BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Pada latar belakang dibahas mengenai isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian serta alasan penulis mengangkat tema penelitian. Rumusan masalah berisikan pertanyaan-pertanyaan yang akan dibahas berkaitan dengan isu yang diteliti, sehingga nantinya akan terlihat gambaran mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian ini. 1.1
Latar Belakang Kinerja perusahaan dan apa saja faktor yang mempengaruhinya telah menjadi
fokus penelitian dibidang strategic management selama puluhan tahun terakhir. Terdapat berbagai sudut pandang yang digunakan peneliti untuk menjelaskan kinerja perusahaan tersebut. Misalnya menggunakan sudut pandang eksternal yang lebih menekankan pada sisi lingkungan industri perusahaan seperti paradigma SCP (Structure-Conduct-Performance) (Bain, 1959) dan Five Force Model (Porter, 1981), atau menggunakan sudut pandang internal yang lebih menekankan pada sisi sumberdaya internal yang dimiliki perusahaan seperti Core Competence of Corporation (Hamel dan Prahalad, 1990) dan Resource Based View (Barney, 1991). Namun, penelitian-penelitian tersebut hanya menekankan pada satu sisi saja. Untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai kinerja perusahaan diperlukan penggunaan sudut pandang yang lebih komprehensif, misalnya dengan memandang 1
sisi internal seperti sumber daya dan sisi eksternal perusahaan seperti lingkungan industri secara bersamaan. Manajemen puncak perusahaan merupakan sumberdaya internal yang juga menjadi penentu kinerja perusahaan. Hal ini sesuai dengan Upper Echelon Theory yang dikemukakan oleh Hambrick dan Mason (1984) yang menyatakan bahwa pilihan-pilihan yang diambil oleh organisasi seperti pilihan strategis dan implementasi strategi ditentukan oleh orang-orang yang memiliki peran besar dalam organisasi, yaitu para manager atau pimpinannya. Pilihan strategis yang diambil oleh pimpinan tersebut akhirnya akan menentukan kinerja organisasi itu sendiri. Hambrick dan Mason (1984) juga menjelaskan bahwa terkadang pemimpin puncak akan menerima informasi dengan jumlah yang sangat banyak yang melebihi kemampuan mereka untuk menggunakan informasi-informasi tersebut sebagai dasar untuk pengambilan keputusan, sehingga pemimpin akan cenderung menyaring informasi yang penting berdasarkan batasan rasional mereka. Hal ini dikenal dengan istilah Bounded Rationality. Dalam penyaringan informasi ini, batasan rasionalitas seperti batasan kognitif, nilai, pengalaman dan keyakinan akan menjadi dasar bagi pemimpin untuk asumsi atau persepsi atas informasi-informasi tersebut. Kemudian, setelah melalui penyaringan tersebut informasi akan diinterpretasikan menjadi persepsi manajerial dan keputusan strategis akan diambil berdasarkan persepsi manajerial ini. Keputusan yang diambil inilah yang kemudian akan menentukan pertumbuhan perusahaan sehingga dapat dikatakan bahwa pemimpin memiliki peran yang sangat penting dalam perusahaan (Finkelstein et al., 2009) 2
Dalam Upper Echelon Theory (Hambrick dan Mason, 1984) juga dinyatakan bahwa karakteristik dan fungsi dari Tim Manajemen Puncak (TMP) memiliki potensi yang lebih besar untuk memprediksi dampak organisasional dibanding CEO secara individu. Proses pengambilan keputusan terdiri dari beberapa tahapan yang sistematis dan proses kompleks yang melibatkan interaksi antar pemimpin puncak (Finkelstein et al., 2009). Kompleksitas dalam proses pengambilan keputusan tersebut dapat memunculkan
ambiguitas
jika
sekumpulan
pemimpin
organisasi
memiliki
heterogenitas dalam hal nilai, keyakinan, kognitif atau perbedaan karakteristik lainnya (Finkeilstein et al., 2009). Untuk mengatasi permasalahan ini, para pemimpin harus melakukan koalisi yang efektif dalam mereduksi efek negatif dan mengambil manfaat dari heterogenitas dalam bentuk tim manajemen puncak (Finkeilstein et al., 2009). Dalam berbagai penelitian mengenai TMP perusahaan secara umum membahas bagaimana pengaruh komposisi atau keberagaman individu di dalam tim berdampak pada kinerja organisasi. Beberapa peneliti menemukan bahwa semakin tinggi diversitas dalam TMP akan mendorong kinerja yang positif (Bantel dan Jackson, 1989; Hambrick et al., 1996; Bunderson dan Sutclife, 2002; Bunderson, 2003). Namun beberapa peneliti menemukan sebaliknya, heterogenitas TMP berdampak negatif pada kinerja perusahaan (Knight et al., 1999; Wei et al., 2005). Dengan adanya perbedaan hasil temuan dalam penelitian-penelitian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa temuan penelitian mengenai topik ini belum konsisten (Harrison dan Klein, 2007). Harisson dan Klein (2007) menyatakan bahwa 3
ketidakkonsistenan hasil tersebut disebabkan oleh defenisi diversitas yang masih belum jelas baik secara konseptual maupun operasional yang digunakan oleh penelitipeneliti sebelumnya seperti yang terangkum dalam Tabel 1.1. sehingga hal tersebut berakibat pada argumentasi teori yang keliru serta berujung pada penarikan kesimpulan penelitian yang kabur mengenai dampak diversitas. Tabel. 1.1 Definisi Diversitas Pada Penelitian Terdahulu No. Peneliti, Tahun 1 Hambrick, Cho dan Chen (1996) 2 Jackson et al. (2003) 3 4
5
Harrison dan Sin (2005) Roberge dan Van Dick (2010) Van Knippenberg dan Schippers (2012)
Definisi Variation in members characteristics The distribution of personal attributes among interdependent members of a work unit. The collective amount differences among members within a social unit. Differences between individuals on any attributes that may lead to the perception that another person is different from the self. Group chracteristic that reflects the degree to which there are objective or subjective differences among members.
Sumber: Diolah (2015) Harrison dan Klein (2007) membagi diversitas menjadi tiga bentuk yaitu diversitas sebagai separation (sebaran), variety (variasi), dan disparity (disparitas) seperti pada Tabel 1.2. Diversitas sebagai sebaran adalah perbedaan dan keragaman antar anggota di dalam suatu kelompok terhadap satu continuum horizontal pada satu atribut tertentu. Perbedaan ini mengindikasikan posisi masing-masing anggota terhadap atribut tersebut seperti perbedaan nilai, orientasi, dan kepercayaan.
4
Diversitas sebagai variasi adalah keragaman antar anggota yang bersifat kualitatif atau kategorikal seperti gender dan pendidikan. Terakhir, disparitas adalah perbedaan antar anggota dalam tim dalam hal konsentrasi kepemilikan aset atau sumber daya sosial seperti upah, kekuasaan, dan status. Tabel. 1.2 Definisi dan Tipe Diversitas Menurut Harrison dan Klein (2007) No. Tipe Diversitas 1 Separation
Definisi dan Sinonim Composition of Differences in (lateral) position or opinion among unit members, primarily of value, belief, or attitude; disagreement, or opposition. 2 Variety Composition of differences in kind, source, or category of relevant knowledge or experience among unit members; unique, or distinctive information. 3 Disparity Composition of (vertical)differences in proportion of socially valued assets or resources held among unit members; inequality or relative concentration. Sumber: Harrison dan Klein (2007) Ketiga kategori diversitas tersebut memiliki definisi konseptual yang berbeda dan berimplikasi pada dasar teori, operasionalisasi dan metode pengukuran yang berbeda (Harrison dan Klein, 2007). Kemudian, mereka berpendapat bahwa masingmasing bentuk diversitas memiliki efek yang berbeda terhadap organisasi. Diversitas sebagai sebaran merupakan perbedaan posisi antara satu anggota dengan anggota lainnya. Diversitas jenis ini diprediksi dapat meningkatkan konflik antar individu, mengurangi kohesi dalam tim, dan mereduksi kepercayaan antar anggota tim (Harrison dan Klein, 2007). Sedangkan diversitas variasi mencerminkan diversitas informasi, yaitu perbedaan pengetahuan dan sumber informasi utama antara satu
5
anggota dengan anggota lainnya. Diversitas variasi dapat meningkatkan kreatifitas, inovasi, kualitas keputusan yang lebih baik, meningkatkan konflik pekerjaan, meningkatkan fleksibilitas (Harrison dan Klein, 2007). Kemudian, diversitas sebagai disparitas merefleksikan perbedaan dalam kepemilikan sumberdaya organisasi dan sumberdaya sosial di dalam tim. Jenis diversitas ini diprediksi dapat meningkatkan kompetisi antar anggota di dalam tim, perilaku menyimpang bahkan keluar dari tim (Harrison dan Klein, 2007) Selain berbeda secara fundamental, pengelompokan diversitas tersebut juga berbeda dalam pengukuran. Harrison dan Klein (2007) menyatakan diversitas sebagai sebaran seharusnya diukur dengan standar deviasi atau Mean Eucledian Distance. Variasi seharusnya diukur menggunakan Indeks Blau atau Teachman. Sedangkan disparitas diukur menggunakan Coefficient of variation atau Gini Coefficient. Harrison dan Klein (2007) juga mengatakan bahwa jenis diversitas yang berbeda, terutama diversitas dalam kategori pengelompokan definisi konseptual yang berbeda memiliki konsekuensi yang berbeda pula. Penggabungan diversitas antara diversitas sebaran, variasi, dan disparitas ke dalam satu konstruk tunggal dan mengembangkan satu mekanisme teori yang sama untuk setiap variabel diversitas akan semakin mengaburkan efek diversitas tim terhadap kinerja perusahaan, terutama diversitas dengan definisi konseptual berbeda (Harrison dan Klein, 2007). Lebih lanjut, seperti yang digambarkan pada Tabel 1.3 Harrison dan Klein (2007) menyarankan peneliti untuk melakukan studi secara terpisah terhadap masing-masing kategori diversitas yang berbeda secara konseptual. 6
Tabel. 1.3 Operasionalisasi dan Dampak Diversitas Menurut Harrison dan Klein (2007) No. Tipe Diversitas Operasionalisasi Pengukuran Prediksi Dampak 1 Separation Menurunkan kohesi, Standar deviation meningkatkan konflik Mean Euclidean distance interpersonal, ketidakpercayaan, menurunkan kinerja 2 Variety Meningkatkan kreatifitas, Blau’s Index inovasi, kualitas keputusan, Teachman Index’s konflik kerja, fleksibilitas tim 3 Disparity Meningkatkan kompetisi Coefficient of variation antar tim, mengurangi input Gini Coefficient anggota, berpotensi melakukan tindakan penyimpangan, keluar dari tim Sumber: Harrison dan Klein (2007) Pada penelitian terdahulu terdapat ketidakjelasan konseptualisasi diversitas yang akan diukur. Misalnya, Certo et al. (2006) yang menghipotesiskan dampak diversitas latar fungsional, pendidikan, dan tenure secara global ke dalam satu mekanisme hipotesis. Padahal variabel-variabel tersebut sebenarnya memiliki metode pengukuran yang berbeda-beda. Variabel latar fungsional diukur dengan Indeks Blau, artinya variabel tersebut memiliki definisi konseptual berupa diversitas variasi. Sedangkan variabel lainnya diukur menggunakan coefficient of variation yang seharusnya bersifat diversitas disparitas (Harrison dan Klein, 2007). Secara bersama-
7
sama, variabel-variabel tersebut diprediksi berpengaruh positif terhadap kinerja dalam satu argumentasi hipotesis. Isu lainnya terkait topik ini adalah penggunaan variabel mediasi dalam menjelaskan efek diversitas
terhadap
output
organisasi.
Lawrence
(1997)
menyarankan peneliti untuk mengelaborasi variabel-variabel yang mungkin menjadi mediator atau moderator dalam menjelaskan efek diversitas demografi. Certo et al. (2006) juga menyatakan bahwa penelitian yang menguji variabel demografis TMP sebaiknya memasukkan intervening variable dalam hubungan antara TMP dan kinerja perusahaan. Pfeffer (1983) dalam Smith et al. (1994) dan Knight et al. (1999) berpendapat bahwa variabel proses merupakan variabel yang penting dalam menjelaskan kinerja. Olson et al. (2006) dan Goll et al. (2008) menunjukkan bahwa usaha dalam mengelaborasi variabel-variabel mediasi memberikan penjelasan yang lebih baik. Penelitian mereka membuktikan bahwa R-square model dengan variabel mediasi lebih baik dari pada model dengan hubungan langsung. Tabel. 1.4 Variabel-variabel Mediasi Pada Penelitian Terdahulu No. Peneliti, Tahun 1 Smith et al. (1994) 2 Knight et al. (1999) 3 Simons et al. (1999) 4 Bunderson dan Sutclife (2002) 5 Li dan Hambrick (2005) Sumber: Diolah (2015)
Variabel mediasi Integrasi sosial dan proses komunikasi. Proses grup Debat Berbagi informasi Konflik emosional dan disintegrasi perilaku
8
Penelitian yang bersifat process-oriented telah menghasilkan pemahaman penting mengenai mekanisme yang menghubungkan faktor demografis TMP dan outcome organisasional, mekanisme tersebut diantaranya adalah strategi (Certo et al., 2006). Seperti dalam Tabel 1.4, pada penelitian terdahulu variabel mediasi hanya sering berfokus pada bagaimana diversitas TMP mempengaruhi perilaku sosial. Misalnya Smith et al. (1994) yang menggunakan integrasi sosial dan proses komunikasi sebagai variabel mediasi. Kemudian Knight et al. (1999) menggunakan proses grup dan Li dan Hambrick (2005) menggunakan konflik emosional dan disintegrasi perilaku sebagai variabel mediasi. Karenanya masih sedikit bukti empiris mengenai bagaimana fungsi kognitif yang dimiliki manajer puncak menjadi penentu strategi perusahaan. Adanya kesenjangan penelitian ini cukup mengejutkan mengingat gagasan sentral dari Upper Echelon Theory menyatakan bahwa keistimewaan manajer puncak cukup kuat untuk mempengaruhi pilihan strategis dalam perusahaan (Hambrick dan Mason, 1984). Variabel mediasi yang diyakini cukup berkontribusi besar terhadap kinerja adalah pilihan strategis seperti strategic isomorphism atau kecenderungan untuk menyamakan bentuk khususnya strategi dengan organisasi lain dalam lingkungan industri yang tercermin dari strategic conformity (Deephouse, 1996; Deephouse, 1999; Garcia dan Sabate, 2010). Beberapa peneliti
mengemukakan
bahwa
sejauh
mana
para
pengambil
keputusan
mempertimbangkan berbagai alternatif secara komprehensif akan menghasilkan keputusan strategis yang lebih baik. Konsep ini berkaitan erat dengan Upper Echelon
9
Theory dimana para pemimpin perusahaan memiliki peran besar dalam menentukan keputusan strategi organisasi (Hambrick dan Mason, 1984). Dalam melakukan kegiatannya untuk mencapai kinerja yang diinginkan, organisasi tentu saja bersentuhan dengan banyak pihak. Setiap tindakan yang dilakukan organisasi akan mendapat respon dari lingkungan eksternal organisasi. Dalam lingkungan yang memiliki regulasi yang cukup ketat seperti itu mungkin organisasi tidak dapat dengan leluasa melakukan pilihan strategis. Terkadang pilihan strategis yang dilakukan oleh TMP bisa saja adalah bentuk respon terhadap lingkungan karena adanya aturan-aturan yang membatasi tindakan organisasi. Lebih lanjut, karena batasan-batasan dan bounded rationality yang dimiliki, akhirnya TMP lebih memilih untuk melakukan pilihan strategis yang relatif sama dengan organisasi lain dan rata-rata industri. Menurut Institutional Theory yang diperkenalkan oleh DiMaggio dan Powell (1983) tindakan untuk menyamakan bentuk ini disebut dengan Isomorphism. Menurut Institutional theory kegiatan strategis didefinisikan sebagai hal yang bersifat sosial dan normatif. Motif tindakan ini berasal dari kecenderungan aktor untuk memperoleh legitimasi atas kegiatan tersebut, karena efektivitas tindakan ini dinilai oleh banyak konstituen seperti pemegang saham, pelanggan, pemerintah, dan kelompok-kelompok kepentingan publik yang menilai kesesuaian atau legitimasi kegiatan strategis dari sudut pandang mereka sendiri. Jadi, dengan menyamakan pilihan strategis yang dianggap sesuai oleh konstituen dan kemudian dapat mencapai kinerja yang sesuai rata-rata industri atau bahkan melebihi, TMP sebagai aktor dalam pilihan strategis 10
organisasi akan mencapai legitimasi dan lebih dipandang dalam lingkungan industri tersebut. Secara spesifik Deephouse (1996) menyebut kecenderungan untuk menyamakan strategi ini dengan istilah strategic isomomorphism yang dapat diartikan sebagai sejauh mana strategi organisasi menyerupai strategi konvensional atau strategi normal dalam suatu industri. Industri perbankan adalah salah satu industri yang cukup representatif terkait konsep yang telah dijelaskan sebelumnya. Industri ini dianggap sesuai mengingat industri perbankan adalah industri yang sangat teregulasi dimana kegiatan dalam industri diawasi dan diatur dengan ketat oleh pemerintah melalui lembaga otoritas tertentu seperti bank sentral dan lembaga lainnya. Di Indonesia industri perbankan diawasi dan diatur oleh lembaga pemerintah seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa BI dan OJK memiliki wewenang untuk memberikan izin, mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi kepada usaha yang bergerak dalam industri perbankan. Adanya lembaga pemerintah seperti BI dan OJK yang menjalankan fungsi seperti itu tentu saja akan membuat perusahaan melalui TMP akan berusaha untuk mencapai legitimasi. Salah satu cara untuk mencapai legitimasi berdasarkan institutional theory adalah dengan menyamakan bentuk dengan perusahaan yang ada dalam lingkungan industri agar perusahaan dapat sesuai dengan aturan-aturan 11
kelembagaan, regulasi, norma, dan ekspektasi konstituen tersebut. Porter (1998) dalam Barreto dan Fuller (2006) menyatakan bahwa industri perbankan adalah industri yang sangat dibanjiri oleh imitasi, seperti ketika satu bank menggunakan suatu strategi seperti internet banking maka bank lain akan melakukan hal yang sama. Artinya industri perbankan merupakan industri yang penuh dengan proses isomorphism. Selain itu, konteks ini dinilai sesuai karena telah diuji secara empiris pada beberapa penelitian sebelumnya (Deephouse, 1996; Deephouse, 1999; Garcia dan Sabate, 2010) Dengan demikian, penelitian mengenai konsep pada konteks ini memerlukan perhatian yang lebih detail terhadap masing-masing variabel diversitas yang akan diteliti terutama diversitas yang berbeda secara konseptual. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan strategic isomorphism sebagai variabel mediasi untuk melihat hubungan antara diversitas tim manajemen puncak dan kinerja organisasi. 1.2
Perumusan Masalah Terdapat beberapa masalah utama yang menjadi fokus pada penelitian ini.
Pertama, Adanya temuan yang tidak konsisten pada hasil penelitian terdahulu mengenai dampak diversitas tim manajemen puncak. Hasil temuan yang tidak konsisten tersebut adalah akibat dari tidak sesuainya definisi dan operasionalisasi yang digunakan terkait diversitas itu sendiri. Lebih lanjut, operasionalisasi diversitas yang digunakan terkadang tidak sesuai dengan diversitas yang didefinisikan. Penelitian ini berusaha mengatasi ketidakkonsistenan hasil penelitian sebelumnya
12
tersebut dengan menggunakan definisi dan operasionalisasi diversitas sesuai dengan definisi dan operasionalisasi yang dijelaskan oleh Harrison dan Klein (2007). Kedua, dalam lingkungan industri yang cukup teregulasi, perusahaan khususnya tim manajemen puncak tidak dapat dengan bebas melakukan pilihan strategis. Adanya aturan dan tuntutan dari konstituen membuat perusahaan mengikuti regulasi agar dapat memperoleh legitimasi dan mencapai kinerja yang baik dalam lingkungan industri. Dengan menyamakan bentuk dengan perusahaan lain, khususnya kesamaan dalam strategi akan membantu perusahaan mencapai hal tersebut. Sesuai dengan Upper Echelon Theory (Hambrick dan Mason, 1984) yang menyatakan bahwa pilihan strategis merupakan keputusan yang berhubungan langsung dengan tim manajemen puncak maka strategic isomorphism ini sendiri tentu adalah pilihan strategis yang diputuskan oleh tim manajemen puncak. Penelitian yang dilakukan oleh Finkelstein dan Hambrick (1990) dan Deephouse (1999) memperlihatkan bagaimana strategic conformity sebagai cerminan dari strategic isomorphism memberikan dampak pada kinerja perusahaan. Lebih lanjut strategic conformity sebagai pilihan strategis yang dilakukan tim manajemen puncak dapat memediasi hubungan antara karakteristik tim manajemen puncak tersebut dengan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat: 1. Apakah diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak berpengaruh pada strategic isomorphism?
13
2. Apakah diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak berpengaruh pada kinerja perusahaan? 3. Apakah strategic isomorphism berpengaruh pada kinerja perusahaan? 4. Apakah strategic isomorphism memediasi hubungan antara diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak dengan kinerja perusahaan? 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis hubungan antar
variabel yang ada dalam penelitian ini. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menguji hubungan diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak dan strategic isomorphism. 2. Menguji hubungan diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak dan kinerja perusahaan. 3. Menguji hubungan strategic isomorphism dan kinerja perusahaan. 4. Menguji strategic isomorphism sebagai variabel mediasi antara diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak dan kinerja perusahaan. 1.4 1.
Manfaat Penelitian Aspek Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu
manajemen khususnya manajemen strategik terkait Upper Echelon Theory dan Institutional Theory. Kemudian, penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan bagaimana pengaruh diversitas karakteristik Tim Manajemen Puncak dalam
14
melakukan pilihan strategis khususnya strategic isomorphism terhadap kinerja perusahaan. 2.
Aspek Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi praktisi manajemen untuk
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan strategi. Khususnya tentang bagaimana perusahaan menemukan konfigurasi bentuk Tim Manajemen Puncak yang tepat agar bisa memperoleh legitimasi dan mencapai kinerja yang baik.
15