BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Mite merupakan salah satu jenis ceritera prosa rakyat, disamping legenda dan dongeng (Danandjaya, 1991: 50). Dalam perkembangannya, mite, legenda dan dongeng di Indonesia tidak hanya digubah atau dituturkan dalam bentuk prosa, tetapi juga digubah atau dituturkan dalam bentuk puisi, dan bahkan ada dalam bentuk perpaduan antara prosa dan puisi (Riyadi, 2007: 2), serta ada juga yang dituturkan melalui verbal. Oleh karena itu, orang Sasak telah menceriterakan asal usulnya melalui legenda dan verbal, dan bahkan, begitu juga yang terjadi diberbagai belahan dunia manapun. Namun, kondisi masyarakat Sasak pada akhir dasawarsa ini yang sudah mulai meninggalkan ceritera tuturnya melalui verbal dan legenda seperti halnya ceritera Doyan Neda dan ceritera-ceritera lainnya. Sebagaimana orang tua sudah jarang menceriterakan Doyan Neda untuk anak-anaknya, begitu juga kakek dan nenek untuk cucu-cucunya. Di sini, ceritera Doyan Neda lebih dikenal dengan ceritera témelak mangan, rakus makan, di kalangan masyarakat Sasak secara umum, baik di Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur dan Lombok Utara. Akan tetapi, sebutan témelak mangan, rakus makan, dalam pandangan budayawan Sasak “sangat kasar”, kemudian diganti dan diperhalus bahasanya menjadi Doyan Neda. Pada suatu hari pada tahun 2004 saya membaca sebuah artikel yang mengangkat tema mengenai: “Identitas Sasak (Redefinisi Komunitas yang Terbayang)” yang ditulis oleh Sukri (2004), dalam tulisannya itu pada paragraf pertama dia mengatakan bahwa “untuk mengetahui asal-usul orang Sasak terdapat dari legenda dan kitab-kitab Babad. Dari legenda Doyan Neda ini ada dua tingkat perkembangan tentang asal-usul orang Sasak, yang pertama; menjelaskan bahwa orang-orang pada awalnya merupakan penjelmaan 40 jin purwangsa yang mendiami Gunung Rinjani dan dari keempat puluh jin tersebut diperintahkan oleh rajanya yang bernama Dewi Anjani untuk turun ke Pulau Lombok mendiami bumi
2
dan diwujudkan menjadi manusia, kemudian merekalah yang merupakan nenek moyang pertama orang Sasak, dan pada akhirnya bahwa dari 40 jin yang menjelma menjadi manusia inilah yang menurunkan tokoh-tokoh yang mendirikan kerajaan-kerajaan di pelbagai pulau Lombok seperti Selaparang, Pejanggik, Langko dan Bayan. Dan tingkat perkembangan yang kedua; menjelaskan bahwa beberapa orang raja yang menguasai negeri, masing-masing mengawini putri-putri raja Majapahit, raja Madura dan raja Jawa, yang kemudian berkelanjutan dengan pengiriman rakyat dari pulau Jawa untuk negeri putrinya ataupun untuk negeri menantu”. Setelah membaca artikel ini saya bagaikan terhipnotis mengenai asal-usul orang Sasak dari naskah Doyan Neda ini, khususnya ceritera yang pertama mengenai jin yang mewujud menjadi manusia yang kemudian dipercaya menjadi nenek moyang pertama orang Sasak dan perwujudan jin yang berubah menjadi manusia ini juga menurunkan tokoh-tokoh yang mendirikan kerajaan-kerajaan di pulau Lombok. Saya beranggapan bahwa legenda ini hanyalah dongeng sebelum tidur yang diceriterakan oleh orang tua, nenek dan kakek kepada anak-anaknya serta cucu-cucunya. Artinya bahwa dongeng ini hanyalah “angin lalu” dan tidak ada artinya dalam fenomena sosial-budaya. Persepsi ini pun berubah ketika saya mengikuti matakuliah Analisis Mitos. Pemahaman mengenai mitos pun lebih terbuka dari sebelumnya, yang artinya bahwa untuk mengkaitkan mitos dengan fenomena sosial-budaya di sekitarnya. Seperti halnya dengan mitos orang Sasak mengenai asal-usul orang pertama yang mendiami pulau Lombok yang secara implisit menceriterakan antara dunia alam gaib dan dunia empiris yang tidak bisa terpisahkan dari alur ceriteranya. Sebenarnya keberadaan mitos bukanlah hal yang asing, dan sayang sekali, kajian mitos yang telah begitu berkembang di dunia Barat ini tidak begitu tampak jejaknya dalam dunia ilmu pengetahuan di Indonesia. Khususnya dalam bidang humaniora. Oleh karena itu masih sangat diperlukan kajian-kajian ceritera rakyat yang lebih serius dan teoritis di negeri kita, untuk dapat mengungkapkan maknamakna yang lebih dalam dari berbagai ceritera tersebut, serta menampilkan berbagai dimensi baru bagi kita, sebab suatu dongeng atau mitos acapkali tidak
3
hanya merupakan sebuah dongeng yang tanpa arti atau sekedar alat penghibur di waktu senggang saja, tatapi lebih dari itu (Ahimsa-Putra, 2006: 181). Semua pendapat mengenai mitos dan mitologi ini tepat dengan definisi yang diberikan oleh kamus1 tentang mitos: “tradisi dari zaman prasejarah, biasanya berhubungan dengan salah satu dewa atau suatu kekuatan alam yang dipersonifikasikan; juga: ceritera yang tidak mengandung kebenaran”. Akan tetapi definisi demikian itu tidak dapat digunakan dalam antropologi budaya. Antropologi budaya justru menyelidiki kelompok-kelompok yang masih menerima mitos sebagai kebenaran, lebih khusus lagi sebagai kebenaran asal-usul manusia dan dunia kosmologi. Istilah mitos ditemukan sebagai bagian dari suatu kepercayaan yang hidup di antara sejumlah bangsa, dan bangsa ini tidak mesti bangsa yang primitif, melainkan juga mewabah pada masyarakat modern (Ahimsa-Putra, 1997: ix). Sebagaimana masyarakat Sasak juga mempercayai adanya air di Taman Narmada yang konon bisa bikin awet muda dan mberkahi (Sutadi dalam KR edisi 9 Februari 2009), selain itu, Gunung Rinjani yang terdapat di Lombok dipercayai merupakan tempat kediaman Tuhan dan leluhur mereka (Penganut Islam Wetu Telu)2, dan begitu juga orang Sasak dalam menjalankan tradisi upacara Bau Nyale yang menurut legenda. “Bahwa Nyale atau cacing laut adalah merupakan reinkarnasi dari Putri Mandalika yaitu seorang Putri yang cantik dan berbudi luhur yang menceburkan dirinya ke laut karena tidak ingin mengecewakan para pangeran yang memperebutkannya dan kemunculannya di pantai laut selatan Pulau Lombok hanya terjadi sekali setahun yang ditandai dengan keajaiban alam sebagai karunia Tuhan kepada hambanya, maka bagi masyarakat Lombok Selatan banyaknya Nyale yang muncul merupakan karunia Tuhan sebagai tanda akan mendapatkan hasil panen yang baik3”. Mitos dipandang sebagai hasil dari konstruksi budaya suatu daerah, kemudian dijadikan sebagai kebenaran dalam masyarakat yang memiliki mitos tersebut tanpa mengetahui makna di balik ceritera mitos itu. Pikiran senada yang 1
Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta (1961), Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Badudu dkk (1994). 2 http://ms.wikipedia.org/wiki/Agama Wetu Telu. 3 http://ms.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan Kabupaten dan Kota Provinsi NTB.
4
dikemukakan oleh Carl Jung (dalam Dhavamoni, 1995: 152) bahwa masyarakat primitif tidaklah melakukan perekaan terhadap mitos melainkan menghayatinya. Oleh
karena
itu,
diperlukan
penelitian
terhadap
mitos
supaya
dapat
mengungkapkan jalan pikiran yang terdapat di balik ceritera mitos tersebut sehingga dapat mengetahui relasi mitos dan realitas sehari-hari masyarakat. Bagaimanapun juga pada zaman modern ini banyak orang yang menganggap mitos sebagai ceritera “khayal”, “ilusi” atau “dongeng” untuk menidurkan si kecil. Kemudian dari penyelidikan yang dilakukan oleh Eliade menunjukkan bahwa anggapan ini keliru. Bahkan mungkin kita merasa heran mendengar pernyataannya bahwa mitos tidak hanya mempunyai makna yang dalam, melainkan juga mempunyai peranan yang menentukan dalam kehidupan masyarakat kuno. Bagaimana mungkin “hidup-mati” manusia yang bebas di alam ini hanya ditentukan oleh mitos yang mereka “buat” sendiri? Mungkin sulit juga untuk menerima pernyataannya yang lain bahwa mitos-mitos kuno itu masih hidup dan mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam masyarakat (Susanto 1987: 7). Mitos
juga
memiliki
tiga
karakteristik
dalam
pendefinisian
di
Encyclopedia of Cultural Anthropology. Yang pertama, mitos merupakan sebuah story (ceritera atau kisah). Kedua, mitos ini mempunyai kaitan dengan yang “suci” atau yang “sakral” di dalam pengertian Emile Durkheim, maka dari perkataan orang-lah yang memberikan penghormatan dalam masyarakat di mana mitos itu diceriterakan. Dan yang ketiga, menggambarkan kejadian di dalam kisah suci ini di-setting atau di bentuk pada awalnya di suatu usia yang sebelumnya yang menurut situasi dan kondisi yang berbeda dari usia masa kini (Lévinson dan Ember (ed.)), 1996: 827-828). Maka kaitannya dengan yang “sakral” atau yang “suci” merupakan sebuah kepercayaan terhadap hal-hal yang misterius, yang sulit diterima akal manusia. Kepercayaan ini tidak hanya merebak pada masyarakat primitif (tradisional), melainkan juga mewabah pada masyarakat modern. Itulah sebabnya, pandangan Lévi-Strauss tentang mitos masa lalu tetap berlaku sampai sekarang. Dia mengemukakan, bahwa pemikiran orang tempo dulu dan modern seperti halnya istilah bricoleur (tukang, pengrajin) dan ingenieur (insinyur). Jika
5
manusia dulu tergolong cold society (dingin, beku) dan manusia modern tergolong hot society (panas, progresif) esensinya tetap sama yaitu bergerak. Kedua segmen masyarakat itu tetap mempercayai dunia lain yang mereka anggap wilayah gaib. Biarpun masyarakat “panas” cenderung seperti lokomotif yang membakar batubara dan masyarakat “dingin” sekedar seperti jarum jam dinding di rumah tua, yang senantiasa memutar siklus, urgensinya tetap senada. Mereka, sama-sama sulit melepaskan mitos-mitos yang berada di atas kemampuan dirinya (AhimsaPutra, 1997: ix). Orang-orang yang memiliki kepercayaan seperti di atas sebenarnya tidak keliru. Mereka justru memiliki pijakan hidup tersendiri. Kemudian, penjelasan Dhavamony (1995: 156) yang menggunakan fenomenologi sebagai sebuah pijakan dalam melihat suatu masyarakat yang di kajinya, seperti halnya mitos dalam masyarakat menjadi sebuah fenomena yang dapat dipercaya atau diyakini kebenarannya, maka mitos dibagi menjadi enam macam, yaitu: pertama, mitos penciptaan, yakni mitos yang menceriterakan penciptaan alam semesta yang sebelumnya tidak ada; kedua, mitos kosmogonik yang mengisahkan penciptaan alam semesta, hanya saja penciptaan tersebut menggunakan sarana yang sudah ada atau dengan perantara; ketiga, mitos asal-usul, yang mengisahkan asal-mula atau awal segala sesuatu; keempat, mitos-mitos mengenai para dewa dan para makhluk adikodrati lainnya; kelima, mitos-mitos yang berkaitan dengan kisah terjadinya manusia diciptakan oleh Tuhan dari segala bahan materi, misalnya dari lumpur, dll; keenam, mitos-mitos yang berkenaan dengan transformasi, yaitu mitos yang menceriterakan perubahan-perubahan keadaan dunia manusia dikemudian hari. Penjelasan di atas, maka asumsi yang terbangun adalah pada masyarakat suku bangsa Sasak mengenai asal-mulanya yang merupakan penjelmaan langsung dari dunia gaib, bahwa pengaturan pola hubungan manusia dengan Tuhannya yang tertata dengan nilai dasar yang dibangunnya, dan melalui pola inilah yang akan menciptakan atau awal terbentuknya berbagai macam ritus orang Sasak pada upacara peristiwa alam dan kepercayaan sebagai penghormatan terhadap kekuatan
6
gaib dengan cara mengundang “tamu agung”4 dalam upacara perang ketupat, pertanian dan sebagainya. Akan tetapi, terlepas dari semua ini bahwa sebagaimana yang dijelaskan oleh Lévi-Strauss yang juga terinspirasi oleh S. Freud, mengenai mitos yang pada dasarnya adalah ekspresi atau perwujudan dari unconscious wishes, keinginan-keinginan yang tidak disadari, sehingga sedikit banyaknya tidak konstan, tidak klop atau tidak sesuai dengan kenyataan seharihari. Sehingga di dalam kejadian-kejadian tersebut lantas dapat dimengerti, dipahami artinya, diketahui relasi-relasinya dengan hal-hal yang lain dalam kehidupan sehari-hari (Ahimsa-Putra, 2006). Selain itu juga, asumsi yang terbangun dari ceritera mengenai jin yang menjelma menjadi manusia ini sebenarnya terdapat berbagai makna yang mendalam mengenai struktur masyarakat Sasak yang ada sampai sekarang ini. Dari struktur masyarakat yang paling nampak dipermukaan dengan masih adanya stratifikasi dalam kehidupan sosial, seperti halnya dengan pengagungan “trah keturunan menak, bangsawan, dan tuan guru” dalam komunalitas, lokalitas masyarakat Sasak (Badrun, 2006), walaupun sekarang ini dikatakan sebagai zaman modern yang tidak memandang mengenai stratifikasi sosial (penyetaraan golongan/kelas), akan tetapi masih ada dan nampak jelas dalam fenomena masyarakat Sasak dewasa ini.
B. Permasalahan Budaya orang Sasak masih menjadi sebuah kerahasiaan. Berbagai penelitian tentang kehidupan dan kebudayaan orang Sasak telah mampu menggali sedikit demi sedikit kerahasiaan di balik fenomena kehidupannya. Fenomena kehidupan dari kerahasiaan orang Sasak itu dapat dilihat melalui mitos atau dongeng yang merupakan fenomena bahasa. Bahasa, seperti diketahui, merupakan 4
“Tamu Agung” yang di maksud adalah para petinggi bangsa jin yang bersemayam di Gunung Rinjani dan Gunung Agung di Bali, dan “tamu agung” ini sengaja diundang pada saat upacara Perang Ketupat. Upacara Perang Ketupat ini di adakan setelah tujuh hari pada hari raya ‘Idul Fitri. Dan Perang Ketupat di sini juga diasumsikan sebagai puncak etis wujud kearifan lokal (lokal naratif) bagi masyarakat suku bangsa Sasak dan suku bangsa Bali yang menetap di Lombok, secara eksklusif. Muatan imanen dari sisi ini adalah keterlibatan keyakinan, sisi mitos manusia yang tersublimasi dalam bentuk fanatisme dan keyakinan akan kebenarannya dan kalau kita melihat dalam membangun mitologis manapun, ada beberapa peristiwa nyata mengandaskan bahwa didasarkan pada fakta historis atau suatu kepercayaan yang lebih spesifik dengan melahirkan praktek-praktek yang taat pada aturan adat dan agama.
7
suatu sistem simbol yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan. Demikian juga halnya dengan mitos, yang merupakan sebuah ceritera, yang juga digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Atas dasar pandangan inilah, hingga kini orang masih selalu berusaha mencari dan menggali pesan-pesan yang dianggap ada di balik berbagai mitos di muka bumi (Ahimsa-Putra, 1997: xxxixxxii). Mitos diciptakan orang untuk menyampaikan pesan, sehingga tidak mungkin membuat suatu konsepsi yang mengandung arti tanpa adanya (konsep mengenai) aturan. Tugas seorang antropolog di sini adalah untuk menemukan tatanan (order) tersebut sehingga dapat menemukan pesan yang dibawanya. Bertolak dari permasalahan tersebut maka lewat kajian ini mencoba untuk menggali dan menemukan struktur pemikiran orang Sasak melalui ceritera rakyatnya. Pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss sebagai pendekatan yang tepat untuk menjawab permasalahan yang bersifat struktural. Untuk menemukan struktur pemikiran orang Sasak, diperlukan beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah mitos atau ceritera asal usul orang Sasak dari naskah Doyan Neda memiliki keteraturan-keteraturan tertentu? 2. Pesan-pesan apakah yang sebenarnya berada di balik mitos atau ceritera asal usul orang Sasak? 3. Bagaimanakah orang Sasak memaknai mitos atau ceritera asal usulnya dalam kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini diharapkan untuk mendapatkan: 1. Memahami mitos atau ceritera asal usul orang Sasak dari legenda Doyan Neda memiliki keteraturan-keteraturan tertentu. 2. Mengungkapkan pesan-pesan apakah yang sebenarnya berada di balik mitos atau ceritera asal usul orang Sasak dalam menemukan suatu struktur yang ada di balik fenomena budaya orang Sasak dengan menggunakan analisis Strukturalisme Lévi-Strauss. 3. Pengetahuan dan pemahaman orang Sasak memaknai mitos atau ceritera asal usul-nya dalam kehidupan sehari-hari.
8
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini: 1. Kiranya dapat memberikan sumbangan analisa bagi perkembangan ilmu humaniora, khususnya ilmu antropologi. Perkembangan dalam ilmu antropologi yang dimaksudkan adalah pemahaman mengenai struktur analisis mitos. 2. Diharapkan lewat pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss dapat menemukan suatu pengetahuan tentang struktur yang ada di balik fenomena budaya orang Sasak. Adanya pengetahuan tersebut dapat memberikan suatu pemahaman mengenai cara berpikir dan bertindak orang Sasak dalam berbudaya dan diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah dan memperkaya sejumlah daftar penelitian mengenai berbagai fenomena sosial budaya orang Sasak yang dikaji secara antropologis. 3. Diharapkan juga kajian tentang struktur budaya orang Sasak dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi penting dalam ilmu antropologi dan dapat digunakan oleh para peneliti atau peminat lainnya yang tertarik untuk mengkaji lebih mendalam berbagai fenomena sosial budaya orang Sasak.
E. Kajian Pustaka Kajian pustaka ini akan terbagi menjadi dua pembahasan, bagian yang pertama, kajian analisis struktural Lévi-Strauss dan bagian kedua, kajian masyarakat Lombok.
Kajian Analisis Struktural Lévi-Strauss Ahimsa-Putra (2006) mengkaji mitos dari Bugis-Makassar dan Jawa serta karya sastra karangan Umar Kayam dalam ”Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra”. Kajian mitos terhadap orang Bajo dilakukan untuk menyelami konflik batin mereka yang hidup di laut namun juga tergantung di darat dan berada dalam situasi mendua, yang tidak pernah terpecahkan. Begitu juga dengan nalar Jawa dalam novel Umar Kayam yang menunjukkan kedudukan di tengah, di antara dua hal yang saling bertentangan sebagai sebuah nilai yang dipandang
9
sangat penting oleh orang Jawa: sak madya. Artinya, yang sedang-sedang saja. Dalam perbandingan mitos Bugis-Makassar dan Jawa yakni Sawerigading dan Dewi Sri yang menunjukkan kesamaan larangan incest. Dan hasil penelitian dalam tesis mahasiswa pascasarjana Antropologi UGM yang menggunakan analisis strukutural pernah dilakukan oleh Leni (2004), tentang Mitos Tasawuf, pada tokoh sufi Hasan al-Bashri atau Hasan dari Bashrah terjadi pula pada tokoh sufi Habib al-‘Ajami dan terjadi pula pada tokoh sufi Rabi’ah al-Adawiyah serta terjadi lagi pada tokoh sufi Abu Yazid al-Busthami yakni keteraturan pola pendidikan spiritual yang berjenjang, yang membutuhkan hadirnya tokoh mursyid (guru), yang menjadi wasilah/perantara bagi seseorang yang menuju Allah. Atau bahkan bisa mengalami persatuan Tuhan/peleburan (ittihad). Keempat mitos itu tetap memiliki bangun model struktur yang sama, yaitu model segi empat, berdasarkan relasi tokoh dan peristiwa yang memiliki persamaan (homolog) dan perbedaan (beroposisi). Lixian (2004) meneliti masyarakat Tiongkok dalam Budaya dan Struktur Masyarakat Tiongkok Pada Dinasti Qing dalam Novel Hong Lou Meng, yang menunjukkan sistem perkawinan, sistem kekerabatan, sistem pendidikan dan sistem ujian kerajaan memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Tiongkok pada masa feodal. Dari berbagai kajian pustaka tentang analisis strukturalisme Lévi-Strauss di atas, baik Leni (2004), Lexian (2004) dan Ahimsa-Putra (2006), masih berkutat pada kajian mitos sebagai ciri khas dari analisis Strukturalisme Lévi-Strauss5. Meskipun demikian, cara analisis struktural ini kini telah banyak digunakan oleh ahli-ahli antropologi yang lain, dan pola analisisnya tidak lagi selalu sama dengan yang telah dikerjakan Lévi-Strauss. Dari analisis-analisis inilah kita akan banyak memperoleh inspirasi untuk menganlisis berbagai gejala sosial-budaya di Indonesia lewat kacamata struktural (Ahimsa-Putra, 2006:466). Penggunaan analisis strukturalisme Lévi-Strauss mulai memasuki wilayah lebih luas yang tidak hanya terbatas pada karya sastra. Ahimsa-Putra menjembatani kajian 5
Ciri khas lain adalah menganilisis sistem kekerabatan, sistem klasifikasi primitif atau totemisme dan topeng.
10
strukturalisme Lévi-Strauss dengan mencoba mengkaji Arca Ganesya dalam “Arca Ganesya dan Strukturalisme Lévi-Strauss Sebuah Analisis Awal” yang membuka kemungkinan penelitian yang akan memusatkan perhatian pada pesanpesan apa yang ada pada Arca Ganesya untuk menghasilkan informasi tentang ‘logika’ atau pola pemikiran yang ada di balik pembuatan arca-arca Ganesya atau ‘tata bahasa’ pengarcaan Ganesya di tanah Jawa (Ahimsa-Putra, 1999:72). Kajian lain yang menggunakan analisis Strukturalisme Lévi-Strauss dilakukan oleh Abdullah (2005) dalam “Tiga Lakon Karya S Nalan (Kajian Transformasi Tokoh dalam Lakon Rajah Air, Kawin Bendil dan Sobrat)”, dalam lakon karya ASN tersebut tersembunyi struktur tertentu, yang sedikit banyak ‘menjelaskan’ mengapa tokoh dalam ceritera tersebut jatuh ke dalam lubang nasib mereka. Struktur dari ceritera tersebut mencerminkan satu contoh cara bersikap atas pandangan hidup orang Jawa, Bali, Cirebon, termasuk Sunda dalam sistem kepercayaan yang diyakininya. Selain itu juga kajian Nasrullah (2008) dalam “Ngaju, Ngawa, Ngambu, Liwa (Analisis Struktural Lévi-Strauss terhadap Konsep Ruang dalam Pemikiran Orang Dayak Bakumpai di Sungai Barito)” menjelaskan mengenai relasi oposisi yang membentuk tataran pola pemukiman dan mobilitas orang Bakumpai, artinya bahwa tidak mungkin terjadi jika ruang ngaju (hulu), ngawa (hilir), ngambu (darat) dan liwa (laut) masing-masing berdiri sendiri. Kemudian pasangan oposisi ini pada dasarnya saling membutuhkan dan saling melengkapi, karena asalnya dari “yang esa”. Suryolaksono (2008) juga dalam kajiannya yang berjudul “Dari Mitos Oedipus hingga Dongeng Sangkuriang: Aspek Struktural Budaya Sunda dan Pasulukan Pasundan Haji Hasan Mustapa”, di mana dongeng Sangkuriang ini dihubungkan dengan awal mula terbentuknya Lembah Bandung dan Gunung Tangkuban Perahu yang sering ditafsirkan sebagai bentuk peyoratif penolakan orang Sunda terhadap incest. Dan terdapat banyak anggapan pula, bahwa dongeng ini juga merupakan bentuk totemisme kebudayaan Sunda primitif sebelum datangnya ajaran agama-agama. Selanjutnya, dongeng Sangkuriang ini dipenuhi dengan simbol-simbol yang demikian kaya dan sepintas saling kontradiktif dalam dirinya itu, seperti babi dan anjing, air seni sang raja, gunung dan lembah,
11
taropong, tempurung kelapa, ayam jago, dan boeh rarang. Dari simbol-simbol inilah yang menjelaskan relasi oposisi yang membentuk tataran pola kesadaran budaya dan hakikat kemanusiaan. Adapun penelitian Resa (2006) dalam “Mitos Asal-Usul Orang Nias Dalam Konteks Masa Kini: Studi Tinjauan Fenomenologi-Hermeneutik Pada Masyarakat di Desa Sifalago Gomo (Boronadu)” menjelaskan bahwa masyarakat Nias memiliki mitos tentang asal-usul keberadaan mereka di pulau Nias. Manusia pertama dalam mitos orang Nias adalah Hia Walangi Adu, Hia Walangi Luo yang diturunkan dari Teteholi Ana’a. Penurunan Hia ke bumi merupakan kehendak bebas dewa Sirao, yang adalah ayah Hia. Selanjutnya agar Hia Walangi Adu, Hia Walangi Luo sampai diturunkan ke Bumi. Dengan demikian, ceritera dalam mitos dapat dipercayai oleh masyarakat dan kemudian berfungsi sebagai penuntun tingkah laku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana studi Minsarwati (2000) yang menggunakan fungsionalstruktural6 dalam mengkaji mitos, yang berjudul Makna Kosmologi Dalam Mitos Letusan Gunung Merapi, ditunjukkan makna kosmologis yang tersirat dalam mitos Gunung Merapi adalah bahwa terjadinya letusan Gunung Merapi dipahami penduduk sebagai daya/simbol laki-laki, yaitu Kyai Sapu Jagad dan Laut Selatan sebagai simbol perempuan yaitu Nyai Roro Kidul. Perpaduan muntahan Gunung Merapi menuju ke laut melambangkan sperma menuju ke ovum, sebagai perpaduan calon raja. Konsepsi perpaduan ini berupa substansi penyusunan dasar yaitu Gunung Merapi (api) dan Laut Selatan (air). Unsur-unsur ini bermakna mengawini aspirasi masyarakat kecil berupa kesuburan yang dalam bahwa awam menjadi berkah diwujudkan pada Keraton Yogyakarta. Keraton ini sebagai simbol setubuh dan sejiwa—antara perpaduan air dan api. Makna ini juga mengandung sikap kosmologis, yaitu adanya ikatan emosional yang kuat antara penduduk lereng
Gunung
Merapi
terhadap
keberadaan
Gunung
Merapi—Keraton
Yogyakarta—Laut Selatan, sehingga sulit untuk dipisahkan. Upaya yang dilakukan dalam menyikapi masalah mitos yang berhubungan dengan lingkungan 6
Teori ini dikembangkan oleh Malinowski (1884-1942) untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, dan lebih lanjut lihat Koentjaraningrat (1987: 160).
12
alam Gunung Merapi, yaitu sebagian besar masyarakat menganggap letusan Gunung Merapi tersebut sebagai anugerah yang telah diberikan pada masyarakat, sehingga setelah terjadinya letusan kehidupannya akan menjadi tenang dan baik. Ucapan rasa terima kasih masyarakat diwujudkan dalam bentuk upacara labuhan, ritual, selamatan, larangan menebang pohon, memindahkan batu dan berburu binatang yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Adanya upacara dan larangan-larangan itu, menunjukkan masyarakat telah menjaga kelestarian budaya dan lingkungan hidup, sehingga terus terwujud keharmonisan antara Gunung Merapi dengan masyarakat sekitarnya. Dalam buku Ve (ed.) (2007) yang berjudul Seni dan Mitos Seksualitas Cina Kuno: Kisah dan Catatan Sejarah Gaya Hidup Erotisme Orang Cina, dijelaskan bahwa hubungan intim atau bersenggama bisa memperpanjang umur yang sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Cina kuno dan sejarah munculnya obat-obatan untuk menopang hubungan intim yang lebih tahan lama dalam orgasme, di mana munculnya mitos ini memberikan imajinasi terhadap raja/kekaisaran Cina yang diyakini untuk mempraktekkan aktivitas yang dirasa akan membangun kesehatan secara umum dan khususnya mengenai vitalitas seksual melalui Seni Kamar Tidur. Selain itu juga, dalam buku Rivero (2008) yang berjudul “Mitos Perkembangan Negara: Perekonomian-perekonomian Negara yang tidak Memiliki Kemampuan untuk Berkembang di Abad xxi” dijelaskan mengenai sejarah perekonomian global terhadap dunia yang sedang berkembang dan dunia ketiga yang masih termarjinalkan dari kebijakan-kebijakan dalam kelompok negara-negara kapitalis, sehingga dengan orientasi ekonomi globalisasi saat ini telah menciptakan pola-pola konsumsi bagi negara-negara tertinggal dengan perekonomian yang berbasis pada produksi bahan-bahan mentah dan tenaga kerja. Analisis Strukturalisme Lévi-Strauss juga tidak hanya berkutat dalam menganalisis sistem kekerabatan, sistem klasifikasi primitif atau totemisme, mitos dan topeng, memungkinkan usaha penelitian untuk mencari tema yang lebih luas (Nasrullah, 2008). Khususnya mengenai konsep pemikiran orang Sasak berdasarkan latar belakang mitos yang dibangun.
13
Kajian Masyarakat Lombok Dalam penelitian Ketut Agung (1991) yang berjudul “Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok: Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (16611950)” membahas mengenai pengembangan kerajaan Karangasem ke Lombok yang terjadi sejak Raja Karangasem II, yang merupakan Tri Tunggal ke -1 ditahun 1692. Raja Tri Tunggal ini adalah I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Sementara itu, Alfons van der Kraan (1980) dalam bukunya “Lombok: Conquest, Colonizatin and Underdevelopment, 1870-1940”, mengungkapkan bahwa penaklukan bangsawan Raja dan orang Bali (triwangsa atau punggawa) terhadap kekuasaan orang Sasak yang berasal dari pribuminya sendiri, di taklukkan oleh kekuasaan Karangasem dan Triwangsa yang berasal dari Bali atau di luar wilayah Lombok, yang kemudian hak atas tanah yang berasal dari orang-orang pribumi hampir dengan sepenuhnya dirampas dan ditindas, sehingga orang Sasak melakukan pemberontakan atas perlakuan yang sewenang-wenang ini. Keduanya ini (Ketut Agung dan Alfons van der Kraan) lebih mengarah terhadap Raja Bali yang mengembangkan kekuasaannya di wilayah Timur yaitu Lombok demi sebuah ‘materi’ (penguasaan hak atas tanah yang berasal dari orang pribumi) dan non materi (menanamkan ideologi agama, kebudayaan dan lain sebagainya). Pembahasan Arzaki (2001: 6) mengenai sejarah masyarakat Sasak dalam mengenal tulisan aksara wacan. Bagi-nya masyarakat Sasak dalam mengenal tulisan sudah cukup lama yang disebut dengan huruf Saksaka, bahkan wacana yang dominan dalam kitab-kitab lontar Sasak yang disebut dengan "Takepan" (tulisan lontar). Bukti tertulis yang pernah dijumpai menjadi saksi tentang penghuni Pulau Lombok adalah berupa nakara perunggu yang bertuliskan " Sasak Dana Prihan Srih Jaye Nire", "benda ini adalah pemberian dari orang-orang Sasak". Kerangka perunggu ini bertahun 1077 Masehi, bertuliskan huruf kuadrat. Nakara itu ditemukan di desa Pujungan, Tabanan Bali dan ditulis setelah kekuasaan Raja Anak Wungsu di Bali. Berdasarkan hasil penelitian arkeologi di gunung Piring di desa Truwai Pujut Lombok Tengah pada tahun 1976, diketahui sekitar Tahun 1600-1800 di perkirakan semenjak itulah masyarakat Sasak hidup
14
berdampingan dengan Suku Bali, Jawa, Melayu, dan Makasar. Sejarah keberadaan etnis Bali merupakan
pelarian orang-orang Majapahit ketika runtuh masa
kejayaan. Etnik Bali saat ini masih hidup berdampingan di tengah kalangan masyarakat Sasak, sudah merupakan penduduk asli Lombok. Dan dia juga mengatakan bahwa kebudayaan Sasak sesungguhnya terwujud dari percampuran penduduk asli penghuni pulau Lombok sebelum kedatangan migran dari Jawa, Bali, dan Melayu Islam. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa kebudayaan Sasak berkaitan dengan sebuah sistem yang kompleks. Mengenai hal ini tampak pada bahasa, adat istiadat, nilai, busana, sistem kepercayaan, beberapa tradisi dan kebiasaan, juga terlihat pada nama-nama orang dan tempat, tradisi, kesenian, dan permainan rakyat. Dalam penelitian Sukri (2004) juga mengatakan bahwa identitas Sasak merupakan produk masa lalu yang dibangun atas dasar politik, yang pernah berkuasa di pulau Lombok, sehingga yang terbayangkan dengan ke-Sasak-an orang Lombok sebenarnya tidak lebih dari sebuah legitimasi terhadap apa yang dibayangkan tentang kelompok yang pernah berkuasa pada masa lalu. Begitu juga, penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mengambil tema Adat Istiadat Perkawinan Di Lombok, dalam temuan lapangan penelitian ini lebih menekankan pada inventarisasi budaya kawin lari di Lombok. Penelitian lain adalah kumpulan tulisan yang diterbitkan oleh REDAM NTB (Relawan untuk Demokrasi dan HAM) yang berjudul “Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat”,
dalam
penelitian
ini
lebih
menekankan
pada
kajian
antropologis-sosiologis-agamis dengan mempertegas kuatnya lokal naratif yang dimiliki masyarakat Sasak dalam hal relasi lintas agama (interfaith). Lebih dari itu, sebagai sebuah fenomena budaya yang selalu dinamis dari masa ke masa, maka diperlukan kontinuitas observasi dan penelitian-penelitian intensif dalam rangka menyikapi perubahan-perubahan sosial guna kesejahteraan masyarakat Suku bangsa Sasak. Dan Taisir (2002) meneliti adat kebiasaan masyarakat Sasak yang harus ditinggalkan dalam “Adat Kawin Lari Masyarakat Sasak Ditinjau Dari Segi Hukum Islam”, dan dalam temuan lapangannya didapatkan beberapa
15
kesimpulan yaitu, praktek tradisi kawin lari telah melahirkan terganggunya keteraturan sosial (sosial order) masyarakat Sasak khususnya, disimpulkan juga bahwa praktek tradisi merariq pada masyarakat Sasak jauh dari idealitas normatif hukum Islam dan merupakan adat yang seharusnya ditinggalkan. Penelitian lain juga yang dilakukan oleh Mahyuni (2006) dalam ”Speech Style and Cultural Consciousness in Sasak Comunity” yang dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu; halus dan biasa, sedang, dan kasar", penelitian ini terfokus pada bagaimana bentuk tingkat tutur masyarakat Sasak, atau perubahan penggunaan bentuk tingkatan bahasa dilihat dari konteks dengan siapa kita bicara. Perbedaan bentuk tingkat tutur yang digunakan masyarakat Sasak disebabkan oleh adanya beberapa tingkatan kemasyarakatan (strata sosial) yang telah diakui oleh masyarakat Sasak seperti: Bangsawan, Tuan Guru (Kiyai), kekayaan, pendidikan, jabatan, umur, dan lain sebagainya. Selain itu, dalam penelitian Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991) dengan judul ”Upacara Tradisinal Sorong Serah dan Nyondol Dalam Adat Perkawinan Sasak di Lombok”. Penelitian ini, terfokus pada bentuk upacara, persiapan upacara, dan orang yang terlibat dalam upacara adat perkawinan. Hasil penelitian mengungkapkan mengenai beberapa tahapan upacara adat perkawinan yang diikuti oleh keluarga besar kedua mempelai. Selanjutnya, Depertemen Pedidikan dan kebudayaan (1978/1979) dalam penelitiannya yang berjudul ”Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat”. Penelitian ini terfokus pada adat dan upacara perkawinan suku bangsa Sasak, yang mengungkapkan identitas, adat sebelum perkawinan, upacara perkawinan, adat sesudah perkawinan dan analisa hubungan adat dengan program keluarga berencana (KB) dan hubungan adat dengan undang-undang nomor 1/1974, pasal 6 ayat (1) tentang syarat-syarat perkawinan. Selain itu juga, dalam penelitian Bartholomew (2001: 274) mengatakan bahwa sistem nilai terbagi menjadi dua bagian antara agama dengan adat/tradisi menyebabkan adanya kecenderungan untuk memisahkannya secara tajam antara nilai religi dan nilai budaya. Mahsun (2006: 145) dalam ”Bahasa dan Relasi Sosial: Telaah Kesepadanan Adaptasi Linguistik dengan Adaptasi Sosial” mengatakan bahwa adaptasi linguistik yang terdapat pada komunitas berbeda bahasa, yang
16
membangun tatanan kehidupan yang harmoni: Sasak-Sumbawa dan Sasak-Bali secara kualitatif memperlihatkan adaptasi linguitik yang sangat intens. Untuk komunitas Sumbawa dalam hubungannya dengan komunitas Sasak, adaptasi yang sangat intens terlihat misalnya pada serapan unsur kebahasaan yang mencakup semua tataran linguistik, seperti serapan pada tataran bunyi, leksikon, dan gramatika. Bahkan, sampai pada tataran pragmatik, seperti terlihat pada bentuk adaptasi linguitik yang berwujud campur kode dan alih kode. Adapun kajian Mahir (1993) dalam ”Logat Kecil Bahasa Halus Sasak” mengatakan bahwa bahasa halus Sasak merupakan pengkombinasian antara bahasa Sasak, Bali, Jawa dan Sanskerta ataupun bahasa Kawi. Jadi bukanlah semua bahasa halus yang dipergunakan di Lombok merupakan bahasa yang diambil sepenuhnya dari bahasa daerah lain. Dan dia juga mengatakan bahwa pada zaman dahulu bahasa halus hanya dipergunakan oleh golongan Raden dan Menak yang disesuaikan dengan usia mereka. Artinya yang lebih muda harus berbahasa halus kepada yang lebih tua, bukan sebaliknya, kecuali bagi orang tua kepada putra-putrinya yang masih di bawah umur. Sedangkan dalam komunikasi semua golongan, bahasa halus dipergunakan sesuai dengan golongan atau tingkat golongan. Golongan yang lebih rendah harus menggunakannya kepada golongan yang lebih tinggi dan tidak dipengaruhi oleh usia. Syakur (2006: 386) meneliti tentang pentingnya sebuah pendidikan nilainilai ke-Islam-an dalam Budaya Sasak, yang berjudul ”Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak”, dalam temuannya mengatakan bahwa dalam mengaktualisasikan akulturasi nilai-nilai Islam ke dalam kebudayaan Sasak dengan melestarikan praktik-praktik budaya lama yang bersifat positif, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetap dilakukan bahkan dikembangkan terus dalam masyarakat Sasak. Akan tetapi, praktik-praktik budaya yang bersifat negatif yang dianggap menyimpang dari ajaran agama tersebut ditinjau kembali, dan diganti dengan budaya lain yang Islami dan lebih baik serta menguntungkan, baik bagi pribadi yang menerapkannya maupun bagi masyarakat pada umumnya. Artinya bahwa melalui akulturasi nilai-nilai Islam ke dalam kebudayaan Sasak yang diimplementasikan lewat sistem ilmu pengetahuan atau
17
pendidikan, maka kebudayaan masyarakat Sasak semakin mengarah kepada kemajuan dan kesempurnaannya. Penelitian Budiwanti (2000), menjelaskan bahwa ortodoksi Islam di Lombok meliputi evaluasi atas berbagai kelemahan adat yang konservatif dan statis. Para pendukung ortodoksi Islam (Waktu Lima) menentang adat komunitas Wetu Telu. Melalui monoteisme Islam, mereka ingin membersihkan Islam dari adat setempat. Melalui egalitarianisme Islam, mereka juga menentang pola hubungan antara bangsawan dan orang biasa. Mereka melawan perkawinan hipogami dan eksogami yang diberlakukan para bangsawan Sasak untuk menjaga jarak dengan orang kebanyakan. Ortodoksi Islam punya pengadilan agama yang mengurusi masalah perkawinan, pembagian harta warisan, perceraian dan perselisihan keluarga lainnya. Fungsi ini, pada gilirannya, melemahkan peran penting pejabat adat yang sebelumnya mejalankan kewajiban ini. Dan Islam ortodoks memancing konflik juga di tingkat elit dan ideologis. Konflik pada tingkat elit dalam bentuk persaingan pengaruh dan status antara Tuan Guru ortodoks dan kaum bangsawan Sasak maupun antara Tuan Guru selaku pemuka Islam dan Pemangku sebagai pemimpin adat. Konflik kian menajam ketika seluruh golongan Waktu Lima bersatu-padu menyebarkan ajaran mereka di Bayan melalui misi dakwah. Kajian-kajian mengenai suku bangsa Sasak belum ada yang membahas tentang kajian mitos secara lebih spesifik yang di analisis dengan struktural LéviStrauss untuk melihat pesan dan makna yang disampaikan dalam mitos yang dibangunnya.
F. Kerangka Teori Dalam usaha menemukan struktur pada budaya orang Sasak, peneliti menggunakan teori strukturalisme Lévi-Strauss. Inspirasi pokok berkembangnya teori ini berasal dari perspektif linguistik struktural. Pandangan para linguis bahwa suatu bahasa pada hakikatnya adalah suatu sistem perlambagan yang tersusun secara sewenang. Sistem perlambangan ini terbentuk dari gabungan fonem yang dapat membentuk unit linguistik yang lebih besar (morfem, kata, frase, kalimat
18
dan seterusnya) menurut aturan ketatabahasaan yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, maka muncullah arti dan dari sinilah timbul suatu komunikasi. Kebanyakan penutur bahasa tidak menyadari bahwa ada aturan fonologis dan ketatabahasaan yang ada “di balik” pola-pola tutur yang terungkapkan secara terbuka. Mereka mampu menggunakan bahasa tersebut sebagai instrumen komunikasi secara efektif dan efisien. Aturan-aturan tersebut bereksistensi dalam realitas di luar pikiran si penutur bahasa dan aturan-aturan ini bersifat: “bawah sadar” (Kaplan & Manner, 2202: 238-239). Dasar dari analisis struktural Lévi-Strauss dalam memahami suatu struktur dalam setiap gejala budaya perlu ada peralihan tingkat kajian dari tingkat sadar ke tingkat gejala yang bersifat tak sadar (nirsadar). Dalam peralihan kajian ini, hal terpenting perlu yang diperhatikan adalah memandang relasi-relasi antar istilahistilah sebagai kesatuan dasar, tidak terlepas secara terpisah. Adanya konsep sistem yang terbangun dari relasi-relasi tersebut selanjutnya dapat menampilkan struktur dari sistem tersebut. Akhir dari analisis ini adalah berusaha menemukan hukum-hukum pada gejala budaya yang diteliti. Pandangan tersebut mempengaruhi Lévi-Strauss dalam pengembangan kariernya. Lévi-Strauss memandang budaya pada hakikatnya sama seperti bahasa, sebagaimana Lévi-Strauss juga memandang fenomena sosial-budaya, seperti mitos, ritual dan sebagainya seperti gejala kebahasaan, yaitu sebagai ‘kalimat’ atau ‘teks’. Dalam kehidupan sehari-hari langkah semacam ini memang dimungkinkan. Kita dapat menemukan berbagai macam gejala sosial-budaya yang seperti kalimat, karena adanya beberapa syarat yang terpenuhi di dalamnya, yakni: pertama, gejala tersebut mempunyai makna tertentu yang menunjukkan adanya pemikiran-pemikiran tertentu; kedua, mereka menghasilkan makna ini lewat semacam mekanisme artikulasi (Pettit, 1977: 42 dalam Ahimsa-Putra, 2006: 3031). Strukturalisme Lévi-Strauss secara implisit menganggap teks naratif, seperti mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan atas dua hal. Pertama, teks tersebut adalah suatu kesatuan yang bermakna (meaningful whole), yang dianggap mewujudkan, mengekspresikan, keadaan pemikiran seorang pengarang, seperti halnya sebuah kalimat memperlihatkan atau mengejawantahkan pemikiran
19
seorang pembicara. Kedua, teks tersebut memberikan bukti bahwa dia diartikulasikan
dari
bagian-bagian,
sebagaimana
halnya
kalimat-kalimat
diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat tersebut. Sebuah teks adalah kumpulan peristiwa-peristiwa atau bagian-bagian yang bersama-sama membentuk sebuah ceritera serta menampilkan berbagai tokoh dalam gerak. Strukturalisme Lévi-Strauss secara implisit menganut pandangan bahwa sebuah ceritera (naratif), seperti halnya sebuah kalimat, maknanya merupakan hasil dari suatu proses artikulasi yang seperti itu. Pandangan seperti di atas didasarkan atas dua dalil yakni, pertama, bahwa makna sebuah teks tergantung pada makna dari bagian-bagiannya. Artinya, jika makna suatu bagian berubah, maka dari sedikit banyak berubah pula makna keseluruhan teks tersebut. Kedua, makna dari setiap bagian atau peristiwa dalam sebuah
teks
ditentukan
oleh
peristiwa-peristiwa
yang
mungkin
dapat
menggantikannya tanpa membuat keseluruhan teks menjadi tidak bermakna atau tidak masuk akal. Di sini kita melihat bahwa makna dari sebuah peristiwa baru akan muncul setelah kita menghubungkan, membandingkan, peristiwa tersebut dengan latar-belakangnya, yang terdiri dari berbagai macam alternatif peristiwa yang dapat menggantikan tempat peristiwa tersebut dalam keseluruhan konteks (Pettit, 1977 dalam Ahimsa-Putra, 2006: 32). Budaya adalah sistem simbolik atau konfigurasi sistem perlembagaan. Untuk memahami suatu perangkat lambang budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam sistem keseluruhan tempat sistem perlambangan itu menjadi bagian. Dalam memahami gejala budaya sebagai sesuatu yang bersifat simbolik itu, Lévi-Strauss lebih memperhatikan pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling terkait secara logis untuk membentuk sistem keseluruhan dan tidak mempermasalahkan arti lambang secara empirik (Kaplan & Manner, 2002: 239). Salah satu asumsi dasar dari strukturalisme Lévi-Strauss sehubungan dengan pandangan di atas adalah berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti misalnya dongeng, upacara-upacara, sistem-sisten kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa, atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda
20
dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh karena itu terdapat keteraturan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut (Ahimsa-Putra, 2006: 67). Dengan adanya asumsi ini, maka analisis yang dipakai dalam linguistik bisa juga diterapkan pada fenomena budaya. Usaha menganalisis fenomena budaya dengan pendekatan strukturalisme ini, LéviStrauss menggunakan beberapa konsep dasar yang ada pada linguistik struktur. Menurut Ahimsa-Putra (2006: 34), paling tidak ada lima pandangan de Saussure yang kemudian menjadi dasar dari strukturalisme Lévi-Strauss, yakni pandangan tentang: (1) signified (tinanda) dan signifier (penanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (ujaran, tuturan); (4) synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronis); (5) syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik). Beberapa asumsi dasar yang berkaitan dengan konsep-konsep di atas, lebih lanjut dijelaskan oleh Ahimsa-Putra, bahwa fenomena sosial budaya dapat ditanggapi seperti halnya gejala kebahasaan yaitu kalimat atau teks (sistem rangkaian tanda). Menurutnya, suatu “tanda” tidak memiliki makna atau tidak memiliki referent (acuan) akan tetapi “tanda” ada dan bekerja dalam kehidupan manusia. Mekanisme bekerjanya “tanda” ini barada pada tataran yang tidak disadari oleh pelakunya atau pengguna tanda itu. Di sini tanda dibedakan dengan simbol. Karena tanda tidak memiliki makna referensial sedangkan simbol memilikinya. Makna suatu simbol adalah apa yang diacunya sedangkan makna suatu tanda terletak pada relasinya dengan tanda-tanda lain (Ahimsa-Putra (2002) dalam Numbery, 2007: 22). Relasi-relasinya ditentukan pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis. Oleh para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Jadi relasi sinkronisnyalah yang menentukan, bukan relasi diakronisnya (Ahimsa-Putra, 2006: 69). Dengan demikian, dalam strukturalisme Lévi-Strauss, bahwa konsep struktur menjadi sangat penting. Lévi-Strauss mengatakan “bahwa struktur adalah
21
model-model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami dan menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri”. Model ini merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi. Struktur adalah relasirelasi [Ahimsa-Putra, 2006: 62]. Ada dua macam struktur dalam anlisis struktural yaitu struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan ciri-ciri luar atau empiris dari relasi-relasi tersebut. Struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur luar yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari. Struktur dalam lebih tepat dikatakan sebagai model untuk memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya (Ahimsa-Putra, 2006: 62-63). ‘Struktur dalam’ bersifat tidak disadari karena berada dalam tataran ketidaksadaran, sementara ‘struktur luar’ berada dalam ranah kesadaran. ‘Struktur dalam’ tidak menyebabkan ‘struktur luar’ tetapi bertransformasi menjadi struktur luar. Hubungannya adalah hubungan transformalitas dan bukan kaukalitas. Hubungan transformasi lebih bersifat sinkronis, bukan diakronis. Artinya, hukum transformasi bukan hukum sebab-akibat melainkan keterulangan-keterulangan yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain (Ahimsa-Putra, 2006: 69-71). Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain, maka dalam strukturalisme Lévi-Strauss pengertian istilah transformasi berbeda dengan yang umum diberikan pada kata ini, yaitu ‘perubahan’. “Saya tidak mengartikan transformasi sebagai perubahan karena dalam konsep perubahan tergantung pengertian proses berubahnya sesuatu ke sesuatu yang lain dalam ruang dan waktu tertentu. Perubahan adalah terjemahan dari change. Transformasi diterjemahkan sebagai alih-rupa atau malih dalam bahasa Jawa ngoko. Artinya, dalam suatu transformasi yang berlansung adalah sebuah perubahan pada tataran permukaan, sedang pada tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi.” (Ahimsa-Putra 2006: 61).
22
Ada tiga jenis transformasi. Pertama, secara empiris kalimat-kalimat jelas menunjukkan adanya perbedaan dan pergantian, namun makna atau pesan yang dikandungnya tetap sama, yakni subjek (ego) akan menuju ke suatu tempat tertentu, misalnya ke ‘kota’. Lebih lanjut dijelaskan, pada kalimat-kalimat ini terjadi pergantian tingkat permukaan (Lihat Ahimsa-Putra, 2006: 62-63). Sebagai contoh: 1. Saya
akan
pergi ke
2. Kulo
ajeng kesah teng
negara (Jawa-Krama Madya)
3. Dalem
badhe kesah dhateng
negari (Jawa-Krama Inggil)
4. I
will
the city (Inggris)
go
kota (Indonesia)
to
Kedua, terjadi perubahan-perubahan tempat dalam elemen kalimat. Namun demikian isi atau pesan kalimat-kalimat yang memiliki urutan-urutan yang berbeda dari elemen-elemen yang sama ini ternyata tetap sama, yakni bahwa ego dan subyek sedang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, yang disebut kota. Jadi pesan dari kalimat-kalimat tersebut atau struktur dalamnya tetap sama. Sebagai contoh: 1. Saya pergi ke kota Yogyakarta – (S – P – KT) 2. Pergi saya ke kota Yogyakarta – (P – S – KT) 3. Pergi ke kota Yogyakarta saya – (P – KT – S) 4. Ke kota Yogyakarta saya pergi – (KT – S – P) Ketiga, istilah transformasi menunjuk pada pergantian-pergantian kalimat dengan pola yang berbeda lagi, sebagaimana terlihat pada kalimat-kalimat di bawah ini. 1. Saya persilahkan … anda … pergi … ke kota itu. 2. Saya … silahkan … anda … pergi … ke kota itu. 3. … … Silahkan … anda … pergi … ke kota itu. 4. … … Pergilah … anda … … … ke kota itu. 5. … … Pergilah … … … … ke kota itu. Kalimat-kalimat
ini
berbeda
dengan
contoh-contoh
sebelumnya.
Transformasi yang terjadi di sini bukan hanya berupa pergantian susunan elemenelemen yang membentuk struktur, tetapi juga hilangnya elemen-elemen tertentu di
23
dalamnya. Meskipun demikian, inti pesan yang ingin disampaikan atau struktur di dalamnya tidak mengalami perubahan, yakni ego menyuruh orang lain menuju atau pindah ke tempat lain yaitu ‘kota itu’. Terdapat dua hal dalam contoh-contoh di atas, pertama ada keteraturan dalam kalimat-kalimat yang berbeda tersebut, kedua bahasa memegang peranan penting untuk menjelaskannya. Lévi-Strauss mendeskripsikan hal tersebut: Bila kita mencoba memahami hubungan antara bahasa, mitos, dan musik, kita hanya bisa melakukannya dengan memakai bahasa sebagai titik berangkat, dan lantas tampaklah bahwa musik pada satu sisi mitos pada sisi lain sama-sama berpangkal dari bahasa namun tumbuh terpisah dari arah yang berbeda. Musik menekankan aspek bunyi yang sudah tercakup dalam bahasa, sementara mitologi menekankan aspek rasa, aspek makna yang juga sudah tercakup dalam bahasa (Lévi-Strauss, 2005: 54-55). Dalam perspektif struktural, kebudayaan pada dasarnya adalah rangkaian transformasi dari struktur-struktur tertentu yang ada dibaliknya, seperti halnya struktur pada not balok, yang dapat dialihkan ke gerak-gerak jari tangan di atas piano, dan dapat beralih ke nada-nada yang indah, dan kemudian dapat beralih lagi ke pita dan nada suara lagi. Di sini seolah-olah telah terjadi ‘penerjemahan’ dari sistem kode tulis musik ke sistem kode gerak tangan, ke sistem kode nada, dan akhirnya ke sistem kode suara (Ahimsa-Putra, 2006: 64). Adapun tujuan spesifik dari strukturalisme itu adalah membangun struktur yang ada pada suatu fenomena budaya. Strukturalisme berniat merekonstruksi struktur yang tidak kelihatan itu dengan cara mencoba menemukan hubungan ekuivalensi formal, isomorfosisme, dan aturan-aturan transformasi yang terjadi di antara tingkatan kode yang berbeda. Tujuan akhir Lévi-Strauss adalah merekonstruksi sejenis kode universal dan invarian atas segala struktur invarian yang merangkum dan menghasilkan semua struktur lain (Cremers & de Santo, 1997: 24). Sebelum menghasilkan semua struktur yang lain, maka Lévi-Strauss (2007: 280) memberikan penilaian yang intrinsik kepada mitos yang berasal dari peristiwa yang ditaksir terjadi pada suatu masa tertentu juga membentuk sebuah struktur yang permanen. Struktur ini dalam waktu yang bersamaan terkait dengan
24
masa lalu, masa sekarang dan masa akan datang. Dan lebih lanjut juga, LéviStrauss (2007: 281-282) memberikan kesimpulan mengenai mitos itu ada tiga yaitu: 1). Jika mitos memiliki sebuah makna, maka makna itu tidak bisa berpegang pada elemen-elemen terisolasi yang masuk ke dalam komposisinya namun hanya bisa berpegang pada cara elemen-elemen itu berkombinasi; 2). Mitos muncul dari tatanan langue, jadi merupakan bagiannya yang integral, meski demikian
langue
sebagaimana
yang
dipergunakan
dalam
mitos
tetap
memanifestasikan sifat-sifat spesifiknya sendiri; 3). Sifat-sifat ini hanya bisa diketemukan di atas tingkat biasa ekspresi linguistiknya. Dengan kata lain sifatsifat ini lebih kompleks daripada sifat-sifat yang diketemukan dalam sebuah ekspresi linguistik dengan tipe mana pun. Jika kita menyetujui ketiga point ini apa pun bunyi hipotesis kerjanya, ada dua konsekuensi penting yang mengikutinya. Pertama, sebgaimana semua bentuk linguistik, mitos dibentuk dari satuan-satuan pembentuk (konstitutif)-nya. Kedua, satuan-satuan konstitutif yang secara normal berintervensi ke dalam struktur bahasa dengan mengetahui fonem-fonem, morfem-morfem dan semantemsemantem. Namun satuan-satuan konstitutif berkaitan dengan semantem sebagaimana kaitan semantem itu sendiri dengan morfem, dan morfem itu dengan fonem. Setiap bentuk berbeda dari bentuk yang mendahuluinya dengan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. Untuk alasan inilah kita akan menyebut elemenelemen yang muncul dengan sendirinya dari mitos (yang paling kompleks dari semuanya) yakni satuan-satuan konstitutif yang penting. Setiap satuan konstitutif yang penting memiliki sifat atau tabiat sebagai sebuah hubungan. Perkembangan mitos dilanjutkan melalui oposisi dengan strukturnya yang tetap tidak berlanjut. Mitos merupakan makhluk verbal yang dalam bidang perkataan menduduki tempat yang sebanding dengan tempat munculnya kembali kristal di muka bumi ini jika diperiksa berdasarkan materi fisik. Berhadapan dengan bahasa di satu sisi, dan perkataan di sisi lain posisinya sebanarnya analog dengan posisi sang kristal yakni merupakan objek perantara (intermedier) antara agregat (timbunan) molekul-molekul yang statis dengan struktur molekuler itu sendiri (Lévi-Strauss, 2007: 308).
25
Sebenarnya inti persoalan yang dikaji di dalam mitos adalah semantik (makna), semantik adalah ilmu yang mengkaji makna (the study of meaning) (Lyons, 1968: 400 dalam Purnama, 2006: 12). Dalam kaitannya dengan makna di dalam semantik dikenal pula istilah arti, referensi, denotasi dan designasi, khusus berkaitan dengan istilah arti dan makna, kedua istilah itu seringkali dianggap bersinonim, dipakai secara bergantian dan tidak dibedakan, padahal keduanya tidaklah sama. Arti (meaning) dapat dinyatakan sebagai bentuk pengetahuan yang bersifat empirik ataupun diperoleh secara kognitif. Arti dari suatu unit leksikal adalah seikat fitur atau ciri kognitif yang terstruktur yang memungkinkan dilakukan designasi atau pembahasan atau penunjukan dari semua denotata atau referen dengan unit leksikal tertentu (Subtoro, 1999: 113). Arti ini dipahami atau dikuasai oleh pengguna bahasa secara empirik berdasarkan kemampuan kognitifnya. Dengan pengenalan dan penguasaan arti secara empirik dan kognitif itu, sejumlah referen yang secara faktual barangkali berbeda tetapi memiliki ciri konseptual yang sama. Jadi, ada kemampuan untuk melakukan generalisasi atau perapatan. Misalnya, sekalipun di dalam kenyataannya secara empirik ada sejumlah benda yang disebut kursi yang memiliki fitur-fitur konseptual yang berbeda-beda, tetapi benda-benda itu secara bersama dapat disimbolkan dengan unit leksikal kursi. Arti (meaning) pada dasarnya adalah bentuk pengetahuan kognitif yang terdapat dan distrukturkan di dalam dan oleh sistem bahasa, yang dipahami lebih kurang sama oleh para penutur dalam kegiatan berkomunikasi secara umum dan wajar (Subroto, 1999: 114). Arti leksikal bersifat dasar tetapi belum spesifik, arti itu bersifat spesifik manakala dipakai untuk menunjukkan (referensi) dalam situasi pemakaian bahasa tertentu atau dipakai dalam tuturan tertentu. Berkaitan dengan istilah arti tersebut, Lyons (1995: 40 dalam Purnama, 2006: 13) memakai istilah itu untuk konsep yang bersifat luas dan umum. Dengan demikian, konsep meaning dapat berkaitan dengan denotasi, “sense” (makna), referensi; bisa terdapat pada tataran wacana, tuturan, kalimat, klausa, leksem ataupun morfem. Menurut Allan (1986: 68 dalam Purnama, 2006: 14), sense (makna) adalah arti sebuah unit leksikal atau tuturan sebuah kalimat dalam pemakaian yang
26
konkrit dalam situasi tertentu. Tuturan sebuah kalimat terikat oleh latar pembicaan, lingkungan tekstual dan dunia nyata yang dituturkan. Sense sebuah unit leksikal, itu biasanya sebagaimana ditunjukkan di dalam sebuah kamus karena sebuah kamus yang baik memberikan makna entri yang dimuatnya berdasarkan konteks pemakainya, lebih lanjut dijelaskan bahwa sense sebuah kalimat itu, plus intonasi, plus situasi dan maksud penutur. Sehubungan dengan hal itu, Subroto (1999: 115) memadankan sense dengan makna, yaitu arti sebuah butir leksikal atau sebuah tuturan kalimat berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatarinya dan intonasinya. Dengan demikian, kalau arti (meaning) itu bersifat dasar dan sebagai ancar-ancar, maka makna (sense) itu sudah bersifat tertentu karena dirambu-rambui oleh struktur, oleh konteks pemakaian, oleh intonasi dan latar yang melingkupinya. Adapun mengenai makna (sense), dijelaskan oleh Lyons (1977: 204 dalam Purnama, 2006: 16) bahwa sense hanya dapat diterangkan dalam konteks relasi makna (sense-relations) antara leksem yang satu dengan leksem yang lain, atau antara ekspresi yang satu dengan ekspresi yang lain dalam sistem bahasa yang sama. Mengkaji atau memberikan makna suatu kata atau leksem tersebut berkenaan dengan hubungan makna yang membuat kata atau leksem itu berbeda dari yang lain. Pembicaraan tentang makna tidak bisa dilepaskan dari relasi makna sebagai hubungan antara satuan-satuan leksikal yang memuat makna. Makna dapat dibicarakan dari dua pendekatan, yakni pendekan analitik atau referensial dan pendekatan operasional atau kontekstual. Pendekatan analitik mencari makna dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operasional mempelajari kata dalam penggunaanya (Ullmann, 1972: 55 dalam Purnama, 2006: 16). Di samping itu, pendekatan makna dapat dilihat pula dari hubungan-hubungan fungsi yang berbeda di dalam bahasa. Para ahli memiliki pandangan berbeda mengenai tipe-tipe atau jenis-jenis makna, sehingga pembagian tipenya pun berbeda-beda. Misalnya Leech (1974: 19) membagi makna ke dalam tujuh tipe, yaitu: makna logis (makna konseptual), makna konotatif, makna stilistik, makna afektif, makna kolokatif, makna reflektif
27
dan makna tematik. Palmer (1976: 34 dalam Purnama, 2006: 17) mengemukakan adanya empat jenis makna, yaitu: makna kognitif, makna ideasional, makna denotasi dan makna proposisi. Makna adalah suatu komponen yang memiliki hubungan relasional dengan makna lain yang membentuk suatu struktur di dalam sebuah medan makna. Sebagaimana Cassirer (1990) mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang menggunakan simbol (animal symbolicum). Hal ini mengingat bahwa semua tindakan itu pada hakikatnya diresapi oleh makna (Turner, 1983: 33), sehingga manusia memerlukan interpretasi untuk memahami tindakan (sosial) manusia lainnya yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan bersama antar manusia (penafsiran intersubyektif). Kalau demikian, maka makna itu bersifat publik dan oleh sebab itu pula kebudayaan juga bersifat publik (Geertz, 1992: 15). Manusia sebagai makhluk otonom dan makhluk yang senantiasa berinterpretasi dalam memahami dunia sosial, sangat memungkinkan terjadinya aliran perbincangan sosial di antara subyek-subyeknya. Perbincangan sosial sebenarnya adalah hasil kerja interpretasi dari subyek-subyek itu sendiri dan barangkali di sinilah obyektifitas dunia sosial. Dengan melalui interpretasi maka hakikat dunia sosial dapat dipahami, karena itu interpretasi tidak mengukur hasilnya dari sudut benar dan salah, tetapi hasil kesepakatan bersama antar subyek (intersubyektivitas). Interpretasi yang baik adalah interpretasi yang semakin dapat menyingkirkan sifat fenomena sosial budaya yang membingungkan itu. Oleh karena itu, menurut Lévi-Strauss bahwa otonomi, kebebasan dan orisinalitas unik manusia tidak ada. Sebaliknya semua itu harus diredusir menjadi makhluk hidup yang terintegrasi di dalam alam dan yang akhirnya ditentukan oleh proses alam (Cremers, 1997: 12). Dengan demikian, tingkah laku orang Sasak dalam kehidupannya seharihari telah terjawantahkan melalui sistem budaya adi luhungnya (Bhs.Sasak: adatluwirgame), yakni bentuk penggabungan nilai-nilai di dalam masyarakat Sasak, yakni: (1) Adat Game, mengatur pola hubungan manusia Sasak dengan Tuhannya, (2) Adat Krame, mengatur prosesi dan ritual yang berhubungan dengan
28
daur hidup, (3) Adat Tapsila, mengatur pola dan mekanisme hubungan antar sesama manusia, dan (4) Adat Puruse, mengatur hubungan manusia Sasak dengan lingkungan alamnya (Arzaki, 2001: 23-24; Yamin, 2009: 78).
G. Metode Penelitian Penelitian ini diawali dengan membaca ceritera “Doyan Neda” buah karya orang Sasak yang mengisahkan mengenai perwujudan empat puluh jin perwangsa menjadi manusia Sasak awal hingga terbentuknya kerajaan awal Sasak. Oleh karena isi ceritera ini mempunyai pesan-pesan nilai yang berkaitan dengan konsep hidup orang Sasak, terutama dengan mengumpulkan data-data etnografi tentang Sasak baik berasal dari buku dan hasil wawancara. Setelah itu dikumpulkan dan dipelajari beberapa tulisan Lévi-Strauss tentang pendekatan struktural sebagai pijakan melakukan penelitian. Buku “Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sasatra” buah karya Heddy Shri Ahimsa-Putra (2006), ini sangat membantu dalam memahami pendekatan struktural Lévi-Strauss. Dari sini didapatkan bahwa pada pendekatan struktural yang dipentingkan adalah usaha peneliti di dalam pembuatan model atau konseptualisasi. Namun, untuk mengetahui makna bahasa dan ujaran orang Sasak dari mitos asal usulnya dan mitos terbentuknya kerajaan awal Sasak dalam tembang Doyan Neda dapat disusun melalui ceritera ke dalam beberapa episode, di mana makna masing-masing episode akan ditentukan oleh hubungannya dengan episode-episode yang lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui bahasa dan ujaran orang Sasak dari mitos asal usulnya yang dikemukakan oleh Saussure, bahwa membagi bahasa menjadi dua aspek yakni aspek langue (bahasa) dan aspek parole (ujaran). Linguistik mempelajari langue yaitu aspek sosial dari bahasa. Langue inilah yang memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antara manusia karena langue ini dimiliki bersama. Berbeda dengan parole, yang merupakan wujud atau aktualisasi dari langue dalam rupa lisan maupun tulisan. Parole adalah apa yang kita ucapkan ketika kita menggunakan suatu bahasa dalam percakapan atau dalam menyampaikan pesan tertentu lewat suara-suara simbolik yang keluar
29
dari mulut kita. Tuturan ini bersifat individual, sehingga ia mencerminkan kebebasan pribadi seseorang. Langue dan parole memang berbeda namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agar pesan dapat diterima oleh orang lain maka parole yang diwujudkan harus berada dalam sistem langue tertentu. Diabaikan langue maka pesan yang disampaikan tidak akan dimengerti. Jadi dengan kata lain, tanpa adanya langue tidak akan ada parole. Sebaliknya tanpa parole, langue juga tidak akan diketahui keberadaannya (Ahimsa-Putra, 2006: 43-47). Saussure
juga
menambahkan
bahwa
ada
prinsip
tertentu
yang
menghubungkan seluruh tanda (kata). Ada 2 (dua) prinsip penghubung atau asosiasi yaitu asosiasi sintagmatik dan asosiasi paradigmatik. Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimiliki dengan kata-kata yang berada di depannya atau di belakangnya dalam suatu kalimat. Sedangkan hubungan paradigmatik adalah hubungan pengertian antara suatu kata dengan kata-kata yang lain di luar rantai sintagmatis. Kata-kata yang berada dalam satu rantai ini, walaupun berbeda maknanya masih memiliki persentuhan makna atau kesamaan arti tertentu sehingga kata-kata dalam rantai tersebut masih dapat saling menggantikan (Ahimsa-Putra, 2006: 48). Konsep ini telah diterapkan oleh LéviStrauss dalam menganalisis mitos. Peristiwa yang diceriterakan di dalam setiap mitos membentuk rantai sintagmatik, sedangkan peristiwa dan orang yang muncul di dalam mitos, atau corpus legenda, dapat dipelajari sebagai anggota rangkaian paradigmatik (Kuper & Kuper, 2000a: 1066). Konsep seperti ini dapat juga diterapkan untuk melihat berbagai gejala budaya lainnya, karena setiap gejala budaya memiliki struktur. Untuk mengetahui gejala budaya orang Sasak lainnya, saya menggunakan metode etnografi James P. Spradley (1997: 3 & 12), sebagai pendukung dalam pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang “penduduk asli” atau pelaku terhadap dunianya. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa etnografi merupakan bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi
30
dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Dengan demikian untuk terfokusnya sebuah penelitian suatu masyarakat, tentunya saya akan menentukan lokasi yang diteliti dan metode pengumpulan data yang akan digunakan.
1. Lokasi Penelitian Ruang lingkup penelitian yang akan dipilih adalah Desa Barebali kecamatan Batukliang yang berada di Kabupaten Lombok Tengah. Pemilihan lokasi pada daerah tersebut didasarkan atas masih adanya stratifikasi sosial (patron-klien) yang masih melekat pada pola pikir masyarakat setempat, dengan melalui tatanan, institusi dan perbuatan menyatu dalam diri, seperti halnya upacara yang kaitannya dengan peristiwa alam, kepercayaan dan status sosial.
2. Metode Pengumpulan Data a. Studi Pustaka Tahap pertama kali dalam penelitian ini adalah dilakukan studi pustaka. Dengan melakukan pengumpulan sejumlah literatur yang berhubungan dengan kajian tentang Sasak dalam berbagai tema, misalnya: pertanian, identitas Sasak, religi, perkawinan, hubungan antar etnis, sejarah dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut diklasifikasi, ditelaah kembali dan dianalisis sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Hal yang sangat disadari dalam kajian pustaka ini adalah keterbatasan dalam mendapatkan literatur yang berhubungan langsung dengan pembahasan mengenai mitologi orang Sasak. Studi pustaka ini juga memerlukan berbagai kajian yang menggunakan analisis strukturalisme Lévi-Strauss sebagai bahan perbandingan, baik bersumber dari buku maupun tesis atau skripsi, seperti yang dilakukan oleh Ahimsa-Putra (2006) tentang mitos dan karya sastra dan Numbery (2007) tentang struktur budaya orang Dani. Kajian-kajian tersebut sangat membantu untuk melakukan perbandingan analisis penelitian.
31
b. Pengamatan Terlibat (Participant Observation) Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama dilakukan sejak bulan April sampai Juli 2009, tahap ini saya berusaha mengumpulkan data sebanyak-banyaknya di lapangan walaupun ada berbagai kesulitan yang dialami dalam mencari naskah asli Doyan Neda dalam bahasa sansekerta atau bahasa Sasak dan pada tahap ini juga saya mulai menelusuri dari wilayah Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur dan Lombok Utara, akan tetapi hasil yang saya dapatkan hanyalah dari versi lisan dan hasil terjemahan ke bahasa Sasak. Setelah itu, melakukan penulisan tesis. Tahap kedua adalah melengkapi data, yakni kembali ke lapangan selama beberapa bulan yang dilakukan pada bulan Nopember sampai Desember 2009, kemudian pada pertengahan bulan Desember, naskah tembang Doyan Neda yang saya cari-cari akhirnya didapatkan dari koleksi H. Jalaluddin Arzaki di Monjok Baru Kota Madya Mataram yang sudah diterjemahkan dari bahasa sansekerta ke bahasa Sasak. Kemudian pada tahap terakhir sejak bulan Juni sampai Agustus 2010 saya kembali ke lapangan untuk melengkapi data-data yang kurang dalam melakukan penulisan tesis. Keterlibatan peneliti secara langsung (participant observation) dalam penelitian sebagai “tujuan akhir metodologi pengamatan terlibat untuk menghasilkan kebenaran-kebenaran teoritis dan praktis tentang manusia yang didasarkan pada kenyataan-kenyataan dalam kehidupan sehari-hari”. Oleh karena itu, seorang peneliti menempatkan diri berdasarkan pandangan orang yang diteliti (insider perspective) dan melibatkan diri dalam kehidupan aktivitas sehari-hari orang yang diteliti (Jorgensen, 1989: 13-14). Hubungan antara peneliti dan orang yang diteliti yang memiliki pandangan sama, misalnya kesamaan pengalaman hidup orang Sasak lainnya. Begitu pula mengenai pengalaman masa lalu rasanya terbongkar kembali seperti kaset diputar ulang, yang mungkin bermanfaat untuk penggalian data dengan pengalaman hidup diri sendiri, tapi data dan hasil penelitian ini menjadi sesuatu yang subyektif. Meskipun demikian subyektif adanya, pengalaman ini selalu bersifat pribadi. Tidak pernah sama antara individu yang satu dengan yang lain. Dari pengalaman inilah terbentuk kemudian kerangka pemikiran, kerangka untuk pemaknaan, kerangka untuk memahami, yang berbeda dengan orang
32
yang lain … Di sinilah terdapat intersubyektivitas, dan ini terbentuk melalui penggunaan bahasa yang dimengerti bersama (Ahimsa-Putra, 2004: 34). Begitu pula mengenai pengalaman masa lalu rasanya terbongkar kembali seperti kaset diputar ulang, yang mungkin bermanfaat untuk penggalian data dengan pengalaman hidup diri sendiri, tapi data dan hasil penelitian ini menjadi sesuatu yang subyektif. Unsur subyektivitas memang tidak bisa dihindari dalam penelitian ini, sehingga menjadi kurang sensitive dalam melakukan pengamatan dan untuk mengatasinya dibandingkan kasus di tempat penelitian dengan daerah lain atau dengan penelitian yang sudah dilakukan orang lain. Upaya tersebut dilakukan untuk mempertajam kemampuan agar lebih peka juga untuk menambah wawasan pengetahuan (Nasrullah, 2008).
c. Wawancara Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan wawancara terbuka, adapun wawancara terbuka terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang sedemikian rupa bentuknya sehingga responden atau informan tidak terbatas dalam jawaban-jawabannya (Koentjaraningrat, 1997: 140). Dan memberikan keleluasaan bagi si penjawab untuk memberikan pandangan-pandangan secara bebas. Sebaliknya wawancara demikian juga memungkinkan si peneliti untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara mendalam (Tan, 1997: 30). Tentunya pertanyaan terbuka memungkinkan dilakukan mengingat peneliti sebagai observer partisipan tersebut. Cara bertanya kepada informan kadang tidak disampaikan dalam bentuk wawancara langsung, tetapi menyelipkan beberapa pertanyaan pokok dalam percakapan sehari-hari. Jika ada hal-hal penting yang digali secara lengkap, digunakan cara wawancara mendalam dan menggunakan alat perekam atau tape recorder namun dengan memperhatikan kondisi informan sebelumnya.
33
3. Analisis Data Untuk menganalisis data, di sini peneliti akan merujuk prosedur analisis struktural dari Lévi-Strauss sebagaimana yang dipraktekkan oleh Ahimsa-Putra dalam beberapa tulisannya (2006). Dalam kajian ini untuk menganalisis mitos, Lévi-Strauss telah mengambil model analisis struktural dari linguistik. Dalam menerapkan teori strukturalisme Lévi-Strauss sebagaimana yang dijelaskannya: bahwa titik tolak strukturalisme adalah upaya mencari hal atau unsur varian yang ada di bawah permukaan yang beraneka ragam (Cremers dan Santo, 1997: 50). Oleh karena itu dengan menggunakan metode strukturalisme Lévi-Strauss ini, terlebih dahulu peneliti mengumpulkan data dari pengamatan langsung dan pengalaman hidup maupun wawancara mendalam terhadap berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari orang Sasak. Dari berbagai fenomena tersebut kemudian diklasifikasikan dalam berbagai tema tertentu, selanjutnya dibuat dalam bentuk catatan atau dianalogikan sebagai sebuah “kalimat” yakni sebagai rangkaian tanda-tanda dari masyarakat pendukung budaya tersebut secara nirsadar (Numbery, 2007: 31). Kemudian dari rangkaian kalimat yang disebut ceriteme Doyan Neda yakni sebuah unit yang mengandung pengertian tertentu seperti halnya miteme, hanya dapat diketehui makna atau “pengertiannya” setelah ditempatkan dalam hubungan dengan ceriteme-ceriteme yang lain (Ahimsa-Putra, 2006: 206) yakni dalam penelitian ini untuk mencari pasangan oposisi binair, antara patron dengan klien serta dunia alam gaib dengan dunia empiris yang terdapat dalam ceriteme-ceriteme Doyan Neda. Kemudian, ada tiga tahap yang akan dilakukan dalam melihat gejala budaya Sasak, antara lain: amati, tandai masing-masing, dan hubungan dengan cara memasangkan. Kelompok-kelompok pasangan ini merupakan kunci yang kemudian dapat diterapkan pada kelompok-kelompok fenomena lain (Paz, 1997: 63). Setelah terlihat alur ceriteme Doyan Neda pada rangakaian kalimat kemudian dicari miteme pada tingkat kalimat, tentu saja miteme yang memperlihatkan suatu relasi suatu hubungan-hubungan, miteme kemudian
34
disusun secara diakronis dan sinkronis atau mengikuti sumbu sintagmatis dan paradigmatis (Ahimsa-Putra, 2006: 208). Langkah selanjutnya, menginterpretasikan atau membuat penilaian dari oposisi-oposisi binair supaya kajian mitos Doyan Neda ini bisa dipahami secara komprehensif dan utuh, untuk mendapatkan makna kontekstual dari teks yang disajikan. Dalam hal ini diusahakan untuk mencari data etnografi yang cukup lengkap sebagai tuntunan, agar oposisi-oposisi ini bisa disajikan lebih mendalam, meskipun harus diakui karena keterbatasan untuk memenuhi hal tersebut sehingga belum bisa dikatakan cukup memuaskan bagi saya. Setelah melewati langkahlangkah tersebut, dan mendapatkan oposisi binair dan oposisi paralel dalam mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda, kemudian langkah selanjutnya adalah mentransformasikan struktur tersebut sebagai struktur pemikiran orang Sasak.