BAB II CIDERA JANJI (WANPRESTASI) DALAM HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA
A. Pengertian dan Terjadinya Cidera Janji (Wanprestasi) 1.
Pengertian perjanjian Penerapan hukum privat dalam masyarakat di Indonesia yang dapat di
lihat secara nyata adalah dilakukannya sebuah perjanjian. Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana ada dua pihak atau lebih yang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari perjanjian ini, ditimbulkan suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum tersebutlah yang dinamakan perikatan.29 Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menimbulkan perikatan. Dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka, sehingga anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian dan undang-undang hanya berfungsi untuk melengkapi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat tanpa ketentuan para pihak yang bersangkutan.30
29
Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata (Alumni, Banding, 1992,
hlm. 113.
30
J.Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1 (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 5.
19 Universitas Sumatera Utara
20
Pengertian perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian terdapat unsur perbuatan, unsur adanya satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih dan unsur pengikatan diri para pihak dalam perjanjian tersebut. Dimana unsur-unsur ini wajib ada dalam sebuah perjanjiann agar supaya perjanjian tersebut dapat berjalan dengan baik, dengan mendasarkan gambaran tentang peristiwa hukum, J. Satrio memberikan kritik dan pendapat atas rumusan Pasal 1313 KUHPerdata yang intinya sebagai berikut. Kata perbuatan atau tindakan manusia bila dilihat dari skema peristiwa hukum dapat meliputi tindakan hukum dan bukan tindakan hukum yang keduanya dibedakan oleh adanya faktor kehendak. Keberatannya adalah akibat hukum pada peristiwa hukum yang berasal dari bukan perbuatan hukum pada dasarnya tidak didasarkan pada kehendak pihak-pihak yang terlibat, seperti onrechtmatige daad dan zaakwarneming sehingga tidak mungkin masuk dalam kelompok perjanjian karena akibat hukum pada perjanjian memang dikehendaki atau dianggap tidak dikehendaki. Agar beberapa contoh peristiwa hukum tersebut tidak tercakup kedalam kelompok perjanjian, maka kata perbuatan dalam Pasal 1313 KUHPerdata harus lebih tepat lagi kalau ditambah dengan kata hukum dibelakangnya, sehingga menjadi perbuatan hukum/tindakan hukum. 31
Menurut J. Satrio perjanjian dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang dapat menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan perjanjian lainnya. Dalam arti sempit, perjanjian ini hanya ditunjukan kepada hubungan-hubungan 31
Ibid., hlm. 24-27.
Universitas Sumatera Utara
21
hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja seperti yang dimaksud oleh Buku III KUHPerdata.32 Pendapat lain dengan meninjau berdasarkan skema peristiwa hukum, Subekti berpendapat mengenai perumusan perjanjian sebagai berikut. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari pendapat Subekti dapat dikatakan bahwa perjanjian itu sendiri merupakan sebuah peristiwa, peristiwa tersebut dikatakan sebagai suatu peristiwa hukum yang mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang melakukan suatu perjanjian. 33 Dapat diketahui bahwa secara umum perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum, yang terdapat hubungan perikatan antara satu orang atau lebih untuk saling mengikatkan diri melaksanakan hal tertentu, sebagaimana diketahui isi perjanjian adalah perikatan. Dari berbagai perumusan tentang perjanjian diatas maka perjanjian bisa mencakup apa saja yang termasuk dalam perjanjian dan mengesampingkan yang bukan perjanjian, adapun yang termasuk dalam perjanjian harus berupa perbuatan hukum yang akibatnya dikehendaki. Sebagai contoh zaakwarneming memang ada akibat hukum tetapi tidak dikehendaki oleh para pihak jadi bukan merupakan perjanjian. Perjanjian dapat ditentukan dari kapan kesepakatan diperjanjian itu tercapai antara para pihak yang melakukan perjanjian, sesuai dengan waktu perjanjian itu terjadi.34 Berdasarkan peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut perikatan, perikatan tersebut timbul sebelum ada perjanjian yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling bertimbal balik. Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari 32
Ibid., hlm. 35. R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta : PT. Intermasa, 1987), hlm. 1. 34 Ibid., hlm. 22. 33
Universitas Sumatera Utara
22
pada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah bagian daripada hukum kekayaan, maka hubungan hukum yang timbul antara para pihak didalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. Hukum kekayaan adalah hukum yang mengatur tentang hak-hak kekayaan, yaitu hak-hak yang mempunyai nilai ekonomis/uang. Jadi hak-hak kekayaan berbeda dengan hak-hak lain artinya dapat dijabarkan dalam sejumlah uang tertentu.35 a. Pengaturan hukum perjanjian Sumber hukum nasional sebagaimana diketahui masih bersumber dari hukum yang telah diletakkan oleh kolonial dalam hal ini adalah Belanda. Penggunaan KUHPerdata sebagai hukum positif Indonesia masih digunakan, namun tidak digunakan sepenuhnya. Secara umum KUHPerdata yang dikenal dengan istilah Burgelijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Kodifikasi KUHPerdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblaad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUHPerdata (BW) Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam
35
http://notariatundip2011.blogspot.co.id/2012/03/hukum-perikatan-pada-pemahamanawal.html (diakses pada tanggal 23 Maret 2016).
