BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Isu mengenai pengukuran kinerja dewasa ini menjadi perhatian di berbagai organisasi, terlebih menyangkut isu upaya mengembangkan sistem pengukuran kinerja yang lebih baik guna mendorong keberhasilan organisasi. Awalnya isu pengukuran kinerja hanya naik daun di kalangan organisasi bisnis. Namun, belakangan isu ini juga menjadi topik hangat di lingkup organisasi sektor publik, khususnya di pemerintahan (Ittner dan Lacker, 1998). Atkinson, Waterhouse, dan Wells (1997) mengemukakan sejak tahun 1993 pemerintah di Amerika Serikat sudah memberikan prioritas utama dalam mengembangkan strategi baru terkait sistem pengukuran kinerja. Hal tersebut ditandai dari dikeluarkannya mandat yang tertulis pada undang-undang mengenai kinerja dan hasil pemerintah di Amerika Serikat yang dikeluarkan pada tahun tersebut (The Government Performance and Results Act of 1993). Undang-undang tersebut menginginkan pemerintah di Amerika Serikat menyusun strategi pencapaian tujuan dan menentukan ukuran capaian guna menilai perkembangan dan kemajuan dari suatu tujuan atau program yang ditetapkan. Inisiatif yang sama juga terjadi di beberapa negara seperti Australia, Selandia Baru, Inggris Raya, dan berbagai negara lainnya (Atkinson & McCrindell, 1997; Hood, 1995; Smith, 1993). Di Indonesia sendiri sistem pengukuran kinerja untuk pemerintah, baik pusat maupun daerah, mulai diatur semenjak dikeluarkannya Instruksi Presiden
1
(Inpres) Nomor 7 tahun 1999. Inpres tersebut mengisyaratkan untuk diterapkannya Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) guna meningkatkan akuntabilitas dan kinerja pemerintah di Indonesia. Inpres tersebut juga
menuntut
agar
pemimpin
Departemen/Lembaga
Pemerintah
Non-
Departemen, Pemerintah Daerah, Satuan Kerja atau Unit Kerja, untuk melaporkan akuntabilitas kinerjanya dalam bentuk dokumen yang disebut Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang dilakukan secara berjenjang serta berkala dan disampaikan kepada atasan. Dari segi historis, lahirnya Inpres No. 7 tahun 1999 adalah buntut dari kehendak rakyat Indonesia untuk mereformasi pelaksanaan pemerintahan dari era orde baru yang dinilai banyak masalah; korup, tidak transparan, dan tidak akuntabel, menuju era reformasi pelaksanaan pemerintahan yang lebih baik; bertanggungjawab, transparan, dan akuntabel. Sedangkan dilihat dari segi teoritisnya, lahirnya Inpres No. 7 tahun 1999 adalah bentuk adanya isomorpisme (Isomorphism) pemerintah Indonesia terhadap pemerintahan di negara lain yang dinilai lebih maju penyelenggaraan pemerintahannya. Hawley (dikutip dari DiMaggio dan Powell, 1983) menjelaskan isomorpisme adalah proses memaksa satu unit dalam populasi untuk menyerupai unit lain dalam menghadapi pengaturan yang sama dari suatu kondisi lingkungan tertentu. Dari sudut pandang isomorpisme institusional, upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia bisa jadi merupakan isomorpisme mimetik (imitasi) atau upaya meniru lembaga lain yang dinilai baik pelaksanaan atau mekanisme kerjanya, sebagaimana pemerintah Amerika Serikat yang telah mengeluarkan dan
2
menerapkan The Government Performance and Results Act of 1993 (Gudono, 2014). Isomorpisme yang sifatnya mimetik atau imitasi dapat berdampak kurang baik yakni kecenderungan untuk terjebak pada pelaksanaan suatu mekanisme kerja yang sifatnya sebatas seremonial formil, bukan berorientasi pada substansi (Tolbert dan Zucker, 1983). Menurut pandangan lain, Sihaloho dan Halim (2005) mengemukakan bahwa sebagian besar instansi pemerintah yang secara konsisten mengikuti sistem pengukuran kinerja yang dirumuskan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN), menjadikan efisiensi bukanlah suatu ukuran kinerja yang harus dikembangkan (Tulbert dan Zucker, 1983). Hal itu mengindikasikan bahwa niat penggunaan sistem pengukuran kinerja lebih didominasi oleh tekanan luar (coercive isomorphism). Paksaan yang dilakukan bisa menimbulkan ketaatan yang semu (Gudono, 2014). Dalam laporan yang diunggah di situs Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengenai pelaporan akuntabilitas kinerja, dari semua pemerintah daerah di Indonesia tahun 2010, hanya terdapat 9 (sembilan) pemerintah provinsi dan 5 (lima) kabupaten/kota yang dinilai B (baik). Sedangkan pemerintah daerah yang mendapat predikat CC (cukup baik) ada sekitar 16,27 persen dari total 29 provinsi dan 57 kabupaten/kota yang dievaluasi. Capaian ini tidak sesuai dengan target yang telah ditetapkan yakni sekitar 20 persen pemerintah daerah mendapat penilaian akuntabilitas kinerja CC (cukup baik). Pada tahun 2012, terjadi penurunan pada kabupaten yang memeroleh predikat B (baik), yakni hanya 2 (dua) kabupaten saja, yaitu; Sukabumi dan
3
Sleman, dan 104 (23,74 persen) kabupaten/kota yang mendapatkan predikat CC (cukup baik) dari total 438 kabupaten/kota yang dievaluasi (www.menpan.go.id). Kondisi-kondisi yang dipaparkan di atas, yakni; implementasi sistem pengukuran kinerja yang hanya berdasar pada isomorpisme mimetik dan koersif dapat memicu lahirnya masalah-masalah pada implementasi sistem pengukuran kinerja itu sendiri. Dari beberapa hasil penelitian, masalah implementasi sistem pengukuran kinerja juga dikarenakan kemampuan sistem pengukuran kinerja untuk meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah masih sering diperdebatkan atau dipertanyakan (Akbar dkk., 2012). Nurkhamid (2008) mengemukakan bahwa permasalahan pelaksanaan sistem akuntabilitas kinerja dapat muncul pada tahap pengembangan sistem pengukuran kinerja maupun pada tahap penggunaan hasil dari implementasi sistem pengukuran kinerja. Pemicu lain dari munculnya permasalahan adalah motivasi pengukuran kinerja yang dilakukan banyak instansi pemerintah lebih didominasi oleh keinginan manajemen atau pimpinan untuk mematuhi ketentuan pemerintah pusat serta kepentingan parlemen (self interst), bukan untuk akuntabilitas publik (Akbar dkk., 2012; Meyer 1979; Fennel 1980). Oleh sebab itu, Sihaloho dan Halim (2005) menyarankan agar sebelum instansi pemerintah menjalankan suatu sistem pengukuran kinerja, maka perlu untuk memperhatikan beberapa faktor internal organisasi supaya menghindari informasi hasil pengukuran kinerja menjadi “tumpukan” indikator yang tidak termanfaatkan (Swindell dan Kelly, 2002).
4
Penelitian terkait isu faktor-fator yang memengaruhi implementasi sistem pengukuran kinerja sendiri sudah dilakukan oleh Cavaluzzo dan Ittner (2004); dan Julnes dan Holzer (2001). Cavaluzzo dan ittner (2004) mengemukakan faktorfaktor yang memengaruhi implementasi sistem pengukuran kinerja terbagi menjadi dua kategori, yaitu faktor teknis, meliputi: kesulitan menentukan ukuran kinerja dan keterbatasan sistem informasi; dan faktor organisasional, meliputi: komitmen manajemen, otoritas pembuatan keputusan, dan pelatihan. Di samping itu, temuan dari penelitian Julnes dan Holzer (2001) juga mengemukakan bahwa faktor organisasional berupa respon organisasi yang terbuka terhadap perubahan serta keberadaan insentif bagi pegawai untuk menerapkan suatu sistem baru juga berdampak positif dan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Berangkat dari hasil penelitian Cavaluzzo dan Ittner (2004); dan Julnes dan Holzer (2001); serta saran dari Sihaloho dan Halim (2005) tersebut, maka penelitian ini menguji secara empiris faktor-faktor yang memengaruhi implementasi sistem pengukuran kinerja dalam kontek pemerintah di Indonesia, khususnya di pemerintah daerah. Alasan mengapa penelitian ini perlu dilaksanakan di Indonesia adalah karena terdapat kemungkinan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cavaluzzo dan Ittner (2004) dan Julnes dan Holzer (2001) di Amerika akan memiliki hasil berbeda ketika dilakukan di Indonesia. Perbedaan itu dimungkinkan karena karakteristik negara dan budaya kerja pegawai pemerintah di Amerika dan Indonesia yang juga mungkin berbeda. Selain menguji faktor teknis dan organisasional, penelitian ini menguji faktor lain yang diduga memengaruhi implementasi sistem pengukuran kinerja,
5
