22
BAB II AKIBAT HUKUM TERHADAP PENYEWA YANG MELAKUKAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH
A. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian. Syarat-syarat untuk sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:40 1. 2. 3. 4.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Cakap untuk membuat suatu perjanjian; Suatu hal tertentu; dan Suatu sebab yang halal.
Dibawah ini akan diuraikan secara garis besar satu-persatu keempat syarat sahnya perjanjian itu : 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para
pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.41 Persoalan yang sering dikemukakan dalam hubungan ini adalah, kapan saatnya kesepakatan itu terjadi? Persoalan ini sebenarnya tidak akan timbul jika para pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu tempat dan disitulah dicapai kata sepakat. Akan tetapi, nyatanya dalam pergaulan 40
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung :Alumni), 2004,
hal. 205. 41
Paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) dan penipuan (bedrog) merupakan 3 hal yang mengakibatkan kesepakatan tidak sempurna.(Pasal 1321 s.d Pasal 1328 KUH Perdata).
22
Universitas Sumatera Utara
23
hukum di masyarakat tidak selalu demikian, melainkan banyak perjanjian terjadi antara para pihak melalui surat-menyurat, sehingga menimbulkan persoalan kapan saatnya kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dipersoalkan sebab untuk perjanjian – perjanjian yang tunduk pada asas konsensualitas , saat terjadinya kesepakatan merupakan saat terjadinya perjanjian.42 Apabila ternyata dalam memberikan kesepakatan-kesepakatan itu terdapat unsur kekhilafan, atau dengan diperoleh dengan suatu paksaan atau penipuan maka dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan demikian ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kekhilafan yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian yaitu kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian, dan selain itu kekhilafan yang lain tidak menjadi batalnya suatu perjanjian (Pasal 1322 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Perdata). 2.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan
hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.43
42 43
Ibid, hal 206. Ibid, hal. 208.
Universitas Sumatera Utara
24
Dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat asas umum yang mengatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.44 Pengecualian yang terdapat dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1). Orang-orang yang belum dewasa; Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, bagian keempat, bagian kelima, dan bagian keenam Bab ini.” Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa: a). seorang baru dikatakan dewasa jika ia: i). telah berumur 21 tahun; atau ii).telah menikah;
44
Menurut M. Isnaeni substansi Pasal 1329 KUHPerdata, khususnya pada redaksi “…cakap membuat perikatan….”tidak konsisten, karena Pasal 1329 ini terkait dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian bukan syarat sahnya perikatan . Sehingga seharusnya redaksi tersebut berbunyi”….cakap membuat kontrak/perjanjian…”
Universitas Sumatera Utara
25
hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. b). anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama); ii).Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).45 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan bahwa: (1) “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.” Dengan demikian maka, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang
Perkawinan,
kecakapan
bertindak
orang
pribadi
dan
kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut:46 a). jika seseorang: i). telah berumur 18 tahun; atau ii). telah menikah; 45
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2003, hal 129-130. 46 Ibid, hal 131.
Universitas Sumatera Utara
26
iii).seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. b). seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: i). orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua ( yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama); ii).walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya ( artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja). 2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.47 Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros. pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah pengampuan 47
R. Subekti, Op.cit, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
27
mengadakan
perjanjian,
yang
mewakilinya
adalah
orang
tuanya
atau
pengampunya (Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).48 3). Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi.49Hal ini berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963,
telah menghapus Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan
bahwa:
”seorang
istri
tidak
diperkenankan
menghibahkan,
menggadaikan, memindah tangankan dan sebagainya ataupun melakukan suatu pelunasan atau menerima suatu pembayaran masing-masing tanpa izin tertulis atau tegas dari suaminya” dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: “seorang istri tidak diperbolehkan menghadap pengadilan tanpa izin suaminya.” Dengan dihapuskan kedua pasal diatas maka nyatalah kepada kita bahwa tidak ada lagi perbedaan hak antara suami-istri, ini semua berlaku untuk warga
48
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 16. 49 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta :Raja Grafindo Persada), 2006, hal. 128-129.
