BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Guru adalah salah satu unsur terpenting dalam pelaksanaan pendidikan dimana kualitas pendidikan sangat dipengaruhi sejauh mana kualitas guru-guru di dalamnya. Barber & Mourshed (dalam World Bank, 2010) mengatakan bahwa: “The quality of an education system cannot exceed the quality of its teachers”. Ungkapan tersebut menyatakan bahwa kualitas suatu sistem pendidikan tidak bisa melampaui kualitas guru-gurunya. Kualitas guru sangat terkait erat dengan bagaimana guru mau belajar terus menerus dan tidak berhenti mengembangkan dirinya (Darling-Hammond, 2000; Day, 1999). Lebih dari itu, guru yang berkualitas juga menunjukkan efektifitas dalam mengajar (Jalal, Samani, Chang, Stevenson, Ragatz, & Negara, 2009; Lin, Xie, Jeng, & Huang, 2010). Persoalan pendidikan di Indonesia sangatlah kompleks dan sistemik. Banyak masalah yang muncul dalam dinamika pelaksanaan pendidikan, mulai dari rendahnya kualitas guru, rendahnya motivasi dan komitmen guru, ketidakmerataan pendidikan dan sumber daya, rendahnya gaji guru, rendahnya prestasi peserta didik, dan rendahnya kualitas pendidikan secara umum jika dibandingkan dari negara-negara lain. OECD melihat pentingnya merekrut guruguru yang berkualitas untuk menjadi tenaga pengajar, memberi gaji yang bagus, dan selayaknya sekolah selalu mendukung pengembangan guru secara terus menerus (OECD, 2014).
1
2
Dalam
laporan
hasil
penelitian
selama
empat
tahun
mengenai
pengelolaan guru di Indonesia yang dirilis oleh World Bank (2010) dan Kementerian Pendidikan Indonesia, disebutkan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia tidak mengalami peningkatan yang berarti dimana sumber terbesarnya adalah persoalan kualitas guru. Laporan yang diterbitkan oleh Bank Dunia tersebut menyebutkan bahwa dalam sensus tahun 2006 (satu tahun sejak diberlakukannya Peraturan Guru dan Dosen tahun 2005) mengenai jumlah guru yang memiliki kualifikasi pendidikan minimal S1/sederajat, hanya sekitar 37% dari total guru Indonesia yang memiliki kualifikasi tersebut, dan 26% guru hanya lulusan dari SMA ke bawah. Guru-guru dengan kemampuan yang rendah kerapkali memiliki motivasi yang rendah untuk meningkatkan dan memperbarui keterampilan dan kualifikasi mengajarnya (Jalal et al., 2009). Dalam hal ini peneliti menilai bahwa kompetensi yang rendah akan mempengaruhi efikasi-diri guru dalam mengajar yang pada akhirnya akan mempengaruhi motivasi dan semangat guru-guru tersebut untuk mengembangkan dirinya. Pada tahun 2004 Kementerian Pendidikan bermaksud melihat gambaran kompetensi profesional yang meliputi penguasaan mata pelajaran, kompetensi pedagogik, dan kemampuan akademik umum terhadap guru-guru sekolah dasar dan sekolah menengah. Hasil tes menunjukkan bahwa kompetensi guru sangat mengkhawatirkan. Selain persoalan kompetensi dan keterampilan profesional guru, laporan tersebut juga mengatakan bahwa motivasi dan usaha guru di Indonesia tergolong rendah. Tingkat ketidakhadiran guru di sekolah masih tinggi. Dari hasil visitasi oleh tim survei diperoleh data bahwa satu dari lima guru di Indonesia absen dari kelas, terutama sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil (World Bank, 2010)
3
Senada dengan laporan World Bank (2010), Jalal dkk. (2009) dalam laporannya mengatakan bahwa Indonesia mengalami kekurangan guru-guru yang berkualitas terutama dari segi akademik. Kemendiknas (2008, dalam Jalal dkk., 2009) melaporkan bahwa pada tahun 2006 terdapat 1,7 juta guru dari total 2,8 juta guru yang memiliki latar belakang pendidikan di bawah S1/D4, dan hal ini terjadi salah satunya disebabkan oleh rendahnya gaji guru. Gaji yang ditawarkan dalam mengajar tidak mampu menarik minat para kandidat-kandidat terbaik dan cemerlang untuk masuk ke dalam profesi mengajar (Lazear, 2003; Jalal, 2009). Calon-calon guru dengan kualifikasi yang lebih rendah justru lebih tertarik untuk menjadi guru karena proses rekrutmennya yang mudah dan tidak mensyaratkan kualifikasi yang tinggi. Bila dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang lain dengan latar belakang pendidikan yang sama, profesi guru hanya mampu memberikan gaji atau penghasilan yang lebih rendah. Dan bahkan bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga dan negara-negara yang lain, gaji guru di Indonesia terhitung sangat rendah. Hal ini yang akhirnya membuat profesi guru tidak prestisius. Namun menurut peneliti, persoalan gaji hanyalah salah satu faktor rendahnya motivasi guru, dan ada beberapa faktor lain yang lebih penting untuk diperhatikan, terutama yang bersifat internal dari dalam diri guru itu sendiri. Motivasi merupakan salah satu aspek dari guru yang memiliki kontribusi besar terhadap kesuksesan akademik siswa maupun kualitas pendidikan secara umum. Dalam berbagai literatur hasil penelitian disebutkan bahwa motivasi guru akan berpengaruh terhadap beberapa hal, termasuk didalamnya adalah; pilihan individu untuk menjadi guru (Richardson & Watt, 2006; Watt & Richardson, 2007, 2008), keterlibatan siswa dalam belajar (Skinner & Belmont, 1993), prestasi
4
belajar siswa ( Adeyinka, Asabi, & Adedotun, 2013), relasi guru-siswa (Butler, 2012), motivasi belajar siswa (Radel, Sarrazin, Legrain, & Wild, 2010; Skinner & Belmont,
1993),
inovasi
sekolah
(Schellenbach-Zell
&
Gräsel,
2010),
kesejahteraan siswa (Ryan & Deci, 2000), hingga identitas profesional (Canrinus, Helms-Lorenz, Beijaard, Buitink, & Hofman, 2011, 2012). Dari berbagai macam konsekuensi atau dampak positif dari motivasi guru tersebut, peneliti melihat bahwa motivasi guru sangat krusial sebagai penanda guru yang berkualitas. Namun, mengevaluasi motivasi guru adalah tantangan tersendiri mengingat tidak ada pengertian yang bersifat universal mengenai definisi motivasi guru (Guajardo, 2011). Selain itu, Hasan dan Hynds (2014) meyakini bahwa motivasi guru tidak bisa dipisahkan dari konteks budaya, termasuk di dalamnya persepsi pribadi, kondisi sosial-budaya, ekonomi, kebijakan pemerintah, dan kondisi geografis. Sehingga meskipun berada dalam satu negara, konsep motivasi pun bisa (agak) berbeda. McClelland (1988) mengatakan bahwa pada dasarnya manusia memiiki kebutuhan untuk berkembang dan berprestasi. Manusia terdorong untuk memenuhi kebutuhannya tersebut manakala ia memiliki harapan/tujuan dan melihat nilai dari tujuannya tersebut. Kebutuhan ini (need for achievement / nAch) pada dasarnya ada dalam setiap diri individu meskipun dengan derajat yang berbeda-beda. Kebutuhan ini tetap ada meski tanpa kehadiran imbalan eksternal sekalipun. Berbeda dari pendapat McClelland, Guajardo (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa imbalan eksternal yang berupa insentif masih banyak mempengaruhi motivasi atau semangat guru dalam mengajar. Dikatakan bahwa para guru yang berasal dari negara-negara berkembang dimana kebutuhan
5
dasar mereka belum terpenuhi secara stabil, insentif materi masih menjadi daftar atas sebagai motivator guru. Rendahnya motivasi guru diduga terjadi oleh karena gaji atau tunjangan yang rendah. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia yang ditengarai karena rendahnya kualitas kinerja guru mendorong pemerintah untuk mengeluarkan regulasi mengenai kualifikasi kelayakan guru melalui berbagai kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah (Jalal et al., 2009). Untuk itulah pada tahun 2005 pemerintah mengeluarkan UU Guru dan Dosen no. 14 yang berisi mengenai tugas, kewenangan, sekaligus hak guru dan dosen, termasuk hak mendapatkan pelatihan/pendidikan lanjutan dan mendapat tunjangan sertifikasi jika telah lulus sertifikasi. Pemerintah menilai bahwa banyak guru di Indonesia terutama di daerah-daerah masih memiliki kualifikasi yang rendah sehingga adanya program sertifikasi mendorong guru agar memenuhi syarat-syarat guru profesional yang telah diatur pemerintah. Selain persoalan kualifikasi akademik dan profesional, masalah gaji atau honor guru yang rendah diduga sebagai salah satu alasan kuat rendahnya motivasi dan komitmen guru. Program
