BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Subsektor peternakan seringkali dipandang sebagai usaha sampingan, sehingga perhatian kepada subsektor ini masih kurang dibanding subsektor lain terutama dalam upaya menyumbang PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) daerah. Namun dengan adanya permasalahan ketersediaan daging nasional baru-baru ini, yaitu tentang kelangkaan daging sapi yang berimbas pada meningkatnya harga daging serta munculnya
pro dan kontra tentang perlu
tidaknya menambah kuota impor daging sapi, secara langsung mempengaruhi perhatian ke subsektor peternakan. Tabel 1.1 Angka PDRB ADHK 2000 Komoditi Subsektor Peternakan dan Persentasenya Terhadap Komoditi Sektor Pertanian Provinsi Jawa Timur dalam (Milyar Rp) Tahun
Subsektor Peternakan
Sektor Pertanian
%
2007 2008 2009 2010 2011
7.745,33 8.038,04 8.365,70 8.647,81 9.009,56
46.852,11 48.315,11 50.208,90 51.329,55 52.629,43
16,5 16,6 16,7 16,8 17,1
Sumber: www.bps.go.id
Fenomena ini diharapkan dapat meningkatkan perhatian berbagai pihak pemangku kepentingan (stakeholders) untuk lebih memperhatikan subsektor peternakan, termasuk didalamnya adalah peternakan sapi perah. Selain sebagai penghasil daging, keunggulan sapi perah adalah penghasil susu yang dapat dinikmati hasilnya hampir setiap hari (daily income). Produksi susu Indonesia tahun 2012 sebesar 1.208.000 ton baru dapat memenuhi sekitar 30 persen dari kebutuhan susu nasional sebesar 3.120.000 ton, 1
2
sisanya masih mengimpor dari berbagai negara terutama New Zealand dan Australia (www.deptan.go.id).
Belum lagi kalau melihat jumlah penduduk
Indonesia (www.datastatistik-indonesia.com) jumlah penduduk Indonesia tahun 2000 sebanyak 205,1 juta diproyeksikan mencapai 273,2 juta pada tahun 2025, ini menunjukkan Indonesia merupakan pasar global yang potensial. Permintaan susu segar dan produk turunannya juga diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya
pertumbuhan
ekonomi,
meningkatnya
pendapatan
masyarakat, perbaikan tingkat pendidikan, kesadaran pentingnya gizi dan perubahan gaya hidup, sehingga peluang pengembangan sapi perah masih sangat terbuka. Tabel 1.2 Produksi Daging, Telur dan Susu Nasional, 2009-2013 (dalam Ribu Ton) No Jenis 1 Daging 2 Telur 3 Susu
2009 2.204,9 1.306,9 827,2
2010 2.366,2 1.366,2 909,5
2011 2.554,2 1.456,9 974,7
2012 2.666,1 1.628,7 959,7
2013*) 2.828,8 1.718,9 981,6
Keterangan: *) angka sementara Sumber: www.deptan.go.id
Kenyataan posisi Indonesia dalam perdagangan persusuan Internasional masih sebagai pengimpor bahan baku susu, hal ini harus dipandang sebagai peluang yang besar dalam industri persusuan. Oleh karena itu, pembangunan persusuan harus terus dikembangkan dan ditujukan untuk meningkatkan gairah usaha agribisnis di bidang persusuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Konsumsi susu masyarakat Indonesia yang masih rendah dibanding negara Asia lainnya menjadi permasalahan persusuan Indonesia.
Pada tahun 2011
konsumsi susu masyarakat Indonesia yaitu hanya 14,26 liter per kapita pertahun dan pada tahun 2012 sebesar 14,6 liter per kapita pertahun, sedangkan Malaysia
3
dan Filipina mencapai 22,1 liter per kapita pertahun, Thailand 33,7 liter per kapita pertahun, dan India mencapai 42,08 liter per kapita pertahun (www.deptan.go.id). Tabel 1.3 Konsumsi Daging, Telur dan Susu Nasional, 2008 – 2012 No
Jenis/Type
2008
2009
2010
2011
2012
Pertumbuhan 2011 ke 2012 (%)
Konsumsi Nasional (000 ton) 1 Daging 1.643 1.733 2 Telur 1.453 1.570 3 Susu 2.125 2.277 Konsumsi per Kapita (kg/kap/th)
1.654 1.256 3.173
1.735 1.359 3.495
1.753 1.413 2.738
1,06 4,62 - 21,64
1 Daging 6,43 2 Telur 5,35 3 Susu 9,51 Konsumsi Protein 5,92 (g/kap/hr) Sumber: www.deptan.go.id
6,85 5,20 13,14 5,99
7,08 5,51 14,26 6,30
7,05 5,68 14,60 6,03
-0,43 3,09 -22,79 -4,29
6,60 5,71 11,60 6,03
Pembangunan persusuan Indonesia tidak terlepas dari banyaknya kendala, Nurtini (2011) membedakan usaha
peternakan sapi perah di Indonesia menjadi
dua: 1) usaha peternakan sapi perah rakyat, dan 2) perusahaan peternakan sapi perah. Murti (2002) menyatakan lebih dari 80 persen produk susu di Indonesia masih ditopang oleh peternak skala kecil dengan 2-6 ekor sapi perah, sedangkan menurut Nurtini (2011), jumlah sapi yang dikelola peternak rakyat mencapai 95 persen dari populasi yang ada dengan rata-rata kepemilikan sekitar tiga ekor/peternak dan memasok susu segar 92 persen produksi nasional. Karakteristik peternak rakyat pada umumnya adalah rata-rata kepemilikan hanya sekitar 3 ekor/peternak, kesulitan permodalan dalam pengembangan usaha, SDM yang masih rendah, pengelolaan bersifat tradisional, produktivitas yang masih rendah baik kuantitas maupun kualitas susu adalah menjadi kendala dalam pengembangan usaha sapi perah. Belum lagi karakteristik susu yaitu produk yang
4
tidak tahan lama, mudah rusak dan mudah terkontaminasi penyakit serta mahalnya harga peralatan persusuan menjadi semakin menambah permasalah pengembangan persusuan. Hadirnya salah satu program pemerintah berupa pendanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) yaitu kredit yang diberikan melalui bank pelaksana kepada Pelaku Usaha Pembibitan Sapi dengan tingkat suku bunga petani/peternak maksimal lima persen (www.bi.go.id), diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan permodalan bagi peternak melalui kemudahan permodalan dengan suku bunga bersubsidi sehingga mampu mendorong usaha persusuan.
Dalam
Permentan No:40/Permentan/PD.400/9/2009 (www.deptan.go.id), dijelaskan bunga yang dibebankan kepada pelaku usaha sebesar lima persen per tahun dalam jangka waktu kredit paling lama enam tahun, dengan masa tenggang (grace periode) paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Kabupaten Banyuwangi adalah wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang mendukung untuk perkembangan sapi perah, selain memiliki ketersediaan lahan yang cukup juga memiliki iklim yang sesuai untuk usaha sapi perah yaitu suhu rata-rata masih di bawah 30o C, Syarif dan Harianto (2011: 37), lokasi peternakan sapi perah yang baik adalah dengan suhu rata-rata di bawah 30o C. Rata-rata suhu udara Kabupaten Banyuwangi terendah pada tahun 2012 adalah pada Bulan Agustus sebesar 25,5o C dan tertinggi pada Bulan Nopember sebesar 27,7o C (www.banyuwangikab.go.id), sedangkan suhu rata-rata perbulan tahun 2011 tersaji dalam Gambar 1.1. Pengaruh temperatur yang terlalu tinggi, ternak sapi akan banyak minum, akhirnya jumlah pakan yang dikonsumsi akan berkurang. Jika berlangsung dalam waktu cukup lama, maka selain produktivitas,
5
pertumbuhan badannya juga akan menurun (www.duniasapi.com).
Sumber: www.banyuwangikab.go.id
Gambar 1.1 Temperatur Kabupaten Banyuwangi, Rata-rata per Bulan Tahun 2011 Potensi perkebunan, perikanan, kehutanan yang luas dan daerah pertanian yang maju
merupakan keuntungan komparatif (comparative advantage) bagi
wilayah Banyuwangi, mengingat usaha sapi perah sangat memerlukan pakan dalam jumlah banyak sehingga perlu adanya ketersediaan lahan yang cukup untuk mendukung kecukupan pakan sepanjang tahun. Daerah perkebunan dan pertanian yang baik memberi dorongan bagi peternak karena banyak hasil ikutannya yang dapat dimanfaatkan diantaranya tebon jagung, kulit kopi, bungkil kedelai dan ampas tahu. Sesuai dengan amanah dalam Undang-undang Republik Indonesia No 18 tahun 2009 (www.deptan.go.id) tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mengatur “untuk menjamin kepastian terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis dan
6
kesehatan hewan”.
Dalam pasal 6 ayat (4) yaitu Pemerintah Daerah
kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan, hortikultura, perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan ternak murah.
Kondisi ini diharapkan mampu menjadi solusi
tentang kelangkaan pakan dan lahan bagi usaha peternakan. Dari sudut pandang peningkatan sumber daya manusia, pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi telah mengadakan program-program pelatihan bagi peternak dan calon peternak sapi perah, serta mendatangkan konsultan ahli sapi perah dari Kanada. Upaya-upaya ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan rendahnya SDM dan mampu meningkatkan minat pelaku usaha sapi perah. Berdasarkan laporan data ternak Dinas Peternakan Kabupaten Banyuwangi (2013) populasi sapi perah Banyuwangi meningkat dari 309 ekor tahun 2011 menjadi 1.475 ekor tahun 2012. Keberadaan kelompok peternak yang dikelola dengan baik dan menjalin kerjasama dengan penjamin pasar, diharapkan mampu menjadi solusi mahalnya sarana dan prasarana persusuan serta keterbatasan pemasaran.
Kondisi ini
memberi rasa nyaman ke peternak sehingga tidak lagi merasa khawatir dalam memasarkan produk susunya, mengingat karakteristik susu yang mudah terkontaminasi penyakit dan bersifat mudah rusak. Kelompok Peternak Sapi Perah (KPSP) “Karyo Ngremboko” Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi adalah kelompok yang bergerak di bidang produsen persusuan yang pertama kali di Banyuwangi. Dirintis sejak tahun 2011 dan baru awal tahun 2013 menjadi kelompok yang dikelola dengan baik, menjalin
7
kerjasama dengan pihak IPS yaitu PT. Nestle, dan melengkapi sarana dan prasarana termasuk armada khusus untuk pengiriman susu ke IPS. Alasan inilah yang melatarbelakangi peneliti tertarik meneliti peternak di kelompok ini. Studi tentang sapi perah telah banyak diantaranya hasil penelitian Rahayu (1993) usaha ternak sapi perah telah memberikan pendapatan riil sebesar Rp517.563,99/ekor/tahun dan pendapatan total sebesar Rp488.095,65/ekor/tahun. Menurut Putranto (2006), rata-rata keuntungan total per unit sapi perah per laktasi adalah strata I Rp2,408 juta, strata II Rp2,505 juta, strata III Rp2,994 juta dan strata IV Rp2,869 juta, Sutawi (2007: 110) menyatakan untuk mencapai skala ekonomis usaha pemeliharaan sapi perah minimal tujuh ekor, sedangkan untuk meningkatkan produktivitas paling tidak jumlah sapi perah induk yang dipelihara 8-9 ekor sepanjang tahun. Mukson, et. al. (2009) hasil penelitiannya menyatakan bahwa faktor umur peternak, pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, lama usaha, jumlah sapi laktasi, jumlah pakan hijauan, jumlah pakan konsentrat, curahan tenaga kerja, jumlah dan luas kandang secara bersama-sama berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kinerja usaha ternak (produksi susu).
Pada sapi potong menurut
Rusdiana, Wibowo, dan Praharani (2010), usaha penggemukan ternak sapi potong Peranakan Ongol (PO) jantan, peternak mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp5.464.000/tahun/peternak. Nurtini
(2011) usaha tani sapi perah yang menguntungkan dan
berkelanjutan apabila pemilikan minimal 5,23 unit ternak atau enam ekor sapi dan proporsi sapi laktasi 70 persen.
Peternakan sapi perah rakyat meski mampu
membangkitkan
masyarakat
perekonomian
pedesaan
namun
berdasarkan
8
pendekatan ekonomis kurang menguntungkan atau bahkan tidak menguntungkan. Keberadaan kelompok peternak, program KUPS dan program pemerintah daerah dalam peningkatan SDM peternak serta studi tentang sapi perah diharapkan dapat menjadi solusi dari berbagai kendala dalam usaha sapi perah. Namun dalam kenyataannya masih banyak peternak anggota kelompok yang memiliki skala usaha maksimal tiga ekor, padahal skala usaha yang rendah banyak studi yang menyatakan tidak menguntungkan, sedangkan kesempatan untuk memiliki skala usaha yang lebih besar sangat memungkinkan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, inilah yang menjadi permasalah dalam penelitian ini.
Berdasar masalah
tersebut di atas perlu dikaji: 1) apakah usaha sapi perah dengan berbagai skala usaha masih dapat memberi keuntungan bagi peternak; 2) berapakah skala usaha yang paling menguntungkan; dan
3) faktor apa saja yang mempengaruhi
keuntungan
merupakan
peternak,
semuanya
pertanyaan-pertanyaan
atau
permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memberi masukan bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi yang sedang giat mengembangkan budidaya sapi perah. Informasi mengenai upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keuntungan bagi peternak sapi perah sangat diperlukan untuk menunjang keberlangsungan usaha.
1.2 Keaslian Penelitian Rahayu (1993) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui besarnya pendapatan dan efisiensi usaha ternak sapi perah serta mengetahui hubungan antara faktor-faktor ekonomi terhadap pendapatan peternak.
Data
9
dianalisis secara deskriptif, regresi linier berganda, uji-F dan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak sapi perah telah memberikan pendapatan riil sebesar Rp517.563,99/UT/tahun dan pendapatan total sebesar Rp488.095,65/ UT/Tahun, sedangkan R/C riil sebesar 2,91 dan R/C total sebesar 1,83. Variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan adalah jumlah produksi susu dan jumlah ternak. Putranto (2006) meneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keuntungan dari usaha peternakan sapi perah rakyat dan mempelajari hubungan output dan input dari usaha peternakan di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Semarang dan Kota Semarang, Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata keuntungan total per unit sapi perah per laktasi adalah strata I Rp2,408 juta, strata II Rp2,505 juta, strata III Rp2,994 juta dan strata IV Rp2,869 juta. Berdasar perhitungan skala usaha ditemui kondisi di mana pada strata III dalam keadaan increasing return to scale, sedang dari perhitungan efisiensi ekonomi diperoleh hasil bahwa kondisi peternakan sapi perah di Jawa Tengah berada pada keadaan belum atau tidak efisien, demikian juga dari perhitungan keuntungan maksimal diperoleh hasil bahwa keuntungan maksimal belum tercapai. Kesimpulan pokok dari hasil penelitian ini adalah usaha peternakan sapi perah masih membutuhkan usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi dan performa pengolahan susu pada tingkat peternakan dan koperasi. Singh dan Joshi (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pendapatan petani (skala kecil dan marjinal) tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Pengeluaran petani melebihi pendapatannya, sehingga perlu mencari tambahan pendapatan dari aktifitas off farm. Pertanian yang mengadopsi penambahan usaha
10
ternak sapi perah ternyata mampu meningkatkan pendapatan petani apalagi ada efisiensi teknis. Mukson, et. al. (2009) melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui kinerja usaha ternak sapi perah rakyat terutama dari aspek produksi susu dan kualitas susu yang dihasilkan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usaha ternak sapi perah rakyat. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik, dengan menggunakan
analisis regresi
linier berganda,
sebagai
variabel
dependennya adalah produksi susu yang merupakan cerminan dari kinerja usaha sedangkan sebagai variabel independen adalah: umur peternak, pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, lama usaha, jumlah sapi laktasi, jumlah pakan hijauan, jumlah pakan konsentrat, curahan tenaga kerja, jumlah dan luas kandang. Uji signifikansi model linier berganda digunakan uji F. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi susu rata-rata perhari sebesar 21,87 lt/hari dengan kepemilikan sebesar 2,33 ekor sapi laktasi atau produksi per ekor rata-rata sebesar 9,38 lt/ekor per hari. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usaha dihasilkan secara bersama-sama berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kinerja usaha. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa kinerja usaha ternak (produksi susu) masih perlu ditingkatkan dengan memperhatikan faktor SDM, jumlah ternak laktasi dan zoo teknis usaha. Penelitian Sahin (2009) bertujuan untuk mengetahui tingkat profitabilitas usaha sapi perah di Provinsi Van ( Provinsi di bagian timur Turki ).
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan, laba kotor per peternakan adalah $1.863,1 dan laba bersih per peternakan adalah $393. Secara keseluruhan, tingkat profitabilitas usaha sapi perah adalah 2,2 persen dan meningkat secara
11
proporsional dengan skala usaha sapi perah. Total elastisitas produksi input adalah 0,851 mengindikasikan bahwa usaha sapi perah dalam kondisi decreasing return to scale. Widiati, et. al. (2009) meneliti dengan tujuan menganalisis dampak pola kredit terhadap pemanfaatan teknologi dan pendapatan sapi perah rakyat. Materi penelitian adalah peternak sapi perah rakyat yang mendapat kredit di lokasi Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Barat. Metoda yang digunakan adalah survei dengan bantuan kuesioner. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan regresi. Hasil penelitian adalah terdapat 4 pola kredit sapi perah rakyat yaitu pola: (1) kredit/pinjaman 1 ekor induk sapi perah yang sudah bunting sekitar 3 bulan, dengan pengembalian ternak sejumlah 2 ekor betina umur 15 bulan (siap kawin); (2) kredit berupa uang dibelikan induk sapi yang sudah bunting sekitar 3 bulan, dikembalikan dalam bentuk uang atau melalui setoran susu; (3) sama dengan pola 1 tetapi kredit berupa induk belum bunting; dan (4) sama dengan pola 2 tetapi pembelian induk sapi belum bunting.
Teknologi yang umum dilakukan oleh
responden adalah Inseminasi Buatan dan penggunaan pakan konsentrat berupa complete feed dengan hasil koefisien teknis S/C dan CI yang masih di bawah standar/sasaran sehingga menurunkan potensi produksi. Hasil analisis farm income (family labor and management income), menunjukan pola 2 lebih rendah dibanding pola 1 dan 3 sedangkan pola 4 negatif. Hasil analisis finansiil menunjukkan tiga pola layak untuk diusahakan, pola 4 tidak profitable. Hasil analisis regresi jumlah ternak, pakan konsentrat dan induk laktasi berpengaruh signifikan positif terhadap produksi susu sedangkan pakan hijauan tidak berpengaruh. Rusdiana, Wibowo dan Praharani (2010) melakukan penelitian untuk
12
menganalisis fungsi pendapatan usaha penggemukan ternak sapi potong Peranakan Ongole (PO) jantan yang dijalankan oleh peternak di Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali dan menganalisa kelayakan usahanya. Metoda penelitian dengan observasi langsung di lapangan dan metoda survey dengan farm recording bulanan. Hasil penelitian menunjukan bahwa usaha penggemukan ternak sapi potong
(PO)
jantan,
peternak
mendapatkan
keuntungan
bersih
sebesar
Rp5.464.000,00/tahun/peternak, analisis Break Event Point (BEP) produksi 2,28 ekor dan BEP harga Rp5.826.666,00/ekor, analisis efisiensi penggunaan modal (return on investmen/ROI) 31,25 persen dan R/C 1,3 serapan tenaga kerja peternak selama pemeliharaan sebesar 360 HOK sebesar Rp1.800.000,00/tahun yang artinya usaha penggemukan ternak sapi potong dapat dipertahankan atau sebagai sumber tambahan pendapatan peternak. Dhuyvetter (2011) meneliti dengan menganalisis hubungan antara pendapatan, produksi, dan faktor biaya antara kelompok laba tinggi, menengah, dan rendah berdasar laba usaha sapi perah selama enam tahun terakhir. Hasil penelitian adalah di tingkat peternak, skala laba tinggi memberi keuntungan ratarata $1.094 per ekor lebih dari skala laba rendah ( $172/sapi dibanding $922/sapi). Peternakan dengan laba tinggi memiliki biaya operasional sedikit lebih besar, biaya total per ekor lebih rendah ($194), dan memperoleh harga susu sedikit lebih tinggi ($0.21/cwt) dibandingkan dengan peternakan dengan laba rendah. Namun, faktor yang lebih penting dalam menjelaskan perbedaan profitabilitas adalah bahwa kelompok laba tinggi memiliki produktivitas susu per sapi secara signifikan lebih tinggi ($4.307/sapi ) dibandingkan kelompok laba rendah. Poon dan Wersink (2011), melakukan penelitian di Canada dengan tujuan
13
menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi variabilitas pendapatan peternak. Hipotesisnya menyatakan bahwa tipe dan ukuran peternakan menentukan variabilitas pendapatan peternak. Alat analisis yang digunakan adalah regresi dan Graphical Quintile Analysis.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa
koefisien variasi pada pendapatan on farm lebih besar secara signifikan dibanding pada off farm, tetapi pada pengukuruan keduanya justru berbanding terbalik terhadap pendapatan permanennya. Pendapatan peternak sampingan dan kesukaan (non komersial) memiliki koefisien variasi yang lebih rendah baik on farm maupun off farm, dibanding peternakan yang dikelola secara komersial (bisnis) hal ini dikarenakan mereka mungkin lebih berpengalaman dalam menekan risiko dan sudah menikmati dari keuntungan permanen dari off farm. Nisa, Santoso dan Mukson (2012) melakukan penelitian di anggota KUD Sumber Karya, KUD Getasan, KUD Mekar Kabupaten Semarang, tujuannya untuk mengetahui tingkat profitabilitas berdasarkan skala usaha pada anggota KUD dan hubungan yang mempengaruhinya. Metoda penelitian yang digunakan metoda survei.
Analisis yang digunakan secara dikriptif dan kuantitatif, dengan
menggunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian adalah profitabilitas pada usaha ternak sapi perah di Kabupaten Semarang pada skala 1-2 ekor sebesar (67,88 persen) pada skala 3-4 ekor sebesar (62,43 persen) dan pada skala lebih dari 4 ekor sebesar (51,21 persen). Hasil one sample t test pada signifikan t hitung =0,000 (P≤0,01) artinya profit usaha ternak sapi perah di Kabupaten Semarang lebih besar dari suku bunga bank.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi
profitabilitas secara serempak jumlah ternak, investasi, harga susu, pengalaman beternak, produksi susu, dan biaya pakan konsentrat terhadap profitabilitas
14
berpengaruh sangat nyata Sig. 0,000 (P≤0,01) terhadap profitabilitas. Salman (2012) melakukan penelitian dengan tujuan menganalisis mekanisme penyaluran bantuan ternak sapi dan menghitung pendapatan peternak. Hipotesis yang dipakai adalah mekanisme pemberian bantuan telah sesuai seharusnya, dan hipotesis kedua, bantuan ternak menambah pendapatan peternak. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan. Kesimpulan dari hasil penelitiannya adalah mekanisme telah sesuai dan bantuan ternak memberi pertambahan pendapatan kepada peternak sebesar Rp1.667.156,00. Penelitian yang akan dilakukan kali ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Perbedaan ini dapat terjadi pada lokasi penelitian, jenis komoditi, waktu, variabel, metoda maupun alat analisisnya. Pada penelitian ini
menganalisis
keuntungan
peternak
sapi
perah
beserta
faktor
yang
mempengaruhi, meskipun terdapat beberapa persamaan dengan penelitian terdahulu, namun tidak ada satupun penelitian yang identik dengan penelitian kali ini.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Mengingat adanya skala usaha berdasarkan jumlah ternak (jumlah induk) yang masih rendah dan skala usaha yang berbeda-beda pada anggota kelompok peternak sapi perah “Karyo Ngremboko” Kabupaten Banyuwangi, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. menganalisis keuntungan usaha ternak sapi perah anggota kelompok selama 6 bulan (Februari – Juli 2013);
15
2. menganalisis skala usaha (jumlah induk) yang paling menguntungkan bagi peternak anggota kelompok; 3. menganalisis pengaruh faktor jumlah ternak laktasi dan jumlah pakan konsentrat selama enam bulan terhadap keuntungan peternak anggota kelompok. 1.3.2 Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat: 1. memberikan masukan bagi pemerintah daerah dalam penentuan arah dan merumuskan kebijakan dalam pembangunan usaha peternakan sapi perah; 2. memperkaya khasanah studi empiris bagi peneliti lain yang akan melaksanakan penelitian sejenis.
1.4 Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini secara garis besar menggunakan sistematika sebagai berikut: Bab I. Pengantar, mencakup latar belakang, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II. Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, mencakup tinjauan pustaka, landasan teoritis, hipotesis dan alat analisis. Bab III. Analisis Data, bab ini mencakup cara penelitian, aspek-aspek penting yang berkaitan dengan objek penelitian, hasil analisis data dan pembahasan. Bab IV. Kesimpulan dan Saran, bagian ini memaparkan mengenai kesimpulan dari hasil analisis data serta memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, daftar pustaka, dan lampiranlampiran.