1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Studi mengenai karya foto potret di Indonesia sejauh ini masih jarang dilakukan. Belum banyak dijumpai buku atau pun bahan referensi lain yang temanya berkaitan dengan karya foto potret di Indonesia. Kelangkaan studi yang terkait dengan tema tersebut, baik diakui
maupun
tidak,
telah
menyebabkan
adanya
kekurang-
lengkapan dan kekaburan pemahaman oleh kalangan masyarakat umum terhadap istilah foto potret. Faktanya, pewacanaan fotografi potret di Indonesia lebih mengarah pada proses kreatif penciptaan karya dan cenderung memosisikan fotografi potret lebih sebagai produk massal dengan segenap nilai ekonominya. Sejauh ini, belum ditemukan penelitian mengenai praktik foto potret studio yang secara khusus membahas remaja putri sebagai pemakai foto potret studio. Selain itu, studi mendalam mengenai karya-karya studio potret di Indonesia yang dikhususkan pada pembacaan dengan pendekatan retorika visual belum ditemukan, terutama yang mengupas upayaupaya persuasif yang dihasilkan dari foto potret dengan segenap kompleksitasnya. Berdasarkan hal tersebut, maka studi ini menjadi
2
penting guna memberi alternatif baru dalam mengupas fenomena fotografi bagi peneliti lain di kemudian hari. Artinya, studi ini berupaya menghasilkan kontribusi berupa perangkat analisis yang dapat digunakan untuk mengupas fenomena-fenomena fotografi yang terjadi, baik itu berupa analisis atas ide, aktivitas, maupun artefak fotografi. Oleh sebab itu, guna mengisi kekosongan tersebut diperlukan sebuah studi yang dapat menjelaskan bagaimana wacana fotografi potret bergulir di masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan pengayaan wawasan dan pengetahuan tentang fotografi potret selain perihal teknik dan artistik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah studi fotografi potret yang berkaitan dengan upaya manusia untuk menyatakan dirinya melalui imaji fotografi potret studio. Studi semacam ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang berbagai wujud karya fotografi potret, serta makna budaya yang
terkandung
di
dalamnya.
Misalnya
dapat
menjelaskan
bagaimana sesungguhnya masyarakat memandang nilai foto potret bagi dirinya. Fotografi potret diri di studio sebagai bentuk persuasi diri pun tampaknya belum sepenuhnya disadari oleh sebagian besar pihak yang terlibat dalam proses produksinya. Bagi sebagian besar dari
3
mereka, ritual potret-memotret di studio foto lebih bermakna memori, dokumentatif, bentuk gaya hidup, atau sebagai sarana berasyik-asyik semata. Namun di balik itu, sadar atau pun tidak, sengaja atau pun tidak, orang-orang yang berfoto studio pada hakikatnya telah mengajukan penampilan dirinya untuk dilihat dan diinterpretasi oleh orang lain. Di sini fotografi potret seakan-akan menjadi saksi atas segala bentuk upaya dan pernyataan manusia
tentang tampilan
untuk dirinya. Jadi, studi ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana usaha penampilan diri tersebut dijalani oleh subjek potret yakni orang yang dipotret atau disebut peduduk,1 berasal dari bahasa Inggris yaitu sitter, dan fotografer melalui wujud karya fotografi potret studio dalam konteks budaya masa kini. Dapat dikatakan bahwa seorang peduduk senantiasa berusaha untuk menetapkan bentuk terbaik tampilan dirinya dalam wujud karya foto potret. Usaha tersebut merupakan hal yang sangat wajar. Bila bercermin dari pengalaman masing-masing individu, upaya pengidealan tampilan diri melalui media fotografi pasti pernah pula dirasakan. Salah satu contohnya ialah reaksi seseorang yang secara spontan menyesuaikan sikap tubuh ketika sadar bahwa dirinya akan Kata peduduk dalam penulisan studi ini digunakan sebagai kata pengganti untuk sitter atau orang yang dipotret. Menurut Microsoft Encarta Dictionary (2008) sitter dapat diartikan “An artist's or photographer's model, especially for a portrait”. 1
4
difoto oleh orang lain. Seseorang biasanya akan segera berpose badan, menunjukkan mimik wajah tertentu, membenahi rambut dan pakaiannya. Bahkan bisa pula lebih dari itu, misalnya meminta fotografer untuk memotret dirinya dari arah dan dengan kriteriakriteria tertentu. Adanya kenyataan bahwa dalam proses perwujudan foto potret terdapat berbagai upaya yang dilakukan oleh peduduk dan pihakpihak
studio
foto
untuk
menampilkan
diri
peduduk
dalam
tampilan/penampilan yang sesempurna mungkin, sesuai dengan keinginan peduduk, juga merupakan alasan dilakukannya studi ini. Upaya-upaya tersebut tentu akan makin jelas dan beragam ketika seseorang memang sengaja datang ke studio foto, menyediakan dirinya untuk difoto, dan untuk itu pula ia harus membayar biaya fotografer/studionya. Ini merupakan fenomena yang menarik, yang menunjukkan bagaimana seseorang ingin tampil prima dalam selembar foto melalui berbagai upaya strategis. Senada dengan kecenderungan yang digambarkan di atas, dalam literatur-literatur teknis foto potret pun sering dipaparkan berbagai tips dan trik untuk menyempurnakan penampilan peduduk. Hal demikian berbanding lurus dengan upaya untuk mencegah tampaknya ketidaksempurnaan peduduk. Berdasarkan hal tersebut,
5
melalui studi ini akan dijelaskan apa dan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan, baik oleh peduduk potret maupun fotografer, dalam suatu kegiatan produksi untuk mendapatkan hasil foto yang disetujui oleh peduduk; serta pesan apa saja yang disampaikan dan diprioritaskan oleh peduduk melalui foto dirinya. David Bate pernah menyatakan, “the portrait aims to say ‘this is how you look’”.2 Pernyataannya menunjukkan bahwa representasi fotografis melalui genre potret juga merupakan suatu bentuk pesan, imbauan, ajakan, atau pun arahan kepada pelihat karya potret tentang peduduk yang tampil dalam foto potret. Foto potret menjadi alat untuk meyakinkan orang tentang apa yang dilihatnya melalui pemanfaatan elemen fotografi potret. Bentuk semacam itulah, yakni saat sebuah imaji hadir untuk mempengaruhi pelihatnya, yang dikatakan oleh Barthes dalam Stephen Bull sebagai ‘rhetoric of image’, yakni “the way that photographs persuade their viewers to believe in what they show”.3 Rhetoric of image yang ditawarkan oleh Barthes tersebut, dalam literatur masa kini merupakan salah satu bagian dari wacana yang lebih luas, yaitu visual rhetoric (retorika visual), atau upaya produksi
David Bate, Photography: The Key Concepts (New York: Berg, 2009), 67. Stephen Bull, Photography: Routledge Introductions to Media and Communication (London and New York: Routledge, 2010), 36. 2 3
6
simbol-simbol visual untuk menyampaikan/ mengkomunikasikan sesuatu.4 Retorika visual juga dipandang sebagai proses simbolik dalam berkomunikasi melalui benda-benda visual.5 Mengingat
studi
dalam
konteks
foto
potret,
tampaknya
pengertian retorika visual itu juga menarik jika diperkuat dengan pengertian retorika menurut Roland Barthes yang ia tulis dalam artikelnya yang berjudul “Retorika Kuno: Sebuah Pengingat”. Dalam artikel tersebut ia sempat menyatakan enam praktik retorika yang dua di antaranya sesuai dengan studi ini, yaitu suatu teknik atau seni persuasi yang memiliki aturan dan resep-resep tertentu sehingga dapat meyakinkan audience/pemirsa diskursusnya, walaupun apa yang disampaikan palsu dan merupakan suatu praktik main-main, karena retorika merupakan suatu sistem intensional yang luar biasa. Hal itulah yang kemudian memunculkan apa yang disebut retorika hitam: permainan-permainan, parodi-parodi, alusi-alusi erotis, dan lawakan-lawakan di kolese.6 Dengan demikian, studi ini pun setidaknya akan melihat tiga hal. Pertama, foto potret dipandang sebagai media visual yang dibuat dengan teknik atau pun seni
Carolyn Handa (Ed.), Visual Rhetoric in a Digital World: A Critical Sourcebook, First Edition (St. Martin’s: Bedford, 2004). 5 Sonja K. Foss dalam Charles A Hill dan Merguerite Helmer (Ed.), Defining Visual Rhetoric (London: Lawrance Erlbaum Associates, 2004), 303. 6 Roland Barthes, Petualangan Semiologi Roland Barthes. Terjemahan Stephanus Aswar H (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 95. 4
7
persuasi tertentu. Kedua, foto potret sebagai media persuasif yang di dalamnya terdapat retorika-retorika yang bisa saja diutarakan secara sungguh-sungguh atau sebaliknya diutarakan dalam bentuk praktik ‘main-main’ dan ‘kepalsuan’. Ketiga, foto potret sebagai media yang menyuarakan pesan-pesan tertentu tentang peduduk yang tampil di dalamnya. Ketiga hal tersebut akhirnya bermuara pada pertanyaan mengapa terjadi retorika dalam foto potret. Istilah retorika visual dalam studi ini diganti dengan istilah retorika fotografis. Tujuannya untuk memberi penekanan khusus bahwa studi ini terfokus pada fotografi sebagai salah satu entitas yang dikaji dalam wacana retorika visual. Selain itu, penggantian istilah itu juga dilakukan sebagai
upaya untuk memperkaya
khasanah serta mempermudah peneliti selanjutnya yang akan melakukan pengkajian fotografi di Indonesia. Foto potret secara umum merupakan hasil representasi kemiripan (likeness) jati diri figur manusia.7 Hal ini juga ditegaskan oleh Galler, yang menyatakan potret sebagai “craft of representing a person in a single still image”.8 Namun dalam praktiknya, genre potret sejatinya
bukan
hanya
berkaitan
dengan
konsep
kemiripan,
Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi (Jakarta: Penerbit Trisakti, 2006), 111. 8 Mark Galler, Photography Foundation for Art and Design: The Creative Photography Handbook (Oxford: Elsevier, 2007), 88. 7
8
melainkan lebih dari itu. Dalam proses perwujudannya terdapat sebentuk interaksi kompleks yang terjadi antara segi estetis, sosial, budaya, ideologi, dan aspek psikologis yang pada akhirnya turut mempengaruhi wujud akhir sebuah potret. Dalam sisi lain, sebagai salah
satu
genre
karya
seni,
potret
juga
dipengaruhi
oleh
pembuatnya melalui imajinasi visual tentang ‘kualitas-kualitas’ yang melekat pada peduduk sehingga dalam tataran selanjutnya karya potret juga merefleksikan konvensi dan perilaku seni/artistik yang berlaku di lingkungan sosial dan budaya peduduk.9 Kemajuan teknologi fotografi saat ini memberikan banyak pilihan bagi fotografer untuk menentukan wujud representasi fotografis pada karyanya. Terlebih sejak hadirnya kamera digital di masyarakat pada awal tahun 2000-an, yang dilengkapi dengan perangkat keras dan perangkat lunak penunjang perwujudan karya fotografi.
Kehadiran kamera digital mendorong munculnya variasi
bentuk, gaya, dan cara penyajian karya fotografi, termasuk fotografi potret. Sejak saat itu pula muncul studio fotografi potret berbasis digital di kota-kota besar Indonesia. Studio-studio lama pun mulai berbenah untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang demikian. Studio-studio tersebut menawarkan layanan dan fasilitas fotografi
9
Shearer West, Portraiture (New York: Oxford University Press, 2004), 24.
9
terbaru yang berbasis pada teknologi digital. Misalnya pemotretan dengan kamera digital, proses olah/manipulasi gambar secara digital cukup dilakukan di ‘kamar terang’ dengan seperangkat komputer beserta perangkat lunaknya, dan mesin cetak digital. Berkat kemajuan tersebut, maka muncul beragam bentuk visualisasi karya fotografi yang dapat diwujudkan dalam waktu yang sangat singkat. Ini merupakan suatu kondisi yang amat berbeda dengan era fotografi analog yang berbasis film/pita selulosa dan proses kimiawi. Bahkan sekarang banyak ditemukan visualisasi karya fotografi yang sebelumnya amat sulit atau dapat dikatakan mustahil untuk diwujudkan pada era fotografi analog. Perkembangan luar biasa itu pun memicu munculnya ragam visualisasi karya yang mungkin saja belum pernah terbayangkan sebelumnya. Kemajuan
teknologi
juga
turut
membentuk
pola
baru
pelayanan fotografi, termasuk studio foto. Bila sebelumnya dalam studio foto hanya ada peduduk dan fotografer, maka sekarang fotografer tidak lagi bekerja sendiri. Kini fotografer bekerja bersama seorang desainer foto yang cekatan dalam mengolah imaji fotografi dengan bantuan komputer. Hal ini pula yang menjadi alasan tersendiri mengapa studi ini dilakukan. Studi ini akan menguraikan bagaimana peran dan proses negosiasi fotografer, peduduk, dan
10
desainer foto dalam mewujudkan sebuah foto potret, yang juga secara otomatis menghasilkan retorika fotografis tertentu. Sejarah mencatat bagaimana pada tahun 2002 golongan remaja putri dijadikan target pemasaran studio Calista, studio foto digital pertama di Yogyakarta. Hal ini dapat dipandang sebagai bentuk antisipasi para pemain bisnis studio foto dalam menghadapi peralihan teknologi fotografi dunia. Di sisi lain, remaja putri memang merupakan golongan usia yang sedang mengalami perkembangan identitas diri serta memiliki kecenderungan untuk mencoba sesuatu yang baru, termasuk dalam hal berpenampilan. Kaum remaja memiliki
kecenderungan
untuk
meniru
tokoh-tokoh
idola.10
Kecenderungan itu memang tampak pada hasil pengamatan awal di lapangan. Para remaja putri, tampak melakukan berbagai antisipasi bagi tubuh dan penampilan mereka ketika akan berpotret di studio foto. Kenyataan ini pula yang menjadi penguat alasan mengapa golongan remaja putri dipilih sebagai objek penelitian. Fenomena keberagaman visualisasi dan pendayagunaan kreasi artistik dalam karya-karya fotografi potret dewasa ini sangat terlihat pada karya-karya fotografer muda, baik yang berstatus fotografer lepas (freelance) maupun fotografer yang bekerja untuk studio foto Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 201. 10
11
tertentu. Pengolahan aspek artistik dalam karya mereka diterapkan pada
seluruh
bagian
karya;
mulai
dari
pose,
pencahayaan,
permainan warna, latar belakang foto, koreksi foto, pembingkaian foto,
hingga
penambahan
efek-efek
visual
(trick effect)
untuk
menghadirkan nuansa tertentu. Peduduk yang mereka tangani pun sangat beragam dari sisi usia, profesi, suku, dan golongan sosial. Kecenderungan dan keberagaman visualisasi yang tampak pada karya-karya foto potret studio pada era fotografi digital sekarang juga merupakan alasan utama untuk menjadikannya sebagai bahan studi. Salah satu premis yang dikembangkan dalam studi ini ialah kenyataan bahwa kemajuan teknologi pada perwujudan karya fotografi tidak hanya mempengaruhi kreativitas pada upaya-upaya artistik semata, tetapi juga turut mempengaruhi kultur penampilan peduduk sebagai ‘manusia-manusia terpotret’ dalam karya fotografi yang terbingkai dalam satu wujud representasi fotografis. Dapat pula diduga
bahwa
berbagai
atribut
yang
melekat
pada
peduduk
ditampilkan dalam wujud representasi fotografis yang berbeda-beda. Representasi fotografis yang dimaksud di sini mengacu pada pengertian bahwa representasi merupakan sebuah cara bagaimana individu,
kelompok,
atau
pun
ide-ide
divisualisasikan
dengan
pemahaman, bahwa tiap gambar memiliki kekhususan, sejarah, dan
12
konteks budayanya sendiri sehingga tiap wujud visual tersebut mengantarkan implikasi ideologis.11 Dengan kata lain, fotografi potret studio di sini didudukkan sebagai salah satu material budaya yang diproduksi,
diwujudkan,
dan
dipahami
dalam
konteks
sosial
tertentu.12 Berdasarkan paparan di atas, maka studi ini berusaha untuk menelaah sejumlah hal, yaitu: (1) foto potret sebagai benda visual yang
dihadirkan
berdasarkan
motivasi
tertentu;
(2)
upaya
perwujudan foto potret melibatkan aspek-aspek artistik; (3) aspekaspek artistik yang dapat dibaca sebagai retorika fotografis; (4) pesanpesan yang dapat terbaca dalam foto potret; (5) kontribusi dan negosiasi antarpihak yang terlibat dalam perwujudan karya potret; serta (5) refleksi budaya yang dapat dipetik dari praktik foto potret di studio. B. Rumusan Masalah Pertti Alasuutari dalam buku Researching Culture: Qualitative Method and Cultural Studies (1996) menyarankan agar penelitian kualitatif berangkat dari pertanyaan ‘mengapa’.13
Artinya peneliti
Liz Wells (Ed.), Photography: A Critical Introduction (London: Routledge, 1997), 295. 12 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Terjemahan Tim Kunci Cultural Studies Center (Yogyakarta: Bentang, 2005), 10. 13 Periksa R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni rupa (Bandung: MSPI, 1999), 46. 11
13
kualitatif
berusaha
mencari
motif-motif
yang
melatarbelakangi
terjadinya berbagai fenomena, tidak sekadar mendeskripsikannya. Berdasarkan saran itu, maka melalui studi ini
dicarikan jawaban
atas pertanyaan utama yaitu mengapa terjadi retorika fotografis dalam praktik studio potret remaja putri di Yogyakarta. Pertanyaan utama
tersebut
berikutnya
dapat
dijabarkan
dalam
empat
pertanyaan penelitian yang dicari jawabannya, meliputi proses pembentukan foto potret; retorika fotografis di dalamnya; peran tiap pihak; serta refleksi budaya foto potret. Adapun rincian pertanyaan yang dirumuskan adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana proses kreasi artistik dalam karya-karya fotografi yang dihasilkan melalui praktik studio potret di Yogyakarta? 2. Bagaimana bentuk dan muatan retorika fotografis yang tampak dalam foto remaja putri pada praktik studio potret di Yogyakarta? 3. Bagaimana peran tiap pihak yang terlibat dalam praktik studio foto potret dalam mewujudkan retorika fotografis? Siapa yang mendominasi? Mengapa? 4. Apa refleksi budaya yang dapat dipetik dari praktik studio potret?
