BAB II DATA & ANALISA
2.1 Sumber Data
2.1.1 Sumber Referensi Lingkup yang diambil sebagai penunjang data untuk buku “Jagad Pawestri” dibagi menjadi 2 yaitu buku referensi untuk keperluan data dan buku teori desain. Dari buku referensi, diambil lingkup data atau pembahasan yang bersangkutan dengan tradisi dan ritual adat Yogyakarta khusus wanita yang meliputi filosofi, tata cara, dan perlengkapan yang digunakan. Sedangkan untuk buku teori desain, diambil lingkup pembahasan hanya yang bersangkutan dengan desain yang digunakan dalam pembuatan buku tersbut.
2.1.2 Literatur Penunjang Pada lingkup bahasan data literatur penunjang yang diambil dari website-website, hanya membatasi pada bahasan seputar filosofi, tata cara, dan perlengkapan yang digunakan, yang bertujuan untuk melengkapi data yang tidak ditemukan pada buku. Lingkup bahasan tersebut juga membatasi bahasan untuk keperluan konten buku disamping tradisi dan ritual, seperti rahasia kecantikan wanita Yogyakarta yang meliputi resep jamu, perawatan kulit dan lain-lain.
2.1.3 Wawancara Setiap prosesi tradisi dan ritual dilakukan dalam setiap tahapan hidup seorang masyarakat Yogyakarta berguna sebagai bekal hidup untuk tahapan hidup selanjutnya dan juga prosesi tersebut tidak luput dari unsur air guna untuk membersihkan diri agar siap menghadapi tahapan selanjutnya. Keyakinan masyarakat Yogyakarta dengan melakukan prosesi tradisi dan ritual tersebut berkaitan dengan harmonisasi antara manusia dengan alam. Maka itu pada setiap prosesi juga tak luput dari adanya sesajen sebagai simbolisasi kecintaan masyarakat Yogyakarta dengan alamnya.
Prosesi tradisi dan ritual adat Yogyakarta sudah dilakukan sejak zaman sejarah. Budaya Yogyakarta berpusat pada kehidupan dan kebiasaan dari keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang pada akhirnya, seluruh masyarakat ikut melakukan prosesi tersebut. Namun pada dasarnya budaya jawa tidak membiasakan untuk mencatat segala kejadian, maka itu tidak ada pencatatan tanggal dan tempat jelas tradisi dan ritual Yogyakarta dilakukan.
Prosesi tradisi dan ritual biasa dilakukan di tempat tinggal atau dirumah masing-masing guna untuk menghemat biaya, namun dewasa ini banyak juga masyarakat yang menyewa tempat lain utnuk melakukan prosesi. Untuk kehidupan di keraton, biasanya prosesi untuk wanita dilakukan di area keputren dan biasanya hanya boleh dimasuki oleh kaum wanita saja. Namun untuk di daerah Yogyakarta sendiri justru sudah tidak banyak yang melakukan serangkaian prosesi tradisi dan ritual untuk wanita karena alasan finansial, namun untuk di daerah Jakarta masih cukup banyak yang melakukan prosesi tersebut walaupun tidak semua prosesi dilakukan. Biasanya masyarakat hanya melakukan prosesi tradisi dan ritual hanya pada 3 tahapan kehidupan yaitu pernikahan, kehamilan dan kelahiran. Namun, itupun tidak semua dilakukan secara bertahap dan lengkap.
2.1.4 Kuesioner Mengambil sample dari 103 responden umum yakni warga negara Indonesia yang sebagian besar berdomisili di Jakarta dan berusia 20-30 tahun, mereka mengaku memiliki pengetahuan akan budaya jawa tengah namun 64 responden diantaranya tidak mengetahui adanya tradisi dan ritual adat Yogyakarta khususnya untuk wanita.
Mereka juga tidak mengetahui bahwa tradisi dan ritual tersebut dilakukan pada fase kehidupan dari lahir hingga meninggal. Ironisnya, 60 responden mengatakan bahwa mereka berasal dari jawa. 32 responden diantaranya sangat asing mendengar istilah-istilah ritual Yogyakarta seperti selapanan, tedak siten, midodareni, dan lain lain.
Kesimpulannya adalah bahwa kurangnya informasi mengenai tradisi dan ritual adat jawa khususnya untuk wanita, diakui oleh 83 responden. Hal tersebut menjadi tolak ukur dan arahan yang tepat untuk menyempurnakan buku informatif Tradisi dan Ritual Adat Yogyakarta untuk Wanita ini.
2.2 Data umum
2.2.1 Warisan Budaya Tak Benda Warisan budaya tak benda adalah warisan dari generasi ke generasi yang harus diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, maupun perseorangan dalam hal tertentu yang meliputi praktek, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan,
serta
artefak
dan
ruang-ruang
budaya
yang
terkait
(http://warisanbudayaindonesia.info)
Kategori budaya tak benda untuk seluruh nusantara adalah: 1.
Kesenian, meliputi seni tari, olah suara dan cerita rakyat.
2.
Upacara adat, meliputi tradisi dan ritual masyarakat setempat.
3.
Bahasa daerah, yakni bahasa yang digunakan sehari-hari.
4.
Kearifan lokal, meliputi pola pikir, sifat dasar masyarakat setempat.
2.2.2 Tradisi dan Ritual Adat Yogyakarta Tradisi atau ritual (Koentjaraningrat1984 :190) adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan tradisi atau ritual (Situmorang, 2004 : 175) adalah suatu hal yang berhubungan terhadap keyakinan dan kepercayaan spiritual dengan suatu tujuan tertentu. Maka Situmorang dapat menyimpulkan bahwa upacara ritual adalah sebuah kegiatan yang dilakukan sekelompok orang yang berhubungan terhadap keyakinan dan kepercayaan spiritual dengan suatu tujuan tertentu.
Adat (Kamus Besar Indonesia, 2002:56) adalah aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala: cara (kelakuan) yang
sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilainilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.
Selain itu menurut Prof. Amura dalam (Hilman, 2004 : 14) adat berasal dari bahasa sansekerta yang istilah ini telah digunakan kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Adat berasal dari kata a dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaaan.
Oleh karena itu, dalam hal ini penulis mengangkat topik tradisi dan ritual adat Yogyakarta, yang artinya segala sesuatu kegiatan yang berlaku pada suatu kelompok yang diatur oleh sistem hukum, norma, dan nilai-nilai kelompok itu sendiri yang memiliki tujuan tertentu dan disalurkan dengan suatu hal yang bersifat kebendaan.
2.3 Data Khusus
2.3.1 Publikasi Buku 1.
Judul Buku
: Jagad Pawestri (Kehidupan Wanita)
2.
Kategori Buku
: Budaya
3.
Credit Title a. Penyusun : Estetikadiati b. Penulis
4.
: Clarissa Rizky
Konten Buku a. Chapter 1 : Fase Kelahiran b. Chapter 2 : Fase Remaja c. Chapter 3 : Fase Pernikahan d. Chapter 4 : Fase Kehamilan e. Chapter 5 : Fase Kematian f. Chapter 6 : Jamu Pawestri
2.3.2 Rangkuman Konten Buku
1. Fase Kelahiran a. Ritual Mendhem Ari-Ari Ari-ari atau plasenta disebut juga dengan aruman atau embing-embing atau mbingmbing. Bagi orang Jawa, ada kepercayaan bahwa ari-ari merupakan saudara bayi tersebut oleh karena itu ari-ari dirawat dan dijaga sebaik mungkin, misalnya di tempat penanaman ari-ari tersebut diletakkan lampu
sebagai
penerangan.
Artinya,
lampu
tersebut
merupakan simbol pepadhang bagi bayi. Pemagaran di sekitar tempat penanaman ari-ari dan menutup bagian atas pagar juga dilakukan agar tidak kehujanan dan binatang (seperti katak) tidak masuk ke tempat itu.
b. Ritual Brokohan Upacara
brokohan
diselenggarakan
oleh
merupakan masyarakat
upacara
yang
Yogyakarta
untuk
menyambut hadirnya warga baru dalam keluarga, yaitu si bayi sebagai ungkapan rasa syukur. Seluruh upacara kelahiran ini bertujuan agar sejak saat kelahiran sampai pertumbuhan masa bayi selalu mendapat karunia keselamatan dan perlindungan dari Tuhan. Unsur kata brokohan berasal dari kata bahasa Arab barokah yang mengandung makna yaitu mengharapkan berkah.
c. Ritual Puputan atau Dhautan Puputan atau Dhautan berasal dari kata dhaut atau puput yang berarti lepas. Upacara puputan atau sering disebut juga dengan dhautan diselenggarakan pada sore hari untuk menandai putusnya tali pusar bayi dengan mengadakan kenduri selamatan. Kenduri selamatan sebagai ungkapan rasa syukur dipimpin oleh kaum dengan dihadiri oleh para kerabat dan bapak-bapak tetangga terdekat. Sesajian yang perlu dipersiapkan pada upacara puputan ialah sega gudangan: nasi
dengan lauk pauk sayur mayur dan parutan kelapa, jenang abang, jenang putih, dan jajan pasar.
d. Ritual Sepasaran Upacara sepasaran merupakan suatu upacara yang menandai bahwa bayi telah berumur sepasar (lima hari). Sepasar merupakan satu rangkaian hari Jawa, yaitu Pon, Wage, Kliwon,
Legi,
diselenggarakan
Paing. secara
Upacara
sepasaran
biasanya
sederhana.
Upacara
sepasaran
dilakukan pada sore hari dengan melakukan kenduri yang disaksikan oleh keluarga dan tetangga terdekat. Kenduri atau sesajian selamatan kemudian dibawa pulang oleh yang menyaksikannya.
e. Ritual Selapanan Upacara sepasaran merupakan suatu upacara yang menandai bahwa bayi telah berumur selapan (tiga puluh lima hari). Upacara selapanan pada kalangan masyarakat tertentu bersamaan dengan pemberian nama bagi si bayi. Tempat penyelenggaraan upacara selapanan biasanya di pendapa atau di ruang samping rumah atau di suatu ruang yang cukup luas untuk menyelenggarakan upacara.
f. Ritual Tedak Siti Upacara Tedak Siti itu sendiri memiliki filosofi agar kelak anak tersebut setelah dewasa nanti kuat dan mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupan yang penuh tentangan, untuk mencapai cita citanya. Upacara ini ditandai dengan sang anak menapakkan kakinya, berjalan pada ketan warna-warni hingga mencapai puncaknya.
2. Fase Remaja
Ritual Tetesan Tetesan merupakan suatu upacara sunatan bagi anak perempuan yang diselenggarakan untuk menandai bahwa anak sudah menginjak dewasa, ditandai dengan kematangan fisik. Dalam ilmu psikologi dinamakan puber pertama. Kematangan fisik bagi anak perempuan ditandai dengan datangnya menstruasi. Upacara bagi anak perempuan yang telah puber sering disebut dengan tetesan. Apabila anak perempuan akan memasuki usia kematangan maka segera dilakukan upacara tetesan. Upacara ini dilakukan pada waktu anak berumur satu windu atau 8 tahun. 3. Fase Pernikahan a. Ritual Siraman Siraman adalah upacara memandikan calon mempelai dikediaman
masing-masing,
dengan
harapan
untuk
membersihkan noda dosa dan sifat kurang baik, agar ketika memasuki perkawinan calon pengantin dalam keadaan suci lahir dan batin. Berasal dari kata “siram” yang artinya mandi. Prosesi siraman biasanya dilaksanakan sehari sebelum upacara ijab pernikahan, pada pagi hari sekitar pukul 10.00 atau sekitar pukul 15.00, karena setelah acara siraman dapat dilanjutkan dengan prosesi midodareni.
b. Ritual Meratus Rambut dan Ngerik Berasal dari kata kerik yang berarti menghilangkan rambut- rambut halus yang tumbuh disekitar dahi dan tengkuk agar tampak bersih dan wajah tampak bercahaya. Selain itu, upacara ini memiliki makna simbolis untuk membuang hal – hal buruk yang pernah menimpa mempelai. Perlengkapan upacara ngerik berupa tempat dupa, ratus, pisau cukur, cermin, handuk, mangkuk berisi air dan sisir.
c. Ritual Midodareni Midodareni merupakan upacara yang cukup sakral, karena dimaksudkan untuk mengharap berkah dan karunia dari tuhan agar memberikan kesalamatan kepada pemangku hajat pada pelaksanaan pernikahan. Selain itu prosesi midodareni yang berasal dari kata bidadari, juga mengharapkan turunnya wahyu, atau aura kecantikan bidadari untuk calon pengantin wanita. Persitiwa malam midadareni juga dimaksudkan sebagai malam tirakatan, yang terkesan hening karena tidak ada gamelan maupun alat musik lainnya yang biasa digunakan pada upacara lainnya.
d. Tata Rias Pengantin Paes Ageng Tata rambut pengantin Yogya paes ageng disebut sanggul bokor mengkurep. Sanggul ditutup dengan rajutan melati kawungan. Pada bagian belakang bawah sanggul disematkan untaian melati yang disebut dengan gajah ngoling. Diatas sanggul dipasangkan perhiasan kembang goyang. Bagian dahi wajah menggunakan riasan berbentuk lengkungan warna hitam dengan dibingkai oleh prada warna keemasan yang disebut dengan paes.
4. Fase Kehamilan Ritual Tingkeban Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Yogyakarta, upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali.Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan di sertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu diberikan
rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
5. Fase Kematian a.
Ritual Brobosan Brobosan, yakni suatu upacara yang diselenggarakan di
halaman rumah orang yang meninggal. Tata cara pelaksanaannya yaitu: Keranda/peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah doa jenazah selesai, secara berturutan, para ahli waris yang ditinggal berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam, secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.
b. Ritual Tigang Dinten Tigang dinten, yaitu semacam kenduri atau slametan yang dilakukan pada hari ketiga dari kematian. Pitung dinten, sama halnya dengan kenduri tigang dinten, yakni dilakukan pada hari ketujuh dari kematian almarhum. Petang puluh dinten, yakni kenduri pada hari keempat puluh dari kematian. Nyatus dinten, yakni kenduri pada hari keseratus dari kematian. Mendhak, yakni kenduri yang dilakukan setelah satu tahun (pendhak siji) dan dua tahun (pendhak pindho) dari kematian. Nyewu, yakni kenduri pada hari keseribu dari kematian. Kol, diselenggarakan setelah kenduri keseribu dan dilakukan pada waktu bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya.
2.4
Buku pembanding / Buku Referensi 1.
Ensiklopedi Syirik & Bid’ah Jawa, Fahmi Suwaidi & Abu Aman
Gambar 1 Ensiklopedi Syirik & Bid’ah Jawa
Buku ini memiliki penjelasan mengenai tradisi dan ritual adat jawa tengah namun hanya berupa tulisan dan sangat sedikit gambar. Informasi yang diberikan juga tidak berurutan dan tidak lengkap sesuai dengan fase kehidupan.
2.
Mutiara Adat Jawa, Nanik Herawati
Gambar 2 Mutiara Adat Jawa
Buku referensi mengenai tradisi dan ritual adat Yogyakarta untuk kaum lelaki dan perempuan, namun tidak disajikan secara berurutan sesuai fase kehidupan juga memiliki konten yang tidak lengkap.
3.
Pengantin Yogya Putri & Paes Ageng, Martha Tilaar
Gambar 3 Pengantin Yogya Putri & Paes Ageng
Buku referensi panduan lengkap khusus tentang ritual pernikahan adat Yogyakarta mulai dari filosofi, tata cara hingga riasan. Buku ini juga disertai foto sebagai pendukung visual.
2.5
Data Penyelenggara Gramedia Pustaka Utama adalah anak perusahaan dari Perusahaan
Kompas Gramedia yang bergerak di bidang penerbitan buku yang mulai menerbitkan buku sejak tahun 1974. Buku pertama cetakan Gramedia adalah novel Karmila, karya Marga T, lalu untuk buku non-fiksi pertama adalah Hanya Satu Bumi, yang ditulis oleh Barbara Ward dan René Dubois yang juga diterbitkan dengan bekerjasama dengan Yayasan Obor.
Gramedia juga menerbitkan buku-buku kategori hobi dan hastakarya, sejarah, serta budaya, dengan misi “Ikut mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa serta masyarakat Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama berusaha keras untuk menjadi agen pembaruan bagi bangsa ini dengan memilih dan memproduksi buku-buku yang berkualitas dari segi konten dan desain yang menarik, yang memperluas wawasan, memberikan pencerahan, dan merangsang kreativitas berpikir.
Gramedia Pustaka Utama mengkonsentrasikan diri untuk menggarap dua bidang utama, yakni fiksi dan non-fiksi. Bidang fiksi dibagi menjadi fiksi anak-anak dan pra-remaja, remaja, dewasa. Bidang non-fiksi dibagi menjadi humaniora, pengembangan diri, bahasa dan sastra Indonesia, bahasa Inggris/ELT, kamus dan referensi, sains dan teknologi, kesehatan, kewanitaan (masakan, busana), dsb. Karena misi dan visi itu pula, Gramedia berusaha memilih penulis-penulis yang berkualitas.
Alamat; PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Gramedia lt. 2-3 Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270, Telp. (021) 53677834 (hunting) ext. 3251, 3252, 3258 Fax (021) 5360316, 5360315, 5300545 www.gramedia-majalah.com.
2.6
Analisa SWOT
Strength 1.
Memiliki konten yang lebih lengkap per fase kehidupan, spesifik dan menarik, dengan visualisai yang unik dibandingan dengan buku yang sudah beredar di pasaran
2.
Menjadi buku referensi informatif tentang tradisi dan ritual adat Yogyakarta khusus wanita yang berisi lengkap filosofi hingga peralatan yang digunakan serta fakta unik dibalik prosesi tersebut
3.
Menampilkan beberapa informasi interaktif melalui tehnik halaman layering
Weakness 1. Buku tidak memiliki penjelasan secara mendalam mengenai tradisi dan ritual adat Yogyakarta untuk wanita.
Opportunity 1.
Dukungan dari pemerintah untuk melestarian budaya tak benda.
2.
Adanya masyarakat yang masih melakukan prosesi tradisi dan ritual.
3.
Kebutuhan untuk pengguna ritual seperti perias pengantin, atau sanggar budaya.
Threat 1. Masuknya era globalisasi yang mengalihkan perhatian masyarakat dari kebudayaan Indonesia. 2. Mudahnya akses teknologi yang membuat masyarakat lebih memilih hidup praktis.
2.7 Target Audience 2.7.1 Target Primer Target primer dalam publikasi Tradisi dan Ritual adat Yogyakarta untuk Wanita ini adalah usia 19 tahun hingga 30 tahun dengan keadaan sosial menengah dan kalangan atas, wanita dengan profesi pelajar, mahasiswa atau pekerja yang berasal dari Yogyakarta maupun Jawa Tengah.
2.7.2 Target Sekunder Berusia sekitar 19-30 tahun, semua gender, berasal dari berbagai suku, Warga negara Indonesia atau asing, masyarakat umum yang gemar akan pengetahuan budaya. Tingkat kemampuan ekonomi B hingga A.