BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat tulang digunakan sebagai alat bantu dalam suatu pekerjaan. Alat tulang telah dikenal manusia sejak dimulainya aktivitas perburuan binatang. Diduga dikenalnya alat tulang berawal dari cara perolehan sumsum tulang untuk dikonsumsi.
Cara
perolehannya
dilakukan
dengan
memecahkan
atau
mematahkan batang tulang. Pada dasarnya sumsum tulang bersifat lunak maka diperlukan sebuah benda untuk mengambilnya. Kemudian dipilihlah fragmen tulang hasil pemecahan digunakan untuk mengorek sumsum tersebut. Berangkat dari pengalaman inilah kemudian timbul ide untuk membuat alat dari tulang (Achwan, 1985: 22). Menurut Mahareni (2004: 131 – 132), kegiatan pengambilan sumsum dengan memecahkan batang tulang sering dilakukan pada tulang binatang jenis mamalia darat besar, seperti dari jenis Bovidae, Cervidae, dan Suidae. Pendapat tersebut didasarkan pada banyaknya temuan tulang berukuran besar (tulang panjang) dengan bekas pemecahan secara sengaja tanpa ada tanda-tanda pengerjaan lebih lanjut. Tulang-tulang semacam ini sering ditemukan di gua-gua hunian prasejarah. Menurut Clark (1959 dalam Achwan, 1985: 12), pada awalnya pembuatan alat dari berbagai jenis bahan (seperti batu, kayu, dan tulang) memakai teknik yang sederhana, sekedar memenuhi tujuan penggunaan. Dalam pembuatan alat 1
2 tulang bahannya diambil dari sisa-sisa tulang binatang hasil buruan, kemudian diseleksi dan dikerjakan menjadi berbagai macam alat (Wirawan, 1981 dalam Achwan 1985: 22). Teknik yang dipakai dalam pembuatan alat tulang pada waktu itu diperkirakan adalah teknik pecah dan teknik pukul (Achwan, 1985: 133). Perkiraan penggunaan kedua teknik ini didasarkan pada cara perolehan sumsum tulang. Pada kurun waktu selanjutnya, penggunaan alat tulang menjadi semakin intensif dalam kehidupan sehari-hari. Intensifnya penggunaan alat tulang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi lingkungan tempat tinggal berada di lembah hutan yang banyak dihuni oleh berbagai jenis binatang (Achwan,
1985:
22).
Kondisi
semacam
ini
membuat
semakin
mudah
mendapatkan sumberdaya tulang binatang yang bisa dimanfaatkan menjadi alat. Kedua, kemudahan dalam proses pembuatannya. Tulang mempunyai sifat yang keras serta retas (Simanjuntak dan Prasetyo, 2004: 140), sehingga mudah dibentuk menjadi berbagai macam alat sesuai tujuan pengunaan. Ketiga, bahan tulang lebih awet daripada bahan kayu dan bambu (Leakey, 1975: 128). Pada waktu itu, manusia telah menganggap alat yang terbuat dari tulang lebih awet atau tahan lama sama seperti peralatan dari batu. Terakhir, berkaitan dengan tujuan alat tulang dibuat. Berbagai macam alat tulang dibuat untuk melengkapi alat-alat yang sudah ada. Salah satunya digunakan untuk pekerjaan yang bersifat ringan, seperti menjahit, mencungkil, memotong, menusuk, menggali, dan sebagainya (Achwan, 1985: 22). Menurut Prasetyo (2002: 178 – 181), penggunaan alat tulang pada masa prasejarah bersifat universal. Hal ini terlihat dari persebarannya mulai dari wilayah Eropa, Asia Tenggara Daratan dan Kepulauan, hingga mencapai
3 Australia. Di wilayah Eropa, penggunaan alat tulang yang cukup menonjol dapat ditemukan di situs Magdaleine (Dordgne, Perancis) dan situs Creswell Crags (Inggris). Di wilayah Asia Tenggara Daratan dan Kepulauan, penggunaan alat tulang yang menonjol dapat ditemukan di beberapa daerah, antara lain Tonkin, Hoa Binh, Da But (Annam Utara), Gunungsewu (Gua Braholo, Song Blendrong, Song Terus, Song Agung dan Song Keplek), Ponorogo (Gua Lawa), dan Kalimantan Selatan (Gua Babi). Di wilayah Australia, penggunaan alat tulang dapat ditemukan hampir di seluruh situs prasejarah. Salah satu produk alat tulang yang paling dikenal di wilayah ini adalah lancipan tulang berujung ganda atau biasa disebut “lancipan muduk”. Di Indonesia, penggunaan alat tulang berkaitan erat dengan masa berburu dan mengumpulkan makanan, baik tingkat sederhana maupun tingkat lanjut (Atmosudiro, 1982: 8). Dalam kurun waktu geologi, kategori masa tersebut diperkirakan masuk kala Plestosen hingga kala Holosen. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas alat tulang hingga mencapai puncaknya pada kala Holosen. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh perubahan aktivitas manusia yang sebelumnya berorientasi di sekitar aliran sungai, kemudian beralih ke gua-gua dan ceruk alam (Simanjuntak, 2004: 81). Pola hidup yang mulai menetap di suatu tempat semacam ini, membuka peluang untuk memunculkan berbagai ide, salah satunya berinovasi pada alat tulang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya alat tulang yang sering ditemukan dalam lapisan hunian gua. Gunungsewu merupakan salah satu kawasan perbukitan karst yang sangat penting dalam penelitian prasejarah Nusantara, karena kekayaan situs dan tinggalan yang dikandungnya (Simanjuntak, 2004: 3). Gunungsewu terletak di
4 sepanjang Pegunungan Selatan Jawa, mulai dari Pantai Parangtritis di ujung bagian barat sampai Teluk Pacitan di ujung timur (Yuwono, 2006: 181). Secara administratif terletak di empat wilayah Kabupaten, yaitu Bantul, Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan. Gunungsewu dicirikan dengan bentuklahan berupa gua (cave) atau ceruk (rock shelters) yang menyimpan jejak-jejak kehidupan manusia prasejarah. Jejak-jejak tersebut dapat terlihat dengan adanya artefak (alat batu, tulang, tanduk, kulit kerang, dan gerabah), ekofak (sisa fauna dan rangka manusia), dan fitur (lapisan abu dan arang, akumulasi sisa makanan, akumulasi sisa produksi, dan sedimen gua) (Yuwono, 2006: 185). Salah satu gua di wilayah Gunungsewu yang menyimpan jejak-jejak kehidupan manusia prasejarah adalah Gua Gilap. Gua Gilap terletak di Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri. Secara geografis, berada di bibir selatan bekas danau purba Ledok Baturetno. Diketahuinya potensi arkeologis di gua ini berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh PTKA UGM pada tahun 2002. Hasil survei menyebutkan bahwa Gua Gilap mengandung data arkeologis dengan tingkat kerapatan yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan tinggalan arkeologis berupa sisa-sisa fauna dan artefak berbahan tulang yang sebagian besar sudah tersingkap ke permukaan tanah. Penyebab tersingkapnya sebagian besar tinggalan arkeologis ini disebabkan oleh aktivitas penambangan fosfatguano yang pernah berlangsung beberapa waktu yang lalu. Pada tahun 2013, Gua Gilap di ekskavasi oleh BPCB Propinsi Jawa Tengah. Kegiatan ekskavasi ini sebagai tindak lanjut dari hasil survei arkeologis PTKA UGM pada tahun 2002. Tujuan kegiatan ini yaitu untuk mendapatkan data
