1
Dasar Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Atau Wanprestasi Dalam Menggugat Janji-Janji Yang Tercantum Dalam Brosur Perumahan Oleh Graciella Etrelitta Skripsi ini membahas pelanggaran janji dari pengembang yang tercantum dalam iklan tertulis (brosur) dimana antara pengembang dan konsumen telah terjalin hubungan kontraktual tanpa dicantumkannya janji pada iklan tersebut di dalam hubungan kontraktual. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain preskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terhadap pelanggaran janji dari pengembang tersebut, dasar gugatan yang tepat adalah: (1) wanprestasi dalam hal apa yang dijanjikan itu dimuat secara spesifik pada brosur; (2) PMH dalam hal tidak dicantumkannya klaim-klaim fisik atas apa yang dijanjikan tersebut pada brosur.
Kata kunci: Brosur, wanprestasi, perbuatan melawan hukum. 1. Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang Adapun ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini adalah pelanggaran janji
dari pengembang yang tercantum dalam brosur yang diedarkan sebagai iklan dimana antara pelaku usaha dan konsumen perumahan telah terjalin hubungan kontraktual tanpa dicantumkannya janji pada iklan tersebut di dalam hubungan kontraktual. Permasalahan hukum yang timbul jika gugatan didasari oleh wanprestasi adalah berdasarkan teori klasik hukum kontrak yang dianut oleh sebagian hakim di Indonesia, janji pada iklan tersebut merupakan janji pra kontrak yang tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya selama janji tersebut tidak tercantum di dalam perjanjian yang sah dan mengikat para pihak. Sedangkan di sisi lain jika gugatan didasari oleh PMH maka permasalahan hukum yang timbul adalah telah terdapat hubungan kontraktual antara para pihak dan terjadi pelanggaran janji pada iklan namun diajukan gugatan PMH terhadap pelanggaran janji tersebut. Suatu kontrak, yang merupakan perjanjian dalam arti sempit karena bentuknya yang tertulis, dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian yang terdapat pada bagian ke- 2 buku ke- 3 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya syaratsyarat tersebut maka suatu kontrak menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Permasalahan hukum akan timbul apabila sebelum kontrak
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
2
tersebut sah dan mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary negotiation, salah satu pihak memberikan janji-janji sehingga pihak yang lain menaruh harapan besar terhadap janji tersebut kemudian terdorong untuk melakukan perbuatan hukum, seperti membayar uang muka, ataupun perbuatan hukum lain terkait pelaksanaan kontrak tersebut, padahal belum tercapai kesepakatan akhir antara para pihak terkait kontrak yang dirundingkan.Hal ini dapat terjadi karena pihak yang telah terlanjur melakukan perbuatan hukum tersebut, begitu percaya terhadap janji-janji yang diberikan oleh pihak yang lainnya.1 Teori klasik hukum kontrak yang dianut oleh sebagian hakim di Indonesia, menyatakan bahwa janji-janji pra kontrak yang demikian tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya selama janji-janji tersebut tidak tercantum dalam perjanjian yang sah dan mengikat para pihak.2 Contoh konkretnya adalah yurisprudensi mengenai obyek perkara janji-janji dari pelaku usaha yang tercantum dalam brosurbrosur yang diedarkan sebagai iklan, yang menurut hakim yang mengadili perkara tersebut
berdasarkan
teori
klasik
hukum
kontrak,
tidak
dapat
dituntut
pertanggungjawabannya, karena janji-janji tersebut adalah janji-janji pra kontrak yang tidak tercantum dalam pengikatan jual-beli. Dengan demikian konsumen perumahan tidak dapat menggugat ganti rugi dengan dasar wanprestasi apabila pelaku usaha mengingkari janji-janji tersebut3. Namun konsumen perumahan pun juga tidak dapat menggugat ganti rugi dengan dasar PMH apabila pelaku usaha mengingkari janji-janjinya pada iklan tersebut karena adanya hubungan kontraktual antara para pihak yang dibuktikan dengan perjanjian pendahuluan pembelian rumah antara konsumen dengan pengembang. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa KUH Perdata membedakan antara gugatan wanprestasi, yang didasarkan pada hubungan kontraktual antara para pihak, dan gugatan PMH dimana tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak.4
1
Ibid., hlm. 1.
2
Ibid., hlm. 2.
3
Ibid.
4
Ibid., hlm. 136.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
3
Dapat dikatakan bahwa di Indonesia masih terdapat kekosongan hukum jika para pihak yang membuat kontrak tidak jelas mengatur hukum yang berlaku atas hal yang menjadi sengketa yang disebabkan oleh janji pada iklan yang merupakan janjijanji pra kontrak. Oleh karena pentingnya mengisi kekosongan hukum tersebut, penulis beranggapan bahwa penelitian mengenai “dasar gugatan yang tepat terhadap pelanggaran janji pada iklan, antara wanprestasi atau PMH” harus dilakukan sekaligus untuk memberi perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan karena percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji pada iklan sehingga perlu dikaji lebih jauh mengenai bagaimana pengadilan di Indonesia dalam mengadili perkara pelanggaran janji-janji pada iklan tersebut terkait dasar gugatannya. Menurut teori kontrak yang modern, janji-janji tersebut mempunyai akibat hukum jika diingkari karena teori ini cenderung untuk menghapuskan syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan kepada terpenuhinya rasa keadilan.5 Di negara-negara maju yang menganut civil law system, seperti Perancis, Belanda, dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik, bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan kontrak, melainkan juga dalam tahap perundingan (the duty of good faith in negotiation) sehingga janji-janji pra kontrak mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut diingkari. Indonesia juga merupakan negara penganut civil law system, akan tetapi beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan asas itikad baik dalam proses negosiasi karena menurut teori klasik, jika janji tersebut diberikan dalam tahap perundingan, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir suatu perikatan yang mempunyai akibat hukum bagi para pihak sehingga pihak yang dirugikan karena percaya pada janji-janji pihak lainnya tidak dapat menuntut ganti rugi.6 Sedangkan reformasi di bidang hukum dianggap perlu guna memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan karena percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji pra kontrak yang diberikan oleh pihak lainnya dalam proses perundingan atau preliminary negotiation.
5
Jack Beatson dan Daniel Friedman, Good Faith and Fault in Contract Law, (New York: Oxford University Press Inc,1995), hlm.14. 6
Suharnoko, o.p cit., hlm. 3.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
4
1.2.