yakni faktor karakteristik individu, meliputi: self efficacy, conscientiousnes, opennes to experience, dan kompetensi pendidikan pegawai di pemerintah daerah. Lee & Bobko (1994) mengemukakan individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan mencurahkan untuk mencapai tujuan atau kinerja yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa Self efficacy mempunyai pengaruh terhadap hubungan antara penetapan tujuan dan kinerja individu (Robbins, 1998). Sedangkan dalam hal kepribadian, McRae dan Costa (1986, dikutip dari Guadagno dkk., 2007) menyatakan bahwa orang yang memiliki sifat conscientiousness secara individual mampu memecahkan masalah dan mencapai level kesuksesan yang tinggi melalui perencanaan yang penuh tujuan dan penuh ketekunan. Adapun individu yang opennes to experience cenderung imajinatif, menyukai sesuatu yang bervariasi, dan bebas. Penjelasan lain mengenai individu dengan tipe opennes to experience dikemukakan oleh McElroy dkk (2007) yang menyatakan bahwa orang dengan tipe opennes to experience memiliki keingintahuan dan kesediaan untuk mengeksplorasi suatu ide baru. Selain tiga faktor individu di atas, Meister (1998) secara spesifik mengemukakan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, tindakan atau perilaku, dan pola pikir yang secara reliabel membedakan antara seseorang dengan orang lain khususnya dalam hal pencapaian kinerja. Dengan demikian, kompetensi dapat menggiring kepada kesuksesan dimasa mendatang (McClelland, 1973). Berdasarkan kajian literatur dan beberapa penelitian terdahulu tersebut, peneliti menduga faktor individual berupa self efficacy yang tinggi, kepribadian conscientiousnes, opennes to experience, dan kompetensi yang
6
dimiliki pegawai pemerintah daerah, akan memberikan dampak positif terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja. Terakhir, berbeda dengan penelitian yang dilakukan Cavaluzzo dan Ittner (2004); dan Julnes dan Holzer (2001), penelitian ini tidak hanya fokus pada pengujian hipotesis yang didasarkan pada teori institusional, tetapi juga berupaya mengeksplorasi fenomena implementasi sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah di Indonesia yang didasari pada teori isomorpisme institusional (DiMaggio dan Powell, 1983). Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan pendekatan metoda riset campuran yang memungkinkan mampu menggali tujuan-tujuan penelitian yang agak rumit.
1.2. Rumusan Masalah Meskipun penerapan sistem pengukuran kinerja di pemerintah daerah telah dilakukan selama kurang lebih 13 (tiga belas) tahun, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat masalah dalam implementasi sistem pengukuran kinerja sebagaimana dikemukakan dalam latar belakang penelitian. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba untuk menguji secara empiris beberapa faktor yang dianggap berhubungan dengan implementasi sistem pengukuran kinerja di pemerintah daerah yang meliputi: faktor teknis, faktor organisasional dan faktor karakteristik individu. Faktor–faktor tersebut diambil dari pertimbangan teori institusional, karena penelitian ini sekaligus ingin mengamati fenomena isomorpisme institusional dalam lingkup implementasi sistem pengukuran kinerja di
7
pemerintah daerah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan strategi metoda riset campuran sekuensial dua tahap. Oleh karenanya, rumusan masalah yang diajukan terdiri dari dua pertanyaan yang dijawab dengan pendekatan kuantitatif (untuk rumusan masalah 1) dan dijawab dengan pendekatan kualitatif (untuk rumusan masalah 2). Berikut ini adalah rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian: RM1: Apakah
faktor
teknis,
organisasional
dan
karakteristik
individu
memengaruhi implementasi sistem pengukuran kinerja di pemerintah daerah di Indonesia? RM2: Bagaimana pemerintah daerah merespon tuntutan implementasi sistem pengukuran kinerja yang tertuang dalam Inpres No. 7 tahun 1999 jika dilihat dari sudut pandang teori isomorpisme intitusional, khususnya sehubungan dengan faktor teknis, organisasional dan karakteristik individu?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian dengan strategi metoda riset campuran sekuensial dua tahap ini adalah untuk menguji, