1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat generik sering diasumsikan sebagai obat dengan kualitas yang rendah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama yang membuat obat jenis ini kurang dimanfaatkan. Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Name (INN) yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (DepKes RI, 2010). Pada dasarnya, obat generik merupakan salah satu sediaan farmasi yang telah memenuhi persyaratan farmakope serta melewati proses pembuatan sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun turut mengawasi standar umum tersebut. Hal yang membedakan dengan obat bermerek dan banyak dipromosikan, umumnya pada pemilihan kadar kandungan dalam rentang standar farmakope (Anonim, 2010). Berdasarkan data Nasional penggunaan obat generik di Indonesia hingga kini masih tergolong rendah, meskipun harganya jauh lebih murah dan khasiat yang sama seperti obat bernama dagang (bermerek). Menurut data Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010, peresepan obat generik oleh dokter di rumah sakit umum milik pemerintah saat ini baru 66 persen, sedangkan di rumah sakit swasta dan apotek hanya 49 persen. Ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan juga baru 69,7 persen dari target 95 persen, Dalam lima tahun terakhir 2005-2010, pasar obat generik turun dari Rp2.525 triliun atau 10
1
2
persen dari pasar nasional, menjadi Rp2.372 triliun atau 7.2 persen dari pasar nasional. Sementara, pasar obat nasional meningkat dari Rp23,59 triliun pada 2005 menjadi Rp32,93 triliun pada 2009. Hal itu antara lain dipengaruhi oleh tingkat penggunaan obat generik dalam pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2010). Obat generik memang dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat. Penyebab masalah ini adalah baik dokter maupun pasien, masih menganggap obat generik adalah obat yang murah dan tidak berkualitas. Hal ini menunjukkan masih kurangnya edukasi dan perlunya sosialisasi lebih lanjut terhadap obat generik. Kondisi yang ada justru pihak medis memilih untuk meresepkan obat selain generik karena adanya unsur financial incentives. Persepsi masyarakat, permintaan dan kebutuhan masyarakat akan obat generik di rumah sakit bukan merupakan faktor rendahnya penggunaan obat generik, tetapi lebih disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat tentang obat generik itu sendiri (Handayani, 2010). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Auckland pun membuktikan bahwa masyarakat yang memiliki pendidikan lebih banyak tentang obat akan lebih mengerti tentang obat generik (Babar dkk, 2010). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan mahasiswa kedokteran dalam melakukan peresepan obat generik, terutama pada mahasiswa kedokteran yang akan lulus menjadi dokter.
3
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat pengetahuan mahasiswa kedokteran umum tingkat profesi terhadap obat generik. 2. Apakah ada hubungan antara lamanya praktik koas terhadap pengetahuan mahasiswa kedokteran umum tingkat profesi mengenai obat generik. C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan mahasiswa kedokteran umum tingkat profesi terhadap obat generik. 2. Mengetahui apakah terdapat pengaruh lamanya praktik koas terhadap pengetahuan mahasiswa kedokteran umum tingkat profesi mengenai obat generik. D. Tinjauan Pustaka 1.
Obat Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi
dalam
rangka
penetapan
diagnosis,
pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. (BPOM, 2012). 2.
Obat Generik a. Pengertian Obat Generik Obat
generik
menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.
HK.02.02/MENKES/068/I/2010 adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan
dalam
Farmakope
Indonesia
dan
INN
(International
4
Nonpropietary Names) dari WHO untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (DepKes RI, 2010). Obat generik berlogo yaitu obat jadi dengan nama generik yang diedarkan dengan mencantumkan logo khusus pada penandaannya (DepKes RI, 2010). Obat generik esensial adalah obat generik terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat (Widodo, 2004). b. Manfaat Obat Generik Menurut Widodo (2004) manfaat obat generik secara umum adalah sebagai berikut: 1) Sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 2) Dari segi ekonomis obat generik dapat dijangkau masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah. 3) Dari segi kualitas obat generik memiliki mutu atau khasiat yang sama dengan obat yang bermerek dagang ataupun obat paten. c. Kebijakan Obat Generik Kebijakan obat generik adalah salah satu kebijakan untuk mengendalikan harga obat, di mana obat dipasarkan dengan nama bahan aktifnya. Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka kebijakan tersebut mencakup komponenkomponen berikut (DepKes RI, 2000) :
5
1) Produksi obat generik dengan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB). Produksi dilakukan oleh produsen yang memenuhi syarat CPOB dan disesuaikan dengan kebutuhan akan obat generik dalam pelayanan kesehatan. 2) Pengendalian mutu obat generik secara ketat. 3) Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan. 4) Peresapan berdasarkan atas nama generik, bukan nama dagang. 5) Penggantian (substitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unit unit pelayanan kesehatan. 6) Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan masyarakat luas secara berkesinambungan. 7) Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat generik secara berkala. d. Faktor yang Menghambat Masyarakat Terhadap Obat Generik 1) Akses Obat Hal ini dalam rangka memenuhi kebutuhan obat pasien sesuai dengan resep di setiap penjualan obat, yaitu membahas resep yang terlayani , resep yang tidak terlayani oleh apotek, dan resep yang obatnya digantikan dengan obat lain yang sejenis. Akses masyarakat terhadap obat esensial dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu (DepKes RI, 2005): a) Penggunaan obat yang rasional; b) Harga yang terjangkau;
6
c) Pembiayaan yang berkelanjutan d) Sistem pelayanan kesehatan beserta sistem suplai obat yang dapat menjamin ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan obat. 2) Harga Obat Harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat tidak transparan. Penelitian WHO menunjukkan perbandingan harga antara satu nama dagang dengan nama dagang yang lain untuk obat yang sama, berkisar 1 : 2 sampai 1 : 5. Penelitian di atas juga membandingkan harga obat dengan nama dagang dan obat generik menunjukkan obat generik bukan yang termurah (DepKes RI, 2005). Survai dampak krisis rupiah pada biaya obat dan ketersediaan obat esensial antara 1997 – 2002 menunjukkan bahwa biaya resep rata-rata di sarana kesehatan sektor swasta jauh lebih tinggi dari pada di sektor publik yang menerapkan pengaturan harga dalam sistem suplainya (DepKes RI, 2005) 3) Tingkat Ketersediaan Obat Rendahnya ketersediaan obat generik di rumah sakit pemerintah dapat berimplikasi secara langsung pada akses obat generik, sebagai gantinya pasien membeli obat generik di apotek atau di praktek dokter. Apotek swasta mempunyai obat generik lebih sedikit dibandingkan dengan yang disediakan oleh dokter. Sehingga apotek menyediakan obat bermerek lebih banyak. Selama banyak obat yang tidak tersedia,
7
pasien mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar obat (Suryani, 2008). 4) Informasi Obat Keterbatasan informasi masyarakat akan obat sangat erat kaitannya dengan ketidaktahuan akan pengenalan, penggunaan dan pemanfaatan obat terutama bagi mereka yang ingin memakai obat generik. Informasi obat, antara lain mengenai khasiat, indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis
dan aturan pakai,
peringatan-peringatan
penggunaan suatu obat, serta harga obat. Selain itu bila perlu informasi mengenai pilihan obat yang tepat bagi konsumen (Widodo, 2004). 5) Keterjangkauan Obat Keterjangkauan obat dapat dipandang dari sudut geografis, ekonomi dan sosial politik. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau dimana 5.707 diantaranya sudah bernama. Namun pulau yang telah berpenghuni jumlahnya lebih kecil. Saat ini sebagian masyakat Indonesia tinggal di daerah terpencil, daerah tertinggal, dan wilayah perbatasan. Sebagian lagi tinggal di daerah rawan bencana baik bencana alam dan bencana buatan manusia seperti ketidak-stabilan politik dan tingginya tingkat kemiskinan. Dengan pola penyebaran penduduk seperti tersebut di atas, maka diperlukan adanya perbedaan pengelolaan obat sesuai dengan karateristik masing-masing daerah. Sebagai contoh kita dapat melakukan pengelompokan Provinsi Kepulauan : Riau, NTB, NTT, Maluku dan Maluku Utara lebih
8
memiliki karakteristik geografis kepulauan. Sedangkan propinsi di Kalimantan dan Papua dapat dikategorikan daratan luas dengan hambatan transportasi. Kategori lain adalah Pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi (DepKes RI, 2005). 3.
Konsep Pengetahuan a. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi
melalui
pancaindra
manusia,
yakni:
indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2005). b. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni (Notoatmodjo, 2003): 1) Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recaal) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, “tahu” ini merupakan tingkat penetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
9
yang
dipelajari
antara
lain:
menyebutkan,
menguraikan,
mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya. 2) Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi
harus
dapat
menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hokumhukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam kompnen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
10
5) Sintesis (syntesis) Sintesis merujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan (Mubarok, 2007): 1) Pendidikan Semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. 2) Pekerjaan Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang, dan banyak tantangan. Semakin lama seseorang bekerja semakin banyak pengetahuan yang diperoleh.
11
3) Umur Umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin bertambah umur seseorang semakin banyak pengetahuan yang di dapat. 4) Minat Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. d. Cara Memperoleh Pengetahuan (Notoatmodjo, 2005): 1) Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan a) Cara coba salah (Trial dan Error) Cara yang paling tradisional, yang pernah digunakan oleh manusia dalam memperoleh pengetahuan adalah cara coba-salah “trial and error”. Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. b) Cara kekuasaan atau otoritas Dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali kebiasaankebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan itu baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan ini biasanya diwariskan turun temurun dari generasi-generasi berikutnya. c) Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman itu adalah guru yang baik, demikianlah bunyi pepatah. Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu
12
merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman
pribadi
pun
dapat
digunakan
sebagai
upaya
memperoleh pengetahuan. d) Melalui jalan pikiran Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berfikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu
menggunakan
penalarannya
dalam
memperoleh
pengetahuan. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya. 2) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara moderen dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah (Notoatmodjo, 2005).