1
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Isu mengenai korupsi telah menjadi perhatian utama media di Indonesia. Hampir setiap hari berita mengenai kasus korupsi diberitakan di media cetak maupun media televisi, yang menampilkan perilaku para koruptor. Sebagian besar tersangka koruptor terdiri dari oknum pejabat pemerintah dan pengusaha, bahkan diantaranya terdapat akademisi, yang ironisnya justru orang-orang yang berpendidikan tinggi dan berprestasi di bidangnya masing-masing. Fakta ini menarik untuk dicermati, apakah para pelaku korupsi yang umumnya berpendidikan tinggi memang secara sadar ataupun tidak sadar melakukan praktik korupsi karena merasa wajar sebagai bagian dari sistem yang kondusif untuk praktik korupsi, ataukah karena pengetahuan atas tindakan korupsi yang masih rendah. Truex (2010) berpendapat bahwa di negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, biasanya bercirikan adanya inkonsistensi dalam menentukan tingkat toleransi atas perilaku yang korup. Di satu sisi, ada sebagian masyarakat yang secara terbuka menyatakan perang atas segala jenis tindakan korupsi, tetapi sebagian lain dari kelompok masyarakat hidup dalam norma sosial yang cenderung mentolerir praktik korupsi, dan bahkan lebih
1
2 memprihatinkan lagi memunculkan ‘korupsi sebagai sebuah budaya’. Secara tidak sadar, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat, yang bisa jadi terkait dengan masih sangat kurangnya pengetahuan mereka terhadap tindakan korupsi. Sikap yang cenderung menolak ataupun mentolerir tindakan korupsi juga bisa dijadikan indikator tingkat kepedulian masyarakat terhadap tindakan korupsi. Bermunculannya berita seputar kasus-kasus korupsi yang menyangkut kalangan politisi dan pejabat pemerintah pusat maupun daerah merupakan gambaran di betapa memperihatinkannya kasus korupsi di Indonesia. Para terpidana korupsi tidak saja berasal dari ketua partai politik yang selama ini memposisikan diri bersih dan agamis, kaum birokrat yang pernah mendeklarasikan sikap anti korupsi, tetapi juga menimpa para akademisi yang selama ini dianggap sebagai kaum intelektual yang bisa memberikan contoh baik bagi masyarakat tentang sikap independen dan anti korupsi. Salah satu indikator yang menunjukkan tingkat korupsi di berbagai negara di dunia setiap tahun dirilis oleh lembaga Transparency International. Laporan Transparency International tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia menempati ranking 114 dari 177 negara dalam tingkat korupsi, dengan total skor 32 dari 100. Posisi ini sangat jauh dari negara tetangga terdekat Singapura yang ada di posisi 5, Thailand (102), ataupun Malaysia (53).
3 Tindakan korupsi identik tidak saja hanya menyangkut tindakan yang berkonsekuensi hukum bagi pelakunya, tapi juga berdampak negatif berupa kerugian negara. Penelitian tentang dampak kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan korupsi di Indonesia pernah dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (2013). Temuan mereka menyebutkan bahwa dalam bidang pendidikan, dalam satu dasawarsa (2003-2013) terdapat 296 kasus korupsi pendidikan dengan kerugian negara sebesar 619 miliar rupiah. Sementara untuk kerugian negara yang disebabkan korupsi di bidang kehutanan, kerugian negara diperkirakan mencapai 22 triliun rupiah. Dalam laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (2013), dipaparkan fakta bahwa ternyata sebagian besar para koruptor adalah lulusan perguruan tinggi. Dengan demikian, sebagai bagian dari tindakan pencegahan korupsi, pendidikan antikorupsi di level perguruan tinggi menjadi penting. Dalam konteks ini peran perguruan tinggi menjadi sangat penting dan strategis, untuk tidak saja hanya menghasilkan sarjana yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga untuk membentuk generasi penerus yang memiliki komitmen untuk menegakkan integritas diri dan institusinya. Perguruan tinggi diharapkan bertanggung jawab terhadap kehadiran generasi penerus yang berkarakter dan memegang teguh integritas serta memiliki sikap yang tegas yang tidak mentolerir terjadinya tindakan korupsi.