sertifikasi
adalah
salah
satu
upaya
pemerintah
untuk
memastikan guru-guru memiliki kualifikasi kompetensi yang diharapkan (minimal lulusan S1/sederajat, mendapatkan pelatihan profesionalisme guru, dan memiliki jumlah jam mengajar minimal 24 jam per minggu). Sertifikasi dikelola oleh Kemendiknas dan Kemenag dimana Kemendiknas bertanggungjawab terhadap sekolah-sekolah
negeri
dan
swasta
umum,
sedangkan
Kemenag
bertanggungjawab terhadap madrasah-madrasah negeri dan swasta. Sertifikasi guru bertujuan agar persoalan motivasi guru teratasi karena kesejahteraan finansial guru semakin meningkat. Selain itu, dengan mendapatkan tunjangan
6
tersebut, kompetensi guru diharapkan meningkat karena evaluasi kinerja guru harus mencerminkan peningkatan kinerja. Namun sayangnya, pada tingkat proses seleksi dan evaluasi pasca lolos sertifikasi, penilaian kinerja yang dilakukan lebih mengandalkan dokumen-dokumen portofolio yang sangat rentan manipulasi dan kurang mengandalkan penilaian otentik. Mekanisme penilaian kinerja seperti itu pada akhirnya memunculkan keraguan akan efektivitas dari sertifikasi tersebut. Individu yang memiliki motivasi dan komitmen rendah diprediksi tidak akan mengalami peningkatan kualitas kerja yang berarti meskipun telah tersertifikasi. Khodijah (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa program sertifikasi tidak mempengaruhi peningkatan kualitas kinerja guru, baik guru madrasah maupun guru pendidikan agama islam di sekolah umum, baik yang melalui jalur portofolio maupun PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru), serta baik sekolah yang berlokasi di kota maupun di desa. Dari penelitian deskriptif komparatif tersebut bisa dijelaskan bahwa sertifikasi tidak mempengaruhi secara langsung kinerja guru baik setelah mengontrol tipe sekolah (madrasah atau sekolah umum) maupun lokasi sekolah (desa dan kota). Dari penelitian tersebut bisa diketahui bahwa tujuan sertifikasi guru untuk meningkatkan kinerja dan kualitas guru belum terlihat dan menurut peneliti terdapat hal yang lebih dari persoalan teknis-administratif dari guru yang perlu mendapat perhatian lebih. Selain proses seleksi dan dampak sertifikasi yang tidak menggembirakan, ada persoalan lain yang muncul. Dalam proses pelaksanaan pembayaran sertifikasi sering terjadi keterlambatan. Dari berita di liputan6 SCTV pada tanggal 10-9-2013 (Ali, 2013) diberitakan bahwa guru-guru di Mandailing Natal, Sumatera Utara, melakukan demo ke Pemerintah Daerah setempat agar tunjangan
7
sertifikasi segera dicairkan karena selama delapan bulan tunjangan tersebut belum dibayarkan. Kejadian ini mencerminkan kelemahan pelaksanaan sertifikasi dan pembayaran tunjangannya. Keterlambatan pembayaran sertifikasi telah diprediksi oleh Kemendikbud (Bank, 2010). Di dalam laporannya menyebutkan bahwa pembengkakan alokasi dana untuk tunjangan sertifikasi menggunakan dana APBN akan berimplikasi pada keterlambatan pembayaran tunjangan profesi. Oleh karena semakin banyak guru yang tersertifikasi, maka beban APBN untuk tunjangan profesi guru akan semakin besar. Jika memang ini terjadi, mekanisme pemberian tunjangan sertifikasi semacam itu menjadi diragukan efektifitasnya dalam mempromosikan peningkatan kualitas kinerja dan semangat guru. Ketika insentif eksternal menjadi pendorong utama guru mengajar, tentu tiadanya tunjangan akan menurunkan motivasi mereka dalam mengajar. Ketika motivasi guru sangat rapuh oleh faktor eksternal, maka muncul keraguan akan efektifitas insentif material. Dengan adanya kelemahan insentif material inilah, maka faktor-faktor lain yang bersifat internal yang mendukung motivasi guru dalam mengajar perlu dikaji lebih jauh. Pemangku kebijakan dan pengelolaan pendidikan dari pusat hingga tingkat satuan pendidikan perlu melihat faktor-faktor internal psikologis dari diri individu yang mempengaruhi kualitas dirinya sebagai tenaga pengajar. Motivasi guru dalam mengembangkan dirinya secara profesional tentu tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor kompetensi akademik dan seberapa besar gaji yang diterima. Secara teoretik dan beberapa bukti empirik, terdapat dua faktor yang berorientasi personal yang memiliki hubungan kuat dengan motivasi berprestasi
8
guru. Dua faktor tersebut adalah efikasi-diri dan komitmen profesi yang akan dilihat peranannya terhadap motivasi guru. Efikasi-diri guru memiliki hubungan erat terhadap motivasi guru dalam berprestasi dan mengembangkan dirinya. Efikasi-diri guru sangat mempengaruhi sikap dan kinerja guru di sekolah. Bandura (1982) mengatakan bahwa kemampuan dan keterampilan individu memang penting, namun belum cukup agar individu tersebut mampu menyelesaikan tugas-tugasnya. Manusia tahu apa yang harus dilakukan, namun pengetahuan tersebut tidak serta merta membuat dirinya mampu bertindak secara optimal. Ada persepsi yang memediasi antara pengetahuan dan tindakan manusia yakni melalui persepsi efikasi-diri yang pada akhirnya akan mempengaruhi motivasi dan perilaku mereka. Hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa efikasi diri guru memiliki hubungan positif terhadap banyak hal. Efikasi diri guru berhubungan kuat dengan kepuasan guru dalam mengajar (Caprara, Barbaranelli, Steca, & Malone, 2006; Karabiyik & Korumaz, 2014; Klassen & Chiu, 2012; Rosa & Alessandri, 2009), performansi guru dan keberhasilan siswa dalam belajar (Caprara, Barbaranelli, Steca, & Malone, 2006), tingkat stress guru (Canrinus et al., 2012; Vaezi & Fallah, 2011), identitas profesi (Canrinus et al., 2012), dan komitmen guru (Rosa & Alessandri, 2009). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa efikasi-diri memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku dan sikap guru. Bahkan Canrinus & Fokkens-Bruisma (2011) melihat adanya pengaruh efikasi-diri dan komitmen profesi terhadap motivasi guru. Bandura (1993) mengatakan bahwa keyakinan efikasi mempengaruhi orang dalam merasa, berfikir, memotivasi, dan berperilaku. Efikasi diri dianggap sebagai bagian dari dinamika motivasi yang mampu memprediksi perilaku
9
manusia (Tschannen-Moran, Hoy, & Hoy, 1998). Guru yang memiliki efikasi-diri yang tinggi akan memiliki afeksi positif terhadap tugas-tugasnya dan akan melakukan
usaha
agar
tugas
tersebut
terselesaikan.
Keyakinan
akan
kemampuannya dalam menyelesaikan tugas akan memberikan dorongan berperilaku tertentu dan mempengaruhi pengambilan pilihan-pilihan tindakan yang
mendukung
keberhasilannya
dalam
menyelesaikan
tugas
yang
dihadapinya. Di Indonesia, terutama guru-guru di sekolah swasta kelas menengah ke bawah dan di daerah terpencil, banyak sekali dijumpai guru yang mengajar bidang studi yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan guru itu sendiri (mismatched). Selain itu, banyak guru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan dan tidak pernah mendapatkan pelatihan yang memadai. Menurut laporan World Bank (2010) hanya sekitar 53% lulusan jurusan pendidikan keguruan di Indonesia yang menjadi guru. Profesi guru di Indonesia belum menjadi profesi yang prestisius layaknya di Singapura. Selain itu, laporan tersebut memberikan informasi mengenai kondisi guru Indonesia yang, bisa dibilang, jauh dari harapan. Dari segi kompetensi akademik guru, banyak guru di Indonesia yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang cukup (misal: hanya lulus SMA/sederajat) atau mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan sarjananya. Sebagai contoh misalnya, guru lulusan Pendidikan Agama Islam mengajar matematika atau ilmu sosial, guru lulusan Dakwah mengajar bahasa Indonesia, guru lulusan ekonomi mengajar IPA, dan banyak kasus lain yang serupa. Meskipun guru memiliki latar belakang pendidikan akademik yang cukup dan linier, namun banyak diantaranya yang tidak dibekali pelatihan yang memadai agar guru memiliki kemampuan mengajar
10
yang baik. Hal ini menjadi pertanyaan peneliti, apakah guru-guru tersebut memiliki efikasi diri yang tinggi dalam mengajar mata pelajaran tersebut. Selain itu, karakteristik peserta didik pun mempengaruhi efikasi-diri guru. Mengajar anak usia diri, anak sekolah dasar, dan menengah yang memiliki kekhasan tahapan perkembangan menuntut guru untuk memiliki kompetensi pedagogik. Semakin tinggi jenjang pendidikan dimana guru mengajar tentu berdampak pada persepsi keyakinan akan kemampuannya dalam mengajar. Tidak persoalan penguasaan materi (content mastery) saja, guru-guru yang bukan dari jurusan pendidikan (dari disiplin ilmu murni, misal; jurusan biologi, jurusan olahraga, dll) pun bisa jadi memiliki efikasi yang kurang tinggi jika dihadapkan pada tuntutan kemampuan didaktik dan pedagogik seperti pengelolaan kelas, penyusunan rencana pembelajaran, penentuan strategi belajar-mengajar yang tepat, dan pengelolaan perilaku peserta didik. Dari kondisi ini, bisa dipahami bahwa kompetensi yang mereka miliki berpengaruh terhadap kondisi efikasi-diri mereka dalam mengajar. Penelitian yang dilakukan oleh Klassen dan Chiu (2012) menunjukkan bahwa masa mengajar dan jenjang sekolah mempengaruhi tingkat efikasi-diri guru. Hal ini dipahami karena salah satu sumber terbentuknya efikasi-diri adalah pengalaman (Bandura, 1997). Semakin berpengalaman individu, semakin kuatlah keyakinan individu akan kemampuannya. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa efikasi-diri guru pemula agak rendah, lalu meningkat dan mencapai puncaknya pada pertengahan masa mengajar, lalu menurun di akhir masa mengajar. Pada aspek jenjang sekolah, guru yang mengajar di jenjang yang lebih rendah memiliki efikasi diri (pada pengelolaan kelas dan keterlibatan siswa) yang lebih tinggi dibandingkan jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dari
11
penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa efikasi-diri guru sekolah menengah secara umum lebih rendah dibandingkan guru yang mengajar di sekolah dasar dan pra sekolah. Efikasi-diri ini dilihat dari penguasaan materi yang lebih kompleks, karakteristik siswa pada usia remaja, dan juga jumlah siswa atau kelas yang diampu. Berbeda dari guru SD yang sebagai guru kelas dan mengajar di satu kelas saja, guru pada jenjang sekolah menengah adalah guru mata pelajaran dan mengajar banyak kelas yang memiliki tantangan yang lebih besar dan hal ini diasumsikan berpengaruh terhadap efikasi-diri guru. Sebagai sebuah profesi, mengajar memiliki tuntutan untuk menjadi profesional. Dalam UU Sisdiknas 2003 no. 20 Bab Pendidik dan Tenaga Kependidikan pasal 40 disebutkan bahwa salah satu tugas guru adalah harus “mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan”. Profesional disini bermakna bahwa menjadi guru adalah sebuah profesi dimana terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh guru. UU Sisdiknas No 14 tahun 2005 menyebutkan bahwa guru professional harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Lebih dari itu, kualitas guru harus ditunjukkan dengan kinerja yang bisa dinilai. Sayangnya penilaian kinerja tidak terjadi di tingkat satuan pendidikan (baca; sekolah) melainkan oleh pemerintah melalui LPTK dan hanya berupa penilaian portofolio yang pelaksanaannya banyak guru dan pihak sekolah yang melanggar nilai kejujuran. Penilaian portofolio inilah yang menjadi cara LPTK untuk membuat penilaian terhadap guru sebagai dasar pemberian sertifikasi. Dari mekanisme penilaian semacam ini, faktor-faktor kualitas pribadi tidak bisa dilaporkan dalam dokumen dan luput dari perhatian. Komitmen guru terhadap
12
profesinya yang peranannya sangat penting dalam pendidikan pun tidak bisa dengan mudah dilihat oleh tim asesor. Komitmen guru dalam mengajar merupakan faktor penting dalam mendukung pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Guru yang memiliki komitmen tinggi akan berusaha mengatasi kondisi-kondisi yang menghambat pelaksanaan pendidikan,
memiliki
kecintaan
terhadap
profesi,
memiliki
antusiasme,
bersemangat, dan berdedikasi. Komitmen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komitmen terhadap profesi, bukan terhadap organisasi atau sekolah dimana guru mengajar. Dalam konteks Indonesia, guru sekolah menengah kerap mengajar di lebih dari satu sekolah. Hal ini dikarenakan bahwa mereka adalah guru mata pelajaran dan bukan guru kelas, sehingga memiliki keluwesan dalam mengajar di lebih dari satu sekolah/madrasah. Ketika komitmen merujuk pada komitmen terhadap organisasi, maka akan terjadi kebingungan pada guru mengenai komitmen terhadap sekolah mana yang dimaksud; sekolah A atau B?. Sehingga pada akhirnya pengukuran komitmen terhadap organisasi tersebut akan mengurangi ketepatan tujuan ukur. Untuk itu, komitmen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komitmen terhadap profesi guru. Day (2009) dalam artikelnya menyebutkan bahwa menyiapkan pendidikan yang berkualitas melalui guru-guru yang berkualitas sangatlah mendesak demi melihat perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu pesat. Menurutnya kualitas tidak hanya terletak pada pengetahuan dan keterampilan yang didapat sebelum dan selama menjadi guru, namun juga gairah atau semangat tinggi dalam mengajar. Gairah atau semangat (passion) inilah yang ia sebut juga sebagai komitmen. Ia pun mengutip pernyataan Darling-Hammond (2000) tentang kekuatan pengaruh faktor-faktor yang berasal dari guru. Ia mengatakan
13
bahwa guru memiliki pengaruh yang jauh lebih besar terhadap siswa daripada latar belakang siswa, jumlah siswa dalam kelas, dan bahkan gaji guru. Untuk itu, faktor-faktor internal guru seperti motivasi berprestasi yang ditunjukkan dalam semangat dan pengembangan diri, efikasi-diri, dan komitmen terhadap profesi perlu dikaji lebih jauh karena hal-hal tersebut sangat mempengaruhi kualitas guru. Geer (1973) mengulas tentang komitmen kerja dan profesi guru dengan membuat analisis perbandingan profesi guru dengan profesi-profesi yang lain. Geer menilai bahwa komitmen guru tergolong rendah dan ia menunjukkan beberapa faktor rendahnya komitmen guru. Hasil dari beberapa penelitian penelitian yang ia kutip menunjukkan bahwa banyak guru yang keluar dari pekerjaannya karena ketidakpuasan mereka terhadap gaji dan lingkungan kerjanya. Selain itu, ia menilai bahwa guru kurang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang memadai. Dibandingkan dengan pekerjaan lain, profesi guru memerlukan kompleksitas kemampuan yang tidak diimbangi dengan pendidikan dan ketrampilan yang cukup. Lebih dari itu, profesi guru juga dianggap sebagai pekerjaan
monoton
dengan
rutinitas
yang
stagnan,
memiliki
audiens
(baca=siswa) yang sangat terbatas, tidak ada penilaian kinerja, dan bahkan tidak ada jenjang karir. Meskipun kajian Geer (1973) tersebut adalah kajian lama, namun masih memiliki kesamaan temuan dengan studi-studi komitmen terkini (Somech & Bogler, 2002; Hakanen, Bakker, & Schaufeli, 2006; World Bank, 2010) Selain analisis kondisi guru yang berimplikasi terhadap komitmen profesi mereka, guru merupakan salah satu jenis pekerjaan yang memiliki ketidak seimbangan antara tuntutan kerja (job demand) dan sumber kerja (job
14
resources). Simbula, Panari, Guglielmi, dan Fraccaroli (2012) dalam penelitian mereka menemukan bahwa sumber-sumber yang tinggi (high job resources) yang mendukung pekerjaan sangat mempengaruhi pengembangan pribadi guru yang berdampak pada kesejahteraan (wellbeing) guru. Kondisi guru di Indonesia yang memiliki tuntutan tugas yang tinggi dengan sumber atau dukungan yang tidak mencukupi bisa mengganggu efikasi-diri guru. Adanya ketimpangan antara harapan umum mengenai peningkatan kualitas pendidikan melalui guru-guru yang berkualitas dan bukti-bukti empiris mengenai kurang efektifnya upaya pemerintah untuk meningkatkan motivasi guru melalui tunjangan profesi program sertifikasi, peneliti melihat urgensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Penelitian ini bermaksud menguji sejauh mana kekuatan faktor-faktor pendukung motivasi yang lebih bersifat internal-personal (efikasi-diri dan komitmen profesi) dan status sertifikasi yang bersifat eksternal terhadap motivasi guru. B. Rumusan Permasalahan
Dari latar belakang penelitian diatas, peneliti ingin menjawab pertanyaan penelitian berikut ini: 1. Apakah efikasi-diri, komitmen profesi, dan status sertifikasi secara bersamasama dapat memprediksi motivasi berprestasi guru? C. Tujuan dan Manfaat a. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji sejauh mana peran efikasi-diri, komitmen profesi, dan status sertifikasi dalam memprediksi motivasi berprestasi
15
guru. Lebih jauh peneliti ingin melihat bagaimana dinamika hubungan dan seberapa kuat pengaruh variabel-variabel yang berorientasi internal (efikasi-diri dan komitmen profesi) dan yang berorientasi eksternal (tunjangan profesi melalui sertifikasi) dalam memprediksi motivasi guru untuk berprestasi dan bagaimana kombinasi ketiga variabel tersebut dalam memprediksi motivasi berprestasi guru. b. Manfaat
1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini menambah temuan-temuan baru dalam kajian teori motivasi berprestasi, terutama pada faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi guru dalam mengajar. Berbagai penelitian banyak yang melihat motivasi bersumber dari faktor-faktor eksternal (misal: insentif materi, reward, gaya kepemimpinan, dukungan/relasi sosial, dan iklim sekolah/organisasi). Penelitian ini akan menambah temuan baru peranan efikasi-diri dan komitmen berinteraksi dengan status sertifikasi terhadap motivasi. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini bisa menjadi salah satu landasan bagi pihak sekolah dalam menyeleksi guru-guru yang menunjukkan efikasi-diri, komitmen, dan motivasi dalam mengajar sebagai bagian dari faktor-faktor yang lebih berorientasi personal (personal-oriented). Selain itu, penelitian ini menguatkan temuan-temuan yang sebelumnya bahwa pendidikan atau pelatihan bagi guru sangat penting untuk meningkatkan efikasi, komitmen, dan motivasi guru yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Bagi pihak penyelenggara pendidikan, calon guru, dan pemerintah, penelitian ini juga memberikan gambaran bahwa kualitas pendidikan peserta didik sangat
16
terkait erat dengan persiapan guru sejak dalam masa pendidikan pra-guru dan pelatihan tambahan pada masa jabatan (in-service learning) secara terus menerus, mengingat pelatihan profesi guru sangat mendukung peningkatan efikasi-diri, komitmen, serta motivasi guru. Bagi pihak Universitas atau Perguruan Tinggi yang memiliki jurusan Pendidikan Guru, penelitian ini bisa memberi gambaran sekaligus kerangka berpikir bahwa kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas guru. Dan kualitas guru sangat dipengaruhi oleh bagaimana calon-calon guru tersebut dipersiapkan, diseleksi, serta diberikan pelatihan praktis yang cukup sebelum terjun mengajar. Tanpa adanya seleksi awal sebelum pengambilan jurusan, bisa dilihat bahwa banyak sekali lulusan kependidikan yang tidak terjun dalam profesi guru (World Bank, 2010). Tidak semua mahasiswa di jurusan pendidikan memiliki hasrat untuk menjadi guru, sehingga pendidikan yang ia tempuh semasa kuliah kurang berdampak pada penyiapan tenaga pendidik di Indonesia.
D. Perbedaan Dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian
mengenai
efikasi-diri,
komitmen
profesi,
dan
motivasi
berprestasi telah banyak dilakukan, namun peneliti belum melihat ketiga variabel tersebut disandingkan secara bersamaan dengan status sertifikasi guru dalam konteks Indonesia. Dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa efikasi-diri memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja (Caprara et al., 2006; Karabiyik & Korumaz, 2014; Klassen & Chiu, 2012; Rosa & Alessandri, 2009), mendukung prestasi akademik siswa (Caprara et al., 2006), mempengaruhi performansi/unjuk
17
kerja guru (Ozder, 2011; Hadjam & Widhiarso, 2011), dan memprediksi komitmen guru (Rosa & Alessandri, 2009). Lebih lanjut, Tschannen-Moran dan Hoy (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa efikasi-diri guru pemula dan guru lama memiliki tingkat yang berbeda dikarenakan faktor pengaruh yang berbeda, terutama pada aspek lama mengajar atau pengalaman. Dari aspek pengalaman, guru lama memiliki tingkat efikasi yang lebih tinggi daripada guru pemula. Dari beberapa penelitian tersebut, peneliti belum melihat variabel efikasidiri berperan sebagai prediktor motivasi berprestasi. Dalam kaitan dengan variabel komitmen, peneliti menemukan terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa komitmen guru baik terhadap organisasi maupun terhadap profesi bisa dipengaruhi oleh pemberdayaan guru (Bogler & Somech, 2004) dan efikasi-diri guru (Rosa & Alessandri, 2009). Komitmen kerja juga seringkali dikaitkan dengan motivasi (Van den Berg, Vuuren, & Boer, 2011; Meyer, Becker, & Vandenberghe, 2004). Disini komitmen lebih dilihat sebagai konsekuensi dan bukan sebagai prediktor. Crosswell dan Elliot (2004) memaknai komitmen sebagai passion atau gairah dalam mengajar yang mereka simpulkan dari penelitian kualitatif yang mereka lakukan. Berbeda dari penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini peneliti meletakkan komitmen terhadap profesi sebagai prediktor motivasi berprestasi guru. Sertifikasi guru di Indonesia mengundang perhatian banyak peneliti untuk melihat sejauh mana efektifitas proses serta dampaknya. Sebagian menemukan bahwa sertifikasi berdampak positif bagi peningkatan motivasi dan kinerja guru, sebagian lainnya menemukan sebaliknya. Penelitian mengenai sertifikasi telah banyak dilakukan, dan kebanyakan mengkaji dampak atau pengaruh sertifikasi terhadap kinerja guru (Mutmainnah, 2010; Triyanto, 2012; Istiarni, 2012,
18
Hurmaini, 2011, Sulastri, 2011; Kurniawan, 2011; Simanullang, 2012; Paisal, 2015), terhadap mutu pendidikan (Hafni, 2010), dan juga terhadap prestasi siswa (Fahmi, Maulana, & Yusuf, 2011). Meskipun penelitian-penelitian tersebut menempatkan sertifikasi sebagai prediktor, namun peneliti belum melihat kajian mengenai sertifikasi secara simultan dengan variabel efikasi-diri guru dan komitmen profesi serta pengaruhnya terhadap motivasi guru. Selain itu, beberapa penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif yang berbeda dari penelitian ini yang menggunakan pendekatan kuantitatif inferensial. Dalam kajian mengenai motivasi menunjukkan bahwa persepsi siswa mengenai guru yang memiliki motivasi mengajar sangat mempengaruhi motivasi siswa itu sendiri (Radel, Sarrazin, Legrain, & Wild, 2010) dan dukungan guru mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar dan motivasi siswa tersebut pada akhirnya mempengaruhi motivasi guru yang terjadi secara timbal balik (Skinner & Belmont, 1993). Pada penelitian lain, Watt dan Richardson (2008) melakukan studi mengenai motivasi mahasiswa jurusan kependidikan dalam memilih profesi guru. Mintrop dan Ordenes (2013) melihat keterkaitan antara motivasi kerja guru dengan insentif yang bersifat ekstrinsik. Meskipun mengkaji variabel yang sama, namun penelitian-penelitian tersebut belum melihat dinamika hubungan motivasi berprestasi dengan efikasi-diri, komitmen terhadap profesi, dan status sertifikasi guru secara bersama-sama. Dari penelitian-penelitian di atas, peneliti melihat belum ada penelitian yang melihat hubungan empat variabel seperti dalam penelitian ini sekaligus. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana motivasi berprestasi guru diprediksi oleh efikasi-diri, komitmen terhadap profesi, dan status sertifikasi guru. Penelitian ini berbeda dari sebelumnya karena belum ditemukan penelitian yang
19
menggunakan keempat variabel tersebut sekaligus, berbeda dalam subyek penelitian dimana subyeknya adalah guru-guru sekolah menengah baik SMP/MTs maupun SMA/MA, dan berbeda dalam melihat hubungan antar variabel penelitian. Selain itu variabel kategorik yakni status sertifikasi guru sangat kontekstual dengan kondisi sistem pendidikan di Indonesia yang pelaksanaannya berbeda dari negara-negara lain.