5 arkeologis yang dapat digunakan untuk membuktian bahwa Gua Gilap pernah dihuni manusia pada masa prasejarah. Kegiatan ekskavasi ini membuka enam kotak gali, yaitu Kotak i.6’, c.10’, D.5’, I.4’, J.2 dan K.2, dan K.32. Alasan dipilihnya ketiga kotak, yaitu i.6’, c.10’, dan D.5’ adalah untuk mendapatkan sampel sedimen gua yang masih asli. Selanjutnya, Kotak I.4’ yang terletak di bagian terdalam dari fitur penambangan fosfat-guano pada lantai gua, digali untuk mendapatkan kesinambungan stratigrafi dengan kotak i.6’, c.10’, dan D.5’. Di samping itu, kedua kotak yaitu J.2 dan K.2 digali untuk melihat perlapisan tanah yang sudah ditambang dengan tanah yang masih asli. Terakhir, Kotak K.32 berada di fitur penambangan fosfatguano di ceruk sisi timur gua, digali untuk mendapatkan temuan dan data stratigrafi (Yuwono, 2013b). Berdasarkan rekapitulasi awal temuan hasil ekskavasi dapat disimpulkan bahwa masing-masing kotak gali mempunyai variasi temuan baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Kotak J.2 dan K.2 memperoleh tatal batu dalam jumlah yang cukup signifikan. Secara kuantitas temuan tatal batu pada kotak ini lebih banyak jika dibandingkan dengan kotak lainnya. Sementara itu, Kotak i.6’ dan I.4' hanya menghasilkan sisa-sisa fauna dan alat tulang, kotak c.10’ dan D.5’ tidak menghasilkan temuan karena proses penggalian belum mencapai lapisan budaya. Lain halnya dengan kotak K.32 yang menghasilkan temuan dalam jenis dan jumlah bervariasi. Temuan kotak ini antara lain alat berbahan tulang, ekofak berupa kerang, tulang, kuku, gigi, rahang, tanduk, dan tatal batu. Secara keseluruhan, kegiatan ekskavasi tersebut berhasil memperoleh data stratigrafi, alat tulang dan kerang, tatal batu, sisa cangkang kerang, dan sisa-sisa fauna.
6 B. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN Sejak awal kala Holosen, penggunaan alat tulang mulai berkembang pesat di wilayah Gunungsewu. Perkembangan pesat ini tidak terlepas dari perubahan pola hidup manusia pada waktu itu. Manusia telah memanfaatkan gua dan ceruk sebagai tempat bermukim dan beraktivitas sehari-hari. Sepanjang penghunian gua dan ceruk, pembuatan alat tulang menjadi salah satu kegiatan pokok di samping pembuatan alat litik, kegiatan perburuan, dan pemanfaatan biota air (Prasetyo, 2004: 177). Dengan demikian, wajar jika sisa-sisa produk berupa alat tulang sebagian besar dapat ditemukan di gua dan ceruk. Secara umum temuan alat tulang di wilayah Gunungsewu memiliki persamaan, sebagaimana tampak secara morfologis dan teknologisnya. Perbedaannya hanya terletak pada kekhususan produk, kuantitas dan kualitas produk. Hal ini tampak pada temuan alat tulang di masing-masing gua dengan intensitas yang berbeda-beda. Pembuatan alat tulang di Gua Gilap tampaknya menjadi salah satu kegiatan pokok oleh penghuninya. Hal ini dapat terlihat dari hasil rekapitulasi awal temuan ekskavasi tahun 2013. Dari sekian banyak temuan, temuan alat tulang cukup mendominasi disamping temuan ekofak berupa sisa fauna dalam jumlah cukup banyak. Oleh karena itu, temuan alat tulang di Gua Gilap menarik untuk dikaji lebih lanjut. Untuk itu, permasalahan yang dapat diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apa saja variasi tipe alat tulang di Gua Gilap? 2. Teknik pengerjaan apa saja yang dipakai dalam pembuatan berbagai variasi tipe alat tersebut?
7 Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui seberapa tinggi tingkat penguasaan teknologi dalam pembuatan alat tulang oleh manusia penghuni Gua Gilap.
C. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian di Gua Gilap diawali dengan survei oleh PTKA Jurusan Arkeologi UGM pada tahun 2002. Survei tersebut menemukan beberapa temuan seperti fragmen tulang, kerang dan, tanduk rusa. Beberapa temuan tersebut kemudian ada yang diindikasikan sebagai artefak. Selanjutnya, J. Susetyo Edy Yuwono (2013a) melakukan penelitian mengenai karakter geoarkeologis dan proses budaya prasejarah di Zona Poros Ponjong-Rongkop dengan memasukkan Gua Gilap sebagai salah satu data. Penelitian ini tertulis dalam tesis yang berjudul Karakter Geoarkeologis dan Proses Budaya Prasejarah Zona Poros Ponjong-Rongkop di Blok Tengah Gunungsewu. Pada tahun 2013, penelitian lanjutan dalam bentuk kegiatan ekskavasi dilakukan oleh BPCB Jawa Tengah di Gua Gilap. Tujuan penelitian ini yaitu mengungkap potensi arkeologis yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini berhasil menemukan indikasi penghunian di dalam gua. Indikasi tersebut berupa sisa-sisa tulang, kerang, tatal batu, dan peralatan dari tulang. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Falentinus T. Atmoko (2014) yang tertulis dalam skripsi yang berjudul Pemanfaatan Sumberdaya Lingkungan Gua Gilap di Kawasan Karst Wonogiri Pada Masa Prasejarah: Kajian Terhadap Sisa Fauna. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai pemanfaatan fauna untuk subsistensi dan ragam potensi lingkungan yang mendukung
8 penghunian gua. Penelitian ini menggunakan tiga analisis, yaitu analisis artefaktual dan ekofaktual, analisis kontekstual, dan analisis lokasional. Analisis artefaktual dalam penelitian ini menggunakan data artefak tulang. Analisis ini digunakan untuk mengelompokkan artefak tulang ke dalam masing -masing tipe alat tulang berdasarkan ciri-ciri morfologinya. Penulis melakukan penelitian terhadap alat tulang di Gua Gilap dengan analisis morfologi dan analisis teknologi. Analisis morfologi dilakukan dengan mengidentifikasi bentuk spesifik dan ukuran di setiap bagian alat. Analisis ini dilakukan untuk mengelompokkan ke dalam masing-masing tipe alat beserta subtipenya. Sementara itu, analisis teknologi dilakukan dengan mengidentifikasi jejak-jejak teknologis yang tertinggal di setiap bagian alat. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui teknik-teknik pengerjaan apa saja yang dipakai untuk membuatnya. Tujuan kedua analisis ini yaitu untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat penguasaan teknologi dalam pembuatan alat tulang oleh manusia penghuninya.
D. TINJAUAN PUSTAKA Puslitbang Arkenas (2008), dalam Metode Penelitian Arkeologi, memuat berbagai macam metode dan teknik yang sudah dikenal dan biasa dilaksanakan dalam penelitian berbagai jenis tinggalan arkeologi di Indonesia. Salah satunya berupa penjelasan mengenai metode dan teknik dalam analisis artefaktual alat tulang. Adapun penjelasan mengenai analisis tersebut meliputi morfologi, teknologi, dan jejak pakai. Penelitian arkeologis mengenai alat tulang di Indonesia pernah dilakukan oleh Bagyo Prasetyo (1999), dalam Artefak Tulang Situs Gua Babi (Kalimantan
9 Selatan): Variasi Tipologis dan Teknologisnya. Dalam penelitiannya artefak tulang hasil ekskavasi tahap I dan II di Gua Babi dikelompokkan ke dalam beberapa tipe berdasarkan kesamaan ciri-ciri morfologis. Selanjutnya masingmasing artefak tulang tersebut ditinjau aspek teknologinya agar dapat diketahui variabel bahan yang dipilih dan teknik pembuatan yang dipakai. Setelah itu seluruh artefak tulang ditempatkan ke dalam beberapa lapisan budaya untuk diketahui persebarannya secara vertikal. Di lain tempat, Bagyo Prasetyo juga melakukan penelitian mengenai alat tulang, yaitu di Gunungsewu. Adapun penelitiannya (2004) termuat dalam Prasejarah Gunung Sewu dengan judul Juga Industri Tulang. Dari penelitiannya diperoleh gambaran mengenai pengelompokan alat tulang yang terdiri atas spatula, lancipan, dan jarum. Penelitian ini menggunakan data ekskavasi dari Song Keplek dan Gua Braholo. Beberapa penelitian lain mengenai alat tulang dari Gunungsewu juga pernah dilakukan, antara lain oleh Sri Asih (2004), dalam skripsi yang berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Artefak Tulang di Situs Gua Braholo pada Kala Plestosen Akhir sampai Holosen. Di dalam penelitiannya terdapat pengelompokan alat tulang ke dalam empat tipe, yaitu spatula, lancipan, jarum, dan alat tulang jenis lain. Pengelompokan tersebut diperoleh berdasarkan hasil pengamatan fisik pada alat dengan variabel yang terdiri atas morfologi (bentuk), teknologi, dan ukuran. Visna Vulvovik (2007), dalam skripsi Teknologi Alat Tulang di Gua Braholo, Rongkop, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjelaskan tentang subsistensi manusia terutama dalam memanfaatkan tulang sebagai bahan baku peralatan. Salah satu usaha untuk menginterpretasikan pemanfaatan alat tulang tersebut
10 yaitu dengan melakukan analisis artefaktual. Analisis artefaktual dilakukan dengan
mengidentifikasi
morfologi
alat
beserta
jejak
pembuatan
dan
pemakaiannya. Variabel yang diamati dalam identifikasi antara lain unsur bahan, bentuk, ukuran, jejak buat, dan jejak pakai. Hasil analisis menunjukkan bahwa alat tulang Gua Braholo ada dua jenis, yaitu spatula dan lancipan. Rahayu Intan Riani (2007), dalam skripsi Alat Tulang Situs Song Tritis, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta: Tipologi, Teknologi, dan Materi, mencoba meneliti tipe, teknologi, materi, dan masa pemakaian alat tulang. Data yang digunakan berupa temuan alat tulang hasil ekskavasi di Song Tritis antara tahun 2000 – 2005. Dari penelitiannya diperoleh gambaran mengenai pemanfaatan sumberdaya alam di Gunungsewu dan teknologi pembuatan alat tulang oleh manusia. Nia Marniati (2007), dalam skripsi Pemanfaatan Artefak Tulang dan Eksploitasi Vegetasi di Situs Gua Song Blendrong: Kajian Berdasarkan Analisis Residu, menjelaskan pemanfaatan lingkungan Song Blendrong yang terkait dengan penggunaan artefak tulang. Selain analisis residu, penelitian ini juga melakukan analisis morfologi dan teknologi pada artefak tulang. Analisis morfologi dilakukan untuk mengetahui detil bentuk dan ukuran artefak, sedangkan
analisis
teknologi
dilakukan
untuk
mengetahui
teknik-teknik
pemangkasan dalam pembuatan artefak. Hasilnya menunjukkan bahwa artefak tulang dari Song Blendrong dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tipe, yaitu sudip, lancipan, jarum, dan artefak limbah. Nia Marniati Etie Fajari (2008), dalam Artefak Tulang Situs Gua Song Blendrong, membuat klasifikasi tipologi dan teknologi pembuatan artefak tulang. Temuan artefak tulang dianalisis secara morfologis dan teknologis. Hasil analisis
11 morfologi menunjukkan ada beragam bentuk alat tulang, antara lain spatula, lancipan, jarum, dan artefak alat tulang lain. Sementara itu, hasil analisis teknologi
mampu
menunjukkan
cara
pembuatannya,
yaitu
pemecahan,
pemotongan, penghalusan, dan pembakaran.
E. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan penalaran induktif, yaitu penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris (Tanudirjo, 1989: 34). Dalam penalaran induktif, di bagian awal termuat deskripsi data, kemudian analisis dan diikuti interpretasi sesuai tujuan penelitian, dan diakhiri dengan suatu kesimpulan (Tanudirjo, 1989: 18). Untuk menghasilkan kesimpulan yang baik dibutuhkan banyaknya data yang dikumpulkan (Mundarjito, 1986: 200), pemilihan teknik pengamatan dan penentuan sampel data yang tepat (Kusumohartono, 1987: 18), serta penerapan analisis data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Sesuai dengan permasalahan yang ingin diungkap, penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif pada hakikatnya berupaya untuk memberikan gambaran atau deskripsi secara sistematis tentang suatu fakta atau gejala (Tanudirjo, 1989: 26). Gejala atau fakta yang ditemukan, kemudian diuraikan menjadi bagian-bagian (variabel) dalam kerangka bentuk serta berusaha mengungkapkan hubungan diantara variabel-variabel tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini lebih mengutamakan kajian data daripada penerapan konsepkonsep, hipotesis, atau teori tertentu (Tanudirjo, 1989: 34). Sesuai dengan sifat penelitian dan penalaran yang diterapkan dalam penelitian ini, maka tahap-tahap yang perlu dilakukan meliputi:
12 1. Pengumpulan data Pada tahap ini, data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa alat tulang hasil ekskavasi dan survei di Gua Gilap. Kegiatan ekskavasi dilakukan oleh BPCB Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 24 hingga 29 Juni 2013, sedangkan kegiatan survei lapangan secara mandiri dilakukan pada bulan Desember di tahun yang sama. Dalam dua kegiatan tersebut penulis terlibat secara langsung. Sementara itu, data sekunder berupa kajian pustaka yang memuat hasil-hasil penelitian arkeologis mengenai alat tulang di wilayah Gunungsewu dan sekitarnya. Data sekunder ini menjadi bahan rujukan dalam proses analisis data. Berdasarkan rekapitulasi awal, jumlah data alat tulang hasil ekskavasi dan survei terkumpul sebanyak 115 buah. Pengumpulan data ini dilakukan setelah kegiatan survei lapangan. Adapun rinciannya dapat dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1. Rekapitulasi awal alat tulang hasil ekskavasi dan survei lapangan No.
Nama Kotak
Kuantitas
Persentase
1.
K.33
1
1%
2.
K.32
52
45%
3.
I.6'
2
2%
4.
I.4'
3
3%
5.
Lot tambang
51
44%
6.
Lot tambang*
6
5%
Jumlah
115
100%
(Sumber: J.S.E. Yuwono, Falentinus T. Atmoko, dan Penulis) Keterangan: ( * ) merupakan data hasil survei lapangan.
Selanjutnya, data alat tulang diidentifikasi ulang untuk memperoleh kepastian apakah temuan ini merupakan sebuah alat atau tidak. Variabel yang
13 digunakan untuk identifikasi ulang mengacu pada Sutton & Arkhush (1996: 139), antara lain: 1) permukaan yang halus dan rounded, 2) ujung yang mengalami penghalusan, 3) permukaan yang halus atau mengkilap, 4) goresan atau kerat-kerat bekas pembuatan, dan 5) bagian proksimal dengan bekas pemangkasan yang teratur. 2. Analisis data Analisis dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama berupa analisis morfologi, yaitu mengidentifikasi temuan berdasarkan bentuk dan ukuran untuk dikelompokkan ke dalam tipe-tipe alat tertentu. Analisis kedua merupakan analisis teknologi, yaitu mengidentifikasi teknik-teknik pengerjaan yang dipakai dalam pembuatan alat tulang berdasarkan jejak-jejak teknologis yang tertinggal. Kedua tahap analisis tersebut menggunakan prosedur dan variabel yang dirujuk dari metode yang disusun oleh Puslitbang Arkenas (2008). Adapun penjelasan masing-masing analisis tersebut, sebagai berikut: a. Analisis morfologi Analisis ini dilakukan melalui pengamatan secara makroskopis pada alat tulang. Hal-hal yang diamati, yaitu bentuk (shape) dan ukuran (size) pada setiap alat (Puslitbang Arkenas, 2008: 74). Tujuan analisis ini untuk mengetahui detil bentuk dan ukuran alat agar dapat dikelompokkan ke dalam tipe-tipe alat tertentu. Dalam upaya identifikasi bentuk alat, variabel yang diamati meliputi bentuk proksimal, medial, distal, dan penampangnya. Pengamatan bentuk penampang digunakan untuk mengetahui bentuk umum dari sebuah alat. Sementara itu,
14 pengamatan bentuk proksimal, medial, distal digunakan untuk mengetahui ciri spesifik sebuah alat. Selanjutnya, variabel yang diamati dalam upaya identifikasi ukuran alat meliputi panjang, lebar, dan tebal. Pengukuran panjang alat dilakukan dengan mengukur mulai dari ujung proksimal sampai ujung distal. Pengukuran lebar dan tebal alat dilakukan dengan mengukur setiap bagian alat yang terdiri atas proksimal, medial, dan distal (lebih jelas lihat BAB III). Menurut Vulvovik, (2007: 47), penentuan bagian proksimal, medial, dan distal dapat dilihat dari adanya zona pasif dan zona aktif. Zona aktif yang dimaksud adalah daerah yang sering bersentuhan dengan benda lain. Zona ini ditandai dengan jejak-jejak pembuatan maupun pemakaian yang intensif. Zona inilah yang biasa disebut sebagai bagian distal. Adapun zona pasif adalah daerah yang paling jauh dari sentuhan langsung terhadap benda lain. Daerah ini biasanya paling dekat dengan tangan si pemakai alat. Zona ini biasanya disebut sebagai bagian proksimal. Sementara itu, bagian di antara zona aktif dan zona pasif biasanya disebut medial. Bagian ini ditandai dengan semakin berkurangnya jejak-jejak pembuatan maupun pemakaian. Kalaupun ada jejak-jejak pembuatan, itu hanya sebatas jejak pengerjaan yang berupa penggosokan (Vulvovik, 2007: 47) dan sedikit pemangkasan di sisi lateralnya. Hasil
identifikasi
bentuk
dan
ukuran
pada
setiap
alat
berupa
pengelompokan alat tulang ke dalam tipe-tipe alat tertentu. Pengelompokan tersebut merujuk pada definisi tipe-tipe alat dari Bagyo Prasetyo dalam tulisannya yang berjudul Artefak Tulang situs Gua Babi (Kalimantan Selatan). Adapun penjelasan masing-masing sumber tersebut, sebagai berikut:
15 Definisi masing-masing tipe alat tulang menurut Bagyo Prasetyo, sebagai berikut (Prasetyo, 1999: 42 – 43): 1) Tipe A atau lancipan, jenis alat berujung runcing dengan bentuk penampang bervariasi baik cembung-cekung, pipih, dan elips, serta berukuran lebih dari 0,5 cm tebal/garis tengahnya. 2) Tipe B atau jarum, jenis lancipan dalam bentuk dan ukuran lebih kecil (dengan ketebalan/diameter kurang dari 0,5 cm). Jenis ini mempunyai bentuk penampang sama dengan lancipan, yaitu bervariasi antara cembung-cekung, pipih atau elips. 3) Tipe C atau spatula, alat yang memiliki penampang cembung-cekung, atau pipih dan mempunyai permukaan lebar. Alat ini mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk memoles tembikar, meramu makanan, untuk mengerjakan kulit binatang, atau sebagai sendok (Bray dan Trump, 1970:215). 4) Tipe D atau alat tulang lain, maksudnya alat yang tidak memiliki kriteria bentuk yang baku, namun bahannya dikerjakan atau dipakai sebagai alat. Alat ini dapat berbentuk persegi, segitiga atau tidak beraturan dengan penampang bervariasi baik cembung-cekung maupun pipih. Untuk mendapatkan variasi (subtipe) masing-masing tipe alat maka perlu mengamati bentuk pemangkasan pada tajaman dan jumlahnya. Adapun variasi dari masing-masing tipe, sebagai berikut (Puslitbang Arkenas, 2008: 74): 1) Spatula: tunggal monofasial dan tunggal bifasial. 2) Lancipan: tunggal monolateral, tunggal bilateral, ganda monolateral, dan ganda bilateral.
16 3) Jarum: tunggal monolateral, tunggal multilateral, ganda monolateral, dan ganda multilateral. Setelah alat-alat tulang dikelompokkan ke dalam masing-masing tipe alat beserta variasinya, tahap selanjutnya berupa analisis teknologi. b. Analisis teknologi Analisis ini dilakukan melalui pengamatan secara makroskopis pada alat tulang. Analisis ini hanya fokus mengidentifikasi teknik pengerjaan yang dipakai dalam pembuatan alat tulang. Identifikasi teknik pengerjaan suatu alat tulang dapat
diamati
melalui
jejak-jejak
teknologis
yang
tertinggal.
Adapun
variabel/jejak-jejak teknologis yang diamati untuk mengidentifikasi teknik pengerjaan tersebut merujuk dari Vulvovik (2007: 39 – 42) dan Puslitbang Arkenas (2008: 75 – 77) dan diolah sedemikian rupa oleh penulis. Adapun penjelasan singkat mengenai jejak-jejak teknologis tersebut, sebagai berikut: 1) Pembelahan merupakan pengerjaan awal dalam proses pembuatan alat tulang untuk memperoleh batang alat. Dalam proses pembelahan terdapat beberapa macam teknik memangkas yang bisa dipakai, antara lain teknik pecah, teknik celah, teknik belah, dan teknik selumbar. Macam-macam teknik tersebut nantinya akan menghasilkan bentuk batang alat yang berbeda-beda tergantung teknik yang dipakai. 2) Pemangkasan merupakan pengerjaan lanjutan setelah memperoleh batang alat. Pemangkasan dilakukan dengan melepas serpih tulang dari batang alat untuk memperoleh bentuk yang dikehendaki. Biasanya pemangkasan dilakukan pada bagian distal untuk memperoleh tajaman. Selain itu, pemangkasan juga dilakukan di bagian lain seperti pada
17 bagian proksimal dan medial untuk memperoleh bentuk alat yang dikehendaki si pembuat. 3) Penggosokan merupakan bagian dari pengerjaan tingkat lanjut dalam pembuatan alat tulang. Penggosokan dilakukan supaya bidang permukaan alat menjadi rata dan halus. Pada umumnya dilakukan pada bidang bekas pangkasan. Proses penggosokan dapat dilakukan dengan memakai beberapa macam teknik yang terdiri atas teknik gosok dan teknik upam. Penggosokan dapat dilakukan pada bagian distal saja agar memperoleh tajaman yang halus, atau dilakukan pada seluruh bagian alat untuk memperoleh bidang permukaan alat yang halus dan rata. 4) Pembakaran merupakan bagian dari proses pembuatan batang alat. Pembakaran pada alat bertujuan untuk mengeraskan batang alat supaya lebih kuat dan awet. Pembakaran bisa dilakukan sebelum dan sesudah alat dikerjakan. Perbedaan hasil pembakaran antara sebelum dan sesudah dikerjakan dapat diamati dari perbedaan warna pada batang alat. Adapun perbedaan tersebut yaitu (Pasveer & Belwood, 2004: 305): a) Ciri-ciri alat tulang yang dibakar setelah dikerjakan mempunyai warna yang gelap, coklat gelap, abu-abu sampai hitam. Selain itu, tekstur tulang pada batang alat lebih padat dibandingkan dengan tekstur tulang pada batang alat yang dibakar sebelum dikerjakan. b) Ciri-ciri alat tulang yang dibakar sebelum dikerjakan mempunyai warna yang cenderung coklat muda sampai coklat tua. Tekstur tulang
18 pada batang alat lebih padat dibandingkan dengan tekstur tulang pada batang alat yang tidak dibakar. Pada akhirnya diketahui teknik-teknik pengerjaan yang dipakai dalam pembuatan alat tulang di Gua Gilap. 3. Kesimpulan Pada tahap ini, penulis mengungkapkan variasi masing-masing tipe alat beserta teknik pengerjaannya pada alat tulang di Gua Gilap. Berbagai variasi masing-masing tipe alat yang terungkap setidaknya menambah informasi tentang intensifnya pembuatan alat tulang di Gua Gilap. Sementara itu, terungkapnya teknik-teknik pengerjaan yang dipakai dalam pembuatan alat tulang setidaknya dapat diketahui seberapa tinggi tingkat penguasaan teknologi oleh manusia penghuninya.