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, terdapat dua
pokok permasalahan yang akan dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apakah dasar gugatan yang tepat terhadap pelanggaran janji yang tercantum pada iklan, apakah wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH)? 2. Bagaimana pengadilan di Indonesia memutus perkara pelanggaran janjijanji yang tercantum pada iklan terkait dasar pengajuan gugatannya (Studi Kasus Putusan No. 3138 K/Pdt/1994 dan Putusan No.2559 K/Pdt/2008 )? 2. Pembahasan Analisa Kasus 2.1. Putusan No. 3138 K/Pdt/1994 Sub bab ini akan membahas permasalahan hukum yang timbul jika gugatan atas dasar wanprestasi diajukan terhadap pelanggaran janji dari pengembang yang tercantum dalam brosur. Dalam hal ini antara pengembang dan konsumen telah terjalin hubungan kontraktual berupa Perjanjian Pendahuluan Pembelian. Akan tetapi janji yang tercantum dalam brosur tersebut tidak tertera pada Perjanjian Pendahuluan Pembelian. Janji yang demikian, berdasarkan teori klasik hukum kontrak yang dianut oleh sebagain hakim di Indonesia, merupakan janji yang tidak dapat dituntut pertanggungjawabanya atas dasar wanprestasi karena janji tersebut tidak tercantum di dalam perjanjian yang sah dan mengikat para pihak. 2.1.1. Analisis Hukum Penolakan Gugatan Konsumen atas Dasar Wanprestasi Berdasarkan putusan pengadilan di tingkat kasasi dapat diketahui bahwa gugatan konsumen atas dasar wanprestasi, agar pengembang dihukum untuk menyediakan Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi sebagaimana diiklankan Tergugat kepada para Penggugat dan konsumen lainnya di dalam brosur-brosur Tergugat, ditolak oleh Majelis Kasasi karena dari semula dalam site plan yang akan dibangun oleh pengembang dan sudah disetujui oleh Pemerintah Daerah setempat, tidak pernah ada rencana pemancingan/ rekreasi karena sarana itu bukan merupakan fasilitas
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
5
umum. Oleh karena itu kepada pengembang tidak dapat dibebankan untuk membangun fasilitas rekreasi pemancingan tersebut. Dalam brosurnya, pengembang mencantumkan Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi sehingga berdasarkan iklan tersebut, para konsumen tertarik untuk membeli rumah-rumah yang ditawarkan pengembang. Pada hakikatnya pengembang mengakui mereka telah menerbitkan brosur tersebut dalam rangka pemasaran perumahan. Tetapi ternyata pengembang telah mengubah Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi menjadi rumah-rumah yang akan dipasarkan dan dijual kepada konsumen pembeli rumah tahap berikutnya di perumahan itu. Menurut penulis, judex facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) telah salah menerapkan hukum. Keberadaan brosur telah diakui oleh pengembang sehingga terbukti secara sah menurut hukum bahwa pengembang telah menjanjikan “Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi” kepada para konsumen. Namun hal ini tidak ternyata dalam pertimbangan Pengadilan Negeri.7 Penulis berpendapat bahwa tidak adanya pertimbangan mengenai hal tersebut disebabkan oleh teori klasik hukum kontrak yang dianut oleh sebagian hakim di Indonesia yang menyatakan bahwa janji-janji pra kontrak yang demikian tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya selama janji-janji tersebut tidak tercantum dalam perjanjian yang sah dan mengikat para pihak.8 Dengan demikian konsumen perumahan tidak dapat menggugat ganti rugi dengan dasar wanprestasi apabila pelaku usaha mengingkari janji-janji tersebut9. Sedangkan menurut teori kontrak yang modern, janji-janji tersebut mempunyai akibat hukum jika diingkari karena teori ini cenderung untuk menghapuskan syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan kepada terpenuhinya rasa keadilan.10 PPJB (nama lainnya Perjanjian Pendahuluan Pembelian) merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara 7
Lihat Putusan Mahkamah Agung Tanggal 4 April 1997 No. 3138 K/Pdt/1994 hal. 11.
8
Suharnoko, o.p cit., hlm. 2.
9
Ibid.
10
Jack Beatson dan Daniel Friedman, o.p cit., hlm.14.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
6
pengembang dan konsumen. PPJB sudah disiapkan secara baku dan sepihak oleh pengembang atau kuasa hukum pengembang. Sedangkan konsumen tinggal menandatanganinya (“take it”) jika setuju. Jika tidak, konsumen tinggal “leave it”.11 Pihak yang memiliki kedudukan yang lebih baik memiliki peluang besar untuk melakukan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).12 Dalam kaitannya dengan kasus ini, pengembang sebagai pihak yang memiliki kedudukan yang lebih baik, secara leluasa dapat memasukkan semua kepentingannya dalam PPJB dan menganulir kepentingan konsumen. Kepentingan konsumen yang dianulir dalam kasus ini adalah janji-janji pengembang dalam brosur berupa pencantuman Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi. Padahal para konsumen tertarik membeli rumah-rumah yang ditawarkan pengembang karena adanya Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi tersebut. Berdasarkan pasal 1343 KUH Perdata, jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran maka harus diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Dalam kasus yang pertama ini, maksud para pihak tidak hanya terpaku pada apa yang tertera dalam Perjanjian Pendahuluan Pembelian Rumah saja tetapi juga mencakup hal-hal yang sebelumnya dijanjikan di dalam brosur mengingat ketertarikan konsumen untuk membeli rumah yang ditawarkan oleh pengembang dipicu oleh adanya janji fasilitas pemancingan dan rekreasi dalam brosur tersebut Az. Nasution mengemukakan pendapatnya, bahwa pernyataan yang dibuat dalam bentuk iklan tentu saja dibuat dengan sengaja dan mempunyai tujuan tertentu. Pernyataan demikian dapat disimpulkan sebagai suatu pernyataan kehendak untuk membuat kesepakatan, yang apabila pernyataan itu ditanggapi dan disepakati oleh konsumen yang berminat, maka akan terjadilah suatu persetujuan atau perjanjian. Dalam kaitannya dengan kasus ini, brosur yang mencantumkan Fasilitas Rekreasi dan Pemancingan tersebut dibuat dengan sengaja dalam rangka pemasaran perumahan sebagaimana yang telah diakui oleh pengembang dalam persidangan. Brosur tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu pernyataan kehendak untuk membuat 11
Pujiningrum, o.p.cit., hlm. 42.
