BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak atas penguasaan properti yang pada awalnya dikelola pemerintah pusat. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mengalihkan pengelolaan PBB dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sejak PBB masih dikelola pemerintah pusat hingga sekarang dikelola oleh pemerintah daerah, pengelolaan PBB menemui masalah yang sama, yaitu tidak maksimalnya pajak yang bisa didapatkan dibandingkan dengan potensi yang sebenarnya. Salah satu penyebab dari masalah ini adalah penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB yang jauh di bawah nilai pasar properti yang sebenarnya. Selama ini penilaian untuk tujuan penetapan NJOP PBB sektor perdesaan dan perkotaan yang dilakukan pemerintah menggunakan pendekatan data pasar dan pendekatan biaya. Pendekatan data pasar dilakukan dengan membandingkan properti dengan properti pembanding yang setara dengan persyaratan tertentu. Penilaian dengan data pasar diterapkan pemerintah pada pembentukan Zona Nilai Tanah (ZNT) sebagai dasar penilaian massal. Pendekatan biaya adalah pendekatan yang dilakukan dengan memperkirakan indikasi nilai bangunan dengan memperhitungkan biaya pembangunan
baru
dari
suatu
bangunan
(biaya
pengganti
terdepresiasi/
Replacement/Reproducing Cost New atau RCN yang dikurangi penyusutan /depresiasi bangunan). Setelah itu menghitung indikasi nilai tanah dengan asumsi tanah itu kosong. Langkah yang dilakukan dalam mencari indikasi nilai tanah adalah
1
2
dengan membandingkan dengan minimal 3 properti pembanding terbaik berupa tanah kosong yang telah ditransaksikan di sekitar lokasi penilaian. Selanjutnya indikasi nilai bangunan dan indikasi nilai tanah dijumlahkan menjadi nilai properti (NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB. Cara penilaian seperti ini mengakibatkan penilaian tanah dan penilaian bangunan menjadi dua bagian yang terpisah. Penjumlahan dari nilai tanah dan nilai bangunan pada pendekatan biaya belum tentu mencerminkan kesatuan nilai pasar properti sebagai satu kesatuan investasi yang utuh dan tidak bisa dipisahpisahkan. Penilaian dengan pendekatan biaya menafikan usaha yang dijalankan pada properti yang bersangkutan sehingga biasanya menimbulkan penilaian yang terlalu rendah (Supardi, 2012). Selain penilaian untuk tujuan penetapan NJOP dengan metode yang menghasilkan nilai di bawah nilai pasar sebenarnya (under assessment), ada satu faktor lagi yang menyebabkan penetapan NJOP jauh dari nilai pasar sebenarnya, yaitu kebijakan yang disengaja agar wajib pajak tidak terbebani pajak yang tinggi. Kebijakan ini diterapkan karena berbagai alasan. Alasan
yang paling sering
dikemukakan adalah alasan politis untuk meredam gejolak politik yang disebabkan tingginya Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dibayarkan (Wardhana, 2006). PBB merupakan pajak objektif yang tidak memperhatikan kemampuan wajib pajak. Belum tentu orang yang mempunyai properti bernilai tinggi juga berpenghasilan tinggi (Youngman, 2006a: 53). Nilai pajak yang terlalu tinggi berpotensi membuka peluang perselisihan antara aparat dan wajib pajak. Sebagai contoh ekstrim, jatuhnya Perdana Menteri Inggris, Margareth Thatcher
pada tahun 1993 diakibatkan keberatan
masyarakat terhadap penerapan sistem pajak properti yaitu poll tax (community-
3
charge) yang jauh lebih mahal daripada sistem pajak lama yaitu council-tax (Youngman, 2006b; Sidik, 2000: 32). Beberapa negara lain menerapkan kebijakan untuk menekan pajak properti agar tidak terlalu tinggi sehingga membebani wajib pajak dengan cara mengatur nominal assessed value (analog “Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak”) dan tarif yang rendah, bukan dengan cara membuat perhitungan nilai properti (NJOP) lebih rendah dari nilai pasar yang sebenarnya (fair market value/true value). Praktek yang terjadi di Indonesia berbeda yaitu NJOP yang ditekan menjadi jauh di bawah nilai pasar, bukan dengan mengenakan rumus pengenaan pajak atau tarif yang rendah. Masalah penerapan pendekatan penilaian ditambah kebijakan pemerintah inilah yang membuat penetapan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sangat rendah. Kebijakan untuk menekan