4 Dalam laporan yang dipublikasikan oleh Pacific Economic and Risk Consultancy tahun 2005, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari, korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), proyek pengadaan di instansi pemerintah sampai proses penegakan hukum (KPK, 2006). Berbagai definisi tentang korupsi dikemukakan baik dari sisi hukum maupun sudut pandang non-hukum. Salah satu acuan definisi korupsi di Indonesia dari sudut pandang hukum adalah definisi menurut UU No. 13/1999 jo UU No. 20/2001 yang menyebutkan bahwa korupsi merupakan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri, orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara, menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikankeuangan /perekonomian negara. Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam UndangUndang tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan produk hukum peninggalan Belanda. Namun, maraknya kasus korupsi di Indonesia bisa jadi merupakan indikasi masih rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap pengertian korupsi.
5 Untuk memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang mudah. Sebagai misal, mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo., Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama ini dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Tindakan gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK dapat menjadi salah satu bentuk tindak korupsi. Memberantas
tindakan
korupsi
yang
sudah
membudaya
dan
mencemari sistem pemerintahan akan membutuhkan energi yang besar dan waktu yang panjang, melibatkan beberapa generasi. Jika generasi yang saat ini sedang berkuasa (incumbent) tidak bisa diharapkan lagi, maka generasi berikutnya yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan. Mahasiswa sebagai generasi muda bangsa, diharapkan akan menjadi aktor utama yang menggantikan generasi yang saat ini sedang memegang kekuasaan pemerintahan atau menjadi pengusaha dalam sistem pemerintahan dengan tingkat korupsi yang tinggi. Keterlibatan mahasiswa dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum tetapi lebih pada tindakan pencegahan. Peran aktif mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat. Mahasiswa
6 diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi di masyarakat. Untuk dapat berperan aktif, mahasiswa perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya. Pengetahuan tentang tindakan korupsi yang lebih baik diharapkan akan membentuk sikap mahasiswa yang intoleran terhadap tindakan korupsi. Upaya pembekalan mahasiswa dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain melalui pemberian pengetahuan bagi mahasiswa tentang berbagai jenis, konsekuensi hukum, dan dampak negatif dari tindakan korupsi.
Oleh
karena
itu
peran
universitas
sangat
penting
dalam
pemberantasan korupsi melalui tindak pencegahan melalui pendidikan seperti studi yang dilakukan oleh Heyneman (2004; 2008) pada
tiga
universitas di negara Georgia, Kazakhstan dan Kyrgyzstan dengan subjek yang terdiri dari mahasiswa dan dosen. Selain itu Pippidi, dan Dusu (2011) melakukan penelitian pada 42 universitas negeri di Rumania untuk mengukur tatakelola organisasi dan kesiapan universitas di Rumania dalam rangka membekali mahasiswa dalam memerangi praktik korupsi. Penelitian tersebut dimotivasi oleh laporan Transparency International yang menempatkan Rumania sebagai negara paling korup di kawasan Uni Eropa. Hasil temuan mereka menyimpulkan perlunya reformasi sistem pendidikan dan tatakelola organisasi pada level
7 perguruan tinggi serta menumbuhkan budaya bersaing yang sehat yang jauh dari praktik korupsi dan sistem yang tidak akuntabel. Studi tentang pentingnya pengetahuan mahasiswa atas tindakan korupsi menjadi relevan karena sebagian besar pelaku korupsi di Indonesia dari kalangan yang justru berlatar pendidikan tinggi (Angkasa, 2013). Dalam kaitan dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa isu, yaitu: pertama, untuk mengukur tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi mahasiswa terhadap tindakan korupsi dengan mengambil sampel mahasiswa S-1 dan S-2 UGM; dan kedua, untuk menguji korelasi antara tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi mahasiswa UGM terhadap berbagai jenis tindakan korupsi. Dengan mengetahui tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi mahasiswa terhadap tindakan korupsi, diharapkan diperoleh gambaran tentang tingkat kesiapan dan sikap mahasiswa di UGM untuk mendukung program pemberantasan korupsi yang hingga saat ini gencar digalakkan pemerintah dan KPK. Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa yang suatu saat menjadi pelaku dalam usaha, pembuat keputusan, dan pemimpin di negeri ini akan dapat membedakan secara jelas tindakan-tindakan mana yang dikategorikan sebagai tindakan yang korup. Jika misalnya hasil temuan penelitian menyimpulkan tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi atas tindakan korupsi di kalangan mahasiswa masih tergolong rendah, temuan tersebut bisa diartikan sebagai indikator perlunya peninjauan ulang atas
8 sistem pendidikan tinggi di Indonesia, terutama terkait dengan pengajaran yang terkait dengan tindakan korupsi di Indonesia. Beberapa penelitian tentang pengetahuan tindakan korupsi ataupun etika telah dilakukan di berbagai negara. Studi Jaffe dan Tsimerman (2005) melakukan survei terhadap 100 mahasiswa bisnis pada tiga universitas di Moskow untuk menguji sikap mereka terhadap berbagai tindakan yang melanggar isu etika bisnis. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa yang menjadi subjek penelitian cenderung menunjukkan persepsi yang lebih negatif terhadap tindakan yang melanggar etika dibandingkan hasil-hasil penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya yang melibatkan subjek para manajer di Rusia. Temuan ini bisa diartikan bahwa subjek mahasiswa di tiga sekolah bisnis di Rusia menunjukkan tingkat intoleransi yang lebih tinggi terhadap tindakan bisnis yang tidak beretika. Penelitian yang dilakukan oleh Tse dan Au (1997) di Universitas Waikato, Selandia Baru menginvestigasi skor etika mahasiswa bisnis dengan non-bisnis serta pengaruh jender terhadap skor etika. Hasilnya menunjukkan bahwa skor etika perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu mahasiswa senior ditemukan memiliki skor etika lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yunior. Penelitian yang dilakukan oleh Truex (2010) di Nepal menemukan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang maka semakin tinggi sikap penolakan (intoleransi) terhadap praktek tindakan korupsi. Svenson (2005)
9 juga menyimpulkan bahwa ada kecenderungan di negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, tingkat pendidikan penduduknya (lama waktu pendidikan rata-rata penduduk) juga cenderung rendah. Becker, Hauser, dan Kronthaler (2013) melakukan penelitian di empat universitas di Swedia, dan menemukan bahwa mahasiswa yang dijadikan subjek cenderung mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi jenis-jenis tindakan korupsi dan konsekuensi hukumnya. Temuan tersebut mengisyaratkan bahwa tingkat pengetahuan mahasiswa yang menjadi sampel penelitian di Swedia mengenai tindakan korupsi dan konsekuensi hukum masih tergolong rendah. Penemuan yang lain dari studi tersebut adalah mahasiswa fakultas hukum memiliki skor pengetahuan
tentang
jenis-jenis
tindakan
korupsi
yang
lebih
tinggi
dibandingkan jurusan yang lain, sedangkan berdasarkan tingkat pendidikan mahasiswa master dan doktoral memiliki skor pengetahuan tentang jenisjenis tindakan korupsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa S-1. Mengapa
beberapa
orang
memilih
untuk
melakukan
korupsi
dibandingkan berbuat jujur, sementara orang lain tidak? Apakah hanya disebabkan oleh faktor ekonomi dan keuntungan yang kemudian melakukan tindakan korupsi atau apakah adanya motivasi instrinsik yang berperan, apakah faktor budaya juga turut berperan? Budaya secara berbeda-beda didefinisikan dalam perspektif ekonomi. Definisi dari budaya oleh Greif (1994) merupakan suatu alat koordinasi yang meliputi suatu kumpulan norma-norma sosial dan keyakinan-keyakinan yang mengarahkan suatu masyarakat pada
10 suatu kondisi seimbang saat adanya banyak keseimbangan. Harisson dan Huntington (2000) secara komprehensif mendefinisikan budaya sebagai hal yang meliputi hal-hal seperti: nilai, sikap, keyakinan, orientasi dan asumsiasumsi umum yang mendasari orang-orang di masyarakat. Beberapa studi yang telah dilakukan terkait dengan pengaruh budaya terhadap perilaku ekonomi dan korupsi salah satunya adalah yang dilakukan oleh Fisman dan Miguel (2007). Studi tersebut menggunakan sampel imigran dengan
latar
belakang
yang
bervariasi
dengan
maksud
untuk
membandingkan perilaku imigran dari berbagai negara yang tinggal di lingkungan yang sama. Penelitian tersebut dilakukan di kota New York terhadap diplomat dari negara dengan tingkat korupsi tinggi dibandingkan dengan diplomat dari negara dengan tingkat korupsi rendah untuk mengidentifikasi hubungan antara latar belakang budaya dan korupsi. Salah satu hasil temuan penelitian tersebut adalah bahwa para diplomat dari negara dengan tingkat korupsi tinggi memiliki tingkat pelanggaran aturan parkir yang lebih tinggi dibandingkan dengan diplomat yang berasal dari negara dengan tingkat korupsi lebih rendah. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Cameron, Chaudhuri, Erkal, dan Gangadharan
(2009)
dengan
menggunakan
metode
eksperimen
menggunakan permainan peran suap (bribery role play), melibatkan sampel pelajar yang berasal dari Australia, India, Indonesia dan Singapura. Eksperimen dilakukan dimana sampel diminta untuk mengidentifikasikan
11 sejumlah tindakan korupsi dalam variasi cross-cultural dan perilaku anti korupsi. Temuan penelitian tersebut adalah bahwa terdapat korelasi positif antara kebiasaan hidup sehari-hari yang toleran terhadap praktik suap dengan tingkat toleransi terhadap tindakan korupsi. Selain itu, penelitian tersebut juga menemukan kecenderungan untuk menyuap oleh sampel mahasiswa yang berasal dari negara Australia tergolong paling rendah dibanding mahasiswa dari Singapura, India dan Indonesia. Meskipun
penelitian
tentang
tingkat
pengetahuan
dan
tingkat
intoleransi terhadap tindakan korupsi telah banyak dilakukan di berbagai negara, tetapi hasil penelitian yang mengambil kasus di negara berkembang di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bukti empiris terkait tingkat pengetahuan mahasiswa tentang berbagai jenis tindakan korupsi serta konsekuensi hukumnya, serta hasil empiris tingkat intoleransi mahasiswa terhadap berbagai jenis tindakan korupsi, dengan mengambil sampel mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dianggap sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia yang selama ini secara aktif ikut mendukung program pemberantasan korupsi di Indonesia. Hasil temuan penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi tindakan korupsi di Indonesia, yang selanjutnya bisa digunakan sebagai input perlu tidaknya pengembangan kurikulum pendidikan
12 perguruan tinggi, khususnya untuk pengajaran materi yang terkait dengan tindakan korupsi di Indonesia.
B. Rumusan Masalah Maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia di satu sisi menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi wabah masyarakat yang tidak saja merusak generasi bangsa saat ini, tetapi juga berbahaya bagi generasi berikutnya. Mahasiswa yang sedang menjalani perkuliahan di Universitas dianggap akan menjadi generasi berikutnya yang bisa menjadi agen perubahan dan akan menggantikan generasi sebelumnya yang sudah terlanjur toleran terhadap sistem yang korup. Penelitian tentang tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi mahasiswa terhadap berbagai jenis tindakan korupsi oleh mahasiswa di UGM diharapkan bisa memberikan gambaran tentang tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi mahasiswa atas tindakan korupsi para mahasiswa di Indonesia yang nantinya akan berperan penting sebagai generasi penerus bangsa Indonesia. Tingkat pengetahuan yang baik oleh mahasiswa sangat diharapkan menjadi dasar bagi mereka kelak untuk berperan sebagai agen perubahan yang intoleran terhadap berbagai jenis tindakan korupsi jika sudah masuk dalam sistem pemerintahan maupun sistem bisnis. Masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bahwa hingga saat ini belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mengkaji tingkat
13 pengetahuan dan tingkat intoleransi terhadap tindakan korupsi di kalangan mahasiswa, khususnya untuk kasus di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini akan menginvestigasi tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi mahasiswa atas tindakan korupsi dengan mengambil sampel mahasiswa S-1 dan S-2 UGM, untuk memberikan bukti empiris tentang tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi atas tindakan korupsi yang ditinjau dari tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan fakultas.
C. Tujuan dan Manfaat C.1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi mahasiswa UGM terhadap berbagai jenis tindakan korupsi dari lima fakultas yakni Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB), Fakultas Psikologi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL). Secara lebih khusus, tujuan penelitian diterjemahkan dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut: 1. Seberapa
tinggikah
tingkat
pengetahuan
dan
tingkat
intoleransi
mahasiswa UGM terhadap berbagai jenis tindakan korupsi? 2. Apakah mahasiswa Fakultas Hukum (FH) cenderung mempunyai tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi terhadap tindakan korupsi yang lebih tinggi dibanding mahasiswa non-FH?
14 3. Apakah tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi terhadap tindakan korupsi mahasiswa S-1 berbeda dengan mahasiswa S-2? 4. Apakah tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi terhadap tindakan korupsi mahasiswa perempuan berbeda dibanding mahasiswa laki-laki? 5. Apakah faktor-faktor demografis (jenis kelamin; tingkat pendidikan; dan fakultas) berhubungan dengan tingkat pengetahuan tentang tindakan korupsi? 6. Apakah tingkat pengetahuan atas tindakan korupsi berhubungan dengan tingkat intoleransi terhadap tindakan korupsi? C.2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah kontribusi bukti empiris tentang tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi terhadap tindakan korupsi di kalangan mahasiswa, dengan mengambil sampel mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan bisa memberikan input bagi gerakan anti korupsi di Indonesia yang selama ini gencar dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan para pegiat antikorupsi di Indonesia yang sebagian juga berasal dari civitas akademika perguruan tinggi di Indonesia. Hasil empiris tingkat pengetahuan dan tingkat intoleransi atas berbagai tindakan korupsi pada sampel mahasiswa di UGM diharapkan bisa memberikan gambaran dan input dalam pemberian pendidikan anti korupsi di perguruan tinggi di Indonesia.
15 D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Beberapa
penelitian
sebelumnya
yang
terkait
dengan
tingkat
pengetahuan tindakan korupsi sebagian besar dilakukan di negara-negara maju seperti di Amerika (Ritter, 2006), Australia (Alatas, Cameron, Chaudhuri, Erkal, dan Gangadharan , 2009) dan beberapa negara di benua Eropa (Becker et al., 2013, Barr & Serra, 2005). Sebagian peneliti lainnya mencoba meneliti tingkat intoleransi terhadap tindakan korupsi, misalnya Truex (2010) di Nepal. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pertama, penelitian ini mencoba untuk mengkaitkan tingkat pengetahuan atas tindakan korupsi dengan tingkat intoleransi atas tindakan korupsi. Kedua, penelitian ini mengambil sampel mahasiswa dari kasus di negara Asia Tenggara, yaitu di Indonesia, yang selama ini tergolong unik karena termasuk salah satu negara dengan populasi besar dan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi sekaligus juga mengalami masalah terkait tingginya tingkat kejahatan korupsi. Kiranya menarik untuk mengkaitkan apakah tingkat pengetahuan tindakan korupsi berkaitan dengan tingkat toleransi tindakan korupsi.
16