12
Henry P. Panggabean, o.p. cit., hlm. 5.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
7
kesepakatan dimana brosur itu telah ditanggapi dan disepakati oleh konsumen yang berminat. Dengan demikian terlepas dari tercantum atau tidaknya janji pengembang berupa Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi di dalam PPJB, dapat disimpulkan bahwa janji yang tercantum dalam brosur tersebut mencerminkan telah terjadinya suatu perjanjian atau persetujuan. Dari segi keperdataan dalam konteks civil law, iklan dalam bentuk brosur, yang di dalamnya secara spesifik dimuat janji-janji, dapat dikategorikan sebagai penawaran (offer) dimana penawaran tersebut merupakan usulan untuk mengadakan perjanjian. Iklan demikian merupakan penawaran yang dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Akibat hukum yang dimaksud adalah bahwa apabila iklan yang bersifat penawaran itu diakseptasi oleh pihak yang ditawari (offered) kemudian menimbulkan perjanjian.13 Dalam kasus ini, iklan perumahan tersebut dapat dikategorikan sebagai penawaran (offer) karena dibuat dalam bentuk brosur yang di dalamnya secara spesifik dimuat janji-janji mengenai Fasilitas Rekreasi dan Pemancingan. Iklan perumahan tersebut berubah kedudukannya menjadi penawaran yang menimbulkan akibat hukum dimana iklan tersebut telah diakseptasi oleh para konsumen perumahan sehingga kemudian menimbulkan perjanjian. Dalam sistem Indonesia sampai sejauh ini belum ada pendapat yang jelas mengenai apakah iklan tergolong penawaran atau tidak, kecuali pendapat Pengadilan Negeri Surabaya yang tertuang dalam putusan nomor 502/Pdt.G/1991/PN.SBY, tanggal 29 April 1992 yang secara jelas menyatakan brosur (iklan tertulis) merupakan salah satu bentuk penawaran. Janji yang terdapat dalam brosur “harus dianggap diperjanjikan” meskipun tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjiannya (ikatan jual beli), karena apa yang harus dianggap diperjanjikan itu tidak dipenuhi oleh tergugat (developer), tergugat dinyatakan berada dalam keadaan wanprestatie.14 Berdasarkan pendapat Pengadilan Negeri Surabaya tersebut, pada kasus yang ke-2 ini, brosur (bukti P-1) yang adalah iklan tertulis dari pengembang merupakan 13
Ibid.
14
Ibid.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
8
salah satu bentuk penawaran. Janji fasilitas pemancingan dan rekreasi yang terdapat dalam brosur tersebut harus dianggap diperjanjikan meskipun tidak dinyatakan secara tegas dalam Perjanjian Pendahuluan Pembelian Rumah (bukti P-3). Karena fasilitas pemancingan dan rekreasi yang harus dianggap diperjanjikan itu tidak dipenuhi oleh pengembang, pengembang dinyatakan berada dalam keadaan wanprestasi. Sesuai dengan ketentuan pasal 1339 KUH Perdata, brosur in casu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Pendahuluan Pembelian Rumah (bukti P-3).15 Pasal tersebut menyatakan bahwa16: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Ditinjau dari segi kepatutan apabila pengembang beritikad baik, seharusnya ia memenuhi janji-janjinya yang dituangkan dalam brosur karena para konsumen tertarik membeli rumah-rumah yang ditawarkan oleh pengembang tersebut karena adanya Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi.17 Yang dimaksud dengan itikad baik pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.18 Menurut penulis, tidak adanya pertimbangan bahwa “pengembang telah menjanjikan Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi kepada para konsumen” di dalam pertimbangan Pengadilan Negeri disebabkan oleh judex facti
yang tidak
mempertimbangkan perlunya penerapan asas itikad baik dalam proses negosiasi karena teori klasik hukum kontrak yang dianut oleh sebagian hakim di Indonesia menyatakan bahwa asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibatnya ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu..19 15
Lihat Putusan Mahkamah Agung Tanggal 4 April 1997 No. 3138 K/Pdt/1994 hlm. 11
16
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Bugerlijk Wetboek], o.p cit., Ps. 1339.
17
Lihat Putusan Mahkamah Agung Tanggal 4 April 1997 No. 3138 K/Pdt/1994 hlm. 11
18
R. Subekti, op.cit., hlm., hlm. 41.
19
Suharnoko, o.p cit., hlm. 3.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
9
Sebaliknya, menurut pandangan teori kontrak yang modern, janji pra kontrak harus didasarkan pada itikad baik, sehingga pihak developer yang ingkar janji dapat dituntut untuk membayar ganti rugi. Dengan berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka menurut Pasal 9, pelaku usaha diwajibkan memberikan informasi yang benar mengenai tersedianya barang dan jasa yang diiklankan. Bahkan pelanggaran terhadap ketentuan ini, menurut Pasal 62 dapat dikenakan sanksi pidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak dua miliar rupiah.20 Secara perdata, berdasarkan ketentuan Pasal 19, pelaku usaha juga harus bertanggung jawab atas kerugian konsumen karena membeli dan menggunakan barang yang diperdagangkan. Jadi sebenarnya secara implisit, Undang-undang Perlindungan Konsumen sudah megakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani
perjanjian,
sehingga
janji-janji
pra
kontrak
dapat
diminta
pertanggungjawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.21 Berdasarkan analisis kasus yang telah dikaitkan dengan pendapat Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusan nomor 502/Pdt.G/1991/PN.SBY, dan Pasal 1343, 1339,1338 (3) KUH Perdata
serta Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen di atas,
dapat disimpulkan bahwa dasar gugatan yang
diajukan dalam kasus yang pertama ini sudah tepat yaitu wanprestasi dimana dalam kasus ini antara pengembang dan konsumen perumahan telah terjalin hubungan kontraktual terlepas dari dicantumkan atau tidaknya janji pada brosur (iklan) pada kasus tersebut di dalam pengikatan jual beli. Proses terjadinya brosur tersebut datang dari pengembang kemudian masalah tanggung jawab muncul karena informasi Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi yang disajikan melalui brosur tersebut tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah pengembang karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui brosur. Secara instrumen hukum perdata, konsumen dapat meminta pertanggungjawaban atau menggugat produsen dengan
20
Ibid.
21
Ibid.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
10
kwalifikasi wanprestasi karena diketahuinya ketidaksesuaian janji dalam iklan dengan kenyataannya dibuktikan dengan adanya hubungan kontradiktif. Adapun jenis wanprestasi itu sendiri menurut Subekti22 ada empat macam, yaitu: i.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
ii.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
iii.
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
iv.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Dari keempat jenis wanprestasi di atas, wanprestasi yang dilakukan pengembang
adalah termasuk yang pertama, yaitu tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya dimana pengembang tidak melakukan pembangunan Fasiltas Pemancingan dan Rekreasi sebagaimana yang disanggupi akan dilakukannya di dalam brosur yang ia terbitkan. Tuntutan konsumen untuk dilakukannya pemenuhan perjanjian ditolak oleh judex juris dengan alasan bahwa karena dari semula dalam site plan yang akan dibangun oleh pengembang dan sudah disetujui oleh Pemerintah Daerah setempat, tidak pernah ada rencana pemancingan/ rekreasi karena sarana itu bukan merupakan fasilitas umum sehingga pengembang tidak wajib untuk membangunnya. . Penulis berpendapat bahwa judex juris telah salah dalam menerapkan hukum, yaitu pada site plan tersebut memang tidak ada fasilitas pemancingan dan rekreasi dimana hal tersebut telah diketahui sejak awal oleh pengembang tetapi ia tetap membuat, mengedarkan, dan menyampaikan brosur (bukti P-1) yang mencantumkan di dalamnya fasilitas pemancingan dan rekreasi. Hal tersebut mencerminkan itikad buruk pengembang dan merupakan bukti bahwa ia sengaja melanggar persetujuan/ ijin yang diberikan Pemda/ Bappeda dengan menjanjikan pada konsumen fasilitas pemancingan dan rekreasi untuk tujuan meningkatkan usahanya dengan membohongi para langganan. Oleh karena itu tuntutan konsumen untuk dilakukannya pemenuhan perjanjian berupa penyediaan Fasilitas Pemancingan dan Rekreasi sebagaimana diiklankan/ dijanjikan pengembang kepada para Penggugat dan konsumen lainnya di dalam brosur seharusnya dikabulkan oleh Majelis Kasasi dengan juga mempertimbangkan doktrin dari Prof Subekti dalam bukunya yang menyatakan bahwa: 22
R. Subekti(2), Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1988),
hlm. 45.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
11
“Perlu kiranya diperingatkan supaya jangan menganggap pemenuhan perjanjian sebagai suatu sanksi atas kelalaian, sebab hal itu memang sudah dari semula menjadi kesanggupan si debitur.23” 2.2.
Putusan No. 2599 K/Pdt/2008 Sub bab ini akan membahas permasalahan hukum yang timbul jika gugatan atas
dasar PMH diajukan terhadap pelanggaran janji dari pengembang yang tidak sesuai brosur yang diedarkannya. Dalam hal ini antara pengembang dan konsumen telah terjalin hubungan kontraktual berupa PPJB. KUH Perdata membedakan antara gugatan wanprestasi yang didasarkan pada hubungan kontraktual antara para pihak, dan gugatan PHM dimana tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak. 2.2.1. Analisis Hukum Diterimanya Gugatan Konsumen atas Dasar PMH Penulis berpendapat bahwa alasan pengajuan gugatan tersebut bukan berdasarkan wanprestasi melainkan PMH walaupun terdapat hubungan kontraktual di dalamnya dikarenakan dasar gugatan konsumen adalah brosur dan site plan yang digunakan oleh pengembang dalam mempromosikan perumahan. Berdasarkan iklan tersebut konsumen sangat tertarik sehingga konsumen memesan rukan kepada pengembang sesuai surat Bukti Pemesanan Tanah & Bangunan. Dalam brosur dan site plan tersebut, pengembang tidak menyertakan informasi mengenai bangunan mesin diesel yang terletak di depan ruko milik konsumen. Tetapi ternyata pengembang telah mendirikan bangunan permanen mesin diesel di depan Rukan RK/28/ J milik konsumen tanpa ijin. Menurut penulis, pertimbangan digunakannya PMH sebagai dasar gugatan adalah karena berbeda dengan kasus pertama dimana dalam brosurnya pengembang mencantumkan fasilitas pemancingan dan rekreasi yang menjadi objek sengketa, objek sengketa pada kasus kedua berupa bangunan mesin diesel tidak dicantumkan dalam brosur oleh pengembang. “Tidak dicantumkannya bangunan mesin diesel tersebut dalam brosur” menandakan bahwa bangunan mesin diesel bukan merupakan bagian dari kontrak walaupun antara para pihak telah terjalin hubungan kontraktual dimana brosur tersebut berdasarkan teori modern hukum kontrak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hubungan kontraktual tersebut. Oleh karena hal tersebut 23
R. Subekti, o.p.cit., hlm. 53.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
12
bukan merupakan bagian dari kontrak maka gugatannya bukan didasarkan atas wanprestasi, melainkan PMH. Selain itu oleh karena bangunan mesin diesel bukan merupakan bagian dari kontrak maka dapat dikatakan bahwa tidak tercantumnya bangunan mesin diesel dalam brosur tersebut merupakan suatu misrepresentation, yaitu pernyataanpernyataan yang bukan merupakan bagian dari kontrak berupa pernyataan tertentu yang tidak benar oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain sebelum kotrak ditutup, yang ada pengaruhnya terhadap penutupan kontrak.24 Pada dasarnya terdapat dua macam misrepresentation, yaitu25: i.
Fraudulent misrepresentation dimana pernyataan yang tidak benar sengaja dibuat untuk menggerakkan pihak lawan agar bersedia menutup kontrak
ii.
Innocent misrepresentation dimana pernyataan yang tidak benar itu dibuat secara tidak sengaja. Dalam kaitannya dengan kasus yang ke-2 ini, tidak dicantumkannya bangunan
mesin diesel tersebut dalam brosur termasuk fraudulent misrepresentation yang merupakan hal yang tidak benar karena ternyata telah berdiri bangunan mesin diesel di halaman rukan milik konsumen. Hal yang tidak benar tersebut sengaja dibuat untuk menggerakkan konsumen agar bersedia menandatangani kontrak (PPJB) karena konsumen bersedia menandatanganinya setelah melihat pada brosur dan site plan bahwa halaman rukan tersebut lepas pandang dan dapat digunakan untuk parkir kendaraan. Secara objektif tidak mungkin orang mau membeli rukan kalau halamannya tidak lepas pandang tetapi justru terdapat bangunan mesin diesel sehingga tidak dapat dijadikan untuk parkir kendaraan. Dalam pada itu, dalam sistem common law, konsep misrepresentation juga merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum (tort).26 Apabila ditinjau dari perbuatan melawan hukum terdapat dua macam misrepresentation, yaitu negligent misrepresentation dan fraudulent misrepresentation.
24
Wiwin Yulianingsih, loc. cit.
25
Ibid.
26
Wiwin Yulianingsih, loc.cit.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
13
Oleh karena “tidak dicantumkannya bangunan mesin diesel dalam brosur” adalah konsep misrepresentation maka hal tersebut juga merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum. Apabila ditinjau dari perbuatan melawan hukum, apa yang terjadi pada kasus yang ke-2 ini termasuk dalam fraudulent misrepresentation. Dengan merujuk pada arti kata misrepresentation serta false/ fraudulent misrepresentation yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary, maka secara sederhana fraudulent misrepresntation dalam periklanan dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu27: i.
Fraudulent misrepresentation dengan memanipulasi informasi/ label/ etiket tentang produk. Kelompok ini hanya bisa dilakukan oleh iklan pengumuman biasa.
ii.
Fradulent misrepresentation dengan mengonstruksi citra tertentu agar audiens iklan menjadi merasa membutuhkan produk tersebut dan melakukan konsumsi atasnya. Kelompok ini hanya bisa dilakukan oleh iklan pencitraan.
Dua penggolongan iklan serta dua tipe fraudulent misrepresentation, masingmasing membawa konsekuensi hukum yang berbeda untuk sebuah gugatan ganti rugi terhadap iklan:28 i.
Iklan yang melakukan manipulasi keterangan etiket/ label akan dijerat dengan tuduhan wanprestasi, pasal-pasal yang akan dipakai adalah pasal-pasal perikatan khususnya jual-beli. Di sini wanprestasi bukan karena iklan an sich (bukan karena konsumen menonton iklan), melainkan terjadi ketika konsumen melakukan pembelian produk atas referensi iklan.
ii.
Iklan pencitraan tidak melakukan klaim atas ciri fisik/ kandungan produk. Iklan Marlboro misalnya, hanya menggambarkan suasana petualangan ala cowboy Amerika, tidak menampilkan produk rokok Marlboro, apalagi menampilkan kandungan rokoknya. Iklan tersebut mengatakan bahwa merokok Marlboro bisa membuat kita merasakan
27
Lihat pada Black, Henry Campbell, 1951, Black’s Law Dictionary with Guide to Pronunciation, Fourth Edition, West Publishing Co., St Paul, Minn. 28
“Mardian, “Membidik Persepsi, Menjerat Iklan..” file:///G:/skripsi/fraudulent%20misrepresentation.htm , diunduh 2 Januari 2013.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
14
“aroma” petualangan seperti cowboy. Tetapi hal itu dikatakan oleh iklan Marlboro tidak secara eksplisit, tidak hitam di atas putih (berbeda dengan jenis iklan pertama) sehingga ketika konsumen mengonsumsi Marlboro tetapi ternyata tidak menemukan “aroma” petualangan di dalamnya maka dia tidak bisa mengajukan gugatan ganti rugi dengan alasan wanprestasi. Sekali lagi karena produsen memang tidak melakukan klaim hitam di atas putih atas “aroma” produknya, perokok tersebut tidak bisa menuntut karena memang kata-kata yang menjanjikan pengalaman petualangan cowboy sebenarnya adalah persepsinya sendiri yang mengorelasikan antara gambar-gambar petualangan cowboy dengan nama perusahaan yang membuat iklan tersebut, yaitu rokok Marlboro. Kemungkinan untuk menjerat iklan tersebut adalah dengan Pasal 1365 KUH Perdata yang relatif lebih bisa diterapkan terhadap iklan pencitraan dibanding pasal tentang perikatan (wanprestasi).29 Dalam kaitannya dengan kasus yang ke-2 ini, “tidak dicantumkannya bangunan mesin diesel dalam brosur” termasuk ke dalam kategori Fradulent misrepresentation dengan mengonstruksi citra tertentu agar audiens iklan menjadi merasa membutuhkan produk tersebut dan melakukan konsumsi atasnya, atau dengan kata lain tergolong sebagai iklan pencitraan. Dengan tidak mencantumkan bangunan mesin diesel dalam brosur, pengembang mengonstruksi citra halaman rukan tersebut seolah-olah lepas pandang dan dapat dijadikan tempat parkir kendaraan agar konsumen menjadi merasa membutuhkan rukan tersebut untuk melakukan usaha sehingga
dapat
mendatangkan
keuntungan
yang
besar
kepada
konsumen.
Pengonstruksian citra halaman rukan tersebut pun berhasil sehingga konsumen memesan rukan kepada pengembang sesuai surat Bukti Pemesanan Tanah dan Bangunan serta telah melakukan pelunasan atas rukan tersebut. Brosur dan site plan tersebut yang tergolong sebagai iklan pencitraan, tidak melakukan klaim atas adanya bagunan mesin diesel di depan rukan milik konsumen. Berdasarkan penjelasan dan site plan yang diberikan pengembang, di depan rukan milik konsumen seharusnya lepas pandang dan dapat digunakan untuk parkir 29
Salah satu yang berpendapat seperti ini adalah Hariyanto S.H., C.N. Staf Pengajar Hukum Perdata pada Fakultas Hukum UGM.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
15
kendaraan. Tetapi hal itu dikatakan oleh brosur dan site plan tidak secara eksplisit, tidak hitam di atas putih, berbeda dengan fasilitas pemancingan dan rekresasi pada kasus yang pertama. Dengan demikian pada kasus yang ke-2 ketika konsumen menerima rukan miliknya tetapi ternyata tidak menemukan halaman rukan yang lepas pandang dan dapat digunakan untuk parkir kendaraan maka dia tidak bisa mengajukan gugatan ganti rugi dengan alasan wanprestasi. Sekali lagi karena pengembang memang tidak melakukan klaim hitam di atas putih atas halaman rukan yang lepas pandang dan dapat digunakan untuk parkir kendaraan, konsumen tidak dapat menuntut pengembang tersebut atas dasar cidera janji (wanprestasi) karena memang kata-kata yang menjanjikan halaman rukan yang lepas pandang dan dapat digunakan untuk parkir kendaraan sebenarnya adalah persepsinya sendiri yang mengorelasikan antara gambar-gambar kosongya halaman rukan dengan tidak adanya bangunan mesin diesel di halaman tersebut. Kemungkinan untuk menjerat iklan berupa brosur dan site plan tersebut adalah dengan pasal 1365 KUH Perdata yang relatif lebih dapat diterapkan terhadap iklan pencitraan dibanding pasal tentang perikatan (wanprestasi). Dengan demikian dasar gugatan pada kasus yang ke-2 ini sudah tepat, yaitu perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata yang mensyaratkan terpenuhinya (Adil Kasim, SH. MH, Perbandingan Perbuatan Melawan Hukum, onrecthmatige daad dalam Sistem Eropa Kontinental dan Law of Torts dalam Sistem Anglo Saxon, Varia Peradian No. 259 Juni 2007, hlm. 72): i.
Adanya perbuatan yang melanggar hukum. Dalam kasus yang ke-2 ini, hak subjektif konsumen sebagai pembeli beritikad baik telah dilanggar oleh pengembang dengan secara tidak patut dan tanpa ijin serta sepengetahuan konsumen, pengembang telah melakukan tindakan ceroboh yaitu melakukan pembangunan mesin diesel di depan halaman rukan milik konsumen.
ii.
Adanya kesalahan. Dalam kasus yang ke-2 ini dengan telah berdirinya bangunan mesin diesel di depan rukan milik konsumen, jelas bahwa pengembang telah melakukan kesalahan besar terhadap konsumen karena hal tersebut tidak sesuai brosur dan site plan Rukan Gading Mediterania Residences.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
16
iii.
Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Keberadaan bagunan mesin diesel tersebut di depan rukan milik konsumen menimbulkan kerugian, baik materiil yang dikarenakan hilangnya kesempatan konsumen untuk menikmati rukan miliknya terhitung sejak Juni 2004 konsumen telah melakukan pelunasan atas rukan miliknya (vide bukti P-2.26) dan immateriil yaitu telah hilangnya kesempatan konsumen untuk menikmati, menggunakan, dan menjalankan usaha di rukan miliknya tersebut.
iv.
Ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Pada kasus yang ke-2 ini jelas bahwa dengan adanya perbuatan secara melawan hukum dan tanpa seijin serta sepengetahuan konsumen, pengembang mendirikan bangunan mesin diesel tersebut di depan rukan milik konsumen. Atas hal tersebut, pengembang harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, baik berupa kerugian maretill maupun immateriil (vide alinea 3 halaman 35 putusan No. 120/Pdt.G/2006/PN.JKT.UT.).
Walaupun dasar gugatan PMH sudah tepat, namun dalam gugatan itu sendiri masih terdapat irisan wilayah abu-abu antara PMH dengan wanprestasi sebagaimana tercermin pada kutipan tuntutan konsumen untuk dilakukannya pembatalan perjanjian yang terdapat pada halaman5, 6, dan 13 Putusan No. 2559 K/Pdt/2008 yang menyatakan: “Demi kepastian hukum, karena Tergugat tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan kewajibannya sebagai Penjual, padahal Penggugat telah melakukan pembayaran pelunasan atas Rukan R/ 28, sehingga Surat Bukti Pemesanan Tanah dan Bangunan tertanggal 10 Mei 2002 adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum apapun”; “Bahwa berdasarkan alasan dan dasar tersebut di atas, mohon kiranya yang terhormat Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini guna menjatuhkan putusan sebagai berikut: 3. Menyatakan Surat Bukti Pemesanan Tanah dan Bangunan tertanggal 10 Mei 2002 adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum apapun.” “Oleh karena itu berdasarkan hukum jika Pemohon Kasasi meminta kepada Majelis Hakim untuk Membatalkan Surat Bukti Pemesanan Tanah dan Bangunan, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Terkait Pasal 1267 KUH Perdata di atas tentang penggantian, biaya rugi, dan bunga, bagian ke-4 Bab I Buku III KUH Perdata diberi judul “Tentang Penggantian
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
17
Biaya, Rugi, Bunga Karena Tidak Dipenuhinya Perikatan”. Dari judul tersebut bisa timbul kesan bahwa setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban perikatan wajib untuk memberikan ganti rugi. Masalah “tidak memenuhi kewajiban perikatan” mengingatkan kita kepada masalah wanprestasi, sehingga kalau kita kaitkan keduanya, maka pertanyaannya menjadi: apakah setiap kali orang tidak memenuhi kewajiban prestasi perikatannya melakukan wanprestasi?30 “Menurut para sarjana, orang melakukan wanprestasi kalau ia tidak memenuhi kewajiban perikatannya dan tindakan atau sikapnya itu dapat dipersalahkan kepadanya.31 Mari kita coba kaitkan perumusan itu dengan perumusan luas tindakan melawan hukum/ onrechtmatige daad (PMH). Sekarang orang menafsirkan onrechtmatige daad sebagai tindakan yang: i.
Melanggar haknya orang lain,
ii.
Bertentangan dengan kewajiban hukumnya,
iii.
Bertentangan dengan kesusilaan,
iv.
Bertentangan dengan kewajibannya untuk memperhatikan kepentingan diri dan hartanya orang lain di dalam pergaulan hidup.32
Kiranya semua orang sependapat, bahwa “tidak memenuhi kewajiban perikatan” merupakan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban orang untuk memperhatikan kepentingan hartanya orang lain dalam pergaulan hidup dan karenanya merupakan onrechtmatige daad juga. Jadi sebenarnya baik wanprestasi maupun onrechtmatige daad kedua-duanya merupakan tindakan yang onrechtmatige. Wanprestasi adalah onrechtmatige daad yang dilakukan seseorang dalam kualitasnya sebagai debitur terhadap krediturnya. Tidak heran kalau ada yang menganggap wanprestasi sebagai spesies dari genus onrechtmatige daad.33 Mengenai hubungan antara wanprestasi dan PMH, M. Yahya Harahap dalam bukunya Segi-segi Hukum Perjanjian, halaman 61 mengatakan bahwa wanprestasi adalah merupakan bentuk khusus dari PMH. Namun KUH Perdata memberikan pengaturannya sendiri-sendiri. 30
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-undang Bagian Pertama, cet.2, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 31. 31
Ibid.
32
H.R. 31 Januari 1919, dalam perkara Lindebaum-Cohen, dimuat dalam Hoetink, hlm. 304.
33
J. Satrio, loc. cit.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
18
Sekalipun harus diakui bahwa yang satu termasuk di dalam genus yang lain, namun dari sejarah dan sistematik yang dianut oleh KUH Perdata, orang menyimpulkan bahwa wanprestasi tidak termasuk dalam pengertian tindakan melawan hukum / onrechtmatige daad. Demikian pula pendapat pengadilan, yang disimpulkan dari dalam keputusan H.R. 13 Jli 1913, dalam mana ia mengatakan bahwa kalau yang dilanggar adalah semata-mata suatu kewajiban kontraktual, maka tidak ada dasar untuk tuntutan atas dasar tindakan melawan hukum.34 Ada juga yang mengatakan, bahwa atas dasar pertimbangan praktis, akibat hukum tidak dipenuhinya perikatan, diberikan pengaturannya tersendiri.35 Dalam kasus yang ke-2 ini, yang dilanggar adalah bukan semata-mata suatu kewajiban kontraktual sehingga ada dasar untuk tuntutan atas dasar tindakan melawan hukum. Walaupun brosur dalam kasus yang ke-2 ini dapat dianggap sebagai hubungan
kontraktual
antara
konsumen
dan
pengembang,
namun
“tidak
dicantumkannya bangunan mesin diesel dalam brosur” menandakan bahwa bangunan mesin diesel bukan merupakan bagian dari kontrak. Dengan demikian yang dilanggar bukan semata-mata hubungan kontraktual, melainkan hak subjektif konsumen sebagai pembeli beritikad baik sekaligus pemilik sah rukan tersebut. Hak subjektif konsumen tersebut telah dilanggar oleh pengembang dengan secara tidak patut dan tanpa ijin serta tanpa sepengetahuan konsumen, pengembang telah melakukan tindakan ceroboh yaitu membangun mesin diesel di depan rukan milik konsumen. Yang dimaksud dengan hak subjektif di sini adalah hak subjektif orang lain yang diatur oleh undangundang, yang dalam hal ini adalah Pasal 4 poin (b), (c), (h) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perkembangan dalam praktik putusan-putusan pengadilan menunjukkan bahwa terjadi pergeseran karena adanya hubungan kontraktual antara para pihak tidak menghalangi diajukannya gugatan PMH. Hal ini tampak dari gugatan PT Dua Berlian terhadap Lee Kum Kee Ltd. dan PT Promex. Sama halnya dengan yang terjadi pada kasus yang ke-2 ini, pelanggaran yang terjadi dianggap berupa suatu pelanggaran terhadap hak subyektif konsumen yang dilakukan secara tidak patut dan tanpa ijin
34
A. Pitlo dan M.F.H.J Bolweg, Het Nederlands Burgelijk Wetboek, jilid III, Algemeen Deel van Het Verbintenissenrecht, cetakan ke-3, H.D. Tjeenk Willink & Zoon, Haarlem, 1952, hlm. 305. 35
C. Asser- LE. H Rutten., Handleiding Tot de Beoefening van Het Nederlandsch Bugelijk Recht, Verbintenissenrecht, De Verbintenis uit de wet, cetakan ke-5, W.E.J. Tjeenk, Zwolle, 1979, hlm. 41.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
19
serta sepengetahuan konsumen dimana pengembang telah melakukan tindakan ceroboh yaitu melakukan pembangunan bangunan mesin diesel di depan rukan milik konsumen sehingga dasar gugatan yang digunakan adalah PMH berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata. Pada kasus yang ke-2 ini pengadilan tingkat pertama telah cukup mempertimbangkan dasar pengajuan gugatan, yaitu perbuatan melawan hukum, dalam memutus perkara ini. Dalam putusannya itu Majelis Hakim memeriksa kembali perkara, baik mengenai fakta-faktanya maupun dalil-dalil dengan suatu dasar pertimbangan. Cukupnya pertimbangan tersebut tercermin dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No.120/Pdt.G/2006/PN.JKT.UT pada: i.
Halaman tiga puluh empat alinea ke-7 dan halaman tiga puluh lima alinea ke1 ii.
Alinea 3 dan 4 halaman 34
Berbeda dengan pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding tidak cukup mempertimbangkan dasar pengajuan gugatan, yaitu perbuatan melawan hukum, dalam memutus perkara ini. Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi hanya mempertimbangkan soal keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori banding terkait eksepsi gugatan kabur, yaitu antara posita dan petitum gugatan Penggugat terdapat kontradiksi sehingga gugatan tersebut menjadi kabur, tanpa memeriksa perkara itu kembali baik mengenai fakta-fakta apa dan dalil-dalil mana yang telah dianggap terbukti. Padahal pengadilan tingkat pertama pada alinea 3 halaman 32 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 120/Pdt.G/2006. Dengan demikian, Pengadilan Tinggi dalam membuat keputusan a quo telah keliru dan salah memahami posita dan petitum gugatan dan menerima mentah-mentah dalil memori banding dari Pembanding serta mengabaikan dasar hukum dan dasar gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh konsumen. Dapat dikatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi ini kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd). Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak meninjau putusan Pengadilan Tinggi yang kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) tersebut. Hal ini bertentangan dengan kaidah hukum yang menyatakan (Yurisprudensi tahun 1970, Buku No. 4, hlm. 525-537) :
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
20
“Mahkamah Agung mengganggap perlu untuk meninjau keputusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd). “ Dalam putusannya, Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan soal mengesampingkan keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori kasasi sebagaimana terlihat pada halaman 17 Putusan No. 2559 K/Pdt/2008Penutup 2.3.
Kesimpulan Dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan
pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka penulis memberikan 2 (dua) kesimpulan, antara lain: i.
Terhadap pelanggaran janji dari pengembang yang tercantum dalam brosur yang diedarkan sebagai iklan, dimana antara pengembang dan konsumen perumahan telah terjalin hubungan kontraktual tanpa dicantumkannya janji pada iklan tersebut di dalam pengikatan jual beli, dasar gugatan yang tepat adalah: a. Wanprestasi sebagaimana diatur mulai dari Pasal 1243-1252 KUH Perdata, dalam hal apa yang dijanjikan itu dimuat secara spesifik pada iklan dalam bentuk brosur (iklan tertulis). Iklan dalam bentuk brosur yang di dalamnya secara spesifik dimuat janji-janji tersebut merupakan salah satu bentuk penawaran (offer) dimana penawaran itu merupakan usulan untuk mengadakan perjanjian. Iklan demikian merupakan penawaran yang dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Akibat hukum yang dimaksud adalah bahwa apabila iklan yang bersifat penawaran itu diakseptasi oleh pihak yang ditawari (offered) kemuadian menimbulkan perjanjian. Janji yang terdapat dalam brosur “harus dianggap diperjanjikan” meskipun tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjiannya (ikatan jual beli). Jika apa yang harus dianggap diperjanjikan itu tidak dipenuhi oleh pengembang (developer), pengembang dinyatakan berada dalam keadaan wanprestasi. b. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur pada Pasal 1365 KUH Perdata, dalam hal tidak dicantumkannya klaim-klaim fisik atas apa yang dijanjikan tersebut pada iklan dalam bentuk brosur (iklan tertulis). Iklan tersebut “mengatakan” apa yang dijanjikan tetapi tidak secara eksplisit, tidak hitam di atas putih. Iklan yang demikian adalah pernyataan yang bukan
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
21
merupakan bagian dari kontrak sehingga ketika konsumen ternyata tidak mendapatkan apa yang dijanjikan, maka dia tidak dapat mengajukan gugatan ganti rugi dengan alasan wanprestasi. Iklan dalam bentuk tertulis yang di dalamnya tidak dilakukan klaim hitam di atas putih atas apa yang dijanjikan, tidak dapat digugat dengan dasar wanprestasi karena kata-kata yang menjanjikan sesuatu tersebut sebenarnya adalah persepsi konsumen itu sendiri yang mengorelasikan antara apa yang dijanjikan oleh pengembang dengan apa yang ia sendiri harapkan. Pelanggaran oleh pengembang atas iklan yang demikian bukan semata-mata pelanggaran suatu kewajiban kontraktual melainkan pelanggaran terhadap hak subjektif konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen. Dengan demikian kemungkinan untuk menjerat iklan yang demikian adalah dengan pasal 1365 KUH Perdata.
ii.
Dalam memutus perkara pelanggaran janji-janji yang tercantum pada iklan terkait dasar pengajuan gugatannya, pengadilan di Indonesia melalui putusan No. 3138 K/Pdt/1994 dan Putusan No. 2559 K/Pdt/2008 mencerminkan bahwa: a. Tidak adanya pertimbangan mengenai “pengembang menjanjikan sesuatu kepada konsumen melalui iklan” di dalam pertimbangan hakim, disebabkan oleh sebagian hakim di Indonesia masih menganut teori klasik hukum kontrak yang menyatakan bahwa janji-janji yang tercantum pada iklan tidak dapat dituntut pertanggungjwabannya selama janji-janji tersebut tidak tercantum dalam perjanjian yang sah dan mengikat para pihak. Dengan demikian konsumen perumahan tidak dapat menggugat ganti rugi dengan dasar wanprestasi apabila pelaku usaha mengingkari janji-janji tersebut. b. Tidak adanya pertimbangan mengenai “pengembang menjanjikan sesuatu kepada konsumen melalui iklan” di dalam pertimbangan hakim, disebabkan oleh sebagian hakim di Indonesia yang tidak mempertimbangkan perlunya penerapan asas itikad baik dalam tahap perundingan. Hal itu dipengaruhi teori klasik hukum kontrak, yang dianut oleh sebagian hakim di Indonesia, yang menyatakan bahwa asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu. Akibatnya ajaran ini tidak
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
22
melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap perundingan karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu.. c. Sebagian hakim telah cukup mempertimbangkan dasar pengajuan gugatan dalam memutus perkara pelanggaran janji-janji yang tercantum pada iklan. Hal tersebut tercermin dalam kutipan putusan hakim yang memeriksa kembali perkara, baik mengenai fakta-faktanya maupun dalil-dalil dengan suatu dasar pertimbangan. d. Sebagian hakim lainnya tidak cukup mempertimbangkan dasar pengajuan gugatan dalam memutus perkara pelanggaran janji-janji yang tercantum pada iklan. Hal tersebut tercermin dalam kutipan putusan hakim
yang
mempertimbangkan soal keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori banding tanpa memeriksa perkara itu kembali baik mengenai fakta-fakta apa dan dalil-dalil mana yang telah dianggap terbukti. Hakim yang demikian mengabaikan dasar hukum dan dasar pengajuan gugatan terhadap pelanggaran janji-janji yang tercantum pada iklan tersebut. Dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan yang diputus oleh hakim yang demikian kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd).
2.4.
Saran Dari kesimpulan di atas, terdapat beberapa saran yang dapat dikemukakan
sebagai masukkan terkait janji yang tercantum dalam brosur perumahan. Adapun saran-saran yang hendak dikemukakan antara lain sebagai berikut: i.
Konsumen dianjurkan untuk bersikap kritis dalam menyikapi janji-janji yang dicantumkan oleh pengembang dalam brosur perumahan guna menghindari kekecewan dan kerugian yang diakibatkan oleh pelanggaran janji-janji tersebut oleh pengembang.
ii.
Pengembang diharapkan untuk memberikan janji-janji yang memang memungkinkan untuk direalisasikan pada iklan-iklan yang ia keluarkan guna mencegah terjadinya sengketa konsumen di kemudian hari.
iii.
Pengadilan hendaknya mempertimbangkan perlunya penerapan asas itikad baik pada tahap perundingan guna melindungi pihak yang mengalami
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
23
kerugian akibat mempercayai janji yang tercantum dalam iklan pada tahap perundingan tersebut. iv.
Alangkah baiknya jika dilakukan upaya hukum terhadap putusan-putusan pengadilan yang tidak cukup mempertimbangkan dasar pengajuan gugatan terhadap pelanggaran janji-janji yang tercantum dalam brosur perumahan.
DAFTAR PUSTAKA
I. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-undang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN. No. 3821. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Bugerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti. Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.
II. Buku Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Cet. 1. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Badrulzaman, Mariam Darus. “Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Surat Perjanjian Baku (Standard).” Makalah disampaikan pada Simposium Aspekaspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen. Jakarta, 18 Oktober 1980. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Laporan Tim Pengkajian Hukum tentang Aspek Hukum dan Etika Bisnis Periklanan di Indonesia. Jakarta: Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1993/1994. Beatson, Jack dan Daniel Friedman. Good Faith and Fault in Contract Law. New York: Oxford University Press Inc, 1995. Djojodirjo, M.A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1982. Fuady, Munir (1). Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999. ____________ (2). Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002. ____________ (3). Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
24
Gautama, Sudargo. Hukum Antar Golongan. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1991. J, Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-undang Bagian Pertama. Cet. 2. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001. Jefkins, Frank. Periklanan [Advertising]. Diterjemahkan oleh Haris Munandar. Jakarta: Grafindo, 1997. Jennings, Marianne. M. Real Estate Law. Boston: Kent Publishing Company, 1985. Kharandy, Ridwan. Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pacasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Latimer, Paul. Australian Business Law. Sydney: CCH Australia Limited, 1998. Leder. et al.Frameworks Consumer Law. London: Pitman Publishing, 1996. Mamudji, Sri. et al.Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Marissa, Ester. “Perlindungan Konsumen terhadap Informasi Iklan yang Menyesatkan.” Tesis Universitas Indonesia. Jakarta, 2006. Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak: Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Nasution, Az (1). Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Diadit Media, 2001. ____________ (2). Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia. Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, 1994. _____________ (3). Konsumen dan Hukum, Tinjauan Soasial, Ekonomi, dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. _____________ (4). Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman RI, 1994. Panggabean, Henry P. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) sebagai Alasan Baru untuk Pembatalan Perjanjian: Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda. Yogyakarta: Kanisius, 1992. Pitlo, A. dan M.F.H.J Bolweg. Het Nederlands Burgelijk Wetboek. jilid III, Algemeen Deel van Het Verbintenissenrecht. Cet. 3. H.D. Tjeenk Willink & Zoon, Haarlem 1952 Samsul, Inosentius. Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI-Press, 1986. Subekti, R. (1). Hukum Perjanjian. Cet. 19. Jakarta: Intermasa, 2002.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013
25
_________ (2). Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional.Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1988. Sudaryatmo (1). Hukum dan Advokasi Konsumen. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. __________ (2). Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah. Cet.2. Jakarta: Piramedia, 2004. Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Cet.3. Jakarta: Prenada Media, 2005. Widjaya, I.G. Rai (1). Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Teori dan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Megapoin, 2004. ______________ (2). Merancang Suatu Kontrak. Jakarta: Megapoin, 2002. Woon, Walter. Basic Business in Singapore. Cet. 1. Singapore: Prentice Hall, 1995.
III. Artikel As’ad, Abd. Rasyid. “Peranan Iklan Pengaruhi Konsumen” Bisnis Indonesia. (10 Maret 2012): 5.
Dasar gugatan ..., Graciella Estrelitta, FH UI, 2013