pajak agar tidak terlalu tinggi tentu saja tidak
menjadi sebuah permasalahan karena sudah menjadi kebijakan pemerintah yang telah disepakati segala pihak. Meski demikian, hal ini perlu dipertimbangkan dalam penelitian ini karena NJOP dibaca sebagai perkiraan nilai pasar sebagai hasil pendekatan biaya yang masih dibuat makin rendah oleh kebijakan pemerintah sendiri. Dengan demikian penelitian ini melakukan perbandingan antara nilai NJOP yang tertera pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) dengan penilaian berdasarkan pendekatan biaya untuk mengetahui seberapa besar kebijakan pemerintah menurunkan NJOP dari nilai pasar sebenarnya. Yang menjadi permasalahan adalah pendekatan biaya yang tidak mencerminkan nilai pasar properti komersial. Oleh sebab itu diperlukan alternatif pendekatan penilaian lain untuk untuk tujuan penetapan NJOP yang dimungkinkan peraturan
4
perundangan yang berlaku sekaligus tepat untuk menilai properti untuk keperluan usaha. Tiga pendekatan penilaian yaitu pendekatan data pasar, pendekatan biaya, dan pendekatan pendapatan dimungkinkan dalam Undang-Undang mengenai PBB yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang digantikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menerangkan bahwa Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Uraian mengenai harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar merujuk kepada pendekatan data pasar. Uraian mengenai nilai perolehan baru merujuk pada pendekatan biaya yang pada prakteknya sampai saat ini dipakai pemerintah untuk menilai bangunan. Pendekatan/metode kapitalisasi pendapatan juga dimungkinkan untuk tujuan penetapan NJOP. Penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pasal 79 ayat 1 menyatakan bahwa nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut. Secara jelas istilah “nilai jual pengganti” merujuk pada pendekatan kapitalisasi pendapatan (Supardi, 2012). Penerapan ketiga pendekatan tersebut diatur pula pada pasal 9 Peraturan Bupati Klaten Nomor 25 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak
Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Klaten. Standar Penilaian Indonesia juga merujuk ketiga pendekatan tersebut untuk menilai rumah makan dan
5
pemancingan yang berbasis pada nilai pasar. Hal ini disebabkan karena baik pendekatan biaya, pendapatan, maupun data pasar selalu mempertimbangkan kewajaran
di
pasar.
Tingkat
pengembalian
pada
pendekatan
pendapatan
dipertimbangkan berdasarkan kewajaran pasar. Depresiasi dan biaya membangun pada pendekatan biaya juga berdasarkan kewajaran pasar. Akhirnya yang menjadi pertimbangan dalam penggunaan pendekatan adalah ketersediaan data yaitu pembanding. Pendekatan data pasar sulit diterapkan untuk menilai rumah makan dan pemancingan di Janti karena sangat jarang terjadi transaksi jual beli rumah makan dan pemancingan. Di samping itu tiap rumah makan dan pemancingan di Janti punya karakteristik properti yang unik terutama pada desain dan material bangunan sehingga masing-masing rumah makan dan pemancingan tidak sebanding. Dengan demikian dari ketiga pendekatan tersebut, yang paling realistis digunakan adalah pendekatan pendapatan. Sebagai catatan ada perbedaan prinsip ketika pendekatan pendapatan diterapkan pada properti komersial untuk penetapan NJOP dan bila diterapkan untuk properti komersial di luar kepentingan penetapan NJOP. Standar Penilaian Indonesia 2007 dalam Panduan Penerapan Penilaian Indonesia (PPPI 15), menjelaskan cara penilaian Properti dengan Bisnis Khusus (PBK). Properti dengan Bisnis Khusus (Trade Related Property) adalah properti individual seperti hotel, restoran, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), yang dapat berpindah kepemilikan dalam keadaan beroperasi. Dengan demikian rumah makan dan pemancingan di Janti termasuk Properti dengan Bisnis Khusus (PBK).