Universitas Sumatera Utara
28
Negara Indonesia, sehigga istri dapat bertindak bebas melakukan tindakan hukumnya ataupun menghadap ke pengadilan, walaupun tidak ada izin dari suaminya.50 3.
Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.51 Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual-beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya.52 4.
Suatu sebab yang halal. Didalam KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari “sebab”
yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai.”
50
Pr86’s Weblog, http://pr86.wordpress.com/2008/05/17/surat-edaran-mahkamah-agung/, diakses pada tanggal 12 Nopember 2012. 51 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 209-210. 52 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja , Op.Cit, hal.155-156.
Universitas Sumatera Utara
29
Jadi didalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah: 1). bukan tanpa sebab; 2). bukan sebab yang palsu; 3). bukan sebab yang terlarang.53 Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut diatas dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu: a.
Syarat subyektif 1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2). Kecakapan membuat perikatan.
b.
Syarat obyektif 1). Suatu hal tertentu 2). Suatu sebab yang halal. Dikatakan syarat subyektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada
subyek-subyek perjanjian itu. Sedangkan yang dikatakan syarat-syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, yang meliputi suatu sebab yang halal dan suatu sebab tertentu. Akibat hukum dari syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut memang ada tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.
53
Ibid, hal.161.
Universitas Sumatera Utara
30
Adapun apabila pihak tidak memenuhi syarat objektif itu adalah apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum atau dengan kata lain batal dengan sendirinya. Hal ini berarti secara yuridis sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau perjanjian itu memang ada tetapi tidak berlaku. Disamping itu dalam hal perjanjian yang batal demi hukum tersebut, maka pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain di depan hakim sebab dasar hukumnya tidak ada. Dalam pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.54 B. Asas-Asas Dalam Perjanjian. Asas-asas yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam membuat suatu perjanjian antara lain: 1.
Asas kebebasan berkontrak Buku
III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem
terbuka,artinya memberi keleluasan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya.
55
Sistem terbuka Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini tercermin dari substansi Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
54
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak , Cetakan ketiga, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 67. 55 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial , (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011), Cetakan Ke-2, hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
31
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syaratsyarat perjanjian.56 Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:57 a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapaia ingin membuat perjanjian. c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya. d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian. e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian. f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional). Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam 56
Ibid, hal. 110. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal.. 47. 57
Universitas Sumatera Utara
32
satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait.58Apabila mengacu rumusan Pasal 1338 ayat(1) KUHPerdata yang dibingkai oleh pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum perjanjian /kontrak ( vide Pasal 1320, 1335, 1337, 1338 ayat (1) serta 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), maka penerapan asas kebebasan berkontrak ternyata perlu dibingkai oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian dengan memerhatikan hal-hal sebagai berikut: a. memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.; b. untuk mencapai tujuan para pihak, perjanjian harus ada mempunyai kausa; c. tidak mengandung kausa palsu atau dilarang undang-undang; d. tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum; e. harus dilaksanakan dengan itikad baik.59 2.
Asas konsensualisme. Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkandung asas
yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan “ada”-nya perjanjian (raison d’etre, het bestaanwaarde).60 Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan
58
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 111. Ibid, hal. 118. 60 Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal.82. 59
Universitas Sumatera Utara
33
kepercayaan (vertrouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.61 Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti, yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.62 Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undangundang. 3.
Asas pacta sunt servanda. Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,asas pacta sunt
servanda 63 dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pengertian berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya menunjukan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang.64
61
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 43-44. 62 Ibid, hal. 37. 63 N. E. Algra et al., dalam “Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia”, (Jakarta : BinaCipta, 1983), Cetakan pertama, hal. 384. 64
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 126.
Universitas Sumatera Utara
34
Di dalam pandangan Eropa Kontinental, asas kebebasan berkontrak merupakan konsekuensi dari dua asas lainnya dalam perjanjian yaitu konsensualisme dan kekuatan mengikat suatu perjanjian yang lazim disebut sebagai pacta sunt servanda. Konsensualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian, pacta sunt servanda berkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang mengadakan
perjanjian,
sedangkan
kebebasan
berkontrak
menyangkut
isi
perjanjian.65 4.
Asas itikad baik. Dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
mengatakan “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Apa yang dimaksud dengan itikad baik (good faith)
perundang-undangan tidak
memberikan defenisi yang tegas dan jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan itikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan yang baik.66 Dalam Kamus Hukum Fockema Andreae dijelaskan bahwa “goede trouw” adalah itikad baik.67 Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau “secara jujur”.68 Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua macam, yaitu:
65
Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hal. 197. 66 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta : Balai Pustaka), 1995, hal. 369. 67 N.E. Algra et al., Op.Cit, hlm 174. 68 Soetojo Prawirohamidjojo, Itikad Baik (Goede Trouw/Good Faith), Pidato dalam Rangka Memperingati Dies Natalis XXXVIII Universitas Airlangga Surabaya, 11 November 1992, hal.3.
Universitas Sumatera Utara
35
a). Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menanggung risiko. Itikad baik semacam ini diatur dalam Pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subjektif dan statis. b). Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.69 C. Wanprestasi. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa wanprestasi adalah kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan, yang terdiri dari dua macam sifat. Pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi itu masih dilakukan tetapi tidak
69
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung : Sumur), 1992, hal. 56-62.
Universitas Sumatera Utara
36
secara sepatutnya sedang yang kedua adalah terdapat hal-hal yang disitu prestasinya tidak dilakukan pada waktu yang tepat.70 Sedangkan M. Yahya Harahap,71 pengertian wanprestasi adalah “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknnya”. Kalau begitu seorang debitur (penyewa) berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dalam jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut selayaknya atau sepatutnya. Dari kedua pendapat diatas, dapatlah kita menarik suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu kesengajaan dan kelalaian debitur yang mengakibatkan ia tidak dapat memenuhi prestasi yang harus dipenuhinya dalam suatu perjanjian. Jadi dapat dilihat bahwa wanprestasi itu terjadi atau timbul apabila si berutang yakni debitur tidak memenuhi prestasi yang seharusnya ia lakukan dalam suatu perjanjian dengan kreditur atau si berutang. 1.
Timbulnya ganti rugi (schade vergoeding). Kewajiban “ganti rugi” (schade vergoeding) tidak sendirinya timbul pada saat
kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, “setelah” debitur “dinyatakan lalai.” Harus ada “pernyataan lalai” dari kreditur.
70 71
Sri Soedewi Masjschoen Sofwan, Op.Cit, hal.12. M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 60-61.
Universitas Sumatera Utara
37
Pernyataan berada dalam keadaan lalai ini ditegaskan oleh Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “penggantian perongkosan, kerugian dan bunga, baru merupakan kewajiban yang harus dibayar debitur; setelah ia untuk itu “ditegor kealpaannya” melaksanakan perjanjian; akan tetapi sekalipun sudah ditegor ia tetap juga melalaikan peringatan dimaksud. Dari ketentuan pasal diatas terdapat suatu asas umum: untuk lahirnya kewajiban “ganti rugi” debitur harus lebih dulu diletakkan/ditempatkan dalam “keadaan lalai”, melalui prosedur “peringatan /pernyataan lalai”. Kalau begitu si debitur sudah dapat dikatakan berada dalam keadaan lalai, jika sebelumnya sudah ada pemberitahuan , peringatan atau tegoran kreditur terhadap debitur, bahwa si debitur telah lalai melakukan pelaksanaan perjanjian. Peringatan atau tegoran itu dilakukan oleh kreditur “sesaat” setelah batas waktu yang ditentukan lewat.72 2.
Pernyataan lalai (ingebrekke stelling) Di dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menentukan
bahwa : “siberutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Kata “perintah” dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel” juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan”. Karena disana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu 72
Ibid, hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
38
ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur ( si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “perintah/peringatan” itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi”.73 Menurut Subekti, surat perintah tersebut diartikan sebagai “suatu peringatan resmi oleh seorang jurusita pengadilan, sedangkan yang dimaksud oleh undangundang dengan akte sejenis adalah suatu peringatan tertulis”.74 Dalam perkembangannya, surat peringatan atau teguran juga boleh dilakukan secara lisan, dengan ketentuan desakan atau teguran agar si berutang melakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat prestasinya, dinyatakan dengan cukup tegas. Sebaiknya dilakukan secara tertulis, dan seyogyanya dengan surat tercatat, agar nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si berutang .
73
J. Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari http://www.hukum.online.com/berita/baca/lt4cbfb83aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasibagian -i-brioleh-j-satrio, pada tanggal 10 Nopember 2012. 74 Subekti, Op.cit, hal.46.
Universitas Sumatera Utara
39
Sedangkan kapan waktu pernyataan lalai itu menurut Wiryono Projodikoro, dalam buku hukum perjanjian, adalah tidak mutlak.75 Oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, dikatakan bahwa “kapan kini suatu tenggang harus dianggap fatal, itu tergantung daripada keadaan-keadaan suatu persoalan yang bersifat kenyataan”.76 Suatu pernyataan lalai ini tidak diperlukan lagi bila si berutang mengakui bahwa ia telah lalai atau telah menolak untuk berprestasi yang telah dipenuhi si berutang tidak sebagaimana mestinya, disamping dapat juga dengan perjanjian ditentukan bahwa, tidak perlu diadakan pernyataan lalai (ingebrekke stelling) dan si berutang akan lalai menurut jika ia melampaui tengggang waktu yang sudah ditentukan atau ditetapkan. Pada perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu, maka apabila ia melakukan berarti ia telah melanggar janji, sehingga dapatlah dikatakan ia melakukan wanprestasi tanpa memerlukan pernyataan lalai terlebih dahulu. Dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 pernyataan lalai tidak perlu lagi karena dengan adanya gugatan yang masuk ke Pengadilan Negeri itu juga dianggap sebagai teguran atau pernyataan lalai. Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:77
75
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur , 1965), hal.7. 76 Ibid, hal.12. 77 Subekti, Op.cit, hal.45.
Universitas Sumatera Utara
40
a.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b.
Melaksanakan apa yang disanggupinya, tetapi tidak sebagaimana mestinya.
c.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Berbeda dengan Subekti, maka Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, wanprestasi
tersebut dibagi menjadi dua macam yaitu:78 a.
Prestasi itu memang dilakukan tetapi tidak secara yang sepatutnya.
b.
Prestasi dilakukan pada waktu yang tidak tepat.
Sedang menurut Setiawan, ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu:79 a.
Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b.
Terlambat memenuhi prestasi.
c.
Memenuhi prestasi secara tidak baik. Akibat dari wanprestasi munculnya suatu ganti rugi bagi pihak yang merasa
dirugikan. Menurut Nieuwenhuis, kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.80Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur tentang ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang, dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immaterial, tidak berwujud (moral, ideal).
78 79
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.cit, hal. 12. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan , ( Bandung: Bina Cipta, 1979), Cetakan II,
hal 17-18. 80
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal. 81.
Universitas Sumatera Utara
41
Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak terjadinya kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:”pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan,
maka
barang
itu,
semenjak
perikatan
dilakukan,
menjadi
tanggungannya.” Menurut Subekti, ada empat akibat dari terjadinya wanprestasi, yaitu: 81 a.
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;
b.
Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
c.
Peralihan resiko;
d.
Membayar biaya perkara, kalau samapai diperkarakan di depan hakim. Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi diatas, lebih jelasnya dijabarkan
sebagai berikut :82 a). Ganti rugi. Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya jika seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain ini kemudian tidak datangsehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan,
81 82
Subekti, Op.Cit, hal.45. Ibid, hal. 47-54.
Universitas Sumatera Utara
42
maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain. Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit tersebut. Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya. Dalam Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “siberutang hanya diwajibkan mengganti biaya,rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.” Dan Pasal 1248 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenaikerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian.”
Dari kedua pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
Universitas Sumatera Utara
43
Beberapa hal penting dalam persoalan ganti rugi adalah:83 1.
Ganti rugi terdiri dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan, kerugian yang nyata dan bunga.
2.
Ganti rugi tidak dapat diminta jika wanprestasi karena force majeur.
3.
Kerugian yang wajib dibayar dapat berupa kerugian yang benar-benar telah diderita dan kehilangan keuntungan yang sedianya harus dapat dinikmati kreditur.
4.
Ganti rugi dapat diminta oleh kreditur sebatas pada kerugian dan kehilangan keuntungan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi tersebut.
5.
Apabila dalam kontrak ada provisi yang menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak debitur jika wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi tersebut hanya sejumlah yang ditetapkan dalam kontrak, tidak boleh lebih atau kurang.
6.
Terhadap perikatan pembayaran sejumlah uang, maka ganti rugi hanya terdiri dari bunga seperti yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b). Pembatalan perjanjian. Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi.
83
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Kontrak Bisnis , Diktat Hukum Perusahaan, ( Medan: Magister Kenotariatan USU, 2010), hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
44
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memnuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas maka jelas bahwa pembatalan perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum. c). Peralihan resiko. Peralihan resiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Peralihan resiko dapat digambarkan demikian:
Universitas Sumatera Utara
45
Menurut Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka resiko dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, resiko itu beralih kepada dia. d). Pembayaran biaya perkara. Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat (1) HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim. Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik terjadi akibat dari keadaan memaksa (force majeure), maka perjanjian bisa menjadi batal.84 D. Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Penghunian rumah dengan cara sewa-menyewa didasarkan kepada suatu perjanjian tertulis antara pemilik dengan penyewa. Didalam perjanjian tersebut sekurang-kurangnya mencantumkan ketentuan mengenai hak dan kewajiban , jangka waktu sewa dan besarnya harga sewa. 85
84
Elly Erawati- Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal. 28. 85 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik, Pasal 4.
Universitas Sumatera Utara
46
Didalam perjanjian sewa-menyewa terdapat beberapa hal yang pokok, yaitu:86 1.
Menyerahkan barang untuk dinikmati. Setelah diantara para pihak terdapat kata sepakat untuk membuat suatu
perjanjian sewa-menyewa maka timbullah hak dan kewajiban diantara para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Pihak yang menyewakan berkewajiban menyerahkan barangnya untuk dinikamati dan berhak mendapatkan imbalan harga sewa. Sedangkan pihak penyewa berkewajiban membayar harga sewa dan berhak untuk menikmati barang yang disewa. Jadi barang dalam perjanjian sewa-menyewa ini diserahkan tidak untuk dimiliki tetapi hanya untuk dipakai atau dinikmati kegunaannya. Namun untuk hak memakai dan hak mendiami sebuah rumah tidak dapat disewakan pada pihak lainnya. Hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 827 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan : “Hak mendiami tak boleh diserahkan atau disewakan kepada orang lain”. 2.
Membayar harga sewa. Pihak penyewa dalam menikmati barang yang disewa, ia berkewajiban untuk
membayar harga sewa. Pembayaran sewa ini dapat dilakukan per bulan atau per tahun. Menurut Subekti, bahwa:“Pembayaran itu oleh undang-undang tidak melulu ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut
86
Subekti, Op.cit, hal. 90
Universitas Sumatera Utara
47
perjanjian, dinamakan pembayaran, bahkan si pekerja yang melakukan pekerjaannya untuk majikan dikatakan membayar”.87 Jadi dalam melakukan pembayaran harga sewa ini tidak melulu harus berwujud uang, dapat juga berwujud barang bertubuh. Namun dalam prakteknya, pembayaran harga ini berupa uang (pembayaran yang sah). Apabila pihak penyewa ini tidak memenuhi kewajibbannya membayar harga sewa, maka pihak pemilik barang atau yang menyewakan dapat minta untuk membatalkan perjanjian sewanya. 3.
Selama jangka waktu tertentu. Sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata adalah perjanjian sewa-menyewa untuk waktu tertentu. Namun waktu tertentu seperti disebutkan dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut bukanlah merupakan syarat untuk timbulnya perjanjian sewa-menyewa. Sewa-menyewa itu sudah ada sejak tercapainya kata sepakat. Apabila dalam perjanjian sewa-menyewa tersebut waktu sewanya telah ditentukan, maka sewamenyewa tersebut akan berakhir dengan sendirinya setelah waktu sewanya berakhir. Sedangkan apabila dalam perjanjian sewa-menyewa jangka waktu berakhirnya tidak ditentukan, maka untuk menghentikan perjanjian sewa-menyewa ini harus dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada si penyewa yaitu dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada si penyewa yakni dengan memperhatikan tenggang waktu
87
Subekti, Pokok- Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:Intermasa, 1984), hal. 152.
Universitas Sumatera Utara
48
menurut adat kebiasaan setempat. Untuk sewa menyewa, tenggang waktu tersebut biasanya satu bulan. Hal-hal seperti tersebut diatas berlaku juga bagi perjanjian sewamenyewa rumah. E. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah. 1.
Hak-hak para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa rumah. Hak dari pemilik rumah adalah mendapatkan pembayaran harga sewa
sedangkan hak dari pihak penyewa adalah menempati rumah yang disewanya dari pihak pemilik rumah dalam keadaan baik. Apabila rumah yang disewanya tersebut terdapat cacat yang tersembunyi atau tidak diketahui sebelumnya maka pihak penyewa berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi yang baik atau dari cacat yang tidak tersembunyi kepada pihak pemilik rumah. Hak dari pihak pemilik rumah terhadap cacat yang tersembunyi ini terdapat dalam Pasal 1552 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan: “Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahui pada waktu dibuatnya perjanjian sewa”. Adapun hak yang lain dari pihak penyewa ialah mendapatkan kenikmatan atas rumah yang disewa tersebut. Dalam hal ini apabila rumah yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa rumah dijual oleh pihak pemilik rumah, maka pihak penyewa masih tetap dapat mendiami rumah tersebut sampai habis waktu sewanya. Ketentuan seperti tersebut diatas terdapat dalam Pasal 1576 ayat (1) Kitab Undang-
Universitas Sumatera Utara
49
Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan : “Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila ini telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang”. Dari ketentuan tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pihak penyewa masih dapat menempati rumah yang disewakan, apabila tidak ditentukan lain. Hak ini diperoleh si penyewa karena hak sewa tersebut tetap mengikutinya, selama waktu sewa tersebut belum berakhir. 2.
Kewajiban-kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa rumah. Kewajiban dari pihak yang menyewakan adalah sebagai berikut:
a.
Menyerahkan barang kepada si penyewa.
b.
Memelihara barang sedemikian rupa sehingga barangnya dapat dinikmati atau dipakai untuk keperluan si penyewa.
c.
Memberikan kenikmatan atas rasa aman pada barang yang disewakannya selama berlangsungnya sewa-menyewa rumah.
d. Melakukan perbaikan-perbaikan atas barang yang disewakan, kecuali perbaikan kecil.88 Kewajiban dari pihak penyewa yaitu: a.
Di dalam menempati rumah yang disewanya tersebut, pihak penyewa harus bertindak sebagai bapak rumah tangga yang baik, artinya pihak penyewa diwajibkan untuk menempati rumah tersebut seakan-akan miliknya sendiri. 88
Subekti, Op.Cit, hal. 42-43.
Universitas Sumatera Utara
50
b.
Membayar harga sewa pada waktu yang ditentukan dalam perjanjian sewamenyewa rumah.
c.
Melakukan perbaikan-perbaikan kecil, misalnya: melakukan perbaikan-perbaikan jendela kunci dalam, kaca-kaca jendela dan sebagainya.
Adapun hak-hak dan kewajiban-kewajiban ini tidak ditepati oleh salah satu pihak, maka terjadilah wanprestasi dan akibat dari wanprestasi timbullah sengketa sewamenyewa rumah. F. Hapusnya Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah. Mengenai lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, berakhirnya ada dua cara yaitu : 1.
Berakhir dengan sendirinya pada waktu yang ditentukan bila perjanjian sewamenyewa rumah tersebut dibuat secara tertulis.
2.
Dihentikan dengan memperhatikan suatu tenggang waktu tertentu menurut adat kebiasaan setempat, bila perjanjian sewa-menyewa rumah dibuat secara lisan. Cara yang pertama tersebut diatas ditentukan dalam Pasal 1570 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan : “Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukannya suatu pemberitahuan untuk itu”. Adapun cara yang kedua tercantum dalam Pasal 1571 Kitab Undang-Unadang Hukum Perdata, yang menyebutkan:“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika pihak lain bahwa
Universitas Sumatera Utara
51
ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”. Maksud dari pemberitahuan dengan mengindahkan jangka waktu yang layak ini adalah agar si penyewa mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi akibat dari pengakhiran sewa tersebut. Sedangkan untuk hapusnya perjanjian sewa-menyewa rumah karena benda yang disewakan musnah seluruhnya di luar kesalahan pihak pemilik rumah dan pihak penyewa, maka perjanjian sewa-menyewa rumah itu batal demi hukum. Ketentuan tersebut diatas terdapat di dalam Pasal 1553 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan ”Jika selama waktu sewa barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum”. Namun apabila rumah yang disewa tersebut musnah sebagian saja, maka pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan, apakah ia akan menghentikan sewa-menyewa atau ia minta pengurusan harga sewa. G. Akibat Hukum Terhadap Penyewa Yang Melakukan Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah. Penyewa disebutkan berada dalam keadaan wanprestasi , apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga “terlambat” dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut “sepatutnya/selayaknya”. Seperti yang telah disinggung, akibat yang timbul dari wanprestasi ialah keharusan atau kemestian bagi penyewa membayar ganti rugi
Universitas Sumatera Utara
52
(schadevergoeding). Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut “pembatalan perjanjian”. Sebab dengan tindakan penyewa dalam melaksanakan kewajiban “tidak tepat waktu” atau “tak layak”, jelas merupakan “pelanggaran” hak pemilik rumah. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti merupakan “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatigedaad).89 Wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti pernyataan lalai (ingeberkestelling) yang dilakukan si penyewa. Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu” atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi atau peringatan.90 Perhitungan ganti rugi akibat dari wanprestasi, dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan: “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan,menjaditanggungannya”. Pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, “biaya, ganti
89
M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 60-61. NM. Wahyu Kuncoro, Advokatku : Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum….Apa Bedanya?, diakses dari http://advokatku.blogspot.com/2009/01/Wanprestasi dan-perbuatan-melawanhukum.html, pada tanggal 10 Juni 2012. 90
Universitas Sumatera Utara
53
rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interest). Kendatipun debitur yang wanprestasi dapat dituntut oleh kreditur untuk membayar ganti kerugian, tetapi kerugian dapat dituntut oleh kreditur jumlahnya tidak dapat diperhitungkan dengan sekehendak hati, melainkan dibatasi sedemikian rupa oleh undang-undang. Pembatasan pertama untuk segala macam wanprestasi disebutkan dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan demikian: “Bahkan, jika hal tidak terpenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya siberutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang di derita oleh siberpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.” Apakah yang dimaksud “akibat langsung” dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas ini? Wirjono Prodjodikoro91menyatakan bahwa yang dimaksud dengan akibat langsung dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu 91
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Sumur Bandung, 1973), cetakan VII, hal . 53
Universitas Sumatera Utara
54
adalah suatu akibat yang tidak begitu jauh ketinggalan daripada hal dilakukannya suatu wanprestasi. Namun, penentuan yang demikian ini, menurut beliau, tentunya juga masih belum tegas karena pengertian jauh adalah kabur juga. Oleh karena itu, hakimlah yang pada akhirnya harus menetapkan ini in konkrito menurut rasa keadilan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara