahaman dan penugasannya terhadap cakupan materi yang dipersyaratkan dan sesuai dengan tujuan pengajaran tertentu. Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan yang setiap butir pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar (Suryanto Adi, dkk, 2009). Dari beberapa definisi di atas peneliti menyimpulkan, tes adalah sejumlah pertanyaan atau soal-soal yang harus dijawab, dilakukan dalam waktu tertentu dan memiliki tujuan tertentu guna mengukur kemampuan seseorang. Tes sangat bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Menurut Endang Poerwanti, dkk (2008) terdapat lima jenis-jenis tes, salah satunya adalah jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya, yaitu: a.
b.
c.
2.
Tes esei (Essay-type test) Tes bentuk uraian adalah tes yang menuntut siswa mengorganisasikan gagasan-gagasan tentang apa yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakannya dalam bentuk tulisan. Tes jawaban pendek Tes bisa digolongkan ke dalam tes jawaban pendek jika peserta tes diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esei, tetapi memberikan jawaban-jawaban pendek, dalam bentuk rangkaian kata-kata pendek, katakata lepas, maupun angka-angka. Tes objektif Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia. Non Tes Teknik non tes sangat penting dalam mengakses peserta didik pada ranah
afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes, yaitu: unjuk kerja (performance), penugasan (proyek), tugas individu, tugas kelompok, laporan,
15
dan portofolio. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan alat ukur atau instrumen. Teknik non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes (Endang Poerwanti, 2008), yaitu: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. 9.
Observasi Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar dapat dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan belajar peserta didik, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh pendidik tanpa menggunakan instrumen. Wawancara Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang diberikan secara lisan dan spontan, tentang wawasan, pandangan atau aspek kepribadian peserta didik. Angket Suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh informasi yang berupa data deskriptif. Teknik ini biasanya berupa angket sikap (Attitude Questionnaires). Work Sample Analysis (Analisa Sampel Kerja) Digunakan untuk mengkaji respon yang benar dan tidak benar yang dibuat siswa dalam pekerjaannya dan hasilnya berupa informasi mengenai kesalahan atau jawaban benar yang sering dibuat siswa berdasarkan jumlah, tipe, pola, dan lain sebagainya. TaskAnalysis (Analisis Tugas) Dipergunakan untuk menentukan komponen utama dari suatu tugas dan menyusun skills dengan urutan yang sesuai dan hasilnya berupa daftar komponen tugas dan daftar skills yang diperlukan. Checklists dan Rating Scales Dilakukan untuk mengumpulkan informasi dalam bentuk semi terstruktur, yang sulit dilakukan dengan teknik lain dan data yang dihasilkan bisa kuantitatif ataupun kualitatif, tergantung format yang dipergunakan. Portofolio Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam karya tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan belajar dan prestasi siswa. Komposisi dan Presentasi Peserta didik menulis dan menyajikan karyanya. Proyek Individu dan Kelompok Mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan serta dapat digunakan untuk individu maupun kelompok
16
Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap atau penilaian portofolio. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas instrumen butir-butir soal apabila cara pengukuran dilakukan dengan menggunakan tes, dan apabila pengukuran dilakukan dengan cara mengamati atau mengobservasi dapat menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi, pengukuran dengan teknik skala sikap dapat menggunakan instrumen butir-butir pernyataan. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah valid, maksudnya adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap atau penilaian portofolio. Jadi hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes, diskusi, dan presentasi. Dalam membuat alat ukur yang akan digunakan haruslah membuat kisikisi. Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format atau matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk pedoman menyusun atau menulis soal menjadi perangkat tes. Adapun kisi-kisi tersebut didalamnya meliputi: 1.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
2.
Indikator
3.
Proses berfikir (C1 (ingatan), C2 (pemahaman), C3 (penerapan), C4 (analisis), C5 (evaluasi), C6 (kreasi))
4.
Tingkat kesukaran soal (rendah, sedang, tinggi)
5.
Bentuk instrumen Hasil dari pengukuran tersebut dipergunakan sebagai dasar penilaian atau
evaluasi. Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Stufflebeam
17
(Fernandes,1984)
mengatakan
bahwa
evaluasi
merupakan
proses
penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan (judgement alternative). Sedangkan Tyler seperti dikutip oleh Mardapi, D. (2004) menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan
telah
tercapai.
Wardani,
Naniek
Sulistya
dkk
(2010)
mengartikannya, bahwa evaluasi itu merupakan proses untuk memberi makna atau menetapkan kualitas hasil pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria ini dapat berupa proses atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM, atau batas keberhasilan, dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.
2.1.3 Ilmu Pengetahuan Alam SD/MI Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsipprinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar
menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah.
18
Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.
Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan
pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi,
dan masyarakat)
yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana. Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.
Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1.
Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya
2.
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
19
3.
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat
4.
Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan
5.
Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam
6.
Meningkatkan
kesadaran
untuk
menghargai
alam
dan
segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan 7.
Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Ruang Lingkup Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut. 1.
Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan
2.
Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas
3.
Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana
4.
Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Pencapaian tujuan IPA dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik yang standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minium yang secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Secara rinci
20
SK dan KD untuk mata pelajaran IPA yang ditujukan bagi siswa kelas IV SD disajikan melalui tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas IV Sekolah Dasar Semester I Tahun Pelajaran 2012/2013 Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Makhluk Hidup dan Proses Kehidupan 1. Memahami
1.1 Mendeskripsikan hubungan antara struktur
hubungan antara struktur organ tubuh
kerangka tubuh manusia dengan fungsinya 1.2 Menerapkan cara memelihara kesehatan
manusia dengan fungsinya, serta
kerangka tubuh 1.3 Mendeskripsikan hubungan antara struktur
pemeliharaannya
panca indera dengan fungsinya 1.4 Menerapkan cara memelihara kesehatan panca indera
2. Memahami hubungan
2.1
antara struktur bagian tumbuhan dengan
Menjelaskan hubungan antara struktur akar tumbuhan dengan fungsinya
2.2
fungsinya
Menjelaskan hubungan antara struktur batang tumbuhan dengan fungsinya
2.3
Menjelaskan hubungan antara struktur daun tumbuhan dengan fungsinya
2.4
Menjelaskan hubungan antara bunga dengan fungsinya
3. Menggolongkan hewan, berdasarkan
3.1
Mengidentifikasi jenis makanan hewan
3.2
Menggolongkan hewan berdasarkan jenis
jenis makanannya 4. Memahami daur
makanannya 4.1
Mendeskripsikan daur hidup beberapa hewan
hidup beragam jenis
di lingkungan sekitar, misalnya kecoa,
makhluk hidup
nyamuk, kupu-kupu, kucing 4.2
Menunjukkan kepedulian terhadap hewan
21
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar peliharaan, misalnya kucing, ayam, ikan
5. Memahami hubungan
5.1 Mengidentifikasi beberapa jenis hubungan
sesama makhluk
khas (simbiosis) dan hubungan “makan dan
hidup dan antara
dimakan” antar makhluk hidup (rantai
makhluk hidup
makanan)
dengan lingkungannya
5.2 Mendeskripsikan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya
Benda dan Sifatnya 6. Memahami beragam sifat dan perubahan wujud benda serta
6.1 Mengidentifikasi wujud benda padat, cair, dan gas memiliki sifat tertentu 6.2 Mendeskripsikan terjadinya perubahan wujud
berbagai cara
cair - padat - cair; cair - gas - cair; padat -
penggunaan benda
gas
berdasarkan sifatnya
6.3 Menjelaskan hubungan antara sifat bahan dengan kegunaannya .
Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di atas, maka yang digunakan peneliti dalam pelaksanaan PTK adalah SK: 1. Memahami hubungan antara struktur organ tubuh manusia dengan fungsinya,serta pemeliharaannya. Adapun KD yang digunakan adalah KD: 1.1. mendeskripsikan hubungan antara struktur kerangka tubuh manusia dengan fungsinya, dan KD: 1.2. menerapkan cara memelihara kesehatan kerangka tubuh.
2.1
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian tentang metode discovery yang diterapkan dalam usaha
meningkatkan hasil belajar siswa, diantaranya: Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rikananda Puspitasari (2009) dalam skripsi yang berjudul “Upaya Peningkatan Prestasi Belajar IPA Siswa Kelas III Melalui Penerapan Metode Guided Inquiry-Discovery”. Penerapan metode guided inquiry - discovery dapat meningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas III SD
22
Negeri Karangbangun. Hal ini dilihat dari prosentase kenaikan nilai IPA siswa kelas III dari siklus I sampai Siklus III. Pada siklus I siswa yang mendapat nilai minimal 60 ada 9 anak atau 47,37%, pada siklus II siswa yang mendapat nilai minimal 60 ada 10 anak atau 52,63% dari 19 siswa, dan siklus III siswa yang mendapat nilai minimal 60 ada 17 anak atau 89,47% dari 19 anak. Dari siklus I kemudian dilaksanakan siklus II prestasi siswa mengalami prosentase kenaikan 5,26%; dari siklus II kemudian dilaksanakan siklus III mengalami prosentase kenaikan 36,84%. Penelitian Astutik, Sri. 2009, dalam skripsi yang berjudul “Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Benda Melalui Metode Discovery Pada Siswa Kelas V SD N Tundosoro Kabupaten Pasuruan”. Keberhasilan guru dalam mengajar dapat dinilai berdsarkan ketercapaian tujuan pembelajaran yang telah direncanakan
tujuan
pembelajaran
IPA
di
sekolah
dasar
antara
lain
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataannya, pembelajaran IPA yang dilakukan di SD N Tundasoro selama ini menjadikan siswa sebagai subyek belajar yang pasif, tidak mampu mengingat konsep yang telah dipelajari sehingga tidak mamp menjawab pertanyaan dengan benar. Hal ini dapat dilihat dari nilai pretes yang dicapai 55,83 dengan 16 siswa (53%) mencapai ketuntasan dan 14 siswa (47%) belum mancapai ketuntasan. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan metode pembelajaran discovery. (http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/KSDP/article/view/1485) Penelitian Purwanti, Yulis.2010 dalam skripsi yang berjudul “Penerapan Guided Discovery Learning dalam Pembelajaran IPA untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Bagian-bagian Tumbuhan pada Siswa Kelas II SDN Pringo Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang”. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan hasil belajar siswa dengan penerapan Guided Discovery Learning. Sebelum tindakan nilai rata-rata 65 dengan ketuntasan 60%. Setelah penerapan Guided Discovery Learning nilai rata-rata siswa pada siklus I naik menjadi 79 dengan ketuntasan belajar 80%. Pada siklus II nilai rata-rata siswa meningkat menjadi 87,5 dengan ketuntasan belajar 100%. Penerapan Guided
23
Discovery Learning juga
meningkatkan
keaktifan siswa
dalam
proses
pembelajaran. Rata-rata skor keaktifan siswa pada siklus I 3,5 atau 75% dan dikatakan baik, sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 3,75 atau 93,75% dan
dikatakan
sangat
baik.
(http://karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/KSDP/article/view/6064). Penelitian Kriswanti, Dhevi Puji. 2012 dalam skripsi yang berjudul “Penerapan Model Discovery dalam Pembelajaran IPA sebagai Upaya Membenahi Miskonsepsi Pada Konsep Cahaya di Kelas 5 SDN Turen 03 Kecamatan Turen”. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil penelitian. Pertama, ditemukan 19 miskonsepsi tentang konsep sifat-sifat cahaya pada konsepsi awal siswa. Kedua, adanya perubahan aktivitas siswa dalam rangka membenahi miskonsepsi pada tiap siklus ketika diterapkan enam tahap model pembelajaran
Discovery yaitu
tahap
stimulus, tahap
problem
statement,
data collection, data processing, verifikasi, dan generalisasi. Ketiga, konsep siswa tentang sifat-sifat cahaya pada akhir pembelajaran setelah diterapkan model pembelajaran Discovery. Sesuai hasil penelitian disimpulkan bahwa model pembelajaranDiscovery dapat membenahi miskonsepsi siswa. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan konsep siswa yang berakibat pada peningkatan jumlah siswa yang memahami konsep sumber cahaya dan cahaya merambat lurus dari 40% siswa menjadi 76,67% siswa, pada konsep sifat cahaya menembus benda bening dari 10% siswa menjadi 83,33% siswa, pada konsep sifat cahaya dapat dipantulkan dari 56,76% siswa menjadi 83,33% siswa, pada konsep sifat cahaya dapat dibiaskan, dari 30% menjadi 86,67%, dan pada konsep sifat cahaya dapat diuraikan,
dari
100%
siswa
93,33%
siswa.
(http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/KSDP/article/view/21407) Penelitian Lailiyah, Cahya Riudlatul. 2012, dalam skripsi yang berjudul “ Penerapan Model Discovery Untuk Meningkatkan Pembelajaran IPA Siswa Kelas IV SDN Blimbing 4 Kota Malang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model Discovery di kelas IV SDN Blimbing 4 Kota Malang tahun ajaran 2011/2012 dapat dilaksanakan dengan baik. Terbukti dari skor kesesuaian guru dengan RPP model Discovery pada siklus I memperoleh prosentase sebesar
24
82%, tampak mengalami peningkatan pada siklus II dengan prosentase 97%. Demikian pula dengan aktivitas dan hasil belajar siswa telah meningkat setelah menggunakan modelDiscovery. Dengan prosentase rata-rata keberhasilan aktivitas siswa pada siklus I sebesar 53%. Sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 85%. Untuk hasil belajar pada siklus I mendapat nilai prosentase 32%. Sedangkan pada
siklus
II
meningkat
menjadi
92%. (http://karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/KSDP/article/view/21151).
2.2 Kerangka Berpikir Dari kajian teori yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode discovery akan sangat membantu guru untuk menggali pengetahuan dan kemampuan siswa, karena dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi-informasi yang secara tradisional bisadiberitahukan atau diceramahkan saja. Selain itu, motivasi belajar siswa yang dimulai sejak awal mampu membentuk cara berpikir siswa yang sangat bermanfaat bagi siswa itu sendiri, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Adapun tahapan-tahapan yang dilalui dalam pembelajaran menggunakan metode discovery adalah tahap pertama menyampaikan rumusan masalah yang akan dipelajari, tahap kedua mendorong siswa untuk menyampaikan hipotesis dari permasalahan, tahap ketiga memfasilitasi siswa untuk melakukan kegiatan atau percobaan dalam menyelesaikan permasalahan yang dipelajari, tahap keempat menganalisis hasil kegiatan atau percobaan yang sudah dilakukan tahap kelima memberi kesempatan siswa untuk menyampaikan hal-hal yang belum dimengerti yang berhubungan dengan permasalahan, tahap keenam membimbing siswa untuk membuat kesimpulan. Dari tahapan-tahapan tersebut terlihat jelas bahwa siswa dituntut untuk aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran. Siswa akan merasa lebih senang dan tertarik untuk belajar karena mereka melakukan percobaan langsung materi yang dipelajari, sehingga secara langsung siswa memahami materi. Penilaian yang dilakukan oleh guru tidak hanya berupa penilaian hasil melainkan juga
25
menggunakan penilaian proses sesuai dengan kegiatan yang dilakukan, guru dapat mengukur penilaian proses dari pelaksanaan percobaan, baik secara langsung maupun kerja kelompok. Penilaian hasil diperoleh dari skor tes formatif yang dilakukan di akhir kegiatan pembelajaran. Maka diharapkan dengan penggunaan metode discovery akan meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil belajar akan meningkat lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran menggunakan metode konvensional. Penjelasan lebih rinci dijelaskan dalam gambar berikut ini:
26
GAMBAR 2.1: KERANGKA BERPIKIR Pembelajaran IPA
Pembelajaran Konvensional (Metode Ceramah)
Pembelajaran Menggunakan Metode Discovery
a.
Merumuskan masalah yang akan dipelajari
Siswa pasif mendengarkan ceramah guru b. Menyampaikan hipotesis berdasarkan rumusan masalah Tes Formatif
Hasil Belajar < dari KKM c. Memfasilitasi siswa untuk melakukan percobaan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi
Partisipasi d. menganalisis dilakukan
hasil kegiatan atau percobaan yang
Kebersamaan
Tes Formatif
e. Memberi kesempatan siswa untuk menyampaikan halhal yang belum dimengerti yang berhubungan dengan masalah
f. Penilaian Proses
Penilaian Hasil
Hasil Belajar ≥ dari KKM
membimbing siswa untuk membuat kesimpulan
27
2.3 Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah metode discovery dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV di SD N 01 Gandon Kaloran Temanggung Semester I Tahun Pelajaran 2012/2013.