6
Penilaian Properti dengan Bisnis Khusus (PBK) mempunyai komponen yang berbeda tergantung pada tujuan penilaian apakah penetapan NJOP, pelaporan keuangan, atau penjaminan hutang. Komponen penilaian Properti dengan Bisnis Khusus (PBK) antara lain tanah, bangunan, perabotan, peralatan, barang persediaan, aset tak berwujud termasuk goodwill yang dapat dialihkan (misalnya reputasi produk dan lisensi). Hanya saja praktek bisnis rumah makan dan pemancingan di Janti masih tradisional sehingga transaksi jual beli rumah makan dan pemancingan di Janti tidak pernah memperhitungkan komponen seperti lisensi, merk dagang, maupun aset tak berwujud lain. Ketika Pemancingan “N” dijual pada tahun 2012 pun hanya memperhitungkan komponen tanah dan bangunan. Kemudian SH selaku pembeli mengubah nama pemancingan menjadi “S” sehingga reputasi pemancingan lama tidak terbawa. Dengan demikian untuk keperluan penetapan NJOP rumah makan dan pemancingan di Janti komponen yang diperhitungkan hanya tanah dan bangunan. Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut maka permasalahan penelitian adalah penghasilan daerah dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak optimal pada tanah-tanah di Janti yang di atasnya dibangun rumah makan dan pemancingan sebagai akibat pendekatan biaya yang tidak tepat untuk diterapkan pemerintah sebagai dasar pengenaan PBB pada properti komersial. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian ini mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penilaian properti untuk tujuan penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Meskipun demikian penelitian-penelitian sebelumnya berbeda objek dan metodenya.
7
Daftar penelitian yang berkaitan dengan penilaian untuk pajak properti adalah sebagai berikut. Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu yang Berkaitan dengan Penilaian untuk Keperluan Pajak Properti Peneliti/tahun Objek Variabel Metode Hasil Penelitian 1 2 3 4 5 Babawale Pajak properti di Pengalaman Studi literatur. Kerangka model pe(2013) negara berkem- dan praktek nilaian properti untuk bang. negara-negara tujuan pajak properti berkembang di yang diterapkan di luar Nigeria negara bagian Lagos, dalam meneNigeria, untuk dirapkan pajak rekomendasikan pada properti. negara-negara berkembang. Boyd dan Boyd Pajak properti 1.Moving An- Menggunakan Menentukan model pe(2012) pada pusat pernual Turn- data pasar se- nilaian yang tepat unbelanjaan di over (MAT). belum me- tuk pusat perbelanjaan. wilayah negara 2.Gross Lett- ngembangkan bagian Queensable Area model penilailand, Australia. an yang tepat (GLA). untuk pajak properti pusat perbelanjaan. Grover dan Peran pemerin- 1. Indikator ta- Koefisien ko- Menunjukkan peran Grover (2012) tah dalam memta pemerin- relasi Pear- pemerintah dalam pengaruhi penetahan Bank son’s pada mempengaruhi penerapan standar Dunia. data Lang La- rapan standar penilaian penilaian pro- 2. Indeks tran- Salle’s Global properti untuk tujuan perti untuk sparansi Jo- Real Estate. pajak properti. tujuan pajak nes Lang properti pada LaSalle’s beberapa negara Global Real yang disurvei Estate. oleh Jones Lang LaSalle’s Global Real Estate. Hefferan dan Sistem pajak Teknik peni- Studi literatur Sistem pajak ad Boyd (2010) yang diterapkan laian massal dan wawan- valorem yang masih di Australia dan yang diguna- cara. relevan digunakan unSelandia Baru. kan di Austuk properti komersial tralia dan Sedi Australia dan Selandia Baru. landia Baru. McDonald dan Yurova (2007)
Properti industri di daerah bandara O’Hare di Chicago, Amerika Serikat.
Harga sewa properti industri.
Regresi ganda.
ber-
Harga sewa mempengaruhi nilai properti sebagai dasar penetapan pajak properti.
8
Peneliti/tahun 1 Davis dkk. (2012)
Objek 2 Properti berdasarkan data Valuation and Lands Agency, Irlandia Utara yang dinilai dengan Computer Assisted Mass Appraisal System (CAMA).