14
C. Tujuan Penelitian Dalam studi yang dilakukan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai. Tujuan-tujuannya adalah: 1. Mengetahui upaya-upaya kreasi artistik yang tampak dalam karya-karya fotografi potret di Yogyakarta. 2. Mengetahui upaya sinergis yang terjadi antara peduduk, fotografer, dan desainer foto potret studio di Yogyakarta. 3. Mengetahui bentuk-bentuk retorika fotografis yang diterapkan dalam proses penciptaan foto potret studio di Yogyakarta. 4. Menguraikan content (muatan) yang tersirat dalam karya fotografi potret studio di Yogyakarta. 5. Menemukan refleksi budaya yang dapat dipetik dari praktik studio potret.
D. Manfaat Penelitian Sebuah penelitian tentunya dilakukan untuk meraih manfaat tertentu. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang fotografi potret di Yogyakarta. Secara garis besar manfaat studi ini berkenaan dengan penghimpunan data serta cara pembacaan karya fotografi
15
yang dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya. Berikut adalah manfaat-manfaat yang dapat diambil dari studi ini. 1. Menyediakan gambaran mengenai keterkaitan antara kreasi artistik, pesan-pesan yang disampaikan, dan pesan-pesan yang terwujud dalam satu bingkai representasi fotografis melalui karya fotografi potret. 2. Memberi gambaran kepada masyarakat tentang upaya-upaya yang dilakukan manusia untuk menyatakan diri secara visual melalui karya fotografi potret studio. 3. Membuka, serta memberi contoh pewacanaan pengkajian dan teori retorika visual fotografi di Indonesia. 4. Menambah sumber informasi bagi peneliti selanjutnya yang berniat mendalami fotografi potret di Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka Tinjauan
pustaka
berikut
ini
disajikan
dalam
rangka
menunjukkan studi tentang fotografi potret terdahulu yang memiliki korelasi dengan studi retorika fotografis dalam disertasi ini. Studi terdahulu yang dimaksud ialah studi mengenai fotografi secara umum, studi mengenai praktik studio potret di Indonesia serta studistudi mengenai retorika visual dalam fotografi. Tinjauan pustaka ini
16
merupakan upaya untuk dapat membuktikan bahwa studi mengenai retorika fotografis remaja putri dalam praktik studio potret di Yogyakarta belum pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu.
1. Studi fotografi potret Penelitian dalam bidang fotografi di Indonesia hingga saat ini dapat dikatakan masih sangat jarang dilakukan, terlebih lagi penelitian yang dilakukan secara ilmiah di tataran pendidikan S-2 maupun S-3. Namun, bukan berarti penelitian di bidang fotografi yang dimaksud tidak pernah dilakukan sama sekali. Walaupun sangat terbatas, masih ada sejumlah hasil penelitian tentang fotografi yang cukup relevan dan dapat menunjang studi. Berdasarkan alasan tersebut, maka tinjauan pustaka ini tidak hanya memuat hasil-hasil penelitian di tataran S-3, tetapi juga memuat hasil-hasil penelitian S2, jurnal, buku-buku fotografi, serta artikel dan publikasi lainnya yang dianggap relevan dan memiliki bobot ilmiah yang memadai. Tinjauan
ini
dimulai
dari
buku-buku
yang
dapat
menggambarkan sejarah masuk dan berkembangnya fotografi di Indonesia. Pengamatan sejarah fotografi di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan praktik potret di studio perlu dilakukan guna mendapatkan gambaran tentang aspek-aspek sosial-budaya serta
17
teknologi fotografi, yang dipandang memberi pengaruh besar pada wujud foto potret secara umum. Gambaran tersebut selanjutnya dijadikan acuan dalam memaparkan dan membandingkan praktik potret studio di Yogyakarta yang terjadi dari masa ke masa. Masuknya teknologi fotografi di Indonesia dapat dikatakan terjadi bersamaan dengan kemunculannya pertamakali di Eropa. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1840 Jurrian Munnich datang ke Indonesia (Hindia Belanda) untuk mengerjakan proyek fotografi atas
permintaan
Opdrachten).14
Komisi
Seiring
Arkeologi
dengan
Belanda
berjalannya
(Archeologische
waktu
dan
makin
berkembangnya teknologi fotografi di pertengahan abad ke-19, jumlah fotografer Eropa yang masuk ke Hindia Belanda terus bertambah.
Tugas
utama
mereka
adalah
mendokumentasikan
berbagai peninggalan sejarah Hindia Belanda guna kepentingan ilmu pengetahuan dan semangat orientalisme yang sedang berkembang di Eropa. Berkaitan dengan itu, komersialisasi fotografi pun terjadi di kota-kota besar Hindia Belanda, ditandai dengan didirikannya studio foto pertama di Batavia (1857) oleh Firma Woodburry and Page. Riwayat masuknya fotografi di Indonesia sejak 1840-1939 tercatat
dalam
buku
Toekang
Potret:
100
Jaar
Fotografie
Anneke Groeneveld (Ed.), Toekang Potret: 100 Jaar Fotografie in Nederlandss-Indië (Amsterdam: KITLV, 1989), 16. 14
in
18
Nederlands-Indië.15 untuk
Pembahasannya meliputi pemanfaatan fotografi
kepentingan
ilmu
pengetahuan,
komersial,
serta
perkembangan fotografi amatir dan studio hingga tahun 1939. Buku tersebut memuat data studio-studio foto yang sempat berdiri di Indonesia. Walaupun didominasi bahasan-bahasan kesejarahan, buku
ini
dapat
memberikan
gambaran
umum
mengenai
kecenderungan artistik dan sosial yang terjadi dalam wacana fotografi potret di Hindia Belanda. Bahkan oleh Karen Strassler, buku ini dianggap
sebagai
mengulas
satu-satunya
perkembangan
referensi
fotografi
di
komprehensif Indonesia
yang
pra
dan
buku
yang
pascakemerdekaan. Selain
buku
tersebut,
ada
pula
sejumlah
menggambarkan beberapa sisi perkembangan fotografi di Indonesia prakemerdekaan. Di antaranya biografi singkat sejumlah fotografer, karya-karya
mereka,
potret-potret
bangsawan,
foto-foto
seni
pertunjukan, dan artefak-artefak budaya Indonesia. Buku yang dimaksud antara lain (1) Céphas, Yogyakarta: Photography in the Service
of
the
Sultan
terbitan
KITLV
yang
memfokuskan
pembahasannya pada biografi, karya, dan konteks sosial budaya
15
Groeneveld (Ed.), 1989.
19
Kassian Céphas;16 (2) Toward Independence: A Century of Indonesia Photographed, memuat biografi dan tinjauan karya para fotografer yang pernah bekerja di Hindia Belanda;17 (3) Woodburry and Page: Photographers Java yang memaparkan kisah hidup, petualangan fotografi, serta karya-karya Woodburry and Page di Hindia Belanda;18 dan (4) Isidore van Kinsbergen: Photo Pioneer and Theatre Maker in Dutch East Indiës.19 Penelitian terbaru yang bertema fotografi potret di Indonesia prakemerdekaan dilakukan oleh Irwandi dan M. Fajar Apriyanto, yang membahas aspek estetika fotografi, makna, dan fungsi sosial karya-karya foto potret karya Kassian Céphas.20 Dalam penelitian ini, fokus pembahasannya ditujukan pada upaya-upaya ideasionalteknikal penciptaan foto potret, makna, dan fungsi sosialnya. Irwandi dan Apriyanto menyatakan bahwa fungsi sosial karya-karya potret yang dibuat Céphas ialah sebagai media pendeskripsian sekaligus legitimasi prestise sosial, budaya, dan politik bagi kaum bangsawan 16 Gerrit Knapp, Céphas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan (Leiden: KITLV, 1999). 17 Reed (Ed.),Toward Independence: A Century of Indonesia Photographed (San Fransisco: Friends of Photography, 1991). 18 Haks dan Wachlin, Woodburry and Page: Photographers Java (Singapore: Archipelago Press, 1994) 19 Gerda Theuns-de Boer, Saskia Asser, Steven Wachlin, Isidore van Kinsbergen (1821-1905): Fotopionier en Theatermaker in Nederlands-Indië (Amsterdam: KITLV, 2006). 20 Irwandi dan M. Fajar Apriyanto, Membaca Fotografi Potret (Yogyakarta: Gamamedia 2012).
20
dan priayi yang saat itu merupakan kelas sosial yang dominan; sedangkan foto potret masyarakat pribumi nonpriayi atau wong cilik lebih berfungsi sebagai benda pemuas mata orang Eropa yang sangat tertarik pada kemolekan Hindia Belanda.21 Irwandi dan Apriyanto juga menginterpretasikan bahwa foto potret para bangsawan masa itu merupakan gambaran kekuasaan semu atau pseudo-absolutisme. Istilah tersebut digunakan R.M. Soedarsono untuk menyatakan bentuk kekuasaan raja-raja di Indonesia di masa penjajahan Belanda.22 Studi
mengenai
wacana
fotografi
di
Indonesia
pascakemerdekaan pernah dilakukan oleh Karen Strassler melalui disertasinya di University of Michigan yang telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Refracted visions: Popular photography and national modernity in Java (2010). Penelitian ini merupakan contoh dijadikannya fotografi sebagai objek penelitian antropologi. Strassler, dalam bukunya yang ditulis secara etnografis, membahas peran fotografer-fotografer Indo-Cina membentuk tradisi fotografi amatir melalui perkumpulan fotografi, pameran, dan lomba-lomba foto. Tampak dalam konteks ini, praktik fotografi amatir menjadi wahana
Irwandi dan Apriyanto, 2012, 114. R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), 101-110. 21 22
21
berinteraksinya modernitas, teknologi, dan leisure.23 Strassler juga menyitir pendapat Soedjono, Marah, dan Rusli yang secara khusus meninjau karya-karya fotografi di kompetisi fotografi yang saat itu dominan di Indonesia, yaitu Salon Foto. Penelitian itu membuktikan bagaimana
foto-foto
dalam
lomba
tersebut
merupakan
wujud
kesenian nasional Indonesia dan dapat berguna untuk kepentingan wisata
nasional.24
memandang
bahwa
Dalam
perspektif
perjalanan
yang
sejarah
berbeda,
Salon
Foto
Strassler akhirnya
membentuk ikonografi nasionalitas Indonesia. Menurut Strassler, fotografer Indo-Cina berperan besar dalam menetapkan standar modernitas Indonesia melalui gambar latar (backdrop) studio foto potret yang membawa peduduk menuju suasana fantasi ‘elsewhere’
(di suatu tempat). Studio foto juga
menjadi tempat manusia Indonesia memproyeksikan diri dalam imaji yang menempatkan peduduk sebagai subjek yang ‘as if’ (seolah-olah). Strassler juga mengungkapkan berkembangnya fenomena ‘at home with technology’ (kerasan dengan teknologi) yang tampak dominan dalam foto-foto potret yang dibuat di rumah sebagai dampak dari Karen Strassler, Refracted Visions: Popular Photography and National Modernity in Java (London: Duke University Press, 2010), 31-71. 24 Soeprapto Soedjono, Surisman Marah, Edial Rusli, “Tinjauan Fotografi Salon Foto Indonesia dalam Konteks Pengembangan Seni Budaya Nasional”. (Laporan Penelitian di Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta: 1999). 23
22
meningkatnya populasi masyarakat kelas menengah pada tahun 1970-an.25 Potret yang menggambarkan tuan rumah bersama motor, televisi, serta radio dan benda-benda teknologi lainnya menjadi tradisi potret yang lazim saat itu. Ketika melakukan
pembahasan
mengenai fotografi potret di Indonesia, Strassler memang tidak banyak menyinggung permasalahan kreasi artistik dan makna dalam karya fotografi, tetapi lebih mengarah pada budaya dokumentasi foto di Indonesia. Posisi penelitian Strassler ini sangat penting sebagai upaya pengayaan informasi dalam penelitian wujud artistik dan retorika fotografis. Praktik fotografi sebagai praktik sosial pernah dipaparkan oleh Pierre Bourdieu, Luc Boltanski, Robert Castel, Jean-Claude Chamboredon, dan Dominique Schnapper dalam bagian buku Photography: A Middle-brow Art. Buku ini diterjemahkan oleh Shaun Whiteside dari buku aslinya yang berjudul Un art moyen: essai sur les usages sociaux de la photographie (1965). Pierre Bourdieu, Luc Boltanski, Robert
Castel,
Jean-Claude
Cham-boredon,
dan
Dominique
Schnapper dalam buku tersebut memaparkan bagaimana praktik fotografi difungsikan secara sosial sebagai alat untuk menunjukkan integrasi sosial sebuah keluarga melalui pemanfaatan kamera dalam
25
Strassler, 2010, 102-108.
23
acara-acara keluarga.26 Fotografi diasosiasikan sebagai sesuatu yang prestise/bergengsi. Penelitian itu dilakukan di daerah Béarn, sebuah desa di Prancis. Studi yang dilakukan Pierre Bourdieu Luc Boltanski, Robert
Castel,
Jean-Claude
Cham-boredon,
dan
Dominique
Schnapper tersebut perlu ditinjau karena memberikan contoh nyata bagaimana
sebuah
masyarakat
memanfaatkan
fotografi
dalam
konteks sosial, tepatnya untuk menunjukkan capaian sosial manusia yang dipotret dalam masyarakat melalui fotografi. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, hal semacam ini juga terjadi di Yogyakarta, namun dalam bentuk yang berbeda. Fotografi sebagai topik penelitian juga pernah dilakukan dari sudut pandang filosofis oleh Seno Gumira Ajidarma, seorang penulis dan fotografer. Dalam tesisnya di program studi ilmu filsafat Universitas Indonesia, yang kemudian diterbitkan sebagai buku yang berjudul Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subyek: Perbincangan tentang Ada (2003), Ajidarma membahas permasalahan tentang Ada dalam fotografi. Salah satu pokok pemikiran yang digunakannya ialah pendapat Heidegger yang menyatakan bahwa Ada atau mengAda bukan sesuatu yang langsung dapat ditemui, dirasakan, dan
Pierre Bourdieu, Luc Boltanski, Robert Castel, Jean-Claude Chamboredon, dan Dominique Schnapper, Photography: A Middle-brow Art. Terjemahan Shaun Whiteside, (Oxford: Polity Press, 1998), 13-46. 26
24
dibuktikan
keberadaannya.27
Hal
itulah
yang
menjadi
pokok
pembahasan penelitian tersebut. Ajidarma menguraikan apa dan bagaimana fotografer sebagai subjek yang memandang dan penonton sebagai subjek yang memandang ber-Ada. Selain dengan pendekatan Heidegger, Ajidarma juga mengurai makna foto dengan pendekatan beberapa teoretisi fotografi seperti Barthes, Berger, dan Messaris untuk memandang keber-Ada-an subjek yang memotret dan subjek yang melihat foto. Penelitian ini menentang pandangan realisme dalam fotografi, yang menganggap selembar foto adalah sekadar analog dari objeknya. Di bagian akhir penelitiannya Ajidarma melihat bahwa keber-Ada-an fotografi terjadi dalam proses pembermaknaan. Ada adalah cara bereksistensi.28 Namun, dalam penelitian tersebut Ajidarma tidak membahas bagaimana peduduk yang dipotret berAda. Hasil peninjauan pada karya Ajidarma ini menunjukkan bahwa fotografer sebagai subjek yang ber-Ada memiliki cara pandang mengenai praktik fotografi yang ia lakukan. Penerbitan buku mengenai wacana pengkajian fotografi seni di Indonesia telah ditulis oleh Soeprapto Soedjono dalam buku berjudul Pot-Pourri Fotografi (2006). Secara umum buku ini mengupas banyak
Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subyek: Perbincangan tentang Ada, Galang Press (Yogyakarta: 2003), vii. 28 Ajidarma, 2003, 49. 27
25
hal yang berkaitan dengan domain-domain fotografi seperti fotografi seni dan fotografi jurnalistik, termasuk fotografi potret. Salah satu bab dalam buku tersebut, Soedjono menjelaskan dalam konteks seni visual, tradisi potret dalam genre seni yang lain di Indonesia telah tercatat sejak zaman Kerajaan Majapahit sehingga dapat dikatakan bahwa fotografi potret merupakan bentuk entitas visual yang meneruskan tradisi potret masa lalu. Soedjono juga membahas beragam aspek yang ada dalam fotografi potret, yaitu (1) aspek teknis kreatif yang berkaitan dengan format, pencahayaan, pose, serta tujuan dan fungsinya; (2) aspek personal yang berkaitan dengan jati diri peduduk; (3) aspek sosial yang berkaitan dengan konteks dan kepentingan dalam penghadiran potret; (4) aspek komersial, yaitu ketika foto potret studio menjadi komoditas yang bernilai ekonomi. Dalam simpulannya Soedjono melihat bahwa perkembangan foto potret masa kini tidak terlepaskan dari perkembangan piktorialisme dan sejarah seni rupa.29 Tinjauan pustaka pada karya Soedjono tersebut menjadi penting dalam studi ini karena dijadikan acuan dalam menjelaskan aspek-aspek teknik dan artistik dalam praktik studio foto potret di Yogyakarta.
29
Soedjono, 2006, 111-117.
26
Pembahasan genre potret dalam cakupan yang lebih luas juga dilakukan oleh West, yaitu aspek-aspek penting dalam seni potret. Uraian-uraiannya disajikan dalam buku Portraiture, terbitan Oxford University Press. West memulai pembicaraan potret dengan bab yang berjudul “What is Portrait?”. Terkait pertanyaan tersebut, West tidak menjawabnya dengan tegas. Tapi ia berangkat dari definisi bahwa potret adalah ”...a work of art that represents a unique individual”.30 Namun,
definisi
ini
menurutnya
kontradiktif
jika
mengingat
banyaknya konteks yang berinteraksi di dalamnya. Membicarakan potret, menurutnya, berkaitan dengan beberapa aspek, yaitu likeness and type, body and soul, artist, sitter, patron and viewer. Walaupun tidak mendefinisikan potret secara tegas, West selalu memberikan pokok-pokok yang memberi kejelasan arah pengertian potret. Selain itu dibahas pula fungsi-fungsi potret dalam konteksnya sebagai karya seni, biografi, dokumen, pengganti kehadiran (proxy), gift, dan sebagai alat politik.31 Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan pada studi-studi fotografi potret, dapat dilihat bahwa praktik fotografi potret terdiri dari aspek-aspek teknis dan nonteknis. Aspek teknis berkaitan 30 31
dengan
alat,
bahan,
West, Portraiture, 2004, 24. West, Portraiture, 2004, 59.
dan
pengetahuan
memotret,
27
sedangkan aspek nonteknis berkaitan dengan ide dan fungsi fotografi potret bagi pemakainya. Berdasarkan tinjauan tersebut pula, tidak ditemukan penelitian mengenai praktik foto potret studio yang secara khusus membahas remaja putri sebagai pemakai foto potret studio. Posisi studi ini terletak pada bagaimana karya potret berpeduduk remaja
putri
ditempatkan
sebagai
artefak
yang
dikaji,
guna
menemukan retorika fotografis yang terdapat di dalamnya.
2. Praktik pembacaan foto dan retorika visual Tujuan pemaparan tinjauan pustaka yang berkaitan dengan praktik pembacaan foto dan retorika visual ialah untuk menegaskan bahwa belum ada studi yang secara spesifik menerapkan cara analisis sebagaimana yang diterapkan dalam studi ini. Studi ini menerapkan kombinasi dari cara analisis yang dilakukan Barthes (semiotika konotasi) dan cara analisis yang dilakukan oleh Kress dan Leeuwen (Gramatika Visual). Selain itu, tinjauan pustaka berikut ini juga menunjukkan posisi studi ini dalam peta studi retorika visual yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian tentang retorika visual yang memandang fotografi sebagai media visual yang memiliki sui generis-nya sendiri sejauh ini juga
belum banyak ditemukan. Hampir seluruh kajian retorika
28
visual terhadap karya fotografi dalam konteks fotografi merupakan penunjang iklan (penyerta maupun disertai teks-teks iklan) sehingga perlu kiranya untuk memperluas cakupan tinjauan pustaka ini ke arah penelitian retorika visual yang melibatkan fotografi dan film. Barthes, dalam Rhetoric of
the Image pernah mengulas
bagaimana retorika berlaku dalam sebuah gambar/karya fotografi periklanan.32 Bagi Barthes, berlakunya retorika gambar merupakan interaksi dan relasi antarleksia yang terbentuk dari tiga pesan, yaitu pesan linguistik (linguistic message), pesan ikonik berkode (coded iconic message) atau pesan simbolik, dan pesan ikonik tidak berkode (non-coded iconic message) atau pesan harfiah. Ketiga pesan tersebut jika dibaca dalam konteks budaya tertentu menghasilkan sejumlah konotator atau retorik. Pesan linguistik yang diajukan Barthes memperlihatkan bagaimana sebuah gambar merupakan sebuah struktur tidak tertutup karena sering berinteraksi dengan teks. Bahkan, sebuah gambar kadang kala bergantung pada kehadiran teks. Hal itu terlihat di bagian lain tulisannya, di mana ia menyatakan bahwa fungsi teks dalam gambar ialah sebagai jangkar dan penghubung pesan.
32
51.
Roland Barthes, Image-Music-Text (New York: Hill and Wang, 1984), 32-
29
Poin penting lain yang dapat dipetik dari tulisan Barthes tentang retorika gambar ialah, bahwa pembacaan retorika gambar dapat dilakukan setelah pembaca mampu menentukan/memilah leksikon-leksikon. memahami
Selain
aspek
ideologi
itu,
pembaca
sebuah
diharapkan
gambar
untuk
mampu kemudian
mentransposisikannya dalam terminologi retorika klasik. Berbeda dengan Roland Barthes, menurut David Bate dalam buku berjudul Photography: The Key Concepts yang merujuk pada Umberto Eco, pesan fotografis selalu berkode.33 Kode dalam fotografi terbentuk dari material fotografi itu sendiri, yang disebut predefined codes. Contohnya ialah penentuan titik fokus objek dalam karya fotografi yang dapat menunjukkan sebuah relevansi atau sesuatu yang penting; penataan sumber cahaya yang mengarahkan pada makna-makna budaya tertentu; serta aspek-aspek teknik lain yang menjadi kode-kode tertentu. Bate melihat bahwa pembentukan retorika fotografi merupakan hasil dari kombinasi kode-kode fotografi tersebut untuk menyampaikan sebuah argumen. Selanjutnya, Bate juga menyoroti retorika dalam fotografi potret. Ia memandang bahwa kode-kode fotografi dan empat elemen fotografi potret, yaitu wajah, pose,
kostum,
33
dan
lokasi
turut
berperan
dalam
Bate, Photography: The Key Concepts, 2009, 34-35.
membentuk
30
retorikanya.34 Menyingkap retorika fotografi potret pada hakikatnya ialah suatu proses pembacaan teks visual yang berbeda dengan pembacaan teks literal. Berkaitan dengan itu, Clarke dalam buku yang berjudul The Photograph mengatakan bahwa sebagai teks, fotografi memiliki gramatika dan sintaks tersendiri yang oleh Victor Burgin disebut wacana fotografi (photographic discourse), yaitu bentuk-bentuk
intertekstualitas
yang
kompleks
serta
ketumpangtindihan teks-teks yang diterima begitu saja serta berlaku dalam lingkup budaya dan sejarah tertentu.35 Untuk itu, Clarke mengilustrasikan tiga pendekatan yang dapat dilakukan ketika pemirsa/penonton membaca imaji fotografi. Pertama, karya fotografi dibaca sebagai bentuk permainan bahasa visual yang memandang sebuah foto merupakan produk fotografer sehingga merefleksikan cara pandang, estetika, polemik, dan politik atau ideologi menurut budaya tertentu. Fotografer diposisikan sebagai subjek aktif yang menyusun kembali apa-apa yang dilihatnya, menurut wacana budaya yang ada, sehingga pemotretan merupakan aktivitas penyendian atas berbagai kerangka acuan (terms of reference) yang berasal dari konteks sejarah, sosial,
Bate, Photography: The Key Concepts, 2009, 73. Victor Burgin, “Looking at Photograph” dalam Victor Burgin (Ed.), Thinking Photography (London: Macmillan Press Ltd., 1982), 144. 34
35
31
dan budaya yang lebih luas. Kedua, imaji fotografi dibaca sebagai teks yang menyampaikan dua pesan, yaitu pesan denotatif dan konotatif
seperti
Mythologies
yang
(1972).36
ditawarkan
Ketiga,
oleh
pembacaan
Barthes imaji
dalam
fotografi
buku dalam
relasinya dengan pemirsanya, yaitu tahapan studium dan punctum, dua hal yang dibahas Barthes dalam Camera Lucida (1980).37 Berbeda dengan Barthes, Kress dan Leeuwen dalam buku yang berjudul
Reading
Images:
The
Grammar
of
Visual
Design
menawarkan satu pendekatan untuk membaca benda-benda visual (termasuk fotografi) yang mereka sebut gramatika visual.38 Kress dan Leeuwen menyatakan penggunaan istilah grammar (tata bahasa) mengarah pada kaidah, atau dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah yang umum digunakan. Maksud Kress dan Leeuwen tentang gramatika dalam konteks ini ialah kaidah yang berada dalam wujud kesadaran kolektif dan pendayagunaan sebentuk sumber daya dalam praktik kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kata visual mengarah pada generalisasi untuk mencakup berbagai jenis wacana gambar seperti lukisan, komik, atau pun film. Dengan demikian, dua poin Roland Barthes, Mythologies, Terjemahan Annette Lavers (New York: The Noonday Press, 1972), 110-119. 37 Roland Barthes, Camera Lucida, Terjemahan Richard Howard (New York: Hill and Wang, 1980), 25-27. 38 Gunther Kress dan Theo van Leeuwen, Reading Image: The Grammar of Visual Design, Second Edition. (New York: Routledge, 2006), 1-15. 36
32
yang dinyatakan oleh Kress dan Leeuwen mengisyaratkan bahwa gramatika visual merupakan kaidah-kaidah dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang lazim digunakan dan berlaku secara sosial/kolektif dalam praktik visualisasi. Secara ringkas dapat dikatakan, gramatika visual digunakan untuk mewujudkan sebuah pernyataan visual yang utuh dan bermakna. Cara pembacaan imaji yang dirumuskan oleh Kress dan Leeuwen menganalogikan benda visual sebagai bentuk bahasa yang memiliki kaidah khusus sehingga berbeda dengan struktur gramatik pada bahasa verbal.39 Gramatika visual ini mengadopsi gagasan teoretis tiga metafungsi yang diajukan oleh Michael Halliday, yakni metafungsi ideasional, yang berkaitan dengan relasi dan interaksi objek-objek dalam gambar; metafungsi interpersonal, yang berkaitan dengan hubungan sosial antara pembuat tanda dan penerimanya; dan metafungsi tekstual yang berkenaan dengan tanda-tanda yang saling berelasi. Baik secara internal maupun eksternal, dengan konteks lingkungan di mana sebuah imaji digunakan. Secara spesifik, Scott dalam artikel berjudul
”Picturing Irony:
The Subversive Power of Photography” menunjukkan bagaimana
39
Kress dan Leeuwen, 2006, 1-2, & 19.
33
sebuah karya fotografi memunculkan sebentuk ironi.40 Penggambaran ironi melalui fotografi menurut Scott dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu penggambaran ironi melalui kata-kata yang terdapat dalam foto (word-based irony) dan ironi tanpa kata (wordless irony). Lalu jika ditinjau dari sifat pesannya, maka ironi dalam fotografi oleh Scott dibedakan menjadi dua, yaitu (1) penghujatan (condemnatory irony), yang menjadikan ironi fotografi sebagai media kritik; dan (2) ‘ironi humor’ (celebratory irony), yang lebih mengarah kepada permainan visual dan logika. Pada bagian awal artikelnya, Scott juga menyebutkan tiga hal yang dapat menyebabkan hadirnya makna ironis dalam fotografi, yaitu adanya dua realitas yang bertentangan, adanya
pesan
tersembunyi,
dan
ketidaksesuaian
dua
elemen.
Pendekatan yang dilakukan oleh Scott dalam meninjau retorika visual pada karya fotografi adalah pendekatan deduktif. Artinya, Scott terlebih dahulu memahami esensi ironi dari literatur retorika klasik, baru kemudian mencarinya dalam teks fotografi. Sebaliknya, Blakesley
dalam
memberikan
buku contoh
Defining
Visual Rhetoric,
pendekatan
induktif
David dalam
menemukan retorika visual dalam film ’Vertigo’ karya sutradara
Biljana Scott, “Picturing Irony: The Subversive Power of Photography” dalam Visual Communication (Los Angeles: SAGE, 2004). 40
34
Alfred Hitchcock (1958).41 Cara ini dipandang lebih produktif guna pengembangan teori retorika visual karena tidak lagi terkekang dengan terminologi-terminologi retorika klasik. Tapi justru meyakini bahwa tiap genre visual memiliki cara pembacaan dan retorika yang berbeda. Bagi Blakesley, sebuah film dapat dibaca melalui empat aspek yang saling berkaitan, yaitu bahasa film (film language), ideologi film (film ideology), pemaknaan film (film interpretation), dan identifikasi film (film identification). Melalui pendekatan bahasa film dapat terlihat adanya gramatika tertentu yang menghasilkan makna pada film. Bahasa film tidak terbatas hanya pada elemen visual, termasuk gerakan kamera, mise-en-scène, warna, pola proxemic, tata fotografi, efek visual, editing, ikon simbolis, dan sebagainya. Namun, juga pada persoalan
bagaimana
sebuah
film
menyampaikan
pesan
atau
sikapnya dalam mendukung atau menolak gagasan lain. Hal ini berkaitan erat dengan aspek ideologi film, yang menempatkan sebuah film sebagai bentuk ekspresi budaya, sehingga film bukan hanya sebuah bentuk kecenderungan pembuatnya melainkan juga sebagai
David Blakesley “Defining Film Rhetoric: The Case of Hitchcock’s Vertigo” dalam Defining Visual Rhetoric, Charles A Hill dan Merguerite Helmer (Ed.) (London: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 111-133. 41
35
wujud karya yang berfungsi ideologis. Artinya, sebuah film dapat merupakan bentuk kritik sosial, hegemoni, dan gejala sosial. Selain masalah bahasa film, penelaahan retorika film juga dapat dilakukan secara interpretatif. Pendekatan ini menempatkan film sebagai kesatuan bermakna yang terdiri atas sutradara, film yang bersangkutan, dan penonton. Menanggapi hal ini Blakesley meminjam pendapat Bordwell yang menyatakan bahwa interpretasi film mencakup reaksi penonton, elaborasi dan fungsi genre film, serta representasi simbolis yang tampil pada film.42 Terakhir, Blakesley juga mengajukan pendekatan identifikasi film yakni suatu perspektif yang memandang film sebagai penegas identitas. Baik itu identitas penonton terhadap film maupun identitas antarkarakter dalam film. Proses identifikasi terjadi ketika sutradara seakan-akan memaksa penonton
untuk
berada
dalam
posisi
identitas
tertentu
dan
menjadikan identitas tersebut sebagai realitas sekunder. Film Vertigo, dalam hal ini dijadikan contoh, yang mana upaya identifikasi penonton tampak pada penempatan penonton sebagai tokoh film tersebut, yaitu Scottie. Upaya tersebut dilakukan dengan melibatkan pengolahan
tata
fotografi
identifikasi
antarkarakter
dalam tampak
film. pada
Sementara tokoh
itu,
Scottie
upaya yang
Periksa David Bordwell, Inference and Rhetoric in the Interpretation of Cinema (London: Harvard University Press, 2009), 1-18. 42
36
menginginkan
Judy
untuk
menjadi
Madelaine
yang
menurut
sepengetahuannya telah tiada.43 Berbeda dengan Blakesley, Sonya Christine Brown pada tahun 2005 melakukan penelitian yang berjudul ”Body/Image/Narrative: Contemporary Rhetoric of Body Shape and Size” sebagai syarat meraih gelar Ph.D di Faculty of the Graduate School University of Maryland tahun 2005. Disertasi ini meneliti penampilan bentuk dan ukuran tubuh dari perspektif retorika sebagai ethos atau karakter dalam budaya Amerika kontemporer, yang divisualisasikan dalam iklan televisi dan media cetak. Ia menganalisis narasi dan visualisasi yang dominan tentang perdebatan ukuran tubuh yang ideal dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir.44 Brown melihat bagaimana tubuh gemuk ’dihinakan’ dan dikontraskan dengan tubuh langsing yang
dianggap lebih glamor
melalui suatu mekanisme retoris yang disebut visi retorika (rhetorical vision). Tubuh sebagai bahan retorika visual ditafsirkan sebagai wakil dari
karakter.
sedangkan
Lemak
tubuh
tubuh
ramping
mewakili mewakili
kurangnya
’kebajikan’,
kesehatan,
kebugaran,
kedisiplinan, dan keindahan. Brown mengulas dua motif visi retorika Periksa David Blakesley, “Defining Film Rhetoric: The Case of Hitchcock’s Vertigo” dalam Charles A. Hill dan Marguerite Helmers, 2004, 111-133. 44 Sonya Christine Brown, “Body/Image/Narrative: Contemporary Rhetoric of Body Shape and Size”, (Disertasi Doktor, Faculty of the Graduate School, University of Maryland, 2005). 43
37
dalam disertasinya, yaitu perbandingan ‘sebelum dan sesudah’ (before and after) serta melalui ‘kisah menurunkan berat badan’ (weight-loss story). Berbeda dengan Brown, Massey mempertahankan disertasinya yang berjudul “The Responsibility of Forms: Social and Visual Rhetorics of
Appalachian Identity”
di Faculty of the College of the
Fine Art of Ohio University. Disertasi tersebut membahas bagaimana Suku Appalachia direpresentasikan dalam budaya visual di Amerika sebagai
suku
menteorikan
yang
terbelakang
cara-cara
sebuah
dan imaji
miskin. dapat
Massey
berhasil
membangkitkan
prasangka, klasisme (classicism) kesenjangan jender serta menafikan diversitas budaya.45 Studi ini melihat ada sebuah sistem gramatika visual yang menegaskan batas-batas
antara Appalachia dan
Amerika. Pemaparan beragam perspektif retorika visual dalam karya fotografi yang dilakukan di atas setidaknya menunjukkan beberapa hal, antara lain (1) penggunaan retorika visual dalam tindakan persuasif-ideologis; (2) kenyataan bahwa pembacaan figure retorika dapat dilakukan secara induktif dan deduktif; (3) adanya beragam
Carissa A Massey, “The Responsibility of Forms: Social and Visual Rhetorics of Appalachian Identity”, (Disertasi Doktor di Faculty of the College of Fine Arts Ohio, 2009). 45
38
pendekatan dalam membaca imaji sebagai teks yang mengandung ideologi yang ditampilkan dalam konteks budaya tertentu; (4) betapa pentingnya
kehadiran
pesan
verbal
untuk
menyertai
dan
mengarahkan pemaknaan terhadap citra-citra yang ditampilkan; (5) belum ditemukannya studi mendalam mengenai karya-karya studio portraiture di Indonesia yang dikhususkan pada pembacaan dengan pendekatan retorika visual guna mengupas upaya-upaya persuasif yang dihasilkan dari foto potret studio sebagai karya seorang fotografer yang bersubjek manusia dengan segenap kompleksitasnya. Posisi studi mengenai retorika fotografis remaja putri dalam praktik studio potret di Yogyakarta ini, bila dibandingkan dengan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, lebih dekat dengan poin (1) dan (2) sebagaimana dilakukan oleh Barthes (semiotika konotasi); Kress dan Leeuwen (gramatika visual); serta pembacaan yang dilakukan oleh Blakesley (identifikasi film).
F. Landasan Teori Guna
menemukan
jawaban
atas
pertanyaan
di
bagian
rumusan masalah, maka studi ini dilandaskan pada tiga teori besar
39
yaitu: (1) teori perubahan sosial rumusan Alvin Boskoff;46 (2) teori fungsi seni pertunjukan yang dirumuskan oleh R.M. Soedarsono;47 dan (3) teori praktik yang dikemukakan Pierre Bourdieu.48 Ketiga teori tersebut dikombinasikan guna membahas data-data penelitian yang diperoleh. Secara umum, Boskoff berpendapat bahwa terdapat dua cara perubahan sosial yang dapat terjadi, yaitu secara eksternal dan internal. Secara eksternal perubahan sosial terjadi karena adanya kontak antar budaya yang berbeda, sedangkan perubahan internal disebabkan oleh adanya dorongan perubahan dari masyarakat itu sendiri.49 Data-data penelitian dalam studi ini juga dibahas dengan mengadaptasi teori fungsi seni pertunjukan yang dikemukakan oleh R.M. Soedarsono. Fungsi seni dapat dibedakan mejadi dua, yaitu fungsi primer dan sekunder. R.M. Soedarsono mengklasifikasikan fungsi seni pertunjukan ke dalam tiga fungsi primer yaitu: (1) sebagai sarana ritual yang penikmatnya adalah kekuatan yang tak kasat mata; (2) sebagai sarana hiburan pribadi; (3) sebagai presentasi
Alvin Boskoff, “Recent Theories of Social Change” dalam Werner J. Cahnman dan Alvin Boskoff (Ed.), Sociology and History: Theory and Research, (London: The Free Press of Glencoe, 1964), 143-147. 47 R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 170-172. 48 Pierre Bourdieu, Distiction: a Social Critique of the Judgementof Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 101. 49 Boskoff, 1964, 143-147. 46
40
estetis, sedangkan fungsi sekunder terdiri dari: (1) sebagai pengikat solidaritas masyarakat; (2) sebagai pembangkit rasa solidaritas bangsa; (3) sebagai media komunikasi; (4) sebagai media propaganda keagamaan; (5) sebagai media propaganda politik; (6) sebagai media propaganda program pemerintah; (7) sebagai media meditasi; (8) sebagai sarana terapi; dan (9) sebagai perangsang produktifitas.50 Pengoperasian teori tersebut akan disesuaikan dengan kondisi lapangan penelitian guna mengkaji fungsi foto potret studio bagi peduduk remaja putri. Perubahan budaya yang terjadi dalam praktik studio potret remaja putri beserta fungsinya
kemudian dianalisis dengan teori
praktik yang terdiri dari habitus, modal dan arena. Bourdieu memandang praktik sosial terbentuk dari persamaan: [(habitus x capital)] + field = practice.51 Artinya, sebuah praktik terbentuk dari hubungan antara habitus dan modal seseorang/aktor dalam sebuah lingkup arena sosial. Landasan teori selanjutnya ialah teori male gaze (tatapan pria) yang dikemukakan oleh Laura Mulvey. Mulvey
R.M. Soedarsono, 1999, 170-172. Pierre Bourdieu, Distiction: a Social Critique of the Judgementof Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 101. 50
51
41
memandang bahwa perempuan cenderung direpresentasikan sebagai objek tatapan pria.52 Aplikasi teori-teori yang telah dikemukakan akan dibantu dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan sejarah, teknik artistik fotografi, dan pendekatan retorika visual. Penjelasan lebih lanjut mengenai teori-teori dan pendekatan yang digunakan dalam studi ini dijabarkan pada sub bab F, anak sub bab 1-4. Penjabaran berikut ini dilakukan dengan pertimbangan fokus serta muatan teori dan pendekatan yang digunakan dalam pembahasan data penelitian.
1. Teori Praktik Pierre Bourdieu Guna mengetahui peran masing-masing pihak yang terlibat dalam praktik foto potret studio, digunakan konsep-konsep Pierre Bourdieu, terutama yang terkait dengan habitus, modal, dan arena. Konsep-konsep Bourdieu dipilih karena memiliki kesesuaian dengan pola interaksi antar pihak yang terlibat dalam praktik potret di studio. Praktik foto potret studio dipandang sebagai aktivitas sosial di dalam sebuah arena yang digerakkan oleh habitus-habitus, modal-
Laura Mulvey, ”Visual Pleasure and Narrative Cinema”, dalam Colin Counsell & Laurie Wolf (Ed.), Performace Analysis: An Introductory Course Book (London: Routledge, 2001), 188. 52
42
modal yang dimiliki oleh para aktornya. Menurut Bourdieu, habitus adalah: Systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively 'regulated' and 'regular' without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the organizing action of a conductor.53 Dalam kata lain, habitus dipandang sebagai sesuatu yang dimiliki oleh agen sosial (yaitu individu, kelompok atau institusi) yang terdiri atas struktur yang tertata. Struktur tersebut terbentuk dari pengalaman atau keadaan masa lalu dan masa kini. Misalnya pola asuh keluarga dan pengalaman pendidikan. Struktur tersebut terdiri atas kecenderungan-kecenderungan yang menghasilkan sebentuk persepsi, apresiasi, dan praktik. Dalam kata lain, habitus adalah disposisi (kecenderungan, kemampuan) yang ada pada diri seseorang, yang
merupakan
hasil
dari
internalisasi
lingkungannya,
yang
kemudian menggerakkan seseorang tanpa dia sadari. Habitus juga merupakan hasil penanaman dan pembelajaran yang telah tertanam sedemikian rupa dalam diri seseorang sehingga menjadi orientasi Pierre Bourdieu, The Logic of Practice. Terjemahan Richard Nice, (California: Stanford University Press, 1990), 53. 53
43
sosial dan cita-cita manusia. Secara sederhana, habitus berkaitan dengan “...Our ways of acting, feeling, thinking, and being”.54 Di samping habitus, Bourdieu kemudian memakai istilah modal untuk menggambarkan sesuatu yang harus dimiliki dan terus diupayakan
untuk
diraih
oleh
seseorang
guna
mendapatkan
dominasi di arena-arena sosial. Sebagaimana pernyataannya, Capital is accumulated labor (in its materialized form or its “incorporated,” embodied form) which, when appropriated on a private, i.e. exclusive, basis by agents or groups of agents, enables them to appropriate social energy in the form of reified or living labor.55 Lebih lanjut, Bourdieu kemudian membedakan modal menjadi modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik.56 Praktik studio foto, dalam studi ini dipandang sebagai arena (field). Arena merupakan tempat yang di dalamnya terdapat perjuangan untuk mendapatkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas.57 Definisi arena (field) oleh Bordieu dinyatakan demikian. I define a field as a network, or a configuration, of objective relations beetween positions objectively defined, in their existence and in the determinations they impose upon their 54 Karl Maton, ”Habitus”, dalam Michael Grenfell (Ed.), Pierre Bourdieu: Key Concept (Durham: Acumen, 2010) , 52. 55 Pierre Bourdieu, “Forms of Capital”, dalam Economic Sociology. Nicole Woosley Biggart (Ed.) (Malden, Massachusetts: Blackwell Publishers, Ltd., 2002), 280. 56 Pierre Bourdieu dalam Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), 125. 57 Jenkins, 2004,124.
44
occupants, agents or institutions, by their present and potential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the specific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology etc.). Each field presupposes, and generates by its very functioning, the belief in the value of the stakes it offers.58 Habitus, modal, dan arena sangat berkaitan. Dalam arti, tiga entitas tersebut saling mengisi dalam membentuk sebuah praktik. Hubungan ketiganya oleh Bourdieu dirumuskan dalam bentuk persamaan: [(habitus x capital)] + field = practice.59 Artinya, sebuah praktik
terbentuk
dari
hubungan
antara
habitus
dan
modal
seseorang/aktor dalam sebuah lingkup arena sosial. Dalam studi ini, konsep-konsep
Bourdieu
tentang
habitus,
modal,
dan
arena
digunakan untuk memahami power relation antara pihak-pihak yang terlibat dalam praktik studio potret.
2. Pendekatan artistik Fotografi potret, studio foto, dan teknik artistik fotografi dalam studi ini merupakan satu kesatuan. Penjelasan ketiga hal tersebut perlu dilakukan agar pertanyaan studi tentang kreasi artistik dalam Wawancara Loic J. D. Wacuant dengan Pierre Bordieu dalam Loic J.D. Wacquant, “Towards a Reflexive Sociology: A Workshop with Pierre Bordieu”, Sociological Theory, Vol. 7, No. 1 (Spring, 1989), 39. 59 Pierre Bourdieu, Distiction: a Social Critique of the Judgementof Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 101. 58
45
perwujudan foto potret studio dapat dijawab. Penjelasan tiga hal tersebut dapat dilihat pada penjabaran berikut ini. a. Fotografi potret Secara umum foto potret biasanya dinyatakan sebagai foto yang menampilkan manusia/orang yang menghadap kamera sambil berpose untuk menampilkan jati dirinya. Berbagai kamus dan ensiklopedia menyatakan hal senada walaupun dengan kedalaman yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya menyatakan bahwa potret juga dibuat dengan pendekatan artistik; beberapa lagi menekankan segi tingkat kemiripannya. Secara sederhana, oleh West
potret juga
dinyatakan sebagai karya seni yang “…represent a unique individual”.60 Pendapat ini tampaknya dapat dilengkapi dari sumber lain, yang mana Francis menyatakan sebagai berikut. Portrait photography produces pictures that capture the personality of a subject by using effective lighting, backdrops, and poses. A portrait picture might be artistic, or it might be clinical, as part of a medical study. Frequently, portraits are commissioned for a special occasions such as weddings or school events. Portraits can serve many purposes, from usage on a personal website to display in the lobby of a business.61
West, Portraiture, 2004, 21. Katleen Francis, “Portrait Photography”, dalam Michael R. Peres (Ed.), Focal Encyclopedia of Photography: Digital Imaging, Theory and Applications, History, and Science (Oxford: Focal Press, 2007), 341. 60 61
46
Pernyataan di atas setidaknya mengarah kepada tujuan, cara, jenis dan aplikasi foto potret dalam aktivitas manusia. Untuk
memproduksi
foto
potret
dibutuhkan
seperangkat
pengetahuan teknik tentang pencahayaan dan teknik fotografi pada umumnya. Nilai guna juga menjadi aspek penting dalam foto potret, mulai dari kegunaan yang bersifat administratif, hingga kegunaan yang bersifat komersial. Selain itu, gambar latar (backdrop) juga merupakan aspek yang dipertimbangkan dalam pemotretan. Namun, tampak bahwa pernyataan di atas menempatkan perekaman personalitas peduduk menjadi hal yang paling esensial dalam foto potret. Kultur potret dalam fotografi tidak dapat lepas begitu saja dari pengaruh seni rupa karena memang tradisi potret telah ada jauh sebelum fotografi lahir. Sejarah mencatat, bahwa besarnya minat kaum borjuis di Paris kepada foto potret didorong
keinginan
mereka
terabadikan
dalam
foto
sebagaimana terlihat di dalam lukisan.62 Pengaruh itu juga dapat terlihat dari upaya para fotografer terdahulu untuk mewujudkan
karya
fotografi,
termasuk
foto
potret
yang
Jean-Luc Daval, Photography: History of an Art (New York: Rizzoli International Publication, Inc., 1982), 54. 62
47
mengarah
pada
karakteristik
seni
lukis.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Daval sebagai berikut. The relations and rivalries between painters and photographers proved fruitful; innovation thrived them. As painters pressed on from naturalism to impressionism, they grasped the importance of the constituent elements of the image and developed their expressive possibilities to the verge of abstraction.63 Untuk itu sejumlah aspek wacana potret dalam seni rupa masih dapat diacu untuk melihat konstelasi fotografi potret. Berkaitan dengan itu, pernyataan West berikut dipandang relevan untuk menggambarkan kompleksitas antarunsur yang berlaku dalam wacana potret secara umum. In attempting to unpick the complexities of portraiture, it is useful to consider three factors: first of all, portraits can be placed on a continuum between the specificity of likeness and the generality of type, showing specific and distinctive aspects of the sitter as well as the more generic qualities valued in the sitter’s social milieu. Secondly, all portraits represent something about the body and face, on the one hand, and the soul, character, or virtues of the sitter, on the other. These first two aspects relate to portraiture as a form of representation, but a third consideration is concerned more with the processes of commissioning and production. All portraits involve a series of negotiations—often between the artist and the sitter, but sometimes there is also a patron who is not included in the portrait itself. The impact of these negotiations on the practice of portraiture must also be addressed.64
63 64
Daval, 1982, 84. West, Portraiture, 2004, 21.
48
Pernyataan West di atas menunjukkan bahwa untuk dapat memahami kompleksitas potret, terdapat tiga faktor yang perlu
diperhatikan.
Pertama,
potret
dipandang
sebagai
kesatuan antara kemiripan, kekhususan, karakter khas, serta ciri-ciri ’kualitas’ seorang peduduk yang berada di lingkungan sosialnya. Kedua, bahwa seluruh potret di satu sisi merupakan representasi sesuatu yang berkenaan dengan wajah dan tubuh, tetapi di sisi lain juga merepresentasikan perasaan, karakter, atau pun nilai lebih yang melekat pada peduduk. Kedua faktor tersebut lebih mengarah pada genre potret sebagai wujud representasi. Berbeda dari itu, faktor selanjutnya (yang akan segera disebutkan
berikut)
lebih
berkenaan
dengan
penugasan
(kepada seniman/pembuat potret) dan proses perwujudan potret, yakni bahwa perwujudan potret melibatkan sebentuk negosiasi; biasanya antara seniman (pembuat potret) dengan peduduk. Kadang kala negosiasi tidak hanya terjadi antara seniman dengan peduduk, tetapi juga melibatkan patronpatron
yang
tidak
hadir
dalam
potret.
Kemudian
West
menambahkan bahwa selain dua faktor pertama, pengaruh patron dalam praktik-praktik negosiasi semacam ini (seniman-
49
peduduk-patron) perlu diperhatikan karena mempengaruhi wujud potret. Pernyataan West juga menyiratkan bahwa interaksi seniman, peduduk, dan patronnya dalam produksi potret sering menimbulkan masalah-masalah yang berkaitan dengan konvensi artistik, sosial, dan permasalahan tarik-ulur antara
seniman dan peduduk
untuk menyepakati identitas
ideal peduduk yang akan ditampilkan. Hal semacam ini pun pernah disinggung oleh Sontag dalam bukunya yang terkenal, On Photography, yang mana ia menyatakan sebagai berikut. In deciding how a picture should look, in preferring one exposure to another, photographers are always imposing standards on their subjects. Although there is a sense in which the camera does indeed capture reality, not just interpret it, photographs are as much an interpretation of the world as paintings and drawings are. 65 Sontag fotografi.
Ia
secara
jelas
menyatakan
menolak bahwa
pandangan
setiap
realisme
fotografer
telah
menetapkan ‘standar’ tertentu pada objek-objek yang dipotret. Sontag menolak untuk menempatkan fotografer dan kamera sebagai alat duplikasi objektif, melainkan sebagai media interpretasi sebagaimana kuas dalam seni lukis. Pernyataan ini juga
65
1978), 6-7.
menegaskan
bahwa
fotografer
ialah
makhluk
yang
Susan Sontag, On Photography (New York: Farrar, Straus and Giroux
50
ideologis. Penetapan ‘standar’ oleh fotografer semacam ini yang diduga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya tarikulur dalam proses perwujudan foto potret. Perkembangan fotografi terkini menunjukkan studio potret makin menjamur dan menjelma sebagai industri. Berintegrasinya teknologi fotografi dengan teknologi digital menjadikan proses produksi potret menjadi lebih singkat jika dibandingkan dengan teknologi analog, terlebih lagi jika dikontraskan dengan lukisan potret. Ini dapat terjadi karena perbedaan basis teknologi yang digunakan. Fotografi digital berbasis pada sensor elektronik peka cahaya yang mengubah imaji yang terbentuk dari proses proyeksi lensa kamera menjadi data digital. Data tersebut dapat diakses, dimodifikasi, dan dicetak sesaat setelah proses pemotretan dengan bantuan sarana
pendukung,
yaitu
komputer
berikut
perangkat
lunaknya dan mesin cetak digital. Hal seperti itu telah lazim dilakukan oleh studio-studio foto. Dari sisi hasil, foto potret masa kini tampak lebih bervariasi dan lebih semarak berkat hadirnya teknologi digital imaging sebagai pengganti proses kamar gelap. Penerapan teknologi digital, saat ini sangat memudahkan peduduk dan
51
penyedia jasa potret untuk mendapatkan representasi diri sesuai dengan keinginan peduduk semakin mudah. Hal ini dapat terjadi karena teknologi fotografi digital memungkinkan adanya
fasilitas
dan
tahap
pratampil
imaji
foto
hasil
pemotretan sebelum proses pencetakan, sehingga evaluasi dan koreksi hasil pemotretan dapat dilakukan pada tahapan tersebut. Tahapan pratampil dimanfaatkan peduduk dan penyedia jasa potret untuk berdialog dan menyepakati hasil pemotretan yang diproses lebih lanjut. Adanya tahapan pratampil juga memberi peluang bagi peduduk untuk lebih berperan dalam menentukan bentuk representasi (form of representation) bila dibandingkan pada era fotografi analog. Gejala ini bahkan jauh lebih masif daripada democracy of image, yakni istilah yang digunakan oleh John Tagg untuk menggambarkan dampak revolusi
fotografi
yang
terjadi
pada
abad
ke-19,
ketika
menghadirkan diri dalam bentuk visual bukan lagi dianggap kemewahan tertentu.66
66
yang
hanya
Contohnya
dapat
ialah
diakses
ketika
Bate, Photography: The Key Concepts, 2009, 68.
oleh
carte
de
kalangan visite67
52
dipopulerkan oleh Disderi pada tahun 1854, yang mana ditawarkan dengan harga yang lebih murah.68 Hal itu membuat carte
de
visite
diminati
banyak
orang,
termasuk
dari
masyarakat golongan menengah. Namun pada hakikatnya, gejala foto potret studio masa kini merupakan fase lanjutan di mana studio foto menjadi tempat deskripsi individu dan inskripsi identitas sosial peduduk. 69 b. Studio foto Istilah studio foto (photography studio) secara umum digunakan untuk menyatakan tempat yang dirancang khusus untuk
keperluan
pemotretan.
Lazimnya,
sebuah
studio
dilengkapi dengan berbagai peralatan penunjang pemotretan seperti kamera, lampu, gambar latar (backdrop), dan propertiproperti tertentu.70 Istilah tersebut dalam praktik di lapangan biasanya ditambah dengan jenis objek (atau genre foto tertentu) yang dipotret. Misalnya studio foto produk, untuk menyatakan tempat pemotretan benda-benda mati; studio foto otomotif,
carte de visite adalah sebutan untuk format foto berukuran 5,4 cm x 8,9 cm (seukuran kartu nama). Carte de visite dipatenkan oleh André Adolphe Eugène Disdéri pada tahun1854 di Paris. 68 Bate, Photography: The Key Concepts, 2009, 69. 69 Bate, Photography: The Key Concepts, 2009, 69. 70 Doug Manchee “The Photographic Studio of the 21st Century”, dalam Michael R. Peres, Focal Encyclopedia of Photography: Digital Imaging, Theory and Applications, History, and Science (Oxford: Focal Press, 2007), 471-475. 67
53
untuk pemotretan kendaraan; dan studio foto model, yaitu lokasi pemotretan
fesyen. Istilah studio foto juga dapat
menandakan jenis sebuah studio. Contohnya pada istilah studio dalam ruangan (indoor studio) dan studio luar ruangan (outdoor
studio).
Bila
dilihat
dari
sisi
jenisnya,
Demaio
membedakan studi foto menjadi empat jenis, sebagaimana pernyataannya: “In general, studios can be broken down into four broad types: the professional studio, the artist studio, the amateur studio, and the location studio”.71 Di sisi lain, kata ‘potret’ dalam bahasa dan peristilahan fotografi di Indonesia dapat bermakna ganda, yaitu sebuah gambar yang dibuat dengan kamera; atau dapat pula dimaknai sebuah genre foto yang bersubjek utama manusia (berasal dari bahasa Inggris portrait-portraiture). Dalam konteks studi ini, istilah ‘studio foto potret’ digunakan untuk menyatakan tempat yang secara khusus dibuat untuk keperluan pemotretan manusia, sedangkan istilah ‘foto potret’ atau ‘karya foto potret’ digunakan untuk menyatakan hasil foto yang bersubjek manusia dengan segenap karakteristik yang telah dijabarkan
Joseph Demaio, “Types of Studios”, dalam Michael R. Peres, Focal Encyclopedia of Photo-graphy: Digital Imaging, Theory and Applications, History, and Science (Oxford: Focal Press, 2007), 475. 71
54
sebelumnya. Ini juga dapat diartikan, tidak semua foto bersubjek manusia dapat dikatakan sebagai foto potret. Adapun istilah ‘foto potret studio’ merujuk pada karya foto potret
yang
dibuat
di
studio.
Berdasarkan
penjabaran
sebelumnya, bahwa potret dibuat dengan persiapan tertentu, baik itu yang bersifat material seperti persiapan teknis dan artistik, maupun persiapan yang bersifat nonmaterial, yaitu atribut peduduk, maksud, ide, dan tujuan pemotretan. c. Teknik artistik fotografi Dua pernyataan dari West dan Francis tentang faktorfaktor penting dalam potret berkaitan dengan bentuk tampil peduduk dan aspek artistik dalam potret, yang secara tidak langsung
juga
berkaitan
dengan
proses
penciptaan/perwujudannya. Berkaitan dengan konteks praktik fotografi, Soedjono memetakan tiga tahap yang telah menjadi konvensi dalam penciptaan karya fotografi. Ketiganya meliputi proses
pemotretan,
proses
kamar
gelap,
dan
proses
penampilan.72 Disebutkan bahwa proses pemotretan meliputi penggunaan kamera, teknik-teknik pencahayaan, pemanfaatan lensa, eksplorasi sudut pengambilan pemotretan, dan berbagai
72
Soedjono, 2006, 80-83.
55
pilihan teknis lainnya. Studi ini menunjukkan bahwa proses pemotretan yang didayagunakan dapat menjadi sebuah upaya intensional untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada pemirsa (viewer) foto potret. Proses kamar gelap, yang dalam konteks masa kini telah digantikan ‘kamar terang’ atau digital imaging merupakan tahapan kedua. Tahapan kedua ini ialah ketika hasil pemotretan diolah sesuai dengan konsep awal pemotretan. Pengolahan gambar di era fotografi digital sangat beragam. Banyak fasilitas-fasilitas olah imaji yang pada era fotografi analog amat sulit, bahkan tidak mungkin diwujudkan. Bahkan dengan teknologi digital, sangat dimungkinkan adanya ubahan-ubahan yang secara signifikan dapat mengubah satu foto sama sekali berbeda dari kondisi aslinya. Selanjutnya,
proses
penampilan
meliputi
persiapan
untuk menentukan penyajian karya sesuai dengan fungsinya. Ketiga
langkah
tersebut
dijadikan
pijakan
dasar
untuk
mengetahui dan memahami alur penciptaan foto potret studio. Kemudian untuk memperjelas pembahasannya, ketiga tahapan diperdalam berdasarkan sumber-sumber dari berbagai literatur teknis fotografi, khususnya fotografi potret studio. Kerangka dasar ini dalam penerapannya dapat dibantu dengan referensi-
56
referensi teknis fotografi, terutama yang berkaitan dengan ranah foto potret.
3. Pendekatan retorika visual Bentuk dan muatan retorika fotografis dalam foto potret studio sebagaimana tertera sebagai rumusan masalah kedua dalam studi ini dijabarkan dengan meminjam salah satu pendekatan yang menjadi tradisi dalam studi komunikasi, yaitu pendekatan retorika. Secara spesifik, pendekatan retorika yang digunakan ialah retorika visual. Pendekatan deduktif dan induktif dalam penelaahan retorika visual telah disepakati oleh pemikir-pemikirnya, antara lain Sonja K. Foss, Charles A. Hill, Marguerite Hermers, dan David Blakesley. Kedua pendekatan
tersebut
hingga
kini
masih
digunakan.
Maksud
pendekatan deduktif ialah cara penelitian retorika yang diawali dengan pengonstruksian teori-teori retorika klasik yang selanjutnya kesesuaiannya pada contoh artefak visual yang diteliti. Dalam kata lain,
teori
retorika
klasik
yang
telah
ada
digunakan
untuk
menemukan gejala-gejala serupa yang ada dalam artefak visual. Istilah
lain
untuk
pendekatan
deduktif
ialah
transposisi.73
Jacques Durand, “Rhetorical Figure in Advertising Image” dalam Jean Umiker Sebeok (Ed.), Marketing and Semiotics: New Direction in the Study of Sign (Amsterdam: Mouton de Gruyter, 1987), 295-318. 73
57
Berkebalikan dengan itu, pendekatan induktif merupakan cara penelitian retorika visual melalui proses eksplorasi terhadap artefak yang diteliti untuk menemukan bentuk-bentuk retorika visual. Ini bisa juga berarti merupakan upaya melepaskan diri dari terminologi retorika klasik. Pendekatan induktif dipandang lebih produktif karena membuka kemungkinan lahirnya teori-teori baru di ranah retorika
visual.
Salah
satu
peneliti
yang
pernah
melakukan
pendekatan induktif dalam mencari retorika visual dalam film ialah David Blakesley. Hasilnya, Blakesley mengajukan empat pendekatan untuk
memahami
retorika
film,
yakni
bahasa
film,
ideologi,
interpretasi, dan identifikasi. George Kennedy dalam buku The History and Theory of Rhetoric: An Introduction mendefinisikan retorika sebagai “the energy inherent in emotion and thought, transmitted through a system of sign, including language, to others to influence their decisions of action”.74 Definisi ini merupakan salah satu dari sekian banyak statemen yang senada
tentang
retorika
secara
menyampaikan/mengekspresikan
umum.
emosi
dan
Ketika
manusia
pikirannya
untuk
mempengaruhi orang lain dengan melibatkan penggunaan tandatanda, maka ia telah berpraktik retorika. James A Herrick, The History and Theory of Rhetoric: An Introduction, Fourth Edition (London and New York: Routledge, 2015), 6. 74
58
Sementara itu, Herrick lebih tertarik mengamati penggunaan simbol dalam bentuk dan proses retorik, kemudian menunjukkan beberapa proses simbolisasi dalam membangun sebuah retorika. Herrick memberi beberapa contoh proses simbolisasi dalam seni pertunjukan dan seni visual. Di antaranya ia melihat pada salah satu pertunjukan grup musik Sting yang menghadirkan aura sinis ketika membawakan lagu I'll be Watching You, diiringi dengan gerakan koreografi robotik dan pemainan nada. Cara pembawaan lagu itu dikatakan sebagai
upaya penyampaian makna tentang kejenuhan
dan regimentasi (cara hidup teratur) dalam kehidupan modern. Jika dikaitkan dengan cara dan tujuannya, maka terjadi semacam pengolahan simbol-simbol untuk menghadirkan retorika kepada khalayak. Tindakan itu oleh Herrick disebut sebagai “the art of rhetoric, yakni the systematic study and intentional practice of effective symbolic expression”.75 Dari hal tersebut Herrick selanjutnya menetapkan
sejumlah
kriteria,
diantaranya
dinyatakan
bahwa
retorika (1) direncanakan (planned)); (2) disesuaikan dengan khalayak (adapted to an audience); (3) menunjukkan motif (reveal human motive); dan (4) bersifat ajakan/persuasif.76
75 76
Herrick, 2015, 7. Herrick, 2015, 10.
59
Tampak bahwa retorika memang sebuah bentuk praktik persuasi yang melibatkan cara-cara dan simbol-simbol. Premis itu juga disepakati dalam ranah retorika visual sehingga tepatlah jika Sonja K. Foss dalam buku Defining Visual Rhetoric mendefinisikan retorika visual sebagai (1) pemproduksian simbol-simbol visual untuk menyampaikan/mengomunikasikan
sesuatu;
serta
(2)
proses
simbolik dalam berkomunikasi melalui benda-benda visual.77 Definisi itu juga dapat dilengkapi dengan pernyataan Olson, Finnegan, dan Hope dalam buku Visual Rhetoric: A Reader Communication and American Culture: …in our broad definition of visual rhetoric name those symbolic actions enacted primarily through visual means, made meaningful through culturally derived ways of looking and seeing and endeavoring to influence diverse publics. Visual means may include photography. film, posters, cartoons. bodies, drawings, demonstrations, memorials, emblems, advertisements, illustrations, television, and computer screens—in short, any and all communicative forms and media apprehended primarily through vision.78 Pernyataan mengisyaratkan,
Olson, bahwa
Finnegan, simbolisasi
dan
Hope
tersebut
secara
visual;
cara-cara
penyampaian pesan dalam kerangka budaya tertentu; serta upaya
Foss, 2004, 303. Lester C Olson, Cara A Finnegan, dan Hope Diane S Hope, Visual Rhetoric: A Reader Communication and American Culture (Los Angeles: SAGE, 2008), 2-3. 77 78
60
untuk
mempengaruhi
dipertimbangkan
dalam
pemirsa
menjadi
mengamati
hal-hal
sebentuk
yang
retorika
patut visual.
Penggunaan kata visual tentu dapat bermakna luas. Tepatlah kiranya di bagian pembahasan nanti, kata visual dipersempit ke arah karya fotografi. Terdapat tiga syarat bagi sebuah benda visual untuk dikatakan mengandung retorika visual, yaitu (1) bersifat simbolis, dalam arti konvensional dan memiliki referensi; (2) dihasilkan dari intervensi manusia, dalam konteks ini ialah keterlibatan manusia dalam proses penciptaan benda visual; (3) adanya khalayak yang mempersepsi benda visual tersebut.79 Sejalan dengan itu dinyatakan pula bahwa untuk mengetahui fenomena retorik dalam sebuah benda visual, dapat
dilakukan
disajikan/dihadirkan konsep,
tema,
dan
dengan
memperhatikan
unsur
tersaji
(presented elements) dan elemen-elemen ide, kiasan-kiasan
unsur
tersirat.
Adapun
penyataannya dapat dilihat sebagai berikut. Essential to an application of a rhetorical perspective is explication of the distinguishing features of the visual image. Description of the nature of the visual rhetoric involves attention to two components—presented elements and suggested elements. Identification of the presented elements of an image Sonja K. Foss, “Theory of Visual Rhetoric”, dalam Ken Smith, Sandra Moriarty, Gretchen Barbatsis, dan Keith Kenney (Ed.), Handbook of Visual Communication: Theory, Method, and Media (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2005), 144. 79
61
involves naming the major physical features of the image. At this stage, the scholar describes such presented elements as space, which concerns the mass or size of the image; media, the materials of which the image is constructed; and shapes, the forms featured in the image. The scholar then identifies suggested elements, which are the concepts, ideas, themes, and allusions that a viewer is likely to infer from the presented elements,.... Analysis of the presented and suggested elements allows the scholar to understand the primary communicative elements of an image and, consequently, to develop a meaning the image is likely to have for an audience. 80 Untuk itu, pemikiran Gunther Kress dan Theo van Leeuwen dalam buku mereka yang berjudul Reading Images: The Grammar of Visual Design digunakan untuk mengurai unsur tersaji/ terlihat dalam karya fotografi melalui suatu proses analisis gramatik, sedangkan elemen-elemen potret digunakan untuk meninjau unsur tersirat dalam karya foto potret studio. Alasan digunakannya pemikiran Kress dan Leeuwen untuk mengetahui fenomena retorik dalam karya foto ialah banyaknya kesesuaian antara karakter visual karya fotografi dengan hal-hal yang dibahas oleh Kress dan Leeuwen. Kress dan Leeuwen menyatakan bahwa penggunaan istilah gramatika (grammar) mengarah pada kaidah (rules), atau dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah yang umum digunakan.81 Maksud Kress dan Leeuwen tentang gramatika dalam konteks ini ialah kaidah
80 81
Foss dalam Smith, Moriarty, Barbatsis dan Kenny, 2005, 146. Kress dan Leeuwen, 2006, 1-15.
62
yang berada dalam wujud kesadaran kolektif dan pemanfaatan sebentuk
sumber
daya
dalam
praktik
kehidupan
sehari-hari.
Sementara itu, kata ‘visual’ mengarah pada generalisasi untuk mencakup berbagai jenis wacana gambar seperti fotografi, lukisan, komik, dan film. Dengan demikian, dua poin yang dinyatakan oleh Kress
dan
Leeuwen
mengisyaratkan
bahwa
gramatika
visual
merupakan kaidah-kaidah yang lazim digunakan dan berlaku secara kolektif dalam praktik visualisasi. Dengan kata lain, gramatika visual diwujudkan
dalam
relasi
dan
kombinasi
sintaksis
untuk
menghasilkan sebuah pernyataan visual yang utuh dan bermakna. Cara pembacaan imaji yang dirumuskan oleh Kress dan Leeuwen menganalogikan benda visual sebagai bentuk bahasa yang memiliki kaidah tersendiri yang berbeda dengan struktur gramatik pada bahasa verbal.82 Gramatika visual ini mengadopsi gagasan teoretis tiga
metafungsi
yang
diajukan
oleh
Michael
Halliday,
yakni
metafungsi ideasional, yang berkaitan dengan relasi dan interaksi objek-objek dalam gambar; metafungsi interpersonal, yang berkaitan dengan hubungan sosial antara pembuat tanda (sign producer) dan penerima (receiver/viewer); metafungsi tekstual, yang berkenaan dengan tanda-tanda yang saling berelasi, baik secara internal
82
Kress dan Leeuwen, 2006, 1-2.
63
maupun eksternal, dengan konteks lingkungan di mana sebuah imaji digunakan. Adapun beberapa kategori gramatika yang tampak sesuai dengan
konteks
(narrative
penelitian
representation);
ini (2)
adalah
(1)
representasi
representasi
dan
naratif
interaksi
(representation and interaction); dan (3) makna komposisi (the meaning in composition). Sebagai salah satu aspek dalam retorika visual, pada studi ini dianalisis dengan meminjam pendekatan semiotika konotasi dan empat komponen foto potret. Guna penjelasan yang lebih runtut, maka pendekatan semiotika konotasi tersebut dijelaskan di bagian lain dari landasan teori ini. Pembacaan
dengan
pendekatan
gramatika
visual
juga
mempertimbangkan wacana fotografi dalam karya potret, yang melihat fotografi sebagai produk dari fotografer. Artinya foto potret juga merefleksikan cara pandang maupun kecenderungan ideologis, estetis, sosial, dan politik dari fotografernya.83 Penelaahan retorika fotografis juga akan mempertimbangkan empat elemen potret sebagai konotator pesan yang akan dijabarkan berikut ini. David Bate menawarkan empat elemen foto potret yang potensial mempengaruhi maknanya, yaitu wajah, pose, pakaian, dan
83
Graham Clarke, The Photograph (New York: Reaktion Book, 1997), 29.
64
lokasi.84 Selain itu, empat elemen tersebut juga dapat bertindak sebagai konotator-konotator atau pembangkit makna konotasi foto potret. Berdasar pengamatan elemen-elemen potret yang ada pada peduduk, pemirsa dapat mengetahui suasana yang tercipta, karakter, identitas, dan sisi-sisi sosial peduduk. Untuk pemotretan di studio, lokasi dapat dikontekstualkan dengan pemilihan motif/corak atau gambar yang mengacu pada setting lokasi tertentu melalui pemilihan gambar latar
dan properti pendukung. Untuk melengkapi analisis
foto potret, keempat elemen di atas dilengkapi dengan konotatorkonotator yang dikemukakan Barthes namun belum disebut oleh Bate, yaitu fotogenia, estetisme, dan sintaksis.85
4. Teori male gaze (Tatapan pria) Sebagaimana telah dikemukakan, studi ini mengambil subjek remaja putri sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam praktik foto potret di studio. Remaja putri dalam hal ini menjadi peduduk, yang juga merupakan pemakai jasa pemotretan. Terbuka kemungkinan, peduduk sebagai pemakai berada di bawah dominasi pihak lain. Salah satunya ialah perihal bagaimana peduduk ditampilkan. Berdasarkan hal itu maka konsep yang ditawarkan Laura Mulvey 84 85
Bate, Photography: The Key Concepts, 2007, 73-9. Barthes, 1984, 20-25.
65
berjudul ”Visual Pleasure and Narrative Cinema” tampaknya sesuai untuk
menguraikan
gejala
tersebut.86
Secara
umum,
Mulvey
memandang bahwa benda-benda visual seperti sinema menawarkan sejumlah kenikamatan, di antaranya ialah kenikmatan memandang/ pandangan. Salah satunya ialah skopofilia, atau kecenderungan/ insting melihat organ-organ seksual. Lebih lanjut Mulvey mengajukan penyataan bahwa bendabenda visual seperti sinema dan fotografi yang dibuat, menempatkan pria sebagai pihak yang aktif, dan wanita sebagai pihak yang pasif. Artinya
benda-benda
representasi
objek
visual yang
tersebut ditatap
dibuat
oleh
pria,
sebagai
media
sebagaimana
pernyataannya sebagai berikut. In a world ordered by sexual imbalance, pleasure in looking has been split between active/male and passive/female. The determining male gaze projects its phantasy on to the female form which is styled accordingly. In their traditional exhibitionist role women are simultaneously looked at and displayed, with their appearance coded for strong visual and erotic impact so that they can be said to connote tobe-looked-at-ness. Woman displayed as sexual object is the leitmotif of erotic spectacle: from pin-ups to striptease, from Ziegfeld to Busby Berkeley, she holds the look, plays to and signifies male desire.87
Laura Mulvey, ”Visual Pleasure and Narrative Cinema”, dalam Colin Counsell & Laurie Wolf (Ed.), Performace Analysis: An Introductory Course Book (London: Routledge, 2001), 188. 87 Mulvey dalam Colin Counsell & Laurie Wolf (Ed.), 2001, 188. 86
66
Pemikiran
Mulvey
dalam
studi
ini
digunakan
untuk
menganalisis foto-foto potret studio yang dijadikan contoh dalam penelitian. Hal yang diperhatikan antara lain ialah seberapa besar derajat representasi tatapan pria dalam foto-foto potret remaja putri di studio foto serta faktor yang diduga menjadi penyebab representasi tatapan pria dalam foto potret remaja putri di studio.
G. Metode Penelitian Praktik studio foto potret sebagaimana dijelaskan sebelumnya memang masih sangat jarang dijadikan bahan studi, terlebih di Indonesia. Kondisi itu menyebabkan banyaknya aspek-aspek tentang studio foto yang belum dijamah dan diolah menjadi data penelitian yang siap digunakan. Untuk itu, sebelum penelitian dimulai, diperlukan penjelasan yang cukup untuk menentukan klasifikasi studio foto agar dapat dipilih sesuai dengan keperluan penelitian. Bagian ini berusaha memaparkan kondisi studio foto berikut variabel-variabel di dalamnya. Hal-hal yang dijelaskan meliputi (1) klasifikasi studio foto yang dijadikan contoh; (2) kelompok umur peduduk; dan teknik analisis data.
67
1. Penentuan objek penelitian Hasil observasi awal di lapangan menunjukkan bahwa jumlah studio foto berbasis digital di Kota Yogyakarta tidak kurang dari 60 tempat. Jumlah tersebut meliputi studio-studio dengan berbagai ragam produk jasa yang ditawarkan. Klasifikasi/ penggolongan studio berdasarkan produk jasa yang ditawarkan tidak dilakukan sebab hingga saat ini, memang belum ditemukan referensi yang mengklasifikasikan studio-studio potret, baik itu secara nasional maupun dalam skala lokal. Untuk itu, sebelum penelitian ini dimulai perlu kiranya dilakukan pengamatan pada tempat-tempat yang oleh masyarakat didefinisikan sebagai studio foto. Berdasarkan hasil pengamatan di Yogyakarta, masyarakat mendefinisikan studio foto secara longgar. Umumnya yang oleh masyarakat awam disebut studio foto ialah tempat mereka mencetak foto dan membuat pas foto, maupun foto keluarga.88 Artinya, tempat mencetak foto sama dengan studio foto. Hal ini senada dengan pernyataan Strassler yang sebenarnya juga telah melihat gejala serupa, yang mana ia menyatakan bahwa pada awal tahun 1980-an di Yogyakarta, seiring dengan hadirnya kamerakamera kompak yang diimpor dari Jepang, jasa cuci-cetak foto Bobi Yulianto, pemilik studio Vera, Yogyakarta, wawancara dengan penulis, 22 Juni 2014. 88
68
menjadi segmen terbesar dalam industri foto. Dampaknya, banyak studio foto dengan peralatan modern muncul, melayani jasa cucicetak, pembuatan foto-foto identitas/pas foto, serta foto-foto yang sifatnya formal, menggeser dominasi studio foto yang hanya berfokus pada layanan pembuatan foto potret.89 Di era ini, tidak banyak studio foto yang serius ‘menggarap’ jasa pembuatan foto potret. Dapat dikatakan, jasa pemotretan di studio bersifat tambahan saja, bukan yang utama. Secara bersamaan, muncul tren baru dalam bisnis studio foto, yaitu memperluas layanannya dengan membuka jasa fotokopi.90 Tampak bahwa pada masa itu, yang dijual dari produk foto ialah nilai ekstrinsiknya. Hingga saat ini masih dapat dijumpai studio-studio semacam itu, yang umumnya mulai beroperasi sejak tahun 1980-an
dan 1990-an. Rata-rata, studio foto semacam itu
beroperasi di bangunan yang berada di pinggir jalan utama sebuah kota. Bangunan sebuah studio semacam itu dapat dengan mudah dikenali melalui facade bangunan yang dipakai, yaitu berupa bidang besar yang bertuliskan/bergambarkan produk-produk dari vendor industri fotografi (misalnya Kodak, Fuji, Konica) dengan warna yang khas. Ukuran studio-studio tersebut bervariasi, mulai dari yang kecil hingga besar. Fakta sejarah itulah yang akhirnya menciptakan 89 90
Strassler, 2010, 109-110. Yulianto, wawancara dengan penulis, 22 Juni 2014.
69
sebuah stereotip yang kemudian didefinisikan masyarakat awam sebagai studio foto. Perkembangan selanjutnya menunjukkan, bahwa pada awal tahun 2002-an fotografi digital mulai memasyarakat. Sejarah pun terulang, pada masa ini muncul studio-studio baru yang berbasis digital, menggeser dominasi studio foto analog. Studio lama yang berbasis manajemen dan modal yang kuat pun beralih, menyesuaikan diri dengan keadaan, melakukan perubahan sarana dan prasarananya. Tren berubah, teknologi foto digital tidak lagi mengharuskan penggunanya mencetak hasil pemotretan. Foto-foto dapat ditampilkan di layar komputer. Bisnis cuci-cetak kini tidak menjadi
primadona,
akibatnya
banyak
studio
yang
dahulu
mengandalkan jasa cuci-cetak, perlahan tetapi pasti mundur dari persaingan bisnis fotografi. Tahun 2002 merupakan awal munculnya tren baru studio foto potret di Yogyakarta. Tren itu diawali oleh studio Calista yang menyodorkan konsep ‘Fun, Fresh, and Funky’. Kali ini, nilai intrinsik foto dipasarkan dan mendapatkan tanggapan positif dari kaum muda.
Foto-foto
potret
formal
yang
identik
dengan
foto-foto
pernikahan, foto resmi, dan foto wisuda, dipandang kurang sesuai lagi dengan minat kaum muda, kecuali untuk keperluan tertentu. Kini zamannya foto-foto potret yang ceria. Tidak lama berselang,
70
muncul studio-studio lain yang mengusung konsep foto serupa, berorientasi pada nilai intrinsik sebuah produk foto. Walaupun dalam kenyataannya, nilai intrinsik yang ditawarkan dapat berbeda-beda. Penjabaran singkat tentang studio foto tersebut, dijadikan dasar dalam pemilihan karya/produk studio foto yang diteliti. Dapat dikatakan, studi ini berfokus pada produk/karya foto hasil dari studio foto yang menawarkan nilai intrinsik berupa ide dan konsep artistik fotografi potret. Artinya klasifikasi studio foto potret tidak didasarkan pada bentuk dan ukuran fisiknya, melainkan dari sisi ide dan konsep artistik. Sekilas, studio-studio memang dapat dibedakan dari aspek fisik yang terlihat. Bila aspek fisik (sarana dan prasarana) dijadikan indikator sebuah studio, maka studio foto di Yogyakarta dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu studio kecil, menengah, dan besar. Namun, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya wujud dan ukuran fisik sebuah studio foto tidak berkaitan dengan ide dan konsep artistiknya. Untuk itu dalam konteks penelitian wujud artistik dan retorika fotografis, indikator yang paling relevan untuk mengklasifikasi studio foto ialah berdasarkan nilai-nilai ide dan konsep artistik yang tampak pada karya yang dihasilkan dari studio foto.
71
Pilihan ini disebabkan kenyataan bahwa seringkali terlihat wujud artistik tidak sepenuhnya bergantung pada aspek fisik sebuah studio. Maka tidaklah mengherankan apabila ada sebuah studio yang dianggap kecil, ternyata mampu menghasilkan karya bernilai artistik tinggi. Sebaliknya, boleh jadi ada studio yang secara fisik dapat dikatakan studio besar, tetapi wujud artistik yang dihasilkannya kurang
memadai.
(kebentukan)
Oleh
dipandang
karena lebih
itu,
tepat
kriteria-kriteria
untuk
formal
dijadikan
sebagai
indikator kualitatif sebuah studio foto. Jika kriterianya demikian, maka studio foto di Yogyakarta dapat diklasifikasikan sesuai dengan tabel berikut ini. Tabel 1. Klasifikasi studio foto berdasarkan kriteria formal fotografi (Disusun oleh Irwandi) Indikator
Kelas Studio Foto
Aspek teknis
Tata cahaya
Olah pose
Olah gambar
Konsep artistik
Lanjut
Sangat baik
Dimensional
‘Penuh gaya’
Maksimal
Berkonsep
Madya
Baik
Dimensional
‘Penuh gaya’
Wajar
Berkonsep
Dasar
Kurang baik- Baik
Flat
‘Biasa’
Minimal
Tidak berkonsep
Penjelasan tabel di atas sebagai berikut. Pembagian kelas studio foto didasarkan pada lima indikator, meliputi (1) aspek teknis; (2) tata cahaya; (3) olah pose; (4) olah digital; dan (5) konsep artistik. Aspek
teknis
berkaitan
dengan
bagaimana
karya
potret
menunjukkan adanya pendayagunaan peralatan pemotretan yang
72
memadai. Faktor yang diamati ialah ketajaman gambar (berkaitan dengan kualitas optis lensa); proporsi wajah peduduk (berkaitan dengan pemilihan sudut cakupan lensa); serta kualitas warna cetakan. Tata cahaya berkaitan dengan pengaturan cahaya dalam foto potret. Hal yang diperhatikan ialah seberapa besar ‘mood’ dimensi kebentukan peduduk dalam foto yang berhasil dibentuk melalui upaya penataan cahaya. Eksplorasi dan eksperimentasi pencahayaan juga dipertimbangkan. Kesesuaian pemilihan tata cahaya dengan karakter peduduk juga menjadi pertimbangan. Olah pose berkaitan dengan sejauh mana terlihat adanya eksplorasi pose pada peduduk dalam foto potret. Apakah pose yang diterapkan ‘konvensional’ ataukah dapat mencerminkan kemajuan zaman? Penilaian tentu dalam konteks ‘foto gaya’.
Pose-pose
‘konvensional’ biasanya memberi kesan statis, sedangkan pose yang kasual akan memberi kesan dinamis. Hal lain yang diperhatikan ialah kesesuaian antara pose dan karakter peduduk; kostum; dan suasana foto potret secara keseluruhan. Olah gambar berkaitan dengan seberapa jauh studio dapat mendayagunakan teknologi olah gambar secara digital. Apakah sekadar bersifat korektif atau lebih dari itu? Misalnya dengan
73
menambahkan efek-efek tertentu secara tepat dan proporsional. Kerapian,
kewajaran
dan
keselarasan
olah
imaji
juga
dipertimbangkan. Konsep artistik dihubungkan dengan tawaran tema-tema pemotretan
di
sebuah
studio.
Apakah
sebuah
studio
telah
menyediakan tema-tema khusus atau tidak. Contoh tema yang ditawarkan
antara
lain
‘glamor’,
‘fun’,
dan
lain
sebagainya.
Kematangan konsep artistik sebuah studio foto potret juga dapat terlihat dari hadirnya nuansa tertentu yang menjadi ciri khas karya sebuah studio foto. Berdasarkan indikator yang tercantum pada Tabel 1, maka studio foto yang ada di Yogyakarta dapat dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu dasar, madya, dan lanjut. Selanjutnya berdasarkan klasifikasi serta tujuan penelitian, yaitu meninjau wujud artistik dan retorika fotografis dalam karya foto potret, maka studio yang dijadikan contoh penelitian ialah studio berkelas madya dan lanjut. Pemilihan studio madya dan lanjut juga didasari pada pertimbangan bahwa wujud artistik yang dihasilkan dari kedua studio tersebut bukanlah
suatu
kebetulan,
direncanakan sedemikian rupa.
melainkan
telah
dirancang
dan
74
Mengingat
banyaknya
varian
produk
foto
potret
yang
ditawarkan oleh studio foto, maka penelitian ini juga dibatasi pada karya-karya yang dihasilkan dalam kategori foto paket gaya, yaitu salah satu kategori produk foto potret yang menampilkan peduduk dalam nuansa informal, bebas, dan santai. Baik dari segi kostum, pose, setting lokasi, maupun ekspresi wajah. Konsumen foto paket gaya yang dipilih sebagai responden penelitian juga dibatasi pada kalangan remaja putri yang masih duduk di bangku sekolah menengah dan mahasiswi semester awal di perguruan tinggi yang ada di wilayah Yogyakarta. Istilah foto gaya dipilih karena dapat mewakili produk-produk foto potret yang ditawarkan oleh studio-studio foto yang ada di Yogyakarta. Sementara itu, penamaan produk foto gaya yang ditawarkan kepada konsumen tergantung pada kebijakan bisnis masing-masing studio foto. Contohnya, Studio Kencana menamakan produk foto gayanya dengan istilah Teenage. Berbeda dengan Studio Calista yang memilih nama Foto Reguler dan Make Over untuk produk
foto
gayanya.
Padahal,
content
kedua
paket
tersebut
sebenarnya dapat dikatakan sama. Perbedaan keduanya lebih terletak pada karakter wujud artistiknya.
75
Hal-hal yang dijadikan perhatian utama dalam penentuan objek penelitian ini ialah proses dan wujud kreasi artistik, fenomenafenomena retorik, serta proses negosiasi antara peduduk, fotografer, dan desainer foto. Yang secara ringkas, semuanya melibatkan dua pihak. Kedua pihak yang dimaksudkan adalah studio foto dan peduduk. Tentu saja pengertian studio foto di sini meliputi fotografer dan desainer foto beserta hasil karya mereka. a. Studio foto Mengingat banyaknya varian karya dalam wacana fotografi potret, maka studi mengenai retorika fotografis dalam karya fotografi potret studio dibatasi berdasarkan kriteria tertentu, yaitu foto-foto potret studio yang diminati oleh konsumen dan memang diperuntukkan bagi kebutuhan pribadi
peduduk,
bukan
untuk
keperluan
fesyen
dan
periklanan. Dapat dikatakan pula, foto potret yang diteliti lebih bersifat personal; yang mana peduduk bebas memilih pose, kostum, dan setting pemotretan; foto-foto dihadirkan atas kemauan peduduk sendiri. Hal ini tentulah berbeda dengan foto pernikahan, foto kelulusan, atau pun foto keluarga. Maka fokus studi ini ditujukan pada paket foto gaya yang ditawarkan oleh studio-studio menengah, madya, dan
76
lanjut yang dipilih untuk mewakili karakteristik tertentu). Langkah demikian dilakukan atas pertimbangan manfaat studi, yaitu memperoleh informasi mengenai wujud artistik fotografi yang diminati oleh para remaja putri Yogyakarta. Adapun studio-studio yang dijadikan tempat penelitian dapat dilihat pada tabel 2. Studio tersebut dipilih karena dipandang sesuai dengan indikator-indikator studio madya dan lanjut sebagimana telah dipaparkan pada tabel 1. Umumnya studio tersebut menerapkan aspek teknis secara baik;
pencahayaan
yang
ditata
dengan
teknik
tertentu
sehingga menghasilkan kesan dimensional; menerapkan posepose yang kasual, dinamis, bahkan atraktif; teknik oleh digital yang baik; serta memiliki konsep artistik yang diterapkan pada produk fotonya. Sebagian besar studio yang dipilih merupakan studio yang mulai beroperasi di atas tahun 2002 dan 2003. Data yang dihimpun dari studio-studio tersebut terkait dengan (1) sejarah singkat studio foto; (2) cara kerja fotografer; (3) interaksi antara fotografer, peduduk, dan desainer, baik dalam proses pemotretan maupun dalam hal promosi; (4) peralatan-peralatan utama yang digunakan oleh studio foto;
77
dan (5) cara studio foto menetapkan konsep artistik untuk produk-produk potretnya.
Tabel 2. Daftar studio lokasi penelitian (Disusun oleh Irwandi)
No.
Nama Studio
Alamat
Kelas studio foto Madya
1.
Alvin Photography
2.
Calista Photo
3. 4.
Colorfull Photography eXOtic Photography
5.
Fresco Digital
6.
Genique Photography
Gibran Exclusive Photography Kayonna 8. Concept Photo studio Kencana Art 9. Photography Creative 10. Photograpic Center 7.
Jl. Anggajaya III, Condongcatur Yogyakarta. Jl. Ringroad Utara no. 33 Yogyakarta. Jl. Urip Sumuharjo no. 115 Yogyakarta Jl. Seturan no. 6 Yogyakarta. Jl. Colombo No. 8, Seturan Baru Yogyakarta. Ruko Selokan Mataram Jl. Tantular no. 12 Yogyakarta.
√ √ √ √ √ √
Jl. Monjali 169 Yogyakarta Jl. Kaliurang km. 4,5 Yogyakarta.
Lanjut
√ √
Jl. P. Diponegoro 106 Yogyakarta.
√
Jl. Harjowinatan no. 8 Yogyakarta
√
b. Peduduk Pemilihan peduduk dalam karya yang dijadikan contoh penelitian difokuskan pada peduduk remaja fase awal dan
78
lanjut, yang menurut Elisabeth B. Hurlock dalam Sobur berusia antara 14-21 tahun.91 Hal ini dilakukan karena berdasarkan pengamatan awal, kelompok usia remajalah yang paling dominan dan paling ‘banyak bicara’ guna menunjukkan ekspresi diri mereka dalam foto potret. Pemilihan ini juga didasarkan pada fakta dalam ilmu psikologi perkembangan. Syamsu Yusuf menyatakan bahwa fase remaja merupakan saat yang penting dalam perkembangan kepribadian, yang antara lain meliputi (1) perubahan fisik menyerupai orang dewasa; (2) kematangan seksual; (3) kebutuhan persahabatan yang
besifat
heteroseksual,
berteman
dengan
pria
dan
wanita.92 Masa remaja juga merupakan saat berkembangnya identitas yang dipengaruhi faktor peniruan tokoh idola dari kalangan selebritas.93 Peduduk yang dipilih sebagai informan dalam studi ini dipilih atas dasar kesediaan mereka untuk berdiskusi dan memberikan informasi tentang pengalaman mereka berpraktik studio foto. Kendala yang dihadapi dalam mendapatkan peduduk
yang
bersedia
diwawancarai
ialah
keengganan
Alex Sobur, Psikologi Umum (Bandung: 2003), 133. Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 201. 93 Yusuf LN, 2002, 202. 91 92
79
mereka menceritakan pengalamannya karena ada rasa malu di
diri
mereka.
Setelah
melalui
serangkaian
proses
pendekatan, akhirnya ditemukan 10 peduduk yang bersedia diamati ketika dipotret di studio. Enam dari 10 peduduk informan tadi juga bersedia diwawancarai, baik melalui tatap muka, telepon, maupun melalui media sosial di internet. Keenam informan tersebut pada saat diwawancara terdiri dari lima mahasiswi dan satu siswi Sekolah Menengah Atas. Mereka tidak berprofesi maupun berhobi sebagai model.
2. Teknik pengumpulan data Data penelitian dihimpun dalam beberapa tahapan. Tahapantahapan itu antara lain: a. Kepustakaan. Kepustakaan
dilakukan
dengan
mencari
data-data
berupa buku, koran, majalah, laman tentang wacana fotografi potret di Indonesia, dan data-data hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti lain. Langkah ini dilakukan untuk menghimpun beberapa hal, yaitu (1) sejarah perkembangan studio foto di Yogyakarta; (2) kreasi-kreasi artistik foto potret
80
yang terdapat dalam literatur; (3) teori-teori yang dijadikan pendekatan penelitian. Buku utama yang digunakan untuk memetakan sejarah perkembangan studio foto di Yogyakarta adalah Toekang Potret: 100 Jaar Fotografie in Nederlandss-Indië,94 dan Refracted visions: Popular photography and national modernity in Java.95 Informasi-informasi yang terdapat dalam buku dijadikan titik awal guna menelusuri kembali sejarah studio di Yogyakarta. Perihal kreasi artistik foto potret berpedoman pada dalam buku Pot-Pourri Fotografi karangan Soeprapto Soedjono,96 Fashion Flair for Portrait and Wedding Photography karangan Lindsay Adler,97 serta
Behaviouri
karangan
Manwatching: A Field Guide to Human Desmond
Morris.98
Berdasar
pada
informasi dari buku-buku tersebut kreasi artistik fotografi potret dibahas. Akan dilihat pula bagaimana fotografi potret dari sudut pandang fotografernya. Selanjutnya, dicari pula data-data pustaka yang dapat memuat berbagai acuan yang
Anneke Groeneveld (Ed.), Toekang Potret: 100 Jaar Fotografie in Nederlandss-Indië. (Amsterdam: Fragmen, 1989). 95 Strassler, 2010. 96 Soeprapto Soedjono, , 2006. 97 Lindsay Adler, Fashion Flair for Portrait and Wedding Photography (Boston: Cengage Learning, 2011) 98 Desmond Morris, Manwatching: A Field Guide to Human Behaviour. (New York: Harry N Abrahams, Inc., 1977). 94
81
kemungkinan
dicontoh
oleh
peduduk
dan
fotografer.
Kepustakaan juga dilakukan untuk menemukan teori-teori yang digunakan dalam studi ini, misalnya buku Defining Visual Rhetoric,99 Reading Image: The Grammar of Visual Design,100 dan Image-Music-Text.101 b. Observasi dan dokumentasi Data karya-karya foto potret di studio komersial dicari dari peduduk dan hasil pemotretan studio foto yang dijadikan contoh penelitian. Sementara itu, data mengenai kreasi artistik (pemotretan, pascapemotretan/olah gambar, dan penyajian) yang terjadi dalam penghadiran foto potret studio dicari melalui perekaman foto dan video. Hal utama yang direkam ialah proses pemotretan, proses pemilihan foto, serta kondisi umum studio
foto.
Sedapat
mungkin
proses
berlangsungnya
perekaman tersebut tanpa sepengetahuan informan guna menjaga
suasana
praktik
potret
yang
sebenarnya,
serta
menjaga keakuratan data yang diperoleh. Data hasil karya studio-studio foto juga didapat dari iklan-iklan yang mereka rilis, baik dalam bentuk media cetak, Sonja K. Foss, “Framing the Study of Visual Rhetoric: Toward a Transformation of Rhetorical Theory”, dalam Charles A. Hill, dan Merguerite Helmer (Ed.), Defining Visual Rhetoric. (London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2004). 100 Kress dan Leeuwen, 2006. 101 Barthes, 1984. 99
82
seperti brosur dan selebaran, maupun iklan di media elektronik seperti laman resmi studio, Facebook, dan Instagram. Semua data-data itu dijadikan sumber primer yang dianalisis lebih lanjut. c. Wawancara Melihat pola produksi foto potret yang membutuhkan interaksi dan negosiasi di antara fotografer-peduduk-desainer foto, maka observasi wawancara dilakukan terhadap ketiga belah pihak. Data yang dihimpun dari wawancara ialah hal-hal yang berkaitan dengan tujuan pemotretan serta tampilan ideal yang ingin ditampilkan dalam foto potret dari sisi ketiga pihak terkait. Hal itu dilakukan untuk mengetahui nilai foto bagi peduduk. Bila dirasa perlu, wawancara juga dilakukan pada pihak manajemen studio foto yang berkaitan dengan kebijakankebijakan studio dalam hal konsep dan kriteria karya foto yang dipasarkan ke konsumen. Data utama yang dihimpun dari studio-studio tersebut dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Observasi dilakukan guna mendapatkan informasi tentang beberapa hal, antara lain suasana studio, fotografer, proses pemotretan, serta informasi-informasi lainnya. Adapun wawancara dilakukan
83
kepada pengelola studio, fotografer, serta staf disain di studio foto
terkait.
Wawancara
dilakukan
guna
mendapatkan
informasi tentang aspek-aspek yang menjadi perhatian dalam menjalankan bisnis studio foto.
Selanjutnya, data hasil
wawancara dengan pihak manajemen dikomparasikan dengan iklan-iklan yang mereka terbitkan. Wawancara dilakukan dalam format yang santai. Ini diperlukan agar peneliti dapat memperoleh informasi yang berkaitan dengan cara mereka memandang praktik studio foto; pengalaman yang mereka lewati ketika berpotret di studio foto; tingkat
kepuasan
terhadap
hasil
pemotretan;
keinginan-
keinginan mereka; serta interaksi mereka dengan fotografer di studio.
3. Teknik analisis data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Artinya, temuantemuan penelitian tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau pun bentuk hitungan lainnya.102 Kata ‘kualitatif’ juga seyogyanya tidak ditempatkan sebagai pendekatan, melainkan jenis penelitian atau
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik Teoritisasi Data. Terjemahan M. Sodiq dan Imam Muttaqien (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 4. 102
84
jenis data yang dianalisis.103 Pada penelitian kualitatif, peneliti melihat fakta di lapangan untuk kemudian disajikan dalam bentuk analisis deskriptif. Studi ini diawali dengan membahas sejarah singkat studio foto di Yogyakarta. Hal itu dilakukan guna menemukan kreasi-kreasi artistik studio foto di Yogyakarta sejak masa pascakemerdekaan hingga saat ini. Penelusuran sejarah diperlukan untuk mengetahui hal-hal penting yang menjadi tugas pokok studio dalam melayani konsumen. Penelusuran sejarah studio foto di Yogyakarta juga dapat menjadi bukti bahwa kreasi artistik sebuah studio foto banyak dipengaruhi
oleh
aspek
teknologi.
Tahap
penelitian
tersebut
dilakukan dengan mengupas permasalahan upaya artistik dalam penciptaan karya fotografi masa kini yang oleh Soedjono dibagi menjadi tiga tahapan umum, yaitu (1) proses pemotretan; (2) proses kamar gelap/pascapemotretan; (3) proses penampilan karya.104 Secara rinci, analisis data dimulai dari proses produksi potret yang tersusun dalam tahap-tahap penciptaan karya seni, meliputi alat-alat yang digunakan; teknik pemotretan (kamera, lensa, pencahayaan); interaksi antarpihak dalam pemotretan (berkaitan dengan penentuan
R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni rupa (Bandung: MSPI, 1999), 33. 104 Soedjono, 2006, 80-82. 103
85
pose wajah dan badan, setting lokasi); serta interaksi dalam pemilihan foto dan olah digital untuk menentukan hasil akhir foto potret dan teknik penyajiannya (dibingkai atau dialbum). Interaksi antara fotografer, peduduk, desainer, dan berbagai aspek eksternal yang memengaruhinya akan ditinjau. Penelaahan dilakukan dengan pendekatan fotografi potret. Proses ini dijalani sambil mengadakan wawancara terbuka agar suasana penelitian berlangsung kondusif. Melalui tahapan inilah diperoleh wujud-wujud artistik dalam karya foto potret di studio. Hasil penelaahan selanjutnya dikorelasikan dengan struktur karya fotografi potret sebagai teks visual melalui pendekatan gramatika visual, yang dirumuskan oleh Kress dan Leeuwen.105 Mereka
berdua
memandang
bahwa
berbagai
entitas
visual
merupakan bentuk komunikasi yang juga memiliki kaidah/konvensi tersendiri. Analisis gramatika visual meliputi tiga metafungsi, yaitu metafungsi ideasional, metafungsi interpersonal, dan metafungsi tekstual; di mana pada tiap metafungsi masih dapat diuraikan lebih mendalam. Secara detil kerangka analisis gramatika visual serta pembagian contoh foto yang dianalisis berikut contoh-contohnya dijelaskan di bagian awal bab III. Hal ini dilakukan untuk
105
Kress dan Leeuwen, 2006.
86
memudahkan pembaca membandingkan antara teori dan kenyataan di artefak yang dianalisis. Upaya selanjutnya ialah mencari pesan dan fenomena retorika visual yang dapat terbaca dalam karya fotografi potret studio di Yogyakarta.
Acuannya
pada
elemen
potret
sebagai
konotator-
konotator pesan. Guna mengetahui pihak mana yang mendominasi praktik potret remaja putri di studio foto dan refleksi budaya yang dapat dipetik,
maka
analisis
berikutnya
dilakukan
dengan
mempertimbangkan hasil-hasil pembahasan yang telah didapatkan sebelumnya. Setelah semua langkah penelitian dilakukan, jawaban dan
kesimpulan
studi
ini
pun
dapat
dirumuskan.
Langkah
berikutnya ialah melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil penelitian. Tujuan evaluasi tersebut ialah memberikan rekomendasi dan saran kepada peneliti selanjutnya.
4. Retorika visual dan retorika fotografis Istilah retorika fotografis sebagaimana telah disinggung di bagian latar belakang, sengaja dimunculkan dalam studi ini. Guna memberi penekanan khusus bahwa studi ini terfokus pada karya fotografi. Pemunculan istilah itu juga dilakukan sebagai upaya untuk
87
memperkaya khasanah serta mempermudah peneliti selanjutnya yang akan melakukan pengkajian fotografi di Indonesia. Artinya, setelah
studi
ini
selesai
pendekatan
retorika
fotografis
yang
merupakan gabungan antara teknik artistik fotografi; gramatika visual dan penelaahan pesan-pesan konotasi dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya. Istilah retorika visual di beberapa tempat tetap digunakan guna menunjukkan bahwa retorika fotografis dalam studi ini berakar dari pendekatan retorika visual, dengan demikian studi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi khasanah pengkajian fotografi di Indonesia. Alasan lain penggunaan istilah retorika fotografis ialah sebagai
penekanan
bahwa
analisis-analisis
yang
dilakukan
mempertimbangkan aspek-aspek teknik artistik yang sudah lazim berlaku di dunia fotografi, terutama dalam ranah fotografi potret. Pertimbangan itu juga merupakan upaya untuk menunjukkan sisi kebaruan dan kekhasan studi ini. H. Sistematika Penulisan Guna
memudahkan
penelusuran
dan
pembacaan,
maka
sistematika penulisan yang sistematis perlu diwujudkan. Hasil penelitian yang berjudul ”Retorika Fotografis Remaja Putri dalam
88
Praktik Studio Potret di Yogyakarta” ini disajikan dalam lima bab. Rinciannya sebagai berikut. BAB I Pendahuluan berisi
(A) Latar Belakang; (B) Rumusan
Masalah (C) Tujuan Penelitian; (D) Manfaat Penelitian; (E) Tinjauan Pustaka; (F) Landasan Teori;
(G)
Metode Penelitian; dan (H)
Sistematika Penulisan. Tujuan bab ini ialah memberi gambaran ruang lingkup, bentuk, dan arah studi. Adapun teori dan pendekatan yang dijelaskan ialah (1) Teori habitus; (2) Pendekatan Artistik; (3) Pendekatan retorika visual; dan (4) Teori male gaze (tatapan pria). BAB II berisi sejarah singkat studio foto di Yogyakarta. Sejarah ini meliputi (A) Sejarah Singkat dan Gambaran Umum Studio Foto di Yogyakarta: Pascakemerdekaan (1945-1970); (B) Studio Foto di Yogyakarta Tahun 1975 hingga Akhir Tahun 1990; (C) Studio foto Potret di Yogyakarta pada Era Fotografi Digital; (D) Peralatan, Sumber Daya Manusia, dan Produk Foto Potret Studio di Yogyakarta (19452015); (E)Aspek Fotografer dalam Foto Potret Studio; (F) Peduduk dalam Foto Potret; (G) Aspek Desainer Foto dalam Studio Foto Potret; dan (H) Teknik Artistik, Tema, dan Ide dalam Foto Potret Studio; Bagian ini merupakan pengayaan materi penelitian sekaligus sebagai dasar untuk mengamati dan menganalisis kreasi artistik foto potret masa kini.
89
BAB III, menjabarkan unsur-unsur yang membentuk retorika fotografis dalam praktik studio potret. Banyak hal yang perlu dijelaskan
agar
dasar
pengambilan
kesimpulan
dapat
dipertanggungjawabkan. Hal- hal yang dijelaskan dibagi ke dalam sub-bab-sub-bab yang mencakup (A) Kerangka Analisis Gramatika Visual dalam Foto Potret di Studio; (B) Kerangka Interpretasi Konotatif pada Foto Potret Studio; (C) Gramatika Visual dan Pesan Konotatif pada Foto-Foto Paket Pemotretan Reguler; (D) Gramatika Visual dan Pesan Konotatif pada Foto-Foto Paket Pemotretan Tematik; dan (E) Retorika Fotografis dalam Foto Potret di Studio: Eksplorasi Induktif. Bagian ini memaparkan upaya-upaya artistik yang
dilakukan
Pemaparan
oleh
fotografer,
diupayakan
peduduk,
selengkap
dan
mungkin
desainer
sambil
foto. tetap
mempertimbangkan keterkaitan erat pembahasan dengan retorika fotografis. Perincian cara menentukan contoh juga dilakukan di bagian ini. Hal tersebut dilakukan guna memudahkan pembaca dalam mengamati kesesuaian contoh foto yang dianalisis dengan metode pemilihan yang telah ditetapkan. Setelah itu, dirincikan pula metode analisis foto yang dijadikan contoh dalam studi ini.
90
BAB IV membahas posisi peduduk, fotografer, dan desainer foto dalam Praktik Studio Potret, meliputi (A) Habitus dan Modal dalam Praktik Studio Potret, di dalamnya mencakup (1) Berpotret di Studio sebagai Habitus (2) Keterampilan Memotret sebagai Habitus, dan (3) Keterampilan
Mendesain
Foto
sebagai
Habitus.
Bagian
B
membicarakan Doxa dan Kekerasan Simbolik dalam Praktik Studio Potret dan representasi tatapan pria dalam karya-karya potret. Langkah pertama yang dilakukan ialah memetakan habitushabitus
dalam
praktik
studio
foto.
Setelah
pemetaan
selesai
dilakukan, maka langkah selanjutnya ialah mengamati modal-modal yang dimiliki masing-masing pihak dalam praktik foto potret di studio. Berdasarkan hasil analisis itu, maka ditunjukkan bagaimana terjadinya pertukaran modal antar pihak dan siapa pihak yang paling dominan dalam arena studio foto potret. Disertasi ditutup dengan bagian akhir, (BAB V) dijabarkan kesimpulan yang berisi jawaban-jawaban pertanyaan penelitian. Adapun alur studi praktik studio foto potret di Yogyakarta dapat dilihat pada skema berikut ini.
91
Gambar 1. Skema pemikiran studi retorika fotografis remaja putri dalam praktik studio potret di Yogyakarta. (disusun oleh Irwandi)
Penjelasan gambar 1 adalah sebagai berikut. Praktik studio foto potret beserta artefak didalamnya akan dibahas dari sisi perubahan, fungsi dan aspek kesejarahannya. Keterlibatan tiga pihak, yaitu (1) peduduk, (2) fotografer, dan (3) desainer foto juga akan dibahas dalam arena praktik studio potret.
92
Sebuah karya foto potret studio merupakan hasil dari aplikasi teknik artistik fotografi yang juga masih terkait dengan tiga pihak yang telah disebutkan tadi. Artinya masih terdapat hubungan yang bersifat saling mempengaruhi. Karya potret juga dapat dipandang sebagai artefak yang memenuhi syarat sebuah retorika visual, yang di dalamnya terdapat unsur tersaji dan unsur tersirat. Presented elements dapat didekati dengan semiotika denotasi, sementara unsur tersirat dapat didekati dengan semiotika konotasi, dalam hal ini langsung
mengerucut
pada
elemen-elemen
foto
potret
yang
dipandang dapat menjadi konotator-konotator pesan. Hasil kedua pendekatan tersebut menghasilkan sebentuk retorika fotografis. Hubungan saling mempengaruhi antara arena, kreasi artistik fotografi dan retorika fotografis kemudian dimaknai sebagai refleksi budaya. Refleksi tersebut mempertimbangkan fungsi foto potret studio bagi peduduk putri.