Universitas Sumatera Utara
23
kodifikasi tersebut.36 Disamping itu, sejarah mengenai perkembangan hukum perdata yang berkembang di Indonesia bahwa hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum perdata Belanda yang di berlakukan asas konkordansi yaitu hukum yang berlaku di negeri jajahan (Belanda) yang sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah. Secara makrosubtansial, perubahan–perubahan yang terjadi pada hukum perdata Indonesia. Pertama, pada mulanya hukum perdata Indonesia merupakan ketentuan- ketentuan pemerintahan Hindia-Belanda yang di berlakukan di Indonesia (Algemene Bepalingen van Wetgeving/AB). Sesuai dengan stbl. No.23 tanggal 30 April 1847 yang terdiri dari 36 pasal. Kedua, dengan konkordansi pada tahun 1848 di undangkan KUHPerdata (BW) oleh pemerintah Belanda. Di samping BW berlaku juga KUHD (WvK) yang di atur dalam stbl.1847 No.23. Terdapat beberapa pasal yang dicabut karena disesuaikan dengan nilai budaya dan hukum negara Indonesia dengan adanya pemberlakuan aturan hukum baru. Adapun pasal-pasal yang tidak berlaku lagi adalah sebagai berikut : 1) Pasal-pasal yang mengatur mengenai benda tidak bergerak yang hanya mengatur mengenai hak atas tanah. 2) Pasal-pasal yang mengatur mengenai cara memperoleh hak milik atas tanah. 3) Pasal 621- 623 yang mengatur mengenai pemberian penegasan hak atas tanah yang menjadi wewenang pengadilan negeri.
36
https://docs.google.com/document/d/1R7G1oRzVnzJWTBv_WvpJkYjxwRK_SE1FpZ0 6FrVIG80/edit?pli=1 (diakses pada tanggal 23 Maret 2016).
Universitas Sumatera Utara
24
4) Pasal-pasal yang mengatur mengenai penyerahan benda-benda tidak bergerak. 5) Pasal 673 mengenai kerja rodi. 6) Pasal 625-672 yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik pekarangan yang bertetangga. 7) Pasal 674-710 yang mengatur mengenai pengabdian pekarangan (erfdienstbaarheid). 8) Pasal 711-719 yang mengatur mengenai hak opstal. 9) Pasal 720-736 yang mengatur mengenai hak erfpacht. 10) Pasal 737-755 yang mengatur mengenai bunga tanah dan hasil persepuluh.37 Perjanjian yang dikenal secara umum juga diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang perikatan, karena dapat diketahui perjanjian adalah sumber dari perikatan, dimana perjanjian adalah sekumpulan perikatan-perikatan yang mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan.38 Secara sistematis didalam Buku III KUHPerdata diatur ketentuan-ketentuan secara umum atau khusus mengenai perikatan. Ketentuan umum terdiri dari empat bab yaitu bab I sampai bab IV dan ketentuan khusus terdiri dari bab V sampai dengan XVIII. Bab I mengandung banyak ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi persetujuan saja. Bab II diatur ketentuan-ketentuan mengenai perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan. Bab III lebih mengatur secara spesifik mengenai perikatan yang 37 38
Komariah, Hukum Perdata (Malang : Universitas Muhammadiyah, 2002), hlm. 85-86. J. Satrio, Op.Cit., hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
25
timbul karena undang-undang dan bab IV mengatur ketentuan-ketentuan tentang cara hapusnya perikatan-perikatan, tanpa memperhatikan apakah perikatan itu terjadi karena persetujuan atau undang-undang. Secara keseluruhan bab I sampai dengan IV jika dilihat dari segi pengaturan perjanjian, mengatur tentang perjanjian tidak bernama. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam undang-undang, karena tidak diatur dalam KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut dengan KUHD). Di luar KUHPerdata dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim, dan lain sebagainya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri.39 Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, seperti diterangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang dimaksudkan untuk menyatakan kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu perundang-undangan. Kekuatan itu seperti diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah untuk mengadakan perjanjian, sekalipun perjanjian yang 39
http://iyudkidd02street17.blogspot.co.id/2012/11/perjanjian-bernama-dan-perjanjiantidak.html (diakses pada tanggal 23 Maret 2016).
Universitas Sumatera Utara
26
dilakukan tidak bernama atau tidak secara khusus diatur oleh undang-undang. Sementara bab V sampai dengan bab XVIII mengatur mengenai persetujuanpersetuan bernama (tertentu) atau perjanjian bernama. Perjanjian bernama atau perjanjian khusus adalah perjanjian yang memiliki nama sendiri yang sudah diatur didalam undang-undang. Perjanjian tersebut diberi nama oleh pembuat undangundang dan merupakan perjanjian yang sering ditemui di masyarakat misalnya, jual-beli, sewa-menyewa, hibah, pemberian kuasa dan sebagainya.40 Dapat diketahui dalam Buku III KUHPerdata terdapat pengaturan mengenai ketentuan umum dan ketentuan khusus dalam perjanjian. Ketentuan umum dalam bab I sampai dengan IV lebih mengatur tentang perjanjian tak bernama yang bebas berdasarkan azas kebebasan berkontrak, sedangkan ketentuan khusus yang terdapat dalam bab V sampai dengan XVIII mengatur tentang perjanjian yang bernama yang sudah diatur oleh undang-undang dan sudah diberi nama oleh pembuat undang-undang. Hubungan keduanya dapat diketahui, bahwa ketentuan umum mengatur perjanjian atau persetujuan yang lebih luas karena para pihak dalam perjanjian bebas membuat perjanjian apa saja berdasarkan azas kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat perjanjian atau persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh UU. Namun kebebasan pihak-pihak untuk membuat perjanjian diadakan beberapa pembatasan, yaitu tidak boleh melanggar hukum yang bersifat memaksa. Dikatakan bersifat memaksa, karena hukum dapat memaksa anggota masyarakat untuk mematuhinya. Apabila melanggar hukum akan dikenakan sanksi yang
40
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung : Bina Cipta, 1987), hlm. 9-11.
Universitas Sumatera Utara
27
tegas. Kebebasan itu juga tidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.41 Jika ketentuan khusus hanya mengatur tentang perjanjian yang telah diatur dan diberi nama oleh undang-undang saja. Jadi ketentuan umum mengatur tentang perjanjian tak bernama sebagai peraturan perundangan dalam Buku III KUH Perdata bersifat menambah (aavullend recht) dan lebih luas berlaku untuk semua perjanjian baik bernama maupun tak bernama sepanjang undang-undang pada perjanjian bernama tak memberikan suatu pengaturan tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum.42 Sementara itu, ketentuan khusus hanya mengatur perjanjian yang sudah diatur oleh undang-undang dan bernama saja. b. Syarat sah perjanjian Sebagaimana diketahui suatu perjanjian dalam salah satu sumber hukum perdata yang secara tertulis disebutkan, bahwa hukum perjanjian dari KUHPerdata menganut sistem konsensualisme. Artinya hukum perjanjian dari KUHPerdata itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan dengan perjanjian itu terjadi perikatan yang ditimbulkan karenanya sudah dilahirkan pada saat detik tercapainya konsensus. Sebagaimana dimaksud diatas, pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik detik yang lain baik yang kemudian atau sebelumnya.43 Secara umum syarat sah yang ada dalam perjanjian telah disebutkan dalam KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu
41
Ibid., hlm. 11. J. Satrio, Op.Cit., hlm. 150. 43 R. Subekti, Aneka Perjanjian (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1975), hlm. 3. 42
Universitas Sumatera Utara
28
perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sepakat, cakap berbuat, hal tertentu dan sebab yang halal. 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan. Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati44. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offer). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptance). Kata sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara, misalnya secara lisan, tertulis, dengan tanda, dengan simbol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian.45 Secara umum suatu perjanjian telah dinyatakan lahir pada saat tercapainya suatu kesepakatan atau persetujuan di antara dua belah pihak mengenai suatu hal pokok yang menjadi objek perjanjian. Didalam perjanjian baku sepakat dinyatakan dengan persetujuan konsumen mengikuti perjanjian yang dibuat oleh
44
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 164. Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis (Bandung : Alumni, 1994), (selanjutnya disebut dengan Mariam Darus I), hlm. 24. 45
Universitas Sumatera Utara
29
perusahaan penyusun kontrak yang dilakukan secara sepihak, yang diungkapkan secara tertulis biasanya melalui penandatanganan46. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: a) Orang yang belum dewasa (dibawah 21 tahun); b) mereka yang ditaruh dibawah pengampuan dan; c) perempuan yang sudah menikah. Pasal 330 KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974(selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974) tentang perkawinan menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun. Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, Pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau istri) berhak melakukan perbuatan hukum. Maka hukum positiflah yang dipakai sebagai dasar penentu usia kedewasaan yaitu UU No. 1 Tahun 1974. Terdapat juga subyek hukum lain selain manusia yaitu
46
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 87.
Universitas Sumatera Utara
30
badan hukum. Badan hukum dianggap sebagai hal yang abstrak atau tidak nyata karena tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatakan kehendak, hanya manusia yang mempunyai kehendak. Maka dalam melakukan tugasnya sebagai pengemban hak dan kewajiban, tugas tersebut dijalankan oleh manusia-manusia yang juga subyek hukum dan tentunya sudah cakap dalam melaksanakan perbuatan hukum. Dalam hal kecakapan melaksanakan perbuatan hukum, harus dapat dipastikan bahwa badan hukum telah memenuhi persyaratan yang ditentukan negara47. Sebagai contoh badan hukum misalnya suatu perusahaan. Orang yang mewakili perusahaan pada prinsipnya adalah orang yang diberi hak oleh undang-undang untuk mewakili perusahaan itu. Dalam badan hukum perseroan terbatas, direksi yang mempunyai hak untuk mewakili badan hukum tersebut baik di dalam maupun di luar pengadilan termasuk menandatangani perjanjian atas nama perusahaan. Selain direksi, pihak-pihak lain juga dapat menandatangani perjanjian atas nama badan hukum perseroan terbatas selama orang itu mendapatkan kuasa dari direksinya. Misalnya seorang manajer sumber daya manusia dapat menandatangani perjanjian kerja dengan para karyawan suatu perusahaan selama tindakannya itu berdasarkan kuasa yang diberikan oleh direksi yang biasanya sudah tercantum dalam surat tugasnya ketika diangkat sebagai manajer. Semua perjanjian kerja yang dibuat atas nama perusahaan dengan demikian mengikat perusahaan yang diwakilinya.48 3) Mengenai suatu hal tertentu, maksud dari suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya maupun obyeknya. Pasal 1333 KUHPerdata 47
Ibid., hlm. .67. http://www.legalakses.com/mewakili-perusahaan-dalam-perjanjian/ tanggal 24 Maret 2016). 48
(diakses
pada
Universitas Sumatera Utara
31
menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya‘. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu, berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Istilah barang yang dimaksud di sini yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian itu tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa49. Jika dilihat dari segi perikatan, pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi (kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 KUHPerdata prestasi itu dapat berupa menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu50. Dapat diambil kesimpulan bahwa Pasal 1234 KUHPerdata dalam syarat hal tertentu hanya menerangkan tentang cara melakukan suatu prestasi, sedangkan bentuk prestasi yang sebenarnya adalah benda/zaak sebagaimana telah diterangkan didalam Pasal 1333 KUHPerdata diatas. 4) Suatu sebab yang halal, maksud dari sebab yang halal adalah jika objek dalam perjanjian bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian hlm. 79.
49
Sudargo Gautama, Indonesian Business Law (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995),
50
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Jakarta : Rajawali Press), hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
32
untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah51. Pasal 1335 Jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban. J. Satrio berpendapat bahwa suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika klausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman52. Klausa hukum dalam perjanjian juga terlarang jika bertentangan dengan ketertiban umum. J.Satrio memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat dan juga keresahan dalam masalah ketatanegaraan53, Maka dapat diketahui bahwa sebab yang halal adalah salah satu penentu syarat sahnya perjanjian dan perjanjian dalam hal ini harus tidak bertentangan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban. Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhinya semua ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dari keterangan tersebut dapat diketahui juga terdapat hal-hal yang menyebabkan batalnya suatu 51
Ibid., hlm. 80. J.Satrio, Op.Cit., hlm. 109. 53 Ibid., hlm. 41. 52
Universitas Sumatera Utara
33
perjanjian. Jika diuraikan secara rinci, syarat cakap dan sepakat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif (syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian). Apabila salah satu syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan tentang suatu hal tertentu dan sebab halal digolongkan kedalam syarat objektif (benda yang dijadikan objek perjanjian). Jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya perjanjian batal demi hukum. Artinya perjanjian dengan sendirinya menjadi batal dengan kata lain perjanjian telah batal sejak dibuatnya perjanjian tersebut atau dianggap tidak ada. Hal-hal inilah yang merupakan unsurunsur penting dalam mengadakan perjanjian54. Maka dapat diketahui, secara umum bahwa empat syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat, cakap, hal tertentu, sesuatu yang halal pelaksanaannya tergantung pada para pihak yang melakukan suatu perjanjian itu. Kewajiban para pihak harus memenuhi empat syarat yang ada dalam suatu perjanjian dan ini merupakan suatu yang mutlak atau harus ada dan dipenuhi, karena memang sudah ditentukan secara rinci dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Selain Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sah perjanjian, juga terdapat perjanjian-perjanjian yang harus dibuat secara formal yang biasa disebut perjanjian formal. Adapun terhadap perjanjian-perjanjian formal atau perjanjian rill merupakan perkecualian. Perjanjian formal yang sering dilakukan misalnya perjanjian perdamaian yang menurut Pasal 1851 (2) KUHPerdata harus diadakan secara tertulis, sedangkan perjanjian rill misalnya 54
Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu Hukum Dagang Menurut KUHD Dan KUHPerdata (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hlm. 191.
Universitas Sumatera Utara
34
perjanjian pinjam pakai yang menurut Pasal 1740 KUHPerdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau penitipan yang menurut Pasal 1694 KUH Perdata baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Perjanjian ini tidak cukup dengan adanya kata sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata atau (rill). Misalnya pada perjanjian jual beli yang dilakukan dengan pembiayaan konsumen. c. Pengertian cidera janji (wanprestasi) Dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang akan menimbulkan prestasi, apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan ingkar janji (wanprestasi) jika memang dapat dibuktikan bukan karena overmacht atau keadaan memaksa. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian55. Kelalaian atau kesalahan debitur tersebut juga bukan karena overmacht atau keadaan memaksa. Keadaan memaksa dapat menjadikan debitur tidak dapat berprestasi, jadi debitur bebas dari kewajiban atas prestasi lawan janjinya. Sebagai contoh penyerahan rumah tidak dapat dilakukan karena bencana Tsunami. d. Terjadinya cidera janji (wanprestasi) Perikatan lahir karena adanya suatu perjanjian, dari suatu perjanjian yang merupakan suatu pertemuan kehendak para pihak yang berjanji akan
55
Nindyo Pramono, Hukum Komersil (Jakarta : Pusat Penerbitan UT, 2003), hlm. 221.
Universitas Sumatera Utara
35
menimbulkan prestasi. Arti prestasi sendiri dapat dilihat dari Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Kata memberikan sesuatu sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu: 1) Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian. 2) Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis. Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi
prestasinya
masing-masing
seperti
yang
telah
diperjanjikan
berdasarkan kesepakatan dan kehendak tanpa ada pihak yang dirugikan. Terkadang perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena tidak berprestasinya salah satu pihak atau debitur. Untuk mengatakan bahwa debitur salah dan melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, terkadang tidak mudah. Hal sulit untuk menyatakan wanprestasi karena tidak dengan mudah dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Bentuk prestasi debitur dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu dan memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut Pasal
Universitas Sumatera Utara
36
1238 KUHPerdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya, maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, terdapat tata cara menyatakan wanprestasi oleh kreditur terhadap debitur atau kepada pihak yang mengingkari janji, yaitu melalui sommatie dan ingebrekestelling. Sommatie adalah pemberitahuan atau pernyataan tertulis dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu dan dilakukan melalui pengadilan, sedangkan ingebreke stelling artinya peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui pengadilan negeri atau langsung secara lisan, hanya melalui teguran saja dan tidak ada tindak lanjut. Keadaan tertentu sommatie tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi56. Sommatie minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus
56
Qodhi, Wanprestasi, Ganti Rugi, sanksi dan keadaan memaksa, tersedia di website http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaanmemaksa/ (diakses tanggal 20 November 2015).
Universitas Sumatera Utara
37
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan57, Pasal tersebut menerangkan tenatang sebuah keputusan bahwa debitur wanprestasi. Tidak berprestasinya debitur, dalam hal ini si berpiutang atau kreditur sebagai mana dinyatakan dalam Pasal 1241 KUHPerdata menyebutkan bahwa apabila perikatan tidak dilaksanakan maka si berpiutang atau kreditur boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang, pasal ini memberikan arahan bahwa kreditur dapat mengusahakan pemenuhan atas prestasi yang belum dipenuhi.
B. Bentuk Cidera Janji (Wanprestasi) dan Pelaksanaan Prestasi 1.
Prestasi Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Prestasi merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan.58 Kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalui disertai dengan tanggung jawab (liability), artinya debitur mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan hutangnya kepada kreditur. Menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur, jaminan semacam ini disebut jaminan umum.59
57
Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 22. Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit., hlm. 8. 59 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1990), 58
hlm.17.
Universitas Sumatera Utara
38
Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut, yakni:60 a. harus sudah tertentu atau dapat ditentukan; b. harus mungkin; c. harus diperbolehkan (halal); d. harus ada manfaatnya bagi kreditur; e. bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan. Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Maka dari itu wujud prestasi itu berupa : 1) Memberikan sesuatu Dalam Pasal 1235 KUHPerdata dinyatakan : “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahannya”. 2) Berbuat sesuatu Berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Jadi wujud prestasi disini adalah melakukan perbuatan tertentu.61 Dalam melaksanakan prestasi ini debitur harus mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab 60 61
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 20. Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
39
atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan oleh para pihak. Namun bila ketentuan tersebut tidak diperjanjikan, maka disini berlaku ukuran kelayakan atau kepatutan yang diakui dan berlaku dalam masyarakat. Artinya sepatutnya berbuat sebagai seorang pekerja yang baik. 3) Tidak berbuat sesuatu Tidak berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti tidak melakukan suatu perbuatan seperti yang telah diperjanjikan. Jadi wujud prestasi di sini adalah tidak melakukan perbuatan. Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif, tetapi justru sebaliknya yaitu bersifat pasif yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung.62 Disini bila ada pihak yang berbuat tidak sesuai dengan perikatan ini maka ia bertanggung jawab atas akibatnya. 2.
Wanprestasi Semua subjek hukum, baik manusa maupun badan hukum dapat membuat
suatu perikatan diantara pihak-pihak dalam persetujuan tersebutn akan tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban
62
J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hlm. 52.
Universitas Sumatera Utara
40
yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.63 Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :64 a. kesengajaan; b. kelalaian; c. tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian). Tiap-tiap persetujuan yang dibuat oleh pihak pada prinsipnya adalah menghendaki agar para pihak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya. Apabila para pihak tidak melaksanakan sesuai dengan disepakati maka dikatakan ia telah wanprestasi. Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi yang buruk atau prestasi yang dilakukan tidak selayaknya.65 Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya. Dalam pemenuhan suatu perjanjian sebagaimana diterangkan diatas ada kemungkinan salah satu pihak yang tidak berprestasi, dalam hal ini adalah pihak yang belum melaksanakan
63
Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, hlm. 20. Sukma Dwi Rahmanto tentang prestasi dan wanprestasi dalam hukum kontrak : http://sukmablog12.co.id/2012/12/prestasi-dan-wanprestasi-dalam-hukum.html?m=1, (diakses tanggal 15 November 2015). 65 Olga tentang Wanprestasi, http://olga260991.wordpress.com (diakses tanggal 12 Desember 2015). 64
Universitas Sumatera Utara
41
kewajibannya yang biasa disebut debitur. Bentuk atau wujud wanprestasi dapat dibedakan menjadi beberapa. Adapun bentuk atau wujud dari wanprestasi yaitu66 : a. tidak memenuhi prestasi sama sekali; Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. b. memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. c. memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali. Menurut restatement of the law of contracts (Amerika Serikat), wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam , yaitu :67 a. Total breachts, artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan. b. Partial breachts, artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan. Sedangkan Subekti berpendapat bahwa wujud wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu68 : a. memenuhi/melaksanakan perjanjian; b. memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
hlm.18.
66
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian cet. 6 (Jakarta : Putra Abadin, 1999),
67
Salim HS, Op.Cit., hlm. 98. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 56.
68
Universitas Sumatera Utara
42
c. membayar ganti rugi; d. membatalkan perjanjian; dan e. membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
C. Akibat Hukum Terjadinya Cidera Janji (Wanprestasi) Sejak kapan debitur dapat dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, hal ini sangat perlu dipersoalkan, karena wanprestasi tersebut memiliki konsekuensi atau akibat hukum bagi debitur. Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi maka perlu diperhatikan apakah di dalam perikatan yang disepakati tersebut ditentukan atau tidak tenggang pelaksanaan pemenuhan prestasi. Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu pihak-pihak menentukan dan dapat juga tidak menentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi oleh debitur.69 Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan maka dipandang perlu untuk memperingatkan debitur guna memenuhi prestasinya tersebut dan dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan maka menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.70 Pasal 1238 KUHPerdata : “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
69 70
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 21. Ibid., hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
43
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Pasal 1243 KUHPerdata menyebutkan bahwa debitur wajib membayar ganti rugi, jika setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi prestasi itu maka dapat menimbulkan kerugian. Berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata ini, ada dua cara penentuan titik awal penghitungan ganti kerugian, yaitu sebagai berikut : 1.
Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi tetap melalaikannya.
2.
Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu yang telah ditentukan tersebut.71 Kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu tidak hanya biaya-biaya
yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguhsungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving) dalam menepati janji72. Kerugian yang terjadi harus mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi itu sendiri terdiri dari biaya, rugi, dan bunga. Seperti telah disebutkan dalam Pasal 1244 sampai dengan Pasal 1246 KUHPerdata. Ongkos-ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas 71
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 13. 72 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 32 (Jakarta : Intermasa, 2005), hlm.148.
Universitas Sumatera Utara
44
barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian disini adalah sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah – buahan karena kelambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusak perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya. Penggantian kerugian itu tidak senantiasa harus memenuhi ketiga unsur tersebut. Minimal ganti kerugian itu adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh kreditur.73 Meskipun debitur telah melakukan wanprestasi dan diharuskan membayar sejumlah ganti kerugian, undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan yaitu: dalam hal ganti kerugian yang sebagaimana seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan itu diberikan undang-undang sebagai bentuk perlindungan terhadap debitur dari perbuatan kesewenang-wenangan kreditur. Segala sesuatu tentang wanprestasi sudah diatur di dalam KUHPerdata, sebagaimana telah disebutkan bahwa segala macam kerugian yang terjadi karena wanprestasi dapat dikenai ganti rugi. Ganti rugi tersebut dapat berupa biaya yang telah dikeluarkan, kerugian yang diderita dan bunga yang diperjanjikan para pihak. Segala pengaturan wanprestasi dan cara penyelesaian sudah diatur secara jelas dan rinci, tinggal bagaimana penyelesaiannya oleh penegak hukum yang berwenang. Misalnya dalam penerapan kasus wanprestasi dalam bidang fidusia dan pembiayaan konsumen yang segala macam aturannya dapat ditemukan
73
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 40.
Universitas Sumatera Utara
45
didalam undang-undang yang mengatur. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat putusan hakim. Hal ini dapat di lihat dalam Pasal 1266 KUHPerdata. Pasal 1266 KUHPerdata : “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan– persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”. Berdasarkan hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.74 Rumusan Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata ini, tidak dapat disangkal mengandung kontradiksi dan memberikan kesan bahwa oleh karena debitur wanprestasi, maka perjanjian batal dengan sendirinya karena hukum, padahal pembatalan perjanjian tersebut harus dimintakan kepada hakim, Pasal 1266 ayat (2). Sebenarnya pasal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada kreditur terhadap kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh debitur yang wanprestasi, dimana maksudnya menjadi semakin jelas bila kita membaca Pasal 1266 ayat (3) dimana pasal tersebut menyatakan bahwa seandainya syarat batal itu dinyatakan secara tegas dalam perjanjian, tetapi permintaan pembatalan harus dilakukan atau pembatalannya harus dituntut. Malahan pada Pasal 1266 ayat (4) ditentukan bahwa atas permintaan tergugat, maka hakim dengan melihat 74
Yulia Vera Momuat, Akibat Hukum Pasal 1266 KUHPerdata Dalam Perjanjian Terhadap Debitur Yang Tidak Aktif Dalam Melaksanakan Perjanjian (Yogyakarta : Jurnal Universitas Atma Jaya, 2014), hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
46
keadaan, bebas untuk menetapkan jangka waktunya asalkan tidak melebihi 1 bulan.75 Berdasarkan uraian di atas, apabila pihak debitur wanprestasi, maka pembatalan terhadap perjanjian yang timbal balik, tidak dapat dibatalkan secara otomatis meskipun syarat batal tidak dicantumkan secara nyata dalam perjanjian. Pasal 1266 KUHPerdata ayat (1) dengan jelas menyatakan bahwa, syarat batal dianggap selalu dicantumkan, dengan demikian meskipun tidak tercantum secara nyata, syarat ini memang ada, sehingga apabila dikemudian hari pihak debitur wanprestasi, maka berdasarkan ayat (2) pembatalannya harus dimintakan keapda hakim dan ayat (3) walaupun syarat batal ini tidak dicantumkan secara nyata di dalam perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa pasal ini mengandung suatu keharusan dan tidak boleh dikesampingkan bahkan diabaikan, karena jika dikesampingkan atau bahkan diabaikan, justru akan membawa para pihak pada situasi yang tidak jelas dan tidak pasti.76 Pembatalan tidak dengan sendirinya terjadi oleh karena adanya wanprestasi dari pihak yang dirugikan, melainkan harus dimintakan ke pengadilan. Putusan pengadilan bersifat deklaratif (declaratoir) yaitu menyatakan batal perjanjian antara penggugat dan tergugat, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 704K/Sip/1972 tertanggal 21 Mei 1973 yang mengatakan: “Bagi pihak-pihak yang tunduk pada hukum barat, maka apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi, perjanjian jual beli atas
75 76
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 303. Yulia Vera Momuat, Op.Cit., hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
47
permohonan
pihak
yang
dirugikan
harus
dinyatakan
batal/dibatalkan”77 Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan. Pasal ini menerangkan bahwa secara hukum wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi, dapat menuntut pembatalan perjanjian melalui pengadilan, baik karena wanprestasi itu dicantumkan sebagai syarat batal dalam perjanjian maupun tidak dicantumkan dalam perjanjian, jika syarat batal itu tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim dapat memberi kesempatan kepada pihak yang wanprestasi untuk tetap memenuhi perjanjian dengan memberikan tenggang waktu yang tidak lebih dari satu bulan.78 Dalam hal terjadi wanprestasi, namum perjanjian tersebut masih dapat dilaksanakan, maka diwajibkan untuk memenuhi prestasi tersebut atau dapat diajukan pembatalan perjanjian tersebut yang disertai dengan pembayaran ganti kerugian. Pasal 1267 KUHPerdata : “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga” 77 78
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 305. Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit., hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
48
Pasal ini memberikan pilihan kepada pihak yang tidak menerima prestasi dari pihak lain untuk memilih dua kemungkinan agar tidak dirugikan, yaitu :79 1) menuntut agar perjanjian tersebut dilaksanakan (agar prestasi tersebut
dipenuhi), jika hal itu masih memungkinkan; atau 2) menuntut pembatalan perjanjian.
Pilihan tersebut dapat disertai ganti kerugian (biaya, rugi dan bunga) kalau ada alasan untuk itu, artinya pihak yang menuntut ini tidak harus menuntut ganti kerugian, walaupun hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 1267 ini.
79
Ibid., hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara