BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Matematika merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Ketika
berbelanja,
perlu memilih dan
menghitung jumlah benda yang akan dibeli dan harga yang harus dibayar. Pembelajaran matematika untuk anak usia dini sangatlah dibutuhkan untuk mempersiapkan anak melanjutkan ke pendidikan dasar. Matematika juga merupakan keterampilan yang penting dan merupakan salah satu kunci untuk mencapai sukses dalam berbagai tugas, serta penting di dalam masyarakat yang semakin banyak menggunakan teknologi canggih (Mulandari, 2005). Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh National Council of Teachers of Mathematics atau NCTM (dalam Varol dan Farran, 2006) menyebutkan bahwa siapa saja yang memahami dan dapat mengerjakan matematika akan berpeluang secara signifikan lebih tinggi untuk membangun masa depannya. Dean (2000) menyebutkan bahwa pada tingkat yang tinggi, matematika digunakan sebagai alat penting dalam memahami beberapa bidang seperti ekonomi, geografi, tehnik dan lain-lain. Sembiring (2008) mengungkapkan bahwa salah satu tujuan dari pembelajaran matematika di Indonesia adalah mengembangkan kemampuan penalaran dan kemampuan logika siswa, serta menjadi satu metode
untuk
mengembangkan pola penalaran siswa
secara sistematis. Kemampuan intelektual yang tinggi sangat diperlukan dalam belajar matematika, hal ini dikarenakan dalam matematika mencakup proses berpikir yang cukup kompleks (Woolfolk, 2007). Oleh karena itu sangatlah penting membuat matematika yang diajarkan itu relevan dengan permasalahan sehari-hari yang dihadapi siswa, sehingga dengan
kemampuan penalaran dan logika berpikirnya tersebut dapat digunakan siswa dalam memecahkan permasalahan sehari-harinya (Zamroni dalam Sembiring, 2008). Sukses dalam matematika akan mendatangkan banyak manfaat, salah satunya ditunjukkan oleh hasil penelitian Nurdin (2006) tentang pengaruh variabel-variabel kognitif terhadap hasil belajar matematika siswa kelas XI IPA pada SMA Negeri 3 Makasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa matematika dapat berperan sebagai sarana penalaran siswa, dengan mempelajari matematika diharapkan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi, baik persoalan yang berkaitan dengan mata pelajaran matematika itu sendiri maupun dalam persoalan hidup sehari-hari. Kesuksesan dalam bidang matematika juga ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Yenilmez, Nuray dan Ozlem (2008) menyebutkan bahwa siswa yang sukses di kelas matematika, selain akan mengalami kesuksesan dalam hal akademis umum, terutama yang berkaitan dengan penggunaan angka, dalam pencapaian penampilan matematika juga akan membawa kebanggaan tersendiri. Sebagian besar siswa di Indonesia, pada kenyataannya belum
dapat mencapai
kemampuan matematika tersebut dengan baik. Pada jenjang sekolah dasar, matematika merupakan salah satu pelajaran yang paling ditakuti selain itu sebagian besar siswa. Selain itu matematika juga masih menjadi momok yang menakutkan terlebih dalam Ujian Nasional (UN). Senada dengan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, bahwa pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang banyak diulang oleh siswa, selain bahasa Indonesia dan Biologi (Kus, 2011). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kecemasan tertinggi dialami siswa pada saat siswa belajar matematika dibandingkan dengan belajar pelajaran yang lain (Hudojo dalam Nurhanurawati & Sutiarso, 2009). Dari data hasil asesmen skala internasional yang dilakukan PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa prestasi matematika siswa di Indonesia cukup rendah. Berdasarkan data PISA, Indonesia selalu berada pada peringkat 10 besar terbawah. Tahun 2003, Indonesia di peringkat ke 38 dari 40 negara; tahun 2006,
Indonesia di peringkat ke 50 dari 57 negara; tahun 2009, Indonesia di peringkat ke 61 dari 65 negara. Data terbaru PISA 2012, Indonesia di peringkat 64 dari 65 negara, sebelum Peru. Data dari UNESCO, juga menyebutkan tentang mutu pendidikan Indonesia berada di peringkat 34 dari 38 negara (Fathani, 2010). Demikian juga dari hasil survei Pusat Statistik Internasional untuk Pendidikan (National Center for Education in Statistics, 2003) terhadap pembelajaran matematika, Indonesia berada di peringkat ke 39 dari 41 negara setelah Thailand dan Uruguay (Wimbarti, 2012). Analisa terhadap UN 2011 yang dilakukan oleh Jardiknas menunjukkan bahwa matematika jika dibandingkan dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris merupakan pelajaran tersulit. Sebanyak 1.780 siswa tidak lulus bahasa Indonesia dan 152 siswa tidak lulus Bahasa Inggris. Sementara sebanyak 2.391 siswa tidak lulus pelajaran matematika, dan merupakan jumlah terbesar dengan prosentase sebesar 51,44% Lian & Gress, 2011). Berdasarkan observasi dan wawancara awal penulis dengan lima Kepala Sekolah Dasar di Salatiga pada tanggal 3 Maret – 12 Maret 2014, diperoleh informasi bahwa matematika merupakan pelajaran yang banyak ditakuti siswa. Sedangkan dalam wawancara dengan petugas dari Bagian Pendidikan Dasar di Dinas Pendidikan Kota Salatiga diperoleh data tahun ajaran 2012/2013 ada beberapa SD mendapatkan nilai ujian matematika yang rendah. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan penulis, dari pelaksanaan UASBN SD di Salatiga tahun ajaran 2012/2013 diketahui bahwa mata pelajaran matematika umumnya masih menempati posisi paling rendah pada nilai yang dicapai siswa jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain yang diujikan dalam Ujian Nasional. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa rata-rata nilai ulangan matematika lebih rendah dibandingkan dengan nilai pelajaran yang lain. Kesulitan yang dialami oleh sebagian besar siswa
adalah
dalam
melakukan
operasi perhitungan
dalam
pengurangan,
penjumlahan, pembagian dan perkalian. Keberhasilan anak dalam menguasai matematika ditentukan dari beberapa faktor yang sifatnya kompleks dan berkaitan satu sama lain. Penelitian yang dilakukan oleh Pimta, Tayruakham, dan Nuangchalerm (2009) mengkaji
beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan matematika pada siswa yaitu: sikap yang dimiliki siswa terhadap matematika (attitude towards Mathematics), perilaku mengajar dari guru (teachers‘ teaching behavior), harga diri yang dimiliki siswa (self-esteem), efikasi diri siswa, dan motivasi siswa. Henson dan Eller (1999) menyatakan tentang hal-hal yang berfokus pada aspekaspek dalam pembelajaran kognitif, yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa yaitu: (1) Keterampilan konseptual, (2) meningkatkan transfer keterampilan dalam pembelajaran dan skema, (3) peningkatan dalam motivasi siswa, (4) penanaman kepercayaan diri siswa, (5) tantangan bagi siswa (challenging), (6) mengidentifikasi gaya belajar dan (7) pengembangan dalam “keterampilan berpikir yang baik”. Berkaitan dengan proses-proses kognitif ini, proses berpikir anak akan menjadi terorganisasi ke sistem proses-proses mental yang lebih besar yang memudahkan mereka berpikir lebih logis daripada sebelumnya (Ormrod, 2008). Salah satu kemampuan yang berkembang pada tahap ini adalah kemampuan konservasi, yaitu kemampuan untuk memahami bahwa substansi dari suatu obyek tetap sama meskipun terjadi transformasi dalam penampilan luarnya. Kemampuan berpikir logis ditandai dengan kemampuan anak menyelesaikan tugas-tugas konservasi. Pengenalan konsep dan berpikir abstrak yang telah diajarkan di sekolah dasar berkaitan erat dengan pelajaran matematika. Reedal (2010), mengemukakan bahwa disiplin matematika merupakan aplikasi dari teori perkembangan kognitif Piaget. Konsep dalam matematika mendasarkan pada jalinan antara satu dengan yang lain dan teori Piaget mempertimbangkan langkah-langkah tersebut ketika proses tersebut terjadi. Dalam teorinya, Piaget mengemukakan tentang empat tahap perkembangan kognitif dan setiap anak akan mengalami peningkatan pada beberapa titik dalam kehidupannya (Reedal, 2010; Ojose, 2008; Schunk, 2008; Hetherington & Parke, 1993), tahap-tahap ini adalah tahap sensorimotor yang berlangsung pada usia nol sampai dengan 24 bulan; tahap praoperasional berlangsung pada rentang usia dua hingga tujuh tahun; tahap operasional
kongkrit berlangsung pada rentang usia tujuh hingga dua belas tahun dan tahap operasional formal yang berlangsung berlangsung pada usia diatas dua belas tahun (Reedal, 2010; Ojose, 2008; Schunk, 2008; Hetherington & Parke, 1993). Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa siswa kelas dua SD berada pada dalam tahapan operasional kongkrit. Pemikiran pada tahap operasional kongkrit (concrete operational thought) terdiri dari operasi-operasi dan tindakan-tindakan mental dimana anak melakukan secara mental apa yang telah dilakukan sebelumnya secara fisik Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002), Operasi-operasi kongkrit ini meliputi juga kegiatan-kegiatan mental yang bertentangan terhadap objek-objek yang nyata dan kongkrit. Operasi-operasi kongkrit ini memungkinkan anak mampu mengkoordinasikan beberapa ciri-ciri sehingga bukan berfokus pada suatu properti tunggal suatu objek. Reedal (2010) juga menyimpulkan, bahwa anak yang berada dalam tahap perlembangan kognitif operasional kongkrit mampu berpikir secara logis dan mulai dapat mengklasifikasikan yang didasarkan pada beberapa ciri dan karakteristik dibandingkan semata-mata memfokuskan pada representasi visual. Mengembangkan kemampuan
berpikir
logis
seperti
berpikir
spasial,
pemahaman
sebab
akibat,
pengelompokan, penalaran induktif dan deduktif, serta konservasi merupakan karakteristik yang dimiliki anak yang berada pada tahap operasional konkrit. Anak-anak pada masa ini sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan di semua aspek kehidupannya baik secara fisik, psikososial, maupun kognitif. Perkembangan secara fisik pada anak, ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan yang meliputi penambahan tinggi badan dan berat badan maupun dalam aktivitas motorik. Dalam perkembangan psikososial, anak-anak pada usia ini mereka mampu mengembangkan kepekaan terhadap kemampuan dari berbagai sumber dan mengembangkan kepekaan mereka terhadap kemampuan, kekuatan, dan kelemahan mereka dan mampu menerima umpan balik dari berbagai sumber. Sedangkan dalam perkembangan kognitif, ditandai dengan kemampuan untuk berpikir logis yang mulai berkembang (Kaplan, 1998; Santrock, 2007; Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Kemampuan-kemampuan diatas sesuai dengan
KTSP matematika
(Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran) untuk kelas dua SD yang meliputi kemampuan memahami dan mengenal bilangan sampai 500; pengoperasian hitung aritmatika dasar yang meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian; serta kemampuan dalam menggunaan alat bantu ukur meliputi satuan jam, panjang, dan berat; serta geometri (BNSP, 2007b). Dasar dari kemampuan berpikir logis dalam memecahkan permasalahan adalah berupa pentingnya pemahaman anak terhadap konsep matematika. Prestasi belajar pada siswa berkaitan dengan proses belajar individu dan proses belajar berkaitan kognisi, kognisi merupakan fungsi mental yang meliputi pikiran, simbol, penalaran dan pemecahan masalah. Salah satu tugas yang penting
untuk penyelesaian masalah dalam matematika adalah
kemampuan konservasi. Ormrod (2008) menyebutkan bahwa kemampuan konservasi merupakan kemampuan dalam menerapkan prinsip bahwa satu kuantitas suatu benda akan tetap sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah. Piaget (dalam Purwantini, 2013) menempatkan kemampuan konservasi sebagai kemampuan yang paling penting bagi perkembangan kognitif anak, dimana apabila anak telah mampu melakukan konservasi maka anak telah memenuhi persyaratan mutlak bagi segala aktivitas intelektual terutama untuk berpikir kuantitas dan matematis. Sehingga dapat dikatakan, bahwa salah satu kemampuan mutlak yang harus dimiliki anak sebagai syarat kesiapan untuk mampu berpikir logis adalah kemampuan konservasi. Prinsip-prinsip dalam konservasi ini sangat berguna dalam menyederhanakan matematika, dan juga dalam kemampuan memprediksi dan memahami dunia. Piaget (dalam Christian, Schleser, dan Varn, 2008) menyatakan bahwa salah satu kemampuan dasar dalam keberhasilan matematika adalah kemampuan konservasi. Konservasi ini menjadi hal yang penting untuk anak karena akan membuat dunia dapat diprediksi dan dapat lebih mudah dipahami (Speltini dan Ure, 2002). Piaget (dalam Christian, Schleser, dan Varn, 2008) juga menyebutkan bahwa konservasi merupakan dasar dalam keberhasilan matematika, karena beberapa bahasan matematika membutuhkan kemampuan konservasi
sebagai prasyarat dalam memahami dan memecahkan masalah matematika (Steinberg, Belsky, dan Meyer (t.t) serta Needham dan Castle, 2007) Faktor dari luar yang memengaruhi kemampuan belajar siswa salah satunya adalah peran orangtua. Azwar (2012) mengemukakan, jika ada stimulasi dari lingkungan maka potensi dan performansi individu akan semakin berkembang. Pendapat ini menunjukkan bahwa kemampuan matematika akan dapat berkembang karena pengaruh lingkungan. Lingkungan keluarga menjadi salah satu faktor eksternal yang dianggap turut berpengaruh pada kemampuan akademik siswa. Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, dimana anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial, dan di dalamnya seorang anak berada dalam hubungan interaksi yang intim. Segala sesuatu yang dilakukan oleh keluarga akan mempengaruhi anak, dan begitu juga sebaliknya. Dasar pembentukan tingkah laku, kepribadian, moral, dan pendidikan bagi anak dilakukan dalam keluarga. Pengalaman interaksi yang ada
akan menentukan pola tingkah laku anak
terhadap orang lain dalam masyarakat (Soesilo dalam Kartono, 1985). Dengan demikian, berbagai macam kondisi yang ada dalam keluarga, bagaimana kemudian keluarga dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, bagaimana orangtua terlibat dalam proses perkembangan anak, tentunya akan turut mempengaruhi proses perkembangan anak. Eamon (2005) menyebutkan ketika orangtua terlibat dalam kehidupan sekolah anak, dengan memberikan dukungan secara emosi (misalnya berdiskusi tentang permasalahan sekolah, memberikan bantuan ketika anak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas, ataupun menghubungi pihak sekolah sehubungan dengan permasalahan akademis), memberikan stimulus kognitif dengan pengalaman atau material maka anak akan memiliki sikap yang positif dalam belajar, menjadi orang yang lebih baik, lulus dengan predikat baik dan selanjutnya mampu mendapatkan pekerjaan ataupun meneruskan kembali sekolahnya. Sukadji (1986) mengemukakan dari beberapa hasil penelitian minat orangtua terhadap anak, harapan orangtua bagi kehidupan anak dimasa mendatang serta macam kehidupan yang dijalani oleh orangtua itu sendiri merupakan faktor penting yang memengaruhi keberhasilan belajar anak.
Peran keluarga dalam menerapkan pendidikan dan belajar dalam diri anak menduduki tempat yang terpenting. Keluarga memiliki hubungan secara fisik maupun emosional yang sangat dekat dengan anak. Mengingat hal tersebut maka banyak faktor yang mempengaruhi belajar anak mengarah pada sistem pendidikan dengan latar belakang keluarga. Latar belakang keluarga dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya tingkat pendidikan orangtua, status sosial, pola asuh yang diterapkan, fasilitas yang diberikan pada anak dalam belajar. Fasilitas tersebut dapat berupa bimbingan dalam belajar maupun peralatan yang diberikan pada anak untuk belajar. Hal ini dikarenakan stimulus lingkungan dapat diberikan secara optimal dan program sekolah yang memiliki fasilitas lengkap dapat mengakomodasi kebutuhan kognitif anak (Rahayu, 2004). Umumnya anak yang tinggal di perkotaan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik karena fasilitas dan kebutuhan lebih mudah diperoleh. Hoover-Dempsey & Sandler, 2005 membedakan bentuk-bentuk keterlibatan orangtua dalam pendidikan menjadi empat yaitu : a). Dorongan orangtua, yaitu berupa dorongan afektif yang diberikan orangtua secara nyata terhadap aktifitas siswa terkait dengan pendidikan dan pembelajaran matematika;
b). Modeling orangtua, orangtua
memberikan contoh dalam penyelesaian tugas-tugas
sikap
orangtua
terhadap
matematika; c). Penguatan orangtua, yaitu berupa pengawasan atau pemantauan yang dilakukan orangtua dalam kegiatan pembelajaran matematika anak di rumah maupun dalam kontrol sosial; dan d). Pengajaran orangtua, berupa komunikasi dan interaksi sosial antara anak dan orangtua selama aktivitas-aktivitas keterlibatan sebagai bagian dari strategi pembelajaran, proses dan hasil. Pezdek (2002) menyebutkan bahwa bimbingan yang diberikan oleh orangtua dalam mengerjakan pekerjaan rumah anak akan membantu meningkatkan prestasi belajar matematika anak. Baker (1998) menemukan bahwa bebrapa penyebab anak berprestasi rendah yaitu orangtua, lingkungan, sekolah dan individu itu sendiri. Orangtua yang terlibat dalam proses pendidikan akan menunjang kegiatan belajar anak di sekolah, seperti
komunikasi. Komunikasi yang dilakukan orangtua terhadap permasalahan anak di sekolah akan membuatnya merasa diperhatikan. Cao, Bishop, dan Forgasz (2006) dalam kajiannya pun memaparkan bahwa dalam proses pembelajaran matematika anak, dorongan yang diberikan orangtua menjadi sangat penting. Studi tentang pengaruh orangtua pada siswa belajar matematika juga mencoba untuk mengungkapkan jenis keterlibatan orang tua yang mempengaruhi hasil belajar siswa (Cao, 2006). Dalam fokus khusus pada belajar matematika, literatur meta-analisis tentang keterlibatan orang tua justru menunjukkan hubungan negatif antara keterlibatan orang tua dan prestasi matematika (Pattal, Cooper, & Civey Robinson, 2008). Barton, Drake, Perez, Louis, dan George (2004) menunjukkan keterlibatan orangtua sebagai suatu konstruk dinamis, dimana secara interaktif orangtua terlibat dalam pengalaman-pengalaman yang banyak dan berbagai sumber daya untuk menegaskan interaksi antara orangtua dengan sekolah dan diantara personel sekolah. Barton dkk (2004), juga menambahkan bahwa keterlibatan orangtua di sekolah dipahami secara luas dalam terminologi “apa yang mereka lakukan” dan bagaimana hal tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan kebutuhan anak atau tujuan dari sekolah. Berdasarkan uraian dan hasil studi pendahuluan di atas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan hubungan antara kemampuan konservasi dan keterlibatan orangtua dengan kemampuan matematika anak kelas 2 SD.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah: Apakah
ada
hubungan antara
kemampuan konservasi dan
dengan kemampuan matematika anak kelas 2 SD ? C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik :
keterlibatan orangtua
a. Hubungan antara kemampuan konservasi dengan kemampuan matematika anak kelas 2 SD. b. Hubungan antara keterlibatan orangtua dengan kemampuan matematika anak kelas 2 SD
2. Manfaat Penelitian 2.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan khasanah ilmu pengetahuan. Terutama terkait dengan kajian tentang kemampuan konservasi, serta kajian tentang keterlibatan orangtua dan kajian tentang kemampuan matematika siswa.
2.2 Manfaat Praktis Secara praktis, berikut manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini: a. Bagi Orangtua, diharapkan mampu memahami dan mampu meningkatkan keterlibatan orangtua dalam proses belajar anak b. Untuk sekolah, penelitian ini dapat memberikan masukan tentang alternatif untuk meningkatkan kemampuan secara optimal. c. Untuk peneliti lain yang berminat, penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber referensi dalam hal kemampuan konservasi.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian-penelitian tentang prestasi matematika telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian tentang konservasi diantaranya dilakukan oleh Christian, Schleser, dan Varn (2008) yang meneliti tentang kelancaran matematika yang mencakup keakuratan dan kecepatan dalam mengerjakan matematika pada anak dalam tahap praoperasional dan operasional konkrit yang duduk di kelas satu dan dua sekolah
dasar pada anak dengan kesulitan belajar matematika. Mereka menemukan bahwa terdapat hubungan antara kelancaran matematika dengan kemampuan kognitif dan hubungan tersebut mempengaruhi performa matematika. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2004) tentang prestasi belajar matematika ditinjau dari kemampuan konservasi dan jenis kelamin pada siswa kelas 1 di enam sekolah dasar di Boyolali menemukan bahwa kemampuan konservasi berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika. Semakin tinggi kemampuan konservasi siswa, semakin tinggi prestasi matematikanya. Penelitian tentang matematika juga dilakukan oleh Baran, Erdogan, dan Cakmak (2011), penelitian ini menguji secara empirik kreativitas anak dan kemampuan matematika. Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah pertama, penelitian Christian, Schleser, dan Varn (2008) meneliti tentang kelancaran dalam mengerjakan matematika pada anak pada tahap pra-operasional dan operasional konkrit, sedangkan penelitian ini meneliti tentang kemampuan matematika pada siswa dengan kemampuan konservasi. Kedua, penelitian Rahayu (2004) meneliti tentang kemampuan konservasi dan kaitannya dengan prestasi matematika dan jenis kelamin siswa kelas 1 SD di Boyolali, penelitian ini menggunakan dua variabel bebas yaitu kemampuan konservasi dan jenis kelamin, perbedaan dengan penelitian ini adalah menggunakan variabel menggunakan variabel bebas kemampuan konservasi dan keterlibatan orangtua. Ketiga, penelitian Baran (2011) menggunakan variabel bebas yang berupa kreativitas, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel bebas berupa kemampuan konservasi dan keterlibatan orangtua.