BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tugas perkembangan yang lazim ditempuh oleh individu pada tahap perkembangan dewasa. Secara umum, pernikahan terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Namun kenyataannya, terdapat pula pernikahan poligami yang menjadi polemik yang memantik perdebatan, perbedaan pendapat dan sikap di tengah masyarakat Indonesia. UU Perkawinan di Indonesia sendiri mengijinkan dan memberikan aturan terkait pernikahan poligami (pasal 3-6). Dalam UUP Tahun 1974 itu, posisi tawar-menawar istri rendah dibandingkan suami. Persetujuan istri tidak bersifat mutlak, karena pengadilan tetap bisa memberi izin suami untuk melakukan poligami seandainya istri/istri-istri tersebut tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau jika tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya (Pasal 5 UUP tahun 1974). Ajaran agama Islam pun mengijinkan dan memberikan pokok aturan terkait poligami, Dengan catatan bisa memberikan perlakuan yang adil kepada mereka semua (Mansoor & DeLong-Bas, 2013). Menurut Little dan Burks (1983) perkawinan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan lahir bathin. Kebahagiaan perkawinan merupakan kepuasan terhadap kehidupan perkawinan secara keseluruhan maupun aspek-aspek tertentu dalam hubungan perkawinan. Keberhasilan perkawinan tergantung pada kepuasan yang diperoleh oleh seluruh anggota keluarga atas usaha mereka, bukan kepuasan yang diperoleh oleh satu atau dua anggota keluarga saja (Sarwono,1999).
1
2
Umumnya perempuan selalu berharap untuk bisa dinikahi oleh Iaki-laki sebagai istri pertama dan setelah menikah perempuan juga berharap bahwa suatu saat nanti suaminya tidak akan menikah lagi dengan perempuan lain sehingga menghadirkan 'madu' dalam kehidupan rumah tangganya. Meskipun, pada kenyataannya harapan tersebut kadang tidak terpenuhi seiring dengan perjalanan rumah tangganya, sehingga pada akhirnya istri dihadapkan dengan keputusan suaminya untuk menikah lagi atau berpoligami (Muhyidin, 2003). Pandangan masyarakat terhadap poligami menjadi beragam, ada yang pro ada pula yang kontra, ada yang pro tetapi tidak mau melaksanakan atau tidak berani melaksanakan karena pertimbangan tertentu, ada pula yang kontra memang benar-benar tidak setuju dan ada pula yang tidak setuju tetapi bersikap toleran kepada yang melaksanakannya. Hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik baik dalam diri individu, antar individu maupun masyarakat secara luas (Syapriani, 2010). Poligami menjadi ancaman yang sangat nyata bagi perempuan muslim, karena hal tersebut dihalalkan dalam Al-Qur‟an dan sekaligus meneladani sikap nabi. Selain itu ada anggapan bahwa secara kodrati laki-laki mencintai lebih dari satu perempuan, sedangkan perempuan jika tidak dikawini akan menjadi perawan tua. Oleh karena itu poligami merupakan solusi bijak untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Dengan poligami tidak ada lagi “lahan subur” yang tidak ditanami. Perempuan bisa menjalankan perkawinan sebagai ibadah, sementara laki-laki terlindungi dari zina dan perselingkuhan. Masih menurut pemahaman mereka, perempuan dimotivasi untuk berbesar hati menerima poligami suaminya dalam rangka proteksi kemaksiatan, bahkan istri yang menganjurkan suaminya untuk melakukan poligami adalah ibadah dan jihad
3
karena suaminya terlindungi dari maksiat. Ketika istri menolak untuk dimadu dan suami yang terjebak karena perzinahan, maka dosa suami akan ditanggung oleh istrinya juga. Adanya internalisasi wacana poligami seperti itu , menyebabkan poligami telah bergeser dari yang semula menjadikan perempuan sebagai “aktor pasif dan defensif “ menghadapi poligami berubah menjadi “aktif”. Mereka tidak hanya sangat toleran dengan suami yang melakukan poligami tetapi malah berpartisipasi aktif di dalamnya mengkampanyekan “program poligami”. Ibarat mereka begitu bersemangat menyedekahkan/mendermakan suami mereka, bagi perempuan lain untuk tujuan sosial sekaligus ibadah (Rahayu, 2008). Penelitian-penelitian mengenai gender dan kesehatan reproduksi di pesantren selama ini lebih banyak menyorot peran para pemimpin pesantren yaitu terutama kyai dan nyai dalam pembentukan sikap terhadap keadilan gender dan kesehatan reproduksi. Pengetahuan agama seseorang yang belajar di pesantren dapat diasumsikan cukup luas dan banyak karena asupan pelajaran agamanya cukup banyak dan memadai, apabila kemandirian berfikir tidak terasah, maka apapun yang diajarkan oleh kiai secara mutlak akan dimilikinya tanpa banyak mencerna dan kemudian akan menjadi sikap para santri itu sendiri. Umumnya kalangan pro poligami merupakan penganut Islam garis keras dan laki-laki yang selalu ingin poligami dipertahankan untuk kepentingan biologis sekaligus sosialnya. Meskipun demikian, penolakan bersifat pribadi tetap muncul dari perempuan golongan Islam. Para tokoh agama dalam kotbahnya juga kerap mengatakan bahwa poligami bisa dilakukan di Indonesia karena jumlah penduduk laki-laki dan perempuannya adalah 1:3 (Mukhotib, 2002). Poligami yang paling digembor-gemborkan di media di antaranya adalah Puspo Wardoyo (Pengusaha Rumah makan Wong Solo) yang mensosialisasikan
4
poligami bukan karena seorang istri tidak dapat menjalankan perannya sebagai istri, tetapi lebih karena kebutuhan sosial yang ada saat ini. Poligami menurutnya, menjadi solusi dari berbagai persoalan moralitas dan kemiskinan perempuan. Poligami dilakukan bukan lagi karena sebagai sesuatu kondisi darurat, tetapi diyakini sebagai perintah dan kewajiban sekaligus hak bagi lakilaki muslim untuk menjalankannya. Oleh sebab itu izin istri tidak diperlukan bagi suami yang melakukan poligami. Tema perjuangan mereka adalah, mengatasi jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki. Karena, akibat banyaknya jumlah perempuan akan menyebabkan terjadinya praktik immoral yang sangat bertentangan dengan nilai agama (perzinahan, perselingkuhan dan prostitusi) (Rahayu, 2008). Masyarakat yang pro terhadap poligami selalu berdalih ekonomi seperti pengangguran dan kemiskinan. Kemandulan juga menjadi alasan mengapa poligami ini bisa terjadi, karena perempuan yang dinikahi tidak mampu memberikan keturunan. Perbandingan angka perempuan yang lebih besar dibandingkan laki-laki juga menjadi alasan tersebut. Menghindari zina karena hawa nafsu laki-laki yang tidak bisa dikendalikan juga menjadi alasan poligami ini terjadi (Kompasiana.com). Konflik pro dan kontra yang ditimbulkan di masyarakat akibat poligami diantaranya adalah munculnya berbagai gugatan yang dilakukan oleh kelompok feminisme yang menyerukan untuk memerangi hukum poligami yang dianggap sebagai salah satu bentuk penindasan bagi hak asasi perempuan. Kasus yang sangat fenomenal pernah terjadi adalah ketika Aa Gym yang merupakan da‟i kondang dari pesantren di Bandung tersebut melakukan poligami. Akibatnya banyak mitra Managemen Qolbu yang dipimpinnya membatalkan kontrak kerja,
5
banyak jamaah haji dan umroh yang membatalkan haji dan umroh di travel tersebut. Seorang ibu yang memaki-maki lewat SMS dengan lantang mengatakan “Aa Gym, bila saya bertemu dengan anda, akan saya ludahi wajahmu, akan saya jambak rambutmu”. Banyak pula media yang tadinya menayangkan
dakwah
beliau
kemudian
memutuskan
hubungan
kerja
(Omdien.wordpress.com). Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya sikap negatif masyarakat terutama ibu-ibu yang kemudian memunculkan penolakan atau kebencian bagi pelaku poligami. Dikutip dari Kompasiana.com bahwa akibat dari poligami tersebut
menyebabkan masyarakat meng-ghiba, menggunjing,
menghujat dan mengkritik. Sehingga budaya ini tidak membawa rahmah bagi masyarakat, justru memberi “dosa” pada umat. Begitu pula yang terjadi di Negara-negara Islam lainnya seperti Maroko, Turki, Mesir yang menganggap poligami sebagai tindakan yang menyimpang konstitusional. Masyarakat yang kontra terhadap hal tersebut beralasan keadilan immaterial (psikis) yang sifatnya abstrak yang sering kali sulit diukur seperti pembagian kualitas waktu, persamaan cinta, kasih sayang, dukungan spiritual, moral dan intelektual. Menurut
laporan
LBH-APIK
Jakarta,
58
kasus
poligami
yang
didampinginya dari tahun 2001-2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap
istri-istri
dan
anak-anak
mereka,
mulai
dari
tekanan
psikis,
penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak, ancaman dan teror, serta pengabaian hak seksual istri. Sementara 35 kasus poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas (Kodir, 2005). Praktek poligami dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga yang sudah disahkan sebagai UU No. 23 tahun 2004 dimana definisi kekerasan dalam rumah tangga itu meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Sebab banyak perempuan yang suaminya kawin
6
lagi umumnya mengalami kekerasan psikis hingga fisik, hingga penelantaran ekonomi (poligami-arsip.com/). Poligami mendorong tingginya tingkat perceraian yang diajukan istri atau gugat cerai dan menyebabkan banyaknya kasus perkawinan di bawah tangan atau yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama. Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dari Asosiasi Perempuan Indonesia untuk keadilan, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan kasus perceraian akibat suami melakukan poligami. Saat ini terdapat lebih banyak perempuan yang lebih tegas tentang hak-hak mereka termasuk hak untuk bercerai. Pada tahun 2006 terdapat hampir 1000 kasus
percerian
karena
suami
menikahi
perempuan
lain
(www.globalvoiceonline.org). Sejumlah kasus perceraian di atas ternyata tidak berpengaruh pada dikeluarkannya perizinan oleh pengadilan agama untuk pengajuan poligami. Menurut Humas Pengadilan Agama (PA) Sleman, Noer Rohman mengatakan pengajuan izin poligami di Sleman pada 2011 sebanyak 21 kasus, sedangkan 2012 meningkat menjadi 27 kasus. Hingga Oktober 2013 pengajuan izin poligami mencapai 15 kasus. “Tahun ini masih tinggi pengajuan izin poligami. Untuk alasan pengajuan sangat beragam, namun semuanya berprinsip pada tiga aturan,”
jelas
Noer
di
Gedung
PA
Sleman,
Kamis
(7/11/2013)
(Jogja.Solopos.com). Dickson (2007) menemukan tiga faktor utama yang mempengaruhi sikap ibu-ibu Aisiyah terhadap poligami, yaitu pengamatan mereka terhadap pelaksanaan poligami, subjek cenderung kurang suka kebiasaan ini. Namun, faktor ini sering bertentangan dengan kedua faktor lainnya, yaitu keyakinan agama informan serta kepercayaan mereka tentang fitrah dan peran laki-laki dan
7
perempuan. Selanjutnya, meskipun sebagian besar subjek menganggap poligami sebagai praktek yang biasanya merugikan keluarga, poligami tidak ditolak pada dasarnya karena dibolehkan dalam agama Islam dan sampai sekarang merupakan „hak dan kebutuhan laki-laki‟. Sebagai data awal penelitian, maka penulis melakukan wawancara terhadap dua narasumber yang berkaitan dengan poligami. Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 20 Mei 2015 di kota Y terhadap subjek An (30). Tingkat ekonomi dan pendidikan di keluarga nya rendah di bandingkan keluarga suami. Perasaan rendah diri dan hidup di keluarga yang banyak mempraktikkan poligami, maka nilai-nilai yang ditanamkan bahwa poligami merupakan jalan bagi perempuan untuk meraih surga, hingga pernikahan subjek berjalan enam tahun dan suami meminta ijin untuk berpoligami dengan alasan perempuan tersebut adalah seorang janda yang merupakan sodara jauhnya yang butuh perlindungan. Namun Allah sangat membenci orang yang bercerai. Tapi apabila mau dipoligami maka surga menjadi imbalannya. Dengan memikirkan nasib anak-anak serta nasib jika akan menjadi janda nanti bagaimana kehidupan ekonomi subjek bersama anak-anaknya, belum lagi bagaimana tanggapan keluarga besarnya yang tentu saja akan kecewa apabila terjadi perceraian di dalam keluarga besar yang sangat membenci perceraian dan menjunjung tinggi poligami. Akhirnya subjek merelakan suami untuk menikah lagi. Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 2 Juni 2015 di kota B terhadap subjek F (37) subjek adalah lulusan S2 di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Subjek merupakan anak dari keluarga yang sederhana namun harmonis. Subjek banyak menyaksikan praktek poligami yang dilakukan oleh para kiyai dari pesantrennya dulu di Jawa timur. Banyak dari temannya yang
8
merasakan penelantaran dari ayah mereka yang berpoligami. Waktu kuliah, subjek sempat “nyantri” di sebuah pesantren terkenal di kota Bandung, seringkali disosialisasikan dan dikampanyekan mengenai pentingnya poligami. Setelah menjalani pesantren, subjek sempat menyetujui bahwa poligami adalah jalan keluar terbaik bagi persoalan umat. Sampai akhirnya untuk beberapa waktu sempat memilih tidak mau menikah. Keputusan itu pun dalam kacamata agama, akan terbentur lagi. Jangan sampai tidak menikah, nanti tidak menjalankan separuh agama, tidak termasuk umat Nabi Muhammad dan sebagainya. Subjek akhirnya memutuskan untuk bersabar dalam hal jodoh dan tidak akan memaksakan diri jika calonnya itu sudah beristri atau ada gelagat untuk berpoligami. Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa penerimaan dan penolakan terhadap poligami sangat beragam. Ada banyak perempuan muslim yang secara tegas menolak poligami dan memilih untuk bercerai, tetapi banyak juga yang menerima poligami. Sikap seseorang terhadap suatu objek sikap dapat bersifat positif maupun negatif. Para istri yang ikhlas dipoligami ini mengundang pertanyaan, sebab tidak sedikit dari mereka pada awalnya menentang keras poligami. Dalam faktanya, justru mereka menjadi bagian dari keluarga poligami (Anggraini, 2009). Kerterbukaan sikap perempuan terhadap poligami sangat dibutuhkan agar masyarakat bisa mengetahui adanya perbedaan pandangan dan wacana
mengenai
poligami.
Mengetahui
latar
belakang
dari
tingginya
penerimaan perempuan terhadap poligami, adalah cukup penting karena tingginya tingkat penerimaan agama dan kultural terhadap poligami tersebut menyebabkan semakin meningkatnya angka poligami di Indonesia (Eddyono & Anggrasari, 2011).
9
Pemahaman sikap yang ditanamkan seperti pada subjek F tersebut di atas merupakan bentuk persuasi guna mengarahkan sikap tertentu melalui komunikasi efektif. Komunikasi persuasif tersebut dapat dipandang sebagai peristiwa yang melibatkan tiga faktor yaitu sumber (oleh siapa), pesan (apa yang dikatakan dan dalam konteks apa), dan sasaran (pada siapa) (Azwar, 2007). Kelman
,1958
(sebagaimana
yang
dikutip
dalam
Bringham,
1991)
mengemukakan proses perubahan sikap pada individu tersebut meliputi tiga proses sosial: pertama yaitu kesediaan individu menerima pengaruh dari orang lain atau dari kelompok lain dikarenakan ia berharap untuk memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut, kedua yaitu identifikasi yang terjadi apabila individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau sikap kelompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai hubungan yang menyenangkan antara dia dengan pihak lain termaksud, dan yang ketiga adalah internalisasi yang terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap menuruti pengaruh itu karena sikap tersebut sesuai dengan apa yang ia percayai dan sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya. Menurut Sarwono (2007) sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya. Interaksi tidak hanya berupa kontak sosial dan hubungan antar pribadi sebagai anggota kelompok sosial, tetapi juga hubungan dengan lingkungan fisik dan lingkungan psikologis sekitarnya. Menurut Bandura (1977) dalam teori belajar sosial bahwa lingkungan menentukan atau menyebabkan terjadi perilaku kebanyakan, maka seorang individu menggunakan proses kognitifnya untuk menginterpretasikan lingkungan maupun perilaku yang
10
dijalankannya, serta memberikan reaksi dengan cara mengubah lingkungan dan menerima hasil perilaku yang lebih baik. Wismanto (2010) melakukan meta analisis terhadap tiga puluh satu hasil penelitian mengenai keterkaitan antara sikap dan perilaku, tujuh belas dari penelitian tersebut yang merupakan penelitian dari luar negeri menunjukkan konsistensi yang tinggi, semuanya menunjukkan hasil yang signifikan atau sangat
signifikan.
Puspita
(2009)
dalam
penelitiannya
mengenai
nilai
materialisme dan sikap terhadap uang dengan perilaku konsumtif juga mendapatkan hubungan yang signifikan antara sikap dengan perilaku. Pemahaman nilai sebagai keyakinan tidak dapat dipisahkan dari model yang dikembangkan Rokeach pada tahun 1968, yang disebut Belief System Theory (BST). BST adalah organisasi dari teori yang menjelaskan bahwa keyakinan dan tingkah laku saling berhubungan, serta dalam kondisi tertentu sistem keyakinan dapat dipertahankan atau diubah. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam BST, tingkah laku merupakan fungsi dari sikap, nilai dan konsep diri. Berdasarkan theory of reasoned action yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein (1980). Teori ini lebih menekankan pada proses kognitif serta menganggap bahwa manusia adalah makhluk dengan daya nalar dalam memutuskan perilaku apa yang akan diambilnya, yang secara sistematis memanfaatkan informasi yang tersedia di sekitarnya. Kemudian muncul Theory of Planned Behaviour (TPB) (Ajzen, 1991) yang menyatakan bahwa penentu perilaku adalah niat berperilaku yang ditentukan oleh sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan. Niat diasumsikan sebagai motivasi yang dibutuhkan untuk menampilkan perilaku tertentu. Hasil penelitian Hil, Arnett, dan Mauk (2008) tentang breast feeding intention
11
menunjukkan bahwa kepercayaan memiliki hubungan positif dengan sikap, sementara referensi dari orang lain memiliki hubungan positif dengan keyakinan terhadap referensi sosial. Perbedaan sikap perempuan terhadap poligami dapat disebabkan karena perbedaan persepsi manfaat dari poligami bagi mereka. Edwards ,1954 (sebagaimana yang dikutip dalam Azwar, 2007) merumuskan suatu teori nilaiekspektansi yang disebut Model Utilitas Subjektif yang diharapkan, di mana bila seseorang harus memilih dan menentukan perilakunya ia akan memilih alternatif yang mengandung utilitas (manfaat) subjektif tertinggi, yaitu alternatif yang akan membawa kepada hasil yang paling menguntungkan. Perempuan yang sudah menikah,
maka
manfaat
utilitas
yang
diharapkan
diterimanya
untuk
dipertimbangkan sebagai dasar sikapnya terhadap poligami, cenderung lebih kompleks. Apabila perempuan menganggap bahwa poligami dapat memberikan manfaat atau dampak yang positif, maka akan berpengaruh terhadap sikapnya untuk menerima poligami. Ada beberapa dampak sikap positif terhadap poligami menurut
Faqih
(2006) yaitu perempuan akan mendapatkan pahala lebih, suami dapat berlaku lebih adil. Istri yang dipoligami akan diuntungkan jika sudah tua atau sakit karena ada istri lain yang merawat. Poerwandari (2003) menyatakan bahwa poligami dipandang dapat melindungi perempuan, karena mereka dapat “berbagi tugas” dalam memuaskan seksual laki-laki, sehingga semua diuntungkan. Laki-laki terhindar
dari
frustasi
seksual,
sedangkan
perempuan
terhindar
dari
kemungkinan tindak kekerasan pasangannya yang merasa tidak terpuaskan kebutuhan seksualnya.
12
Perempuan yang menganggap bahwa poligami mendatangkan manfaat yang negatif maka akan cenderung bersikap untuk menolak poligami. Menurut Beall (2005) ada beberapa dampak negatif dari poligami terhadap perempuan, Konflik marital akibat adanya perempuan lain dalam rumah tangga yang juga memiliki status yang sama, yakni sebagai istri yang berhak memperoleh perlakuan yang sama dari seorang suami bisa menjadi salah satu sumber yang menyulut terjadinya konflik daIam pernikahan. Secara psikologis sifat poligamis tidak banyak menimbulkan konflik batin pada pihak pria, akan tetapi secara praktis dalam kehidupan sehari-hari dan dalam lingkungan rumah tangga, pada umumnya senantiasa menimbulkan banyak protes pada pihak istri (Kartono, 1992). Perempuan di dalam pernikahan poligami berpotensi mengalami kekerasan baik oleh suaminya sendiri atau oleh isteri lain dari suaminya, dan mengalami gangguan kejiwaan, rendahnya harga diri dan kesepian yang tinggi pada wanita yang dipoligami. Istri senior memiliki fungsi yang rendah dalam keluarga, serta ketidakpuasan dalam hidup dibandingkan istri-istri yang berasal dari pernikahan monogami. Demikian juga dengan gejala kesehatan mental keduanya berbeda, terutama terkait somatisasi, depresi, rasa permusuhan, dan General Severity Index(GSI) yang lebih tinggi terdapat pada istri pertama dalam perkawinan poligami (Al-Krenawi, 2001, 2012). Pernikahan poligami juga beresiko tinggi bagi perempuan yang dipoligami untuk terinfeksi penularan virus yang menginfeksi alat kelamin atau Human Papilloma Virus (HPV) (Forghani & Ashrafi, 2012) Poligami khususnya
menjadi
penyumbang
kenaikan
angka
kematian
anak,
jika ibu adalah isteri pertama, karena keadaan di tempat tinggal
13
mengalami
tekanan,
pola
pengasuhan
yang
ditanamkan
rendah,
dan
penghasilan yang rendah (Al-Krenawi, 2006). Anak-anak tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain , pertumbuhan tubuh dan jiwa anak menjadi teraniaya dan terlantar menyebabkan anak terhambat dalam perkembangannya dan menjadi minder (Jauhari, 2001). Remaja yang memiliki orang tua yang berpoligami memiliki harga diri yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan remaja yang memiliki orang tua yang monogami (Widyastuti, 2002). Melihat dari dampak-dampak baik fisik maupun psikologis yang diakibatkan oleh praktek poligami, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga yang sudah disahkan sebagai UU No. 23 tahun 2004 dimana definisi kekerasan dalam rumah tangga itu meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi disebabkan karena banyak perempuan yang suaminya kawin lagi umumnya mengalami kekerasan psikis hingga fisik, hingga penelantaran ekonomi (poligami-arsip.blogspot.com/). Dari data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2007) sikap toleransi dan permisivitas perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga lebih tinggi daripada laki-laki. Prevalensi kekerasan dalam rumah tangga akan terus meningkat apabila sikap permisif atas kekerasan tersebut tidak direduksi. Untuk itu perlu upaya-upaya yang dilakukan untuk melakukan pencegahan, namun sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu latar belakang yang mempengaruhi sikap perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga khususnya dalam ini adalah poligami (poligami-arsip.blogspot.com/). Pitriana dan Zulaifah (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan poligami dalam Islam dengan sikap terhadap
14
poligami pada wanita muslim, dalam hal ini adalah semakin tinggi pengetahuan poligami dalam Islam yang dimiliki oleh wanita MusIim maka semakin positif (proporsional) sikap yang diberikan terhadap poligami. Selanjutnya penelitian tersebut juga menemukan bahwa perempuan yang menyatakan kerelaan dan keikhlasan untuk dipoligami ketika mereka menjadikan agama sebagai landasan utamanya, komunikasi persuasif seperti dalam majelis keagamaan yang materinya keutamaan dan manfaat poligami yang disampaikan oleh Ustadz atau ustadzah yang kompeten dan memiliki kredibilitas sebagai komunikator akan lebih memudahkan perubahan pada sikap perempuan terhadap poligami tersebut. Piaget (sebagaimana yang dikutip dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa pada tahapan dewasa awal seorang individu telah memiliki kemampuan berpikir
operasional formal.
Kemampuan ini membuat
individu
mampu
memecahkan masalah kompleks dengan kapasitas berpikir yang abstrak, logis, dan rasional. Meski demikian, perilaku perempuan pada umumnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh proses kognitifnya. Giligan (sebagaimana yang dikutip dalam Tenant, 2006) menjelaskan bahwa perempuan cenderung dipengaruhi oleh kualitas interaksi sosial dan hubungan personal yang dimiliknya. Selain itu, perubahan hormonal yang berkaitan dengan siklus menstruasi juga kerap mempengaruhi suasana hati seorang perempuan (Santrock, 2002). Pengaruh kualitas interaksi sosial dan hubungan personal keterkaitan antara suasana hati dengan tingkat hormonal akan ikut mempengaruhi proses kognitif pada diri perempuan. Proses perubahan sikap perempuan terhadap poligami, dijelaskan oleh Sari (2002) antara lain : diketahui bahwa subjek menerima poligami karena tidak
15
ingin anak-anaknya mengalami dampak dari perceraian, sehingga subjek bertahan
dengan
kehidupan
poligami
karena
anak-
anaknya.
Proses
perkembangan sikap pada subjek, adalah sebagai berikut :Pertama kali subjek tidak setuju suami menikah lagi, namun dikarenakan suami mengancam akan menceraikan subjek, maka subjek terpaksa menyetujui suami menikah lagi karena subjek masih membutuhkan suami untuk menafkahinya. Hingga saat ini subjek dapat ikhlas menerima suami menikah lagi, karena bagi subjek perkawinan poligami merupakan jalan keluar yang terbaik untuk menyelamatkan perkawinan dari perceraian. Sembiring (2007) dalam penelitiannya mengenai penyebab poligami di kota Medan mendapatkan bahwa poligami dilangsungkan karena keterdesakan ekonomi keluarga. Ada wanita yang mau menjadi ”madu” disebabkan keinginannya untuk meningkatkan ekonomi keluarga yang mengalami kesulitan akibat ketiadaan pekerjaan. Menurutnya perempuan yang mandiri secara ekonomi atau memiliki penghasilan sendiri akan menjadi otonom, bebas mengeluarkan pendapat, dan memberikan kritik. Kemudian keyakinan sosial yang berkembang dalam masyarakat mengenai poligami akan mempengaruhi keyakinan individu dan akan mempengaruhi sikap terhadap poligami terhadap istri, yaitu kecenderungan bersikap positif atau negatif. Sejalan dengan hasil penelitian di atas, sebuah studi deskriptif yang dilakukan oleh Syapriani (2010) di Kampung Lalang Medan, Sumatra Utara diketahui bahwa faktor yang membuat istri mau dipoligami yaitu dilatar belakangi oleh keinginan menjaga nama baik dan martabat keluarga, ketergantungan secara ekonomi pada suami, kepentingan anak, ingin menjadi istri yang soleha yang berbakti pada suaminya, menjaga keutuhan dan kebahagian keluarga dari
16
perbuatan-perbuatan yang dapat merusak keharmonisan keluarga seperti perselingkuhan dan perbuatan zina dan poligami dianggap sebagai suatu suratan nasib. Secara rasional objektif biasanya pendukung poligami sering memakai alasan demografi dengan mengatakan bahwa di dunia ini jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki, maka poligami akan membantu semua lelaki dan perempuan secara legal formal untuk dapat menikmati seks dan memperoleh keturunan (Poerwandari, 2003). Data BPS (BPS.go.id) hasil persentase keseluruhan usia laki-laki dan perempuan di Indonesia pada tahun 2013, maka laki-laki sebanyak 50,25% dan perempuan sebanyak 49,75%, namun hasil jika dilihat banyaknya perempuan yang belum menikah pada rentang usia 25 hingga 44 tahun persentasenya 10,83%, cerai hidup 27,22%, cerai mati sebanyak 30,03%. sementara laki-laki yang belum menikah di rentang usia yang sama persentasenya 2,39%, cerai hidup 1,08% dan cerai mati sebanyak 0,47%, sehingga memiliki selisih yang cukup besar. Sebagai akibatnya adalah banyak perempuan yang sudah berusia cukup dewasa belum menikah. poligami merupakan
salah
satu
wacana
yang
disebut-sebut
untuk
mengatasi
ketidakseimbangan tersebut. Pada wanita lajang, maka sikap terhadap poligami juga beragam. Populasi wanita dewasa yang masih berstatus lajang mengalami peningkatan seiring dengan banyaknya kesempatan dan peluang bagi wanita untuk memiliki kekuatan ekonomi sendiri untuk mengembangkan karir dan pendidikan (Reynolds & Darden, 2000). Masalah yang dihadapi wanita dewasa yang masih melajang antara lain adanya tuntutan atau tekanan dari orang tua dan keluarga untuk segera menikah, mencari nafkah sendiri, merasa risih ketika ditanya kapan
17
akan menikah, panggilan “ibu” yang tidak nyaman, lelaki bersikap kurang menghargai, membentengi diri dari laki-laki iseng, merasa tidak nyaman dengan pandangan masyarakat, memiliki kekhawatiran untuk bisa hamil dan melahirkan, mengelola dorongan seksual, malu karena belum menikah, memiliki perasaan iri kepada saudara atau teman yang sudah menikah. Hal tersebut mendorong kesanggupan perempuan untuk menjalani perkawinan poligami yang hanya memerlukan status saja disebabkan secara ekonomi mereka telah berada pada posisi mapan. Hal ini terjadi pada beberapa kasus perempuan dengan jenis pekerjaan tertentu, seperti pedagang, beberapa pegawai swasta dan PNS yang memang telah tercukupi secara finansial (Hirmaningsih, 2008) Faktor budaya juga ikut mewarnai sikap perempuan terhadap poligami tersebut. Kasim dan Idrus (1983) meneliti perkawinan dan perceraian pada masyarakat suku Bugis, ditemukan bahwa dari 613 orang responden perempuan yang menikah, maka 10% diantaranya menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Poligami dianggap dapat menaikkan status sosial seseorang yang melakukannya, karena perkawinan yang dilaksanakan menurut adat tidak membutuhkan biaya yang sedikit jumlahnya, hal ini berkaitan dengan kehormatan seluruh keluarga. Geertz (1983) menyebutkan pada sebagian masyarakat Jawa, menganggap bahwa perkawinan poligami dapat menaikkan derajat seseorang dan merupakan simbol tingginya kedudukan laki-laki. Dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab tersebut di atas, kiranya diperlukan komponen psikologis yang dapat diintervensi untuk membentuk sikap dan mempertahankan sikap perempuan muslim agar tidak mudah menerima poligami sebagai kepasrahan hidup. Bukti bukti penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara harga diri dengan sikap. Miller (Fuhrmannn, 1990)
18
yang meneliti harga diri dengan sikap perempuan terhadap perilaku seks, menemukan bahwa semakin rendah harga
diri maka semakin tinggi sikap
persetujuannya terhadap hubungan seks pranikah, begitu juga sebaliknya. Steinberg (2002) mengidentifikasi faktor-faktor protektif yang sangat penting untuk menurunkan kecenderungan keterlibatan remaja dalam penyalahgunaan NAPZA, diantaranya adalah harga diri yang tinggi. Menurut Kurnia (1995) bahwa kebutuhan akan harga diri akan menghasilkan rasa dan sikap percaya diri, rasa berharga dan mampu. Harga diri sangat berpengaruh pada perilaku seseorang, karena harga diri berperan dalam proses berpikir, emosi, keputusan-keputusan yang akan diambil dan bahkan berpengaruh pada nilai-nilai, cita-cita serta tujuan yang akan dicapai oleh individu (Branden, 1981). Menurut Rosenberg (sebagaimana yang dikutip dalam Fuhrmann, 1990) bahwa harga diri merupakan rasa menyukai diri sendiri dengan berdasarkan halhal yang realistis, antara lain struktur keluarga, interaksi keluarga, dan keakraban dalam keluarga, persepsi individu terhadap status sosial ekonomi, ras, suku, kebangsaan.
Individu
cenderung
tergantung
pada
sistem
nilai
untuk
menyelesaikan konflik sehingga harga diri dapat dipertahankan atau ditingkatkan, harga diri tinggi biasanya lebih sulit diubah sikapnya daripada yang memiliki harga diri rendah (Faturochman, 2006). Menurut Anggoman dan Wirawan (2002) mengungkapkan bahwa karakteristik perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam hal ini termasuk poligami diantaranya adalah memiliki sikap diam dan patuh serta perasaan rendah diri. Swastinasari (2011) juga menambahkan karakteristik korban diantaranya menerima dominasi dan superioritas laki-laki, merasa tidak memiliki
19
hak asasi, mengakui kesalahan meskipun tidak bersalah, bertanggung jawab atas tindakan pasangan, rasa harga diri didasarkan atas kemampuan menarik dan mempertahankan pasangan bahkan seringkali istri memiliki asertivitas yang rendah menjadi istri yang “takut suami” dan kehilangan hak-hak pribadi serta harga dirinya, akhirnya mereka diam saja jika suami tidak mau tahu kondisi istri begitu pula saat suami melakukan tindak kekerasan. Branden (1981) menjelaskan bahwa tingkatan harga diri seseorang akan berdampak pada bagaimana seseorang bersikap dengan pasangan hidupnya, anak-anaknya, dan juga teman-temannya. Tinggi rendahnya harga diri dapat mempengaruhi proses berfikir, emosi, keputusan-keputusan yang diambil, dan bahkan terhadap nilai-nilai serta tujuan hidup seseorang. Hal ini karena harga diri merupakan suatu kebutuhan
dasar
individu
yang
mampu menentukan
kebahagiaan melalui keputusan-keputusan yang dipilih untuk mengatasi ketidakpuasan (Sanford & Donovan, 1984). Faktor lain yang membentuk sikap adalah asertivitas. Asertivitas merupakan aspek yang sangat penting dalam perilaku interpersonal. Individu yang memiliki asertivitas yang memadai akan mampu mengekspresikan pendapat dan perasaannya secara adekuat. Asertivitas yang merupakan pencerminan keterampilan sosial seseorang merupakan aspek interpersonal yang sangat berpengaruh bagi sikap perempuan muslim terhadap poligami. Towsend (2009) menyatakan bahwa untuk mengatasi perilaku yang muncul sebagai dampak dari kekerasan dalam rumah tangga dapat diberikan terapi asertif. Teknik ini berguna untuk melatih subjek yang mengalami kesulitan dalam menyatakan sikapnya bahwa tindakannya adalah layak atau benar, terutama
20
pada individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan mengatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya. Pelatihan terapi asertif yang dilakukan kepada para istri dengan resiko kekerasan dalam rumah tangga memiliki sikap terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang lebih negatif dibandingkan dengan yang tidak diberikan terapi asertif (Wardani, 2011). Terapi asertif berfungsi untuk menyatakan sikap, menyatakan perbedaan pendapat antara suami dan istri dan mampu bekerjasama dalam mengambil keputusan tersebut, karena perbedaan pendapat tersebut dapat menjadi konflik jika tidak dikelola dengan benar (Nurcahyanti, 2010). Galassi dan Galassi (1997) menyatakan bahwa perilaku asertif diasumsikan bahwa pasangan suami istri memiliki hak yang sama dalam suatu hubungan, baik suami maupun istri yang asertif mampu menyatakan sikapnya secara terbuka. Menurut Rini (2001) individu dikatakan memiliki asertivitas yang tinggi jika mampu mengkomunikasikan dengan jujur dalam mengekspresikan perasaan, pendapat dan kebutuhan proposional tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan ataupun merugikan pihak lainnya. Banyak keuntungan yang bisa didapatkan jika seseorang memiliki asertivitas yang tinggi, di antaranya seseorang dapat belajar untuk lebih menghargai dirinya sendiri dan orang lain, dapat mengekspresikan pikiran positif dan negatif, percaya diri, mengembangkan kontrol diri, mengembangkan kemampuan untuk menolak tanpa rasa bersalah, dan berani meminta bantuan orang lain ketika membutuhkan (Zega, 2006). Asertivitas sangat perlu dilakukan agar setiap orang menyadari bahwa dirinya memiliki hak yang harus dihormati oleh orang lain. Status perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki, terkait gender sehingga asertivitas wanita lebih rendah pula (Baron & Byrne, 2000;
21
Twenge 2001). Rathus dan Nevid (1983) juga mengungkapkan bahwa perempuan pada umumnya lebih sulit berperilaku asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikirannya serta diharapkan lebih banyak menurut daripada lakilaki.
Golub
dikarenakan
(2004) sejak
mengungkapkan dulu
perempuan
bahwa
perempuan
dibiasakan
oleh
kurang
keluarga
asertif ataupun
lingkungannya untuk selalu menurut, menghormati dan berperilaku non-asertif lainnya, terutama kepada pria ataupun orang lain yang lebih berkuasa. Hal itu mengakibatkan perempuan yang mengalami kekerasan sulit untuk berperilaku asertif dan kurang mampu mendapat dukungan sosial untuk keluar dari masalahnya (Luhulima, 2000). Menurut Cawood (1997) asertivitas sangatlah diperlukan dalam membina suatu hubungan agar dapat bersikap tepat ketika menghadapi situasi saat hak-hak seseorang dilanggar. Individu dengan asertivitas rendah biasanya pemalu, tertutup, dan tidak dapat menyatakan keinginannya. Mereka selalu mengerjakan apa yang disukai dan diperintahkan oleh orang lain, tanpa banyak bertanya dan tanpa memperhatikan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri (De Vito, 2007). Mempertahankan hubungan juga seringkali dijadikan alasan seseorang untuk tidak asertif karena tidak ingin melihat pihak lain sakit hati. Padahal jika tidak ada keberanian menolak atau mengemukakan keinginan sendiri, maka justru dapat membuat seseorang dimanfaatkan oleh orang lain (Rathus & Nevid, 1983). Perempuan yang memiliki harga diri dan asertivitas yang rendah akan mengalami hambatan dalam hubungan sosialnya. Akibatnya mereka menjadi sangat tergantung secara emosional terutama kepada pasangan hidup, mereka memiliki kebutuhan yang sangat besar untuk dapat diterima. Oleh karena itu mereka akan mengikuti begitu saja apa yang dikatakan atau diminta oleh
22
pasangannya terutama terkait hal poligami, sebagai usaha agar ia tetap diterima atau diakui atau untuk sekedar mempertahankan hubungan. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk meneliti harga diri dan asertivitas hubungannya dengan sikap perempuan terhadap poligami. Dalam penelitian ini penulis melibatkan sejumlah perempuan muslim mulai dari usia dewasa awal hingga dewasa akhir baik yang sudah menikah atau yang sudah siap menikah. Karena di usia ini merupakan periode perkembangan manusia yang disertai dengan perubahan fungsi biologis dan motoris, pengamatan dan berpikir, motif-motif dan kehidupan afeksi, hubungan sosial serta integrasi masyarakat (Monks, 2002). B. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Apakah harga diri dapat memprediksi sikap perempuan muslim terhadap poligami? 2. Apakah asertivitas dapat memprediksi sikap perempuan muslim terhadap poligami ? 3. Apakah harga diri dan asertivitas bersama-sama dapat memprediksi sikap perempuan muslim terhadap poligami?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran berbagai jurnal dan karya ilmiah, telah banyak dilakukan
penelitian
mengenai
poligami,
baik
pro
dan
kontra
yang
menyelimutinya dan berbagai dampak baik psikis maupun psikologis. Selain itu juga banyak ditemukan berbagai penelitian mengenai harga diri dan asertivitas.
23
Beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini di antaranya mengenai makna penyesuaian istri yang suaminya berpoligami yang dilakukan oleh Anggraini (2009) menemukan bahwa makna penyesuaian bagi istri yang suaminya berpoligami adalah menjalani hidup yang tidak banyak menuntut, bersyukur dengan nikmat yang ada. Makna penyesuaian bagi istri yang suaminya berpoligami bersumber dari creative values, experiential values, dan attitude values. Peneliti menyebutkan bahwa pemaknaan istri tentang poligami berkaitan dengan bagaimana masing-masing responden memaknai penyesuaian dengan suami mereka yang berpoligami. Al-Krenawi (1999) juga meneliti tentang poligami di Arab, subjeknya adalah wanita yang menjalani perkawinan poligami di pusat kepedulian kesehatan primer. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa istri tua atau senior memiliki penghargaan diri lebih rendah dibandingkan dengan istri-istri muda. Selain itu pada tahun sebelumnya Graham bersama kedua temannya Alean Al Krenawi dan Salem Al Krenawi (1997) telah meneliti tentang pekerja sosial dan keluarga pada suku Arab Badui. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa istri tua memiliki symptom somatic, anak-anak dari perkawian poligami memiliki permasalahan tingkah laku yang beragam dan pencapaian akademik di bawah rata-rata. Kedua peneltian Alean Al Krenawi ini merupakan penelitian bersifat klinis. Hasil penelitian Widyastuti (2002) yang meneliti tentang peran status perkawinan poligami dan monogami orang tua terhadap harga diri, koping dan depresi menemukan bahwa status perkawinan orang tua secara keseluruhan memberikan pengaruh signifikan terhadap harga diri, perilaku koping dan tingkat depresi pada remaja.
24
Nevo dan Al-Krenawi (2006) juga meneliti tentang poligami. Penelitian ini menarasikan tentang kesuksesan dan kegagalan keluarga poligami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa poligami berhubungan dengan variasi kesulitan emosi pada anggota keluarganya. Ketika anggota keluarga poligami mengalami kegagalan, mereka cenderung menjadi marah, cemburu, tegang, melawan, emosi yang tidak stabil dan konflik lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Zulika (2011) tentang empati interaktif keluarga poligami. Ditemukan bahwa kedua responden isteri yang dipoligami diawali dengan sikap menolak poligami hingga memilih memutuskan menerima keadaan karena adanya nilai kerukunan dalam budaya Jawa. Kemudian terjadi penghayatan atas perasaan orang lain “bagaimana jika aku jadi dia” yang terjadi secara timbal balik dan terus menerus membutuhkan penyesuaian dan proses penerimaan individu. Pernikahan poligami tidak selalu berdampak negatif ketika ada sikap empati yang interaktif terjalin dalam rumah tangga yang dijalani, dan sebaliknya tidak adanya empati yang bersifat interaktif membuat konflik dalam keluarga semakin besar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggoman dan wirawan (2002) mengungkapkan bahwa karakteristik perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga di antaranya memiliki sikap patuh terhadap suami serta perasaan rendah diri. Penelitian yang dilakukan Djanah, Rustam,Nurasiah, Sitorus dan Batubara (2002) mengungkap bahwa sikap yang dilakukan istri terhadap kekerasan yang dilakukan suami untuk menghindari konflik yang lebih besar dan kekerasan yang semakin meningkat, umumnya istri cenderung mentolerir dan menerima kekerasan yang dialami.
25
Penelitian yang dilakukan oleh Swastinasari (2011) mengenai peran gender dan self esteem denga perilaku asertif istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara peran gender (feminim, maskulin, androgini) dan self esteem secara bersama-sama dengan perilaku asertif pada istri korban KDRT. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang lainnya adalah sepanjang pengetahuan penelitian berdasarkan hasil studi literatur yang telah dilakukan, belum ada penelitian yang menguji harga diri dan asertivitas hubungannya dengan sikap perempuan terhadap poligami. Walaupun ada penelitian terkait, sebagian besar hanya meneliti dampak dari poligami dan diperuntukkan bagi subjek yang berbeda yaitu anak atau remaja dari korban orang tua yang berpoligami. Sementara itu penelitian ini akan dilakukan oleh peneliti diperuntukkan bagi perempuan dewasa baik yang sudah menikah ataupun belum menikah, baik yang hidup berpoligami ataupun tidak. Selain itu variabel-variabel yang dihubungkan dalam penelitian ini berbeda dengan variabel pada penelitian-penelitian yang sudah ada.Hal ini telah menunjukkan adanya perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Berangkat dari banyaknya fenomena kasus poligami di berbagai kalangan masyarakat, maka penelitian ini sepatutnya perlu segera dilakukan sebagai wujud atensi dan kepedulian peneliti terhadap permasalahan keluarga khususnya kasus perceraian ditinjau dari sudut pandang psikologi sosial.
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan asertivitas dengan sikap perempuan muslim terhadap poligami.
26
E. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini akan memberikan data empiris mengenai hubungan harga diri dan asertivitas dengan sikap perempuan terhadap poligami. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat memperkaya sumbangan khasanah keilmuan khususnya psikologi sosial dan aplikasinya dalam kajian masalah keluarga. 2. Secara Praktis Pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap perempuan terhadap poligami.