Sidik (2000)
Penetapan Nilai Jual Objek Pajak untuk berbagai penggunaan.
Supardi (2012)
Penetapan Nilai Jual Objek Pajak pada apartemen di Jakarta.
Wardhana (2006)
Kesesuaian Nilai Jual Objek Pajak terhadap nilai pasar pada objek pajak di Kecamatan Cimahi Tengah dan Cimahi Selatan.
Tabel 1.1 lanjutan Variabel Metode 3 4 Harga properti Analisis empiper satuan unit ris pada data feet square penjualan pro(kaki persegi). perti dan atribut pada properti. Perbandingan data CAMA dengan analisis data harga properti per kaki persegi. jarak dengan MengembangCBD, luas takan model penah, luas, banaksir penilaingunan, dan an properti unumur efektif tuk keperluan bangunan. penetapan Nilai Jual Objek Pajak properti untuk berbagai penggunaan. Mengembang1.Jarak aparkan rumus temen deuntuk mencari ngan CBD. tingkat ka2.Tingkat optipitalisasi yang malisasi pe- baru, analisis ngembangan regresi berlahan. ganda dengan metode penaksir Least Squares Dummy Variable (LSDV) serta dengan pemanfaatan aplikasi SIG. 1. NJOP. 2. Nilai pasar.
1.Uji normalitas. 2.Uji beda. 3. Pengukuran variabilitas. 4.Pengukuran tendensi sentral. 5.Uji regresifitas/progresifitas. 6.Uji level assessment.
Hasil Penelitian 5 Terjadi ketidakadilan vertikal pada penilaian massal menggunakan CAMA. Penilaian beberapa properti terlalu rendah dan beberapa properti terlalu tinggi.
Merekomendasikan model penaksir penilaian properti untuk keperluan penetapan NJOP properti untuk berbagai penggunaan.
Penggunaan metode penaksir Least Squares Dummy Variable (LSDV) mampu menghasilkan model penaksiran tingkat kapitalisasi apartemen yang terbaik, linear dan tidak bias. Pengaruh jarak apartemen ke CBD dan tingkat optimalisasi pengembangan lahan terhadap tingkat kapitalisasi pendapatan apartemen sesuai dengan teori ekonomi. Penetapan assessment ratio di dua kecamatan tidak seragam dengan variabilitas tinggi.
9
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Menganalisis nilai pasar properti rumah makan dan pemancingan di kawasan Janti untuk kepentingan penetapan NJOP dengan menerapkan pendekatan kapitalisasi pendapatan (kapitalisasi langsung).
2.
Menganalisis nilai pasar properti rumah makan dan pemancingan di kawasan Janti untuk kepentingan penetapan NJOP dengan menggunakan pendekatan biaya.
3.
Menganalisis hilangnya potensi pendapatan negara/daerah selama ini dengan cara sebagai berikut. a. Membandingkan hasil penilaian berdasarkan pendekatan biaya dengan nominal NJOP yang tertera pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB). b. Perbandingan antara NJOP pada SPPT PBB dengan hasil penilaian dengan pendekatan biaya, dikalikan dengan hasil penilaian dengan pendekatan pendapatan (kapitalisasi langsung) untuk mendapatkan NJOP yang semestinya dibayarkan. c. Mengurangi pajak terutang berdasarkan NJOP yang semestinya dibayar dengan pajak terutang yang tertera pada SPPT PBB.
10
1.3.2 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan bisa menjadi alternatif bahan pertimbangan bagi kebijakan penetapan NJOP di kawasan pemancingan Janti sehingga NJOP tidak terlalu jauh dari nilai pasar yang sebenarnya. Dengan demikian potensi pendapatan daerah Kabupaten Klaten bisa dimaksimalkan. 1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan adalah sebagai berikut: Bab I Pengantar memuat latar belakang, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis menguraikan tinjauan pustaka, landasan teori, dan alat analisis. Bab III Analisis Data dan Pembahasan menguraikan cara penelitian, hubungan fenomena-fenomena yang diamati, hasil analisis data, dan pembahasan. Bab IV Kesimpulan dan Saran memuat kesimpulan dari analisis data serta saran-saran atau rekomendasi untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten.