BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bekerja merupakan salah satu aktivitas utama dalam kehidupan manusia sehingga variabel-variabel yang ada dalam pekerjaan seringkali dihubungkan dengan kehidupan manusia secara keseluruhan (Baron & Byrne, 1997; Muchinsky, 2003). Salah satu variabel dalam pekerjaan yang memiliki peran besar pada kehidupan karyawan dan organisasi adalah kepuasan kerja. Bagi karyawan, kepuasan kerja memiliki peran yang besar dalam menentukan kesehatan fisik dan mental, kualitas hidup, dan well-being (Aamodt, 2004). Bagi organisasi, kepuasan kerja menjadi variabel sentral yang mempengaruhi berbagai outcome dari organisasi (Spector, 2006). Temuan yang paling konsisten mengenai outcome dari kepuasan kerja bagi organisasi adalah meningkatkan performa kerja, produktivitas, dan organizational citizenship behavior (OCB) serta menurunkan ketidakhadiran dan turn over (Aamodt, 2008; Berry, 1998; Luthans, 1998; Muchinsky, 1987; Porter, Steers, Mowday, & Boulian, 1974). Sebaliknya, kerugian besar akan dialami sebuah organisasi jika karyawan tidak puas dengan pekerjaannya. Pekerja yang tidak puas akan melakukan perilaku negatif seperti withdrawal dan counterproductive behavior (Levy, 2003). Withdrawal adalah perilaku menarik diri, meliputi ketidakhadiran bukan karena alasan sakit, keterlambatan, dan turn over. Counterproductive behavior adalah tindakan yang bertujuan untuk merusak, misalnya demonstrasi anarkis dan pencurian. Robbins dan Judge (2007) menambahkan perilaku negatif yang muncul jika karyawan tidak puas dengan pekerjaannya yaitu exit dan neglect. Exit adalah perilaku meninggalkan organisasi, mengundurkan diri, atau mencari posisi baru. Neglect adalah
1
2 secara pasif membiarkan keadaan semakin memburuk misalnya dengan terlambat, tidak hadir, tidak mau berusaha, dan malas-malasan. Kecenderungan untuk keluar dari organisasi (turn over) merupakan hal yang paling merugikan
organisasi
(Levy,
2003).
Karyawan
yang
meninggalkan
organisasi
menimbulkan serangkaian masalah dimulai dengan kosongnya suatu posisi yang akan menurunkan produktivitas organisasi, berkurangnya aset organisasi karena keluarnya karyawan membuat waktu dan biaya yang digunakan untuk merekrut dan melatih karyawan menjadi terbuang, kemudian harus kembali merekrut dan melatih karyawan baru dengan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi tenaga pengganti yang harus dibayar untuk mengisi kekosongan posisi sebelum karyawan baru dapat bekerja. Berdasarkan hal di atas, besarnya peran kepuasan kerja dan akibat dari ketidakpuasan membuat kajian mengenai kepuasan kerja perlu untuk terus dikembangkan terutama mengenai faktor-faktor yang dapat memprediksi munculnya kepuasan kerja. Pengetahuan mengenai faktor-faktor tersebut akan sangat berguna bagi organisasi untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawannya (Lawler, 1973). Meningkatnya kepuasan kerja diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan performa kerja, produktivitas, dan organizational citizenship behavior (OCB) (Aamodt, 2008). Umumnya para manajer menyangka bahwa gaji dan kesejahteraan bagi karyawan adalah faktor utama yang memunculkan kepuasan kerja (Lawler, 1973). Herzberg (1968) menerangkan bahwa gaji dan kesejahteraan belum cukup untuk memunculkan kepuasan, faktor tersebut hanya mampu membawa seseorang dari keadaan tidak puas menjadi netral. Anggapan tersebut juga dianggap sudah tidak relevan karena didasarkan pada penelitian yang sudah lama dan sebagian besar dilakukan pada suatu budaya tertentu saja (Levy, 2003).
3 Spector (2006) mengatakan bahwa perbedaan negara dan perbedaan nilai budaya memunculkan perbedaan tingkat kepuasan kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Hal tersebut tampak dari tingkat kepuasan kerja yang berbeda antar negara dan trend penelitian kepuasan kerja yang mulai bergeser dari faktor fisik dan material kepada peran faktor-faktor sosial (Aamodt, 2008). Hasil penelitian Hui, Yee, dan Eastman (dalam Spector, 2006) menyebutkan bahwa individu pada budaya kolektivis lebih kuat dalam mengidentifikasi faktor sosial dalam pekerjaan sebagai sumber kepuasan kerja bila dibandingkan dengan individu pada budaya individualis. Hal di atas terjadi karena hubungan sosial pada budaya kolektivis sangat erat dan dianggap sangat berharga (Hofstede & Hofstede, 2005). Orang-orang pada budaya kolektivis lebih menghargai hubungan sosial jika dibandingkan dengan budaya individualis. Hubungan sosial menjadi hal yang tidak dapat dihindari jika seseorang bekerja dalam suatu organisasi. Karyawan dituntut untuk saling berinteraksi bahkan saling tergantung, interaksi sosial yang baik dari dalam lingkungan organisasi kemudian akan menghasilkan dukungan sosial (Baron & Byrne, 1997). Wang (2013) mengatakan dukungan sosial dari dalam lingkungan kerja dapat dibedakan menjadi dukungan sosial yang berasal dari atasan dan dari rekan kerja. Dukungan atasan berhubungan negatif dengan konflik interpersonal dalam pekerjaan sehingga dapat memunculkan kepuasan kerja (Boz, Martinez, & Munduate, 2009; Corts, Boz, Medina, Benitez, & Munduate, 2011). Selain itu dukungan atasan juga terbukti mampu meminimalkan work-family conflict atau konflik antara kerja dengan kehidupan berkeluarga (Namayandeh, Yacoob, & Juhari, 2010). Minimnya konflik dalam lingkungan kerja karena adanya dukungan atasan sering dihubungkan dengan meningkatnya kepauasan kerja (Karasek, Triantis, & Chaudhry, 1982).
4 Begitu pula dengan dukungan rekan kerja, minimnya konflik dikarenakan adanya dukungan rekan kerja sering dihubungkan dengan meningkatnya kepuasan kerja. Bolger dan Amarel (2007) menemukan bahwa dukungan instrumental dan dukungan emosional rekan kerja dapat mengurangi reaksi emosional dari karyawan. Dukungan emosional merupakan salah satu aspek dukungan sosial yang dapat diwujudkan dengan memberikan simpati dan ketenangan secara emosional. Selain itu dukungan rekan kerja juga berguna untuk mengurangi hubungan antara konflik tugas dengan kepuasan kerja (Corts dkk., 2011). Brough dan Pears (2004) menambahkan bahwa dukungan instrumental atasan secara langsung dapat memprediksi kepuasan kerja. Dukungan instrumental juga merupakan salah satu aspek dukungan sosial yang diwujudkan dengan memberikan bantuan secara nyata seperti meminjamkan uang atau materi lain saat keadaan yang mendesak. Penelitian lain yang dilakukan Ndiwane (2010) menunjukkan bahwa dukungan rekan kerja bersama dengan dukungan organisasi dan komunitas berhubungan secara signifikan dengan beberapa aspek dalam kepuasan kerja (Ndiwane, 2000). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan atasan dan dukungan rekan kerja berhubungan positif dengan kepuasan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Kedua faktor tersebut termasuk dalam faktor sosial sehingga pada budaya kolektivis dianggap penting dalam menentukan kepuasan kerja. Hofstede dan Hofstede (2005) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki kecenderungan terhadap budaya yang kolektif, seharusnya dukungan atasan dan dukungan rekan kerja menjadi sumber penting bagi kepuasan kerja pada berbagai organisasi di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai kepuasan kerja dengan menjadikannya sebagai variabel dependen dan dukungan atasan serta dukungan rekan kerja sebagai variabel independen dalam penelitian ini.
5 Penelitian mengenai kepuasan kerja sudah sering dilakukan pada berbagai profesi dan tingkatan pada karyawan penuh (full-time) namun hanya sedikit saja yang pernah meneliti mengenai kepuasan kerja pada karyawan paruh waktu (part-time) (Berry, 1998). Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 menerangkan bahwa pekerja paruh waktu adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu), tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain. Rotchford dan Roberts (dalam Clinebell & Clinebell, 2007) menyebut karyawan paruh waktu sebagai unsur yang kurang diperhatikan dalam topik penelitian industri dan organisasi. Jam kerja yang sedikit membuat karyawan paruh waktu dianggap remeh dan dipandang sebelah mata. Padahal dengan mempekerjakan pekerja paruh waktu banyak keuntungan yang bisa diperoleh organisasi. Kontribusi yang lebih banyak tentunya bisa diberikan karyawan paruh waktu jika mereka puas dengan pekrjaannya (Levy, 2003), sayangnya penelitian mengenai hal tersebut masih jarang dilakukan. Penambahan 1% jumlah karyawan paruh waktu menurut Garnero, Kampelmann, dan Rycx (2014) meningkatkan produktivitas sebesar 0.08%. Penelitian yang lain menunjukkan penambahan 10% jumlah karyawan paruh waktu akan meningkatkan produktivitas sebesar 4.8% (Kuun-Nelen, Grip, dan Fouarge, 2013). Berry & Houston (1993) menambahkan bahwa dengan mempekerjakan karyawan paruh waktu dapat menghemat anggaran organisasi karena gajinya lebih sedikit dari karyawan full-time dan tidak memiliki kebijakan tunjangan, asuransi, dan pensiun yang jelas. Schultz dan Schultz (2010) mengatakan bahwa karyawan paruh waktu semakin banyak dibutuhkan oleh berbagai organisasi, bahkan mempekerjakan karyawan paruh waktu merupakan trend baru dalam dunia bisnis. Sejak tahun 1970-an semakin banyak organisasi yang mempekerjakan karyawan paruh waktu, terlebih lagi segmen pekerjaan ini
6 berkembang paling pesat diantara segmen pekerjaan yang lain (Mondy & Noe, 1993). Hal tersebut memperkuat bahwa karyawan paruh waktu saat ini sudah banyak dibutuhkan dan sangat menguntungkan bagi organisasi yang mempekerjakannya namun sedikit sekali penelitian yang membahas mengenai karyawan paruh waktu terutama dalam hal kepuasan kerja. Di sisi lain karyawan paruh waktu sangat rawan untuk berada pada kondisi yang tidak puas. Hal tersebut sangat beralasan karena karyawan paruh waktu memiliki gaji yang sedikit dan tidak memiliki kebijakan yang jelas terkait dengan asuransi, tunjangan, dan pensiun (Berry, 1998). Karyawan paruh waktu juga memiliki kesempatan yang sangat terbatas dalam pengembangan karir dan pengembangan keahlian (Carre, Ferber, Golden, & Herzenberg, 2000). Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai kepuasan kerja pada karyawan paruh waktu. Sebagian besar kesempatan bekerja paruh waktu diperuntukkan bagi mahasiswa (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2008). Jadwal perkuliahan yang cenderung fleksibel, adanya waktu senggang, dan besarnya kebutuhan hidup mahasiswa semakin memotivasi mahasiswa untuk bekerja paruh waktu (Berry & Houston, 1993). Trend mahasiswa menjadi karyawan paruh waktu sudah berkembang secara internasional (Ivancevich dkk., 2008). Berita
Resmi
Statistik
No.29/05/34/Th.XVI
dari
BPS
Provinsi
DIY
(http://yogyakarta.bps.go.id) menunjukkan pada Agustus 2013 ada sekitar 750.990 karyawan paruh waktu di Yogyakarta. Total penduduk yang bekerja di Provinsi DIY adalah 1.886.707 orang, hal tersebut menunjukkan bahwa 39,82% dari total penduduk yang bekerja adalah karyawan paruh waktu. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan paruh waktu sudah berkembang dengan pesat di Yogyakarta. Beberapa jenis pekerjaan paruh waktu yang ditawarkan untuk mahasiswa di Yogyakarta seperti menjadi
7 pramusaji di kedai kopi, warung makan, penjaga toko pakaian (distro), admin toko online, barista, guru les privat, dan sales promotion person (http://www.careerjet.co.id). Jumlah mahasiswa yang banyak didukung dengan tersedianya kesempatan bekerja paruh waktu membuat pekerjaan paruh waktu semakin berkembang. Berbagai jenis pekerjaan tersebut menempatkan karyawan paruh waktu pada posisi yang berhadapan langsung dengan konsumen. Merekalah yang menentukan citra organisasi dihadapan konsumen sehingga nama baik organisasi dan produktivitas organisasi sangat bergantung pada karyawan paruh waktu. Umumnya organisasi yang banyak membutuhkan karyawan paruh waktu adalah kedai kopi dan penjaga toko. Salah satu contoh organisasi yang banyak mempekerjakan karyawan paruh waktu di Yogyakarta adalah PT. Aseli Dagadu Djokdja yang selanjutnya disebut PT. ADD. PT. ADD mempercayakan posisi frontliner atau sales promotion person kepada karyawan paruh waktu. Jumlah karyawan paruh waktu di PT. ADD ada lebih dari 120 orang dengan komposisi yang paling besar adalah frontliner. Sejak dibuka pendaftarannya pada tahun 1997, dari tahun ke tahun peminat untuk menjadi karyawan paruh di PT. ADD terus bertambah (http://www.dagadu.co.id). Karyawan paruh waktu yang terdiri atas mahasiswa Yogyakarta diperlukan organisasi tersebut guna mendapatkan citra dan kualitas intelektual sebagai nilai tambah yang ingin dikomunikasikan kepada konsumen. Karyawan paruh waktu yang bekerja sebagai forntliner di PT. ADD tidak seperti sales promotion person pada umumnya karena memiliki fungsi yang lebih luas dan signifikan bagi perusahaan. Tugas frontliner antara lain meliputi penawaran dan pemilihan produk, pemberian informasi baik mengenai produk maupun mengenai korporasi, penanganan komplain dan kritik, penataan stok dan display, yang semuanya bertujuan bagi pemenuhan kepuasan konsumen. Mereka tidak sekedar menjual namun lebih mengutamakan aspek pelayanan. Selain itu frontliner juga berperan sebagai entertainer
8 untuk menghidupkan suasana gerai yang riang-gembira khas Dagadu Djokdja, sehingga pada akhirnya mereka menjadi representasi dari citra perusahaan yang smart, smile and djokdja. Forntliner di PT. ADD juga dituntut untuk bisa bekerja dalam tim yang terdiri atas beberapa frontliner dibawah tanggung jawab seorang supervisor. Mereka harus paham mengenai tugas masing-masing dan harus peka terhadap rekan kerja yang sekiranya membutuhkan bantuan. Hampir seluruh pekerjaan frontliner melibatkan kerjasama dengan rekan kerja antara lain seperti proses mengecek-mengambil-menata stok di dalam gerai dan di dalam gudang, melayani konsumen memilih produk, membungkus produk yang sudah dibeli konsumen, dan membersihkan gerai. Semua hal tersebut memerlukan komunikasi, koordinasi, dan kepekaan yang baik dari masing-masing forntliner agar pekerjaan selesai dengan baik. Kerjasama antar forntliner juga terjadi di luar jam kerja apabila ada frontliner yang tidak bisa berangkat bekerja karena satu urusan yang penting seperti kuliah maka rekan kerja lain yang tidak ada jadwal bekerja harus mau menggantikan. Selain dituntut untuk bekerja dalam tim, setiap frontliner yang sedang bekerja juga bertanggung jawab terhadap seorang supervisor. Sebelum membuka gerai, biasanya ada brifieng dari supervisor untuk shift pagi dan evaluasi sebelum menutup gerai pada shift malam. Pada kesempatan tersebut supervisor memberikan arahan mengenai berita terkini dari kondisi organisasi, jadwal rombongan, promo, hasil penjualan, dan mengecek kelengkapan forntliner yang bertugas pada saat itu. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh frontliner harus atas sepengetahuan dan izin dari supervisor, seperti laporan datang, laporan onduty-offduty, izin ke gudang, izin makan, izin sholat, dan izin ke toilet. Hal-hal penting seperti perubahan tata letak stok, komplain dari konsumen, barang datang, barang rusak, pengembalian barang, permintaan komisi, juga harus dikoordinasikan dengan supervisor.
9 Pekerjaan sebagai forntliner di PT. ADD mengharuskan adanya dukungan atasan dan dukungan rekan kerja karena pada dasarnya mereka adalah satu tim yang disebut sebagai tim gerai. Dukungan dari atasan dan dukungan dari rekan kerja mutlak dibutuhkan agar seluruh pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik sehingga berhasil memenuhi target penjualan yang ditetapkan organisasi. Observasi yang dilakukan peneliti menemukan adanya dukungan atasan dan dukungan rekan kerja dalam keseharian kerja para frontliner di PT. ADD. Dukungan atasan dan dukungan rekan kerja merupakan salah satu faktor sosial yang diduga mampu memprediksi munculnya kepuasan kerja. Berdasarkan ulasan di atas, peneliti memutuskan untuk mengkaji lebih lanjut mengenai peran dukungan atasan dan dukungan rekan kerja terhadap kepuasan kerja pada karyawan paruh waktu di PT. ADD.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan atasan dan dukungan rekan kerja terhadap kepuasan kerja pada karyawan paruh waktu.
C. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan dalam bidang psikologi industri khususnya mengenai peran dukungan atasan dan dukungan rekan kerja terhadap kepuasan kerja. Selain itu penelitian ini juga dimaksudkan agar dapat menambah kesadaran mengenai pentingnya meningkatkan kepuasan kerja karyawan paruh waktu maupun karyawan penuh.
10 b. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi praktisi human resources management khususnya bagian personalia PT. ADD mengenai kepuasan kerja karyawan paruh waktu di organisasi tersebut. Selain itu penelitian ini juga memberikan gambaran mengenai peran dukungan atasan dan dukungan rekan kerja terhadap kepuasan kerja.