BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Renungan tentang manusia oleh manusia merupakan salah satu kesibukan tertua dalam sejarah kemanusiaan, sekalipun tidak semuanya dapat dibuktikan melalui rekaman tertulis berupa prasasti atau dokumen (Hassan, 2014). Permenungan tentang manusia yang meninggalkan jejak persepsi tentang alam sekitar, dirinya sendiri, serta interaksi antara keduanya, juga kesadaran tentang keterkaitan antara dirinya dengan lingkungannya yang langsung maupun dengan alam semesta, bahkan dengan berbagai daya yang dianggapnya sebagai kehadiran supranatural, adalah bukti manusia sebagai Sang Penafsir Dunia. Manusia sebagai penafsir dan pembentuk diri serta dunianya berhubungan erat dengan kebahagiaan hidup di dunia (Kira, 2012). Permenungan tentang manusia oleh manusia, dapat dirunut melalui sejarah psikologi sebagai ilmu. Sebagai suatu cabang ilmu, psikologi memang tergolong muda. Didirikannya laboratorium psikologi di Leipzig oleh Wilhem Wund pada akhir abad ke-20 menandai kelahiran psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Namun, sebagai kajian tentang jiwa manusia, psikologi tergolong sangat tua. Sejak zaman Yunani Kuno, gejala kejiwaan sudah dipikirkan oleh para filsuf. Ada Demokritos (460-370 SM) yang mengatakan bahwa jiwa adalah hasil aktivitas atom-atom yang lebih ringan dan cepat geraknya. Ada Plato yang menjadikan asal-usul dan ciri-ciri jiwa sebagai salah satu pokok pemikirannya. Lalu Aristoteles, murid Plato, menegaskan bahwa di masa depan dibutuhkan sebuah ilmu tentang psyche manusia: psikologi. Kita juga dapat menemukan pemikiran St. Agustinus dan Thomas Aquinas tentang kesadaran di Abad Pertengahan. Pembahasan mengenai gejala kejiwaan, mencakup pikiran, perasaan, dan tingkah laku manusia juga dibahas oleh para filsuf renaissance dan filsuf modern, di antaranya Thomas Hobbes, Pico della Mirandola,
John Locke, J.J. Rousseau, Rene Descartes, Immanuel Kant, F.W. Nietzsche, Henri Bergson, dan Edmund Husserl. Psikologi juga menjadi pokok bahasan filsuf abad ke-19 dan ke-20, di antaranya Soren Kierkegaard, Karl Japers, N.A. Berdyaev, Martin Heidegger, Martin Buber, dan Jean Paul Sartre (Takwin, 2014). Gejala kejiwaan manusia, tidak hanya dikaji oleh para filsuf Yunani Kuno, Abad Pertengahan, Renaissance, Abad Modern, para filsuf antropolog, dan para filsuf eksistensialis. Namun, gejala kejiwaan juga dikaji di Jawa oleh para filsuf Jawa yang dalam konteks psikologi disebut sebagai psikologi pribumi. Hadirnya psikologi pribumi ini didorong oleh kenyataan bahwa tak ada psikologi positivistik yang bisa berlaku objektif, universal di manapun juga. Sebagaimana kenyataan yang didapat dari penelitian Harry C. Triandis dan David Matsumoto bahwa tidak ada psikologi positivistik yang bisa berlaku objektif, universal di manapun juga sehingga konsep yang berlaku pada satu kelompok bangsa belum tentu berlaku pula untuk bangsa yang lain (Matsumoto, 2008). Asumsi lain yang melatari munculnya psikologi pribumi adalah mustahil memahami sepenuhnya psikologi orang di etnis tertentu atau suatu kelompok sosial tanpa memahami premis sosial, historis, politik, ideologis, dan religious yang membentuk orang-orang di kelompok itu. Psikologi pribumi, dicirikan oleh penggunaan konsep dan metodologi yang diasosiasikan dengan kelompok kultural yang diteliti (Ho, 1998). Kim dan Berry, 1993 (dalam buku Indigenous and Cultural Psychology. Editor: Uichol Kim dkk,. 2010, hal. 7) mendefinisikan psikologi pribumi sebagai studi ilmiah atas perilaku manusia, yang didesain untuk orang dan penduduk asli yang tidak pindah ke daerah lain. Seperti “rasa” di Jawa dengan “emosi” atau “feeling” di Amerika Serikat. “Rasa” Jawa lebih dari sekedar “rasa” yang diungkapkan sebagai “feeling”, “emotion”, “sentimentality”, “lust”, “mood”, atau “sensation”. “Wong Jawa” memaknai rasa sebagai pengecapan, perasaan, karakter manusia, pernyataan dari kodrat Illahi, hati nurani (Jatman, 2008).
Ada tiga tokoh besar psikologi pribumi Jawa. Pertama adalah “Candra Jiwa Soenarto” yang diturunkan dari babon kitab Sasangka Jati oleh Prof. Dr. Soemantri Hardjoprakoso di tahun 1956, ketika Soemantri Hardjoprakoso di belahan bumi lain –Rijk Universiteit Leiden—menulis disertasi yang diberi judul “Indonesisch mensbeeld als basis ener psychoterapi” untuk promosi doktor di bidang Ilmu Jiwa. Dalam babon kitab Sasangka Jati Pangestu ini, manusia hidup dalam tiga “lingkungan”, yakni alam sejati, badan halus dan badan jasmani. Di alam sejati itulah hadir suksma kawekas, suksma sejati, dan roh suci. Suksma kawekas adalah “ada” yang tak berubah, suksma sejati adalah “ada” yang berubah, sedangkan roh suci adalah “ada” manusia dalam badan halus. Ketiganya disebut “Tri Purusa”, dan “Aku” adalah cerminan dari Tri Purusa tersebut. Manusia melalui Rahsa Jatinya berkomunikasi dengan roh suci, suksma sejati dan suksma kawekas, apabila ia selalu sadar, percaya dan taat pada Tuhan (Jatman, 1997). Kedua, adalah R. M. Panji Sosrokartono. Beliau dikenal sebagai orang yang benarbenar prihatin akan nasib bangsanya dan menfatwakan berbagai kearifan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bangsanya yang pada saat itu dijajah bangsa lain. “Sugih tanpa bandha/ Digdaya tanpa aji/ Nglurug tanpa bala/ Menang tanpa ngasorake” (kaya tanpa harta, kuat tanpa ajimat, menyerang tanpa pasukan, menang tanpa mengalahkan) adalah salah satu pernyataan R. M. Panji Sosrokartono yang banyak dianut orang Jawa (Jatman, 1997). Aliran ketiga adalah ajaran-ajaran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram (KAS). KAS, yang lahir dengan nama Raden Mas Kudiarmadji pada tanggal 20 Mei 1892 di dalam Kraton Yogya ini adalah putra ke 55 di antara 79 orang putra-putri Sultan Hamengku Buwana VII dari istrinya tingkat kedua (garwa ampeyan) B.R.A. Retnomandojo putri patih Danurejo VI dan dilantik menjadi pangeran dengan nama Bandoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram pada 1910 genap berusia 18 tahun (Bonneff, 1993). Sebagai seorang pangeran yang hidup di istana Kraton, dalam hubungan antarwarga istana menyaksikan dan merasakan sendiri ketidakserasian hubungan antar abdi dalem
(pegawai istana). Kondisi ini telah mempertebal kekecewaannya sebagai wujud pergaulan antarmanusia. Ia tidak puas. Ia merasakan kekecewaan. Ia hanya menjumpai perintah dan kewajiban. Ia mengeluh bahwa seprana-seprene durung tau kepethuk wong (selama ini belum pernah bertemu orang). Rasa tidak puas dan kecewa itu menjadi penyebab Suryomentaram
tidak
merasa
nyaman
tinggal
di
istana.
Sang
pangeran
muda
Suryomentaram antara 1912 sampai 1920, sering melakukan hal yang aneh-aneh. Ia sering meninggalkan istana untuk (lelaku) pergi ke tempat-tempat yang dikeramatkan untuk bersemedi (Gua Langse, Gua Cerme), mengunjungi makam-makam keramat, membagibagikan harta bendanya. Kekayaan material dianggapnya menjadi sumber malapetaka (Bonneff, 1993). Pada masa ini, ia juga banyak membaca buku-buku ilmu pengetahuan, giat belajar menambah ilmu antara lain sejarah, filsafat, ilmu jiwa, agama serta teosofi. Kegemaran mendalami ilmu di atas, ditopang oleh kemampuannya berbahasa Belanda, Inggris dan Arab, serta belajar mengaji agama pada K.H. Achmad Dahlan (Suryomentaram, 1986:188). Namun, dipuncak kekecewaan, Suryomentaram mengajukan diri untuk keluar dari Kraton. Sang Pangeran Suryomentaram pun, melepaskan Kepangeranannya dan memilih hidup sebagai dan bersama rakyat biasa di Bringin, Salatiga (Bonneff, 1993). KAS melakukan perjalanan dari kampung ke kampung di pelosok tanah Jawa untuk memberikan pendidikan masyarakat berupa ceramah atau wejangan yang disebut sebagai “Kawruh Begja Sawetah”. Kumpulan wejangan KAS yang awalnya disebut sebagai Kawruh Begja Sawetah inilah yang kemudian disebut dengan Kawruh Jiwa (Jatman, 2008). Kawruh Jiwa KAS, mengkaji manusia. Sementara yang disebut manusia itu ialah mulai lahir sampai meninggal dunia, sebelum manusia lahir belum disebut sebagai manusia dan setelah manusia meninggal sudah tidak lagi disebut sebagai manusia. Dengan demikian Kawruh Jiwa adalah pengetahuan hal-hal yang ‘nyata’, bukan pengetahuan ‘katanyakatanya’ (jarene-jarene). Kawruh Jiwa itu bukan agama, juga bukan kepercayaan kepada
satu kekuatan tertentu. Kawruh Jiwa bukan ajaran baik-buruk, juga bukan ajaran benarsalah. Maka, di Kawruh Jiwa tidak ada kewajiban harus melakukan ‘ini-itu’ atau menjauhi ‘iniitu’. Belajar Kawruh Jiwa berarti meneliti jiwa dan sifat-sifatnya. Dengan belajar Kawruh Jiwa diharapkan bisa hidup jujur, tabah, tenteram, penuh dengan rasa kasih sayang kepada sesama, dan bisa hidup bersama-sama dengan orang lain di masyarakat (Suryomentaram, 1989). Membantu orang Jawa agar tetap bisa bahagia dalam situasi “yang seperti apa pun”, inilah tujuan dari diuraikannya Kawruh Jiwa KAS yang berpijak kepada “rasa hidup” manusia. KAS mengakui bahwa rasa sebagai modal seseorang menjadi manusia tanpa ciri, sektarian, egois, dan fanatik. Rasa justru membuat orang bebas dan merasa diri dalam universalitas karena kemauan menjadi manusia utuh, lahir dan batin (Jatman, 2008). Ajaran-ajaran kawruh jiwa KAS tidak berhenti hanya menjadikan manusia bahagia sebagai seorang individu. Namun, berbekal rasa dan olah rasa (mawas diri) diharapkan manusia dapat bahagia bersama orang lain atau behagia secara bersama-sama (begja sesarengan) yang dalam prespektif kawruh jiwa disebut dengan windu kencana. Windu kencana adalah sebuah jaman yang ketika orang-orang secara bersama-sama merasakan bahagia, tenteram, damai (Suryomentaram, 1989). Psikologi sebagai ilmu, terkhusus psikologi pribumi KAS diharapkan mampu memberikan sumbang sih solusi dalam situasi dunia saat ini. Situasi dimana dunia ditandai oleh suasana keberagaman budaya sebagai akibat kemajuan teknologi yang mempermudah proses globalisasi. Proses globalisasi ini melibatkan perjumpaan unsur-unsur keberagaman budaya yang semakin intens sehingga pemahaman manusia akan dunianya semakin menyatu dan terikat erat menembus batas-batas regional. Kondisi ini membaut manusia diajak berpikir mengenai tema keseluruhan atau kesatuan dari keberagaman (unity in diversity) (Kira, 2012).
Keberagaman budaya merupakan salah satu topik yang paling penting di dunia saat ini.
Keberagaman
budaya
merupakan
salah
satu
tantangan
terbesar.
Sebab,
keanekaragaman budaya selain telah menciptakan lingkungan yang indah untuk tantangan pribadi dan pertumbuhan, keberagaman juga membawa serta meningkatkan potensi kesalahpahaman yang dapat menyebabkan kebingungan dan kemarahan (Matsumoto & Juang, 2004). Contoh dari keberagaman budaya sebagai tantangan terbesar yang memiliki dua sisi mata uang, satu sisi menciptakan keindahan dan pertumbuhan, sisi lain menyebabkan kebingungan dan kemarahan adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta, sebagai miniatur keberagaman budaya Indonesia yang terdiri dari perbedaan latar belakang suku, budaya, dan agama menjadi kekuatan membangun komitmen berbangsa dan bernegara. Dengan keberagaman yang ada, terjadi dinamisasi dialog budaya antaretnis dan antaragama (Hamengku Buwana X, 2013). Namun, pada sisi lain, akhir-akhir ini hubungan yang harmonis antarkultur dan subkultur, keberagaman yang seharusnya menjadikan dinamisasi dialog budaya antarkultur dan subkultur tersebut terkoyak dengan munculnya berbagai konflik sosial dalam bentuk kekerasanyang ditengarai berlatar belakang isu SARA (Kuncoroyekti, 2012). Pada tanggal 15 Januari 2008 asrama mahasiswa milik mahasiswa Sulawesi Selatan, Saweri Gading yang terletak di jalan Sultan Agung Yogyakarta diserang massa tidak dikenal yang mengakibatkan 4 sepeda motor terbakar, 7 sepeda motor rusak berat, dan sebagian asrama dibakar sehingga kondisi asrama dengan segala perabotannya porakporanda (Setyawan, 2008). Unsur-unsur kekerasan dan pengrusakan juga terjadi di ranah kebudayaan masyarakat, yaitu terjadinya pengrusakan makam Kyai Ageng Prawiropurbo (Ndoro Purbo) di kompleks pemakaman keluarga Keraton Yogyakarta. Makam Ndoro Purbo yang adalah cucu Sri Sultan HB VI yang sudah sejak zaman Jepang ramai diziarahi ini dirusak oleh sekelompok orang bercadar (Kurniawan, 2013).
Konflik sosial juga mulai merambat ke Kabupaten Bantul. Minggu, 2 Maret 2014 segerombolan orang yang berjumlah sekitar 50 orang dengan menggunakan cadar, pakaian serba putih dan celana gantung, membawa senjata tajam berupa linggis dan pedang, nekat merusak rumah dan perabotan serta kendaraan warga Dusun Nitipuran RT 8 Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul (Adam dan Waskita, 2014). Sebagai dampak dari penyerangan rumah warga oleh gerombolan bercadar tersebut, Senin, 3 Maret 2014 warga di Kampung Nitipuran, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul berencana akan menutup Pesantren, TK, SD, Darusunnah (Suprapto dan Waskita, 2014). Demikian, keberagaman pada akhirnya menjadi tantangan, kalau bukan ancaman. Dan masa depan Indonesia akan tergantung pada bagaimana menangani keragaman ini (Suseno, 2001). Sebagaimana dinyatakan oleh para ilmuwan, apabila perbedaan-perbedaan yang ada tidak dipelihara dengan baik akan dapat meningkatkan eskalasi permusuhan (Huntington, 1996 dan Horowitz, 1995). Pentingnya persatuan dalam keberagaman budaya dengan demikian adalah sesuatu yang menjadi prioritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai landasan berbangsa dan bernegara, Indonesia bukan hanya bertumpu pada perangkat keras seperti kesatuan politik (pemerintahan), kesatuan teritorial, dan inklusivitas warga, akan tetapi juga memerlukan perangkat lunak berupa eksistensi kebudayaan nasional. Bahwa persatuan nasional memerlukan apa yang disebut Soekarno sebagai “identitas nasional”, “kepribadian nasional”, dan “kepribadian dalam kebudayaan” (Latif, 2011). Sebagai kelompok umum, Indonesia telah memiliki konsepsi kebangsaan untuk menjawab keberagaman budaya dan kelompok. Pertama, Indonesia memiliki dasar Pancasila dengan sila ketiganya yaitu Persatuan Indonesia. Kedua, suatu konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan (unity in diversity, diversity in unity), Indonesia memiliki slogan yang dinyatakan dalam ungkapan “bhinneka tunggal ika” (Latif, 2011).
Persatuan di Jawa, sebagai bentuk kepribadian dan kebudayaan masyarakat Jawa terdapat dalam konsep pergaulan masyarakat Jawa itu sendiri. Dimana, konsep pergaulan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari cita-cita mistik. Etika kebatinan menyatakan bahwa cita-cita mistik kemanunggalan dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan itu adalah model bagi hubungan manusia dengan masyarakat (Mulder, 1983). Semetara dalam Kawruh Jiwa KAS sebagai ilmu jiwa Jawa aliran ketiga, dalam konteks perilaku aktual kehidupan sehari-hari terkait dengan rasa (raos) persatuan dapat dilihat dari semboyan “Sopo wonge golek kepenak liyane ngepenakake tanggane, iku padha karo gawe dhadhung sing kanggo njiret gulune dhewe”. Barang siapa mencari rasa enak selain mengenakkan tetangga, itu sama saja dengan membuat tali untuk menjerat lehernya sendiri yang berarti bahwa “ora ana kepenak sakliyane ngepenakake liyan”, tidak ada rasa enak selain mengenakkan orang lain (Suryomentaram, 1990: 14). Adalah Dusun Bangun Rasa di Kabupaten Bantul, sebuah padusunan kecil disisi timur dari pusat pemerintahan kabupaten Bantul, dan di arah selatan kurang lebih berjarak 15 KM dari pusat kota Daerah Istimewa Yogyakarta, yang masyarakat di dalamnya adalah pelaku dari rasa persatuan yang diajarkan oleh KAS dalam ajaran kawruh jiwa. Sebagaimana ungkapan Koentjoro bahwa masyarakat Dusun Bangun Rasa adalah pelaku ajaran KAS tentang raos persatuan yang berwujud guyub rukun sesama warga dan kekompakan, yang masih diterapkan dalam bentuk tradisi dan kebudayaan. Dan untuk menilai serta memahami kebudayaan Indonesia harus bisa melihat langsung adat dan istiadat di masyarakat (Aditya, 2013). Rasa persatuan warga Dusun Bangun Rasa juga dapat dilihat pada saat pengadaan pementasan Kethoprak Ki Ageng Suryomentaram pada 7 September 2013. Selain pemain kethoprak yang hampir seratusan orang, semua kebutuhan pementasan tercukupi oleh warga sendiri. Para warga berswadana, iuran untuk pengadaan pentas kethoprak tersebut. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Pelajar Kawruh Jiwa Yogyakarta, Ki PA, bahwa
pementasan kethoprak terselenggara dengan pembiayaan swadaya dari warga Dusun Bangun Rasa dan sekitarnya (Idhom, 2013). Diterapkannya ajaran Kawruh Jiwa KAS tentang rasa persatuan dalam kehidupan sehari-hari di Dusun Bangun Rasa tersebut adalah sesuai dengan apa yang menjadi pedoman bagi masyarakat Jawa yang tertulis dalam Serat Wedhatama: “Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese dur angkara (33). Bahwa ilmu pengetahuan itu hanya dapat dicapai dan dikuasai dengan laku sesuai dengan apa yang diajarkan (ajaran teori harus dipraktekkan). Dan laku itu harus disertai kemauan yang tulus dan bersungguh-sungguh hati, di samping itu yang terpenting adalah keteguhan iman/budi untuk menghadapi segala godaan, dan menjauhkan sikap-laku yang serba negatif (Mangkunagara IV, 1984). Sebagai gambaran heterogenitas masyarakat Bangun Rasa dalam konteks keberagaman dan kelompok-kelompok sosial lainnya, Dusun Bangun Rasa adalah sebuah Dusun yang beragam. Walaupun hampir 100% warga memeluk agama Islam, namun di dalamnya
terdapat
beberapa
kelompok
Islam,
seperti
Nahdhatul
‘Ulama
(NU),
Muhammadiyah dan MTA. Khusus untuk warga Islam NU memiliki beberapa bentukan kelompok lagi, yaitu kelompok pengajian Ibu-ibu, kelompok Yasinan, Nariyahan dan seni Sholawat Jawa untuk bapak-bapak, kelompok hadrah untuk para remaja dan Taman Pendidikan Al Quran untuk anak-anak. Sementara, kelompok-kelompok sosial di Bangun Rasa juga beragam, ada kelompok Ibu-ibu Dusun Bangun Rasa, ada kelompok Bapakbapak per RT (terdapat tiga RT), ada kelompok Karang Taruna, dan ada beberapa kelompok tani. Demikian, gambaran heterogenitas masyarakat Bangun Rasa, namun dengan beragamnya kelompok di Dusun Bangun Rasa bukan menjadikan perpecahan dan perselisihan, justru semua menjadi penguat bagi persatuan warga Bangun Rasa. Hal ini disebabkan oleh para warga yang menerapkan jiwa persatuan dari ajaran Kawruh Jiwa KAS (lihat W2.S1.SAG: 22-24 dan W3.S1.SAG: 287-311).
Bahwa jiwa persatuan warga Bangun Rasa semakin “kuat” dengan hadirnya Kawruh Jiwa KAS di Bangun Rasa, bahwa warga Bangun Rasa dapat bersatu dalam keberagaman kelompok , adalah kesan yang diperoleh oleh Ki PA terhadap Dusun Bangun Rasa (lihat W1.IA1.PA: 83-98). Oleh sebab warga Dusun Bangun Rasa adalah pelaku dari ajaran raos persatuan Kawruh Jiwa KAS, maka bagian psikologi sosial Fakultas Psikologi UGM mengadakan kunjungan ke Dusun Bangun Rasa sebagai salah satu rangkaian kegiatan para peserta Sekolah Kawruh Jiwa, yaitu Sekolah Kawruh Jiwa I pada 5-6 Desember 2013 (Lutfie, 2013) dan Sekolah Kawruh Jiwa II pada 14-16 November 2014 (Widiyanto, 2014). Bermula dari sini, penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian ajaran Kawruh Jiwa KAS tentang raos persatuan di Dusun Bangun Rasa, baik berupa pemahaman konseptual maupun penerapan aktual dalam kehidupan sehari-hari. Meneliti ajaran Kawruh Jiwa KAS tentang raos persatuan termasuk dalam kategori kajian psikologi indigenous. Dimana indigenous (= asli, pribumi) atau pempribumian ilmu, sementara indigenisasi diartikan pempribumian atau proses penumbuhan ilmu dari bumi Indonesia atau meminjam teori asing yang kemudian disesuaikan dengan akar budaya Indonesia (Santoso, 1997). Koentjoro mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya kaya akan ilmu-ilmu psikologi Nusantara khususnya Jawa. Bahkan banyak ilmu psikologi Jawa diadopsi, dipelajari dan mendapat pengakuan dari dunia Internasional sebagai ajaran yang sarat makna. Di antaranya adalah ajaran Kawruh Jiwa dari Ki Ageng Suryomentaraman dan ajaran Pangestu dari Ki Sunarto. Selain kedua tokoh itu masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengajarkan ilmu kehidupan, antara lain Raden Mas Sosro Karsono (kakak RA Kartini), Centini, Sultan Agung, Wali Sanga dan juga Syekh Siti Jenar.Lebih jauh Koentjoro mengatakan, selain untuk mengapresiasi ajaran-ajaran tersebut, kajian-kajian tentangnya juga bertujuan untuk melepas ketergantungan terhadap ilmu-ilmu sosial dari Barat (Lutfie, 2013).
Pengembangan psikologi pribumi pada akhirnya merupakan usaha yang berharga untuk mendapatkan pemahaman dan interpretasi yang sesuai dengan konteks budaya dan langkah-langkah penting menuju kreasi psikologi yang lebih universal (Prihartanti, 2004). Usaha yang dapat dilakukan untuk menemukan kebenaran universal dalam setiap budaya adalah dengan menggunakan konsep etik (etics) dan emik (emics). Matsumoto (2008), menjelaskan bahwa etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten/tetap di berbagai budaya; dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Emik, sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific). Ketika pengembangan psikologi pribumi semakin meluas, maka tujuan psikologi sebagai ilmuperlahan akan dapat terwujud. Yaitu, pertama, adalah untuk membangun pengetahuan tentang orang-orang. Kedua, menerapkan pengetahuan tersebut untuk mengintervensi kehidupan masyarakat, harapannya adalah untuk membuat hidup mereka lebih baik (Matsumoto & Juang, 2004). Dari uraian tersebut, mengundang beberapa pertanyaan: (1) seperti apakah pemahaman warga Dusun Bangun Rasa tentang rasa persatuan? (2) Bagaimana penerapan rasa persatuan KAS dalam kehidupan sehari-hari? (3) Apa manfaat dari dipraktikkannya rasa persatuan dalam kehidupan sehari-hari, baik di keluarga maupun di masyarakat? (4) seperti apa kondisi psikologis yang menyertai pelaku rasa persatuan? Pertanyaanpertanyaan diatas, menarik minat penulis untuk meneliti dan memahami seperti apa pemahaman dan penerapan ajaran Kawruh Jiwa KAS tentang rasa persatuan dalam kehidupan sehari-hari di Dusun Bangun Rasa. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami rasa persatuan di Dusun Bangun Rasa sehingga dapat dijadikan sebagai model sebuah masyarakat yang berkesatuan.
C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan: Pertama, secara teoritis dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial dan psikologi pribumi. Kedua, secara praktis manfaat dari penelitian adalah (1) dapat menambah khasanah kebudayaan Indonesia terkait dengan ajaran-ajaran KAS (2) memberikan gambaran kepada masyarakat umum tentang bagaimana menerapkan rasa persatuan dalam kehidupan sehari-hari (3) memberikan gambaran kepada pemerintah sebagai bahan rujukan mbangun jiwa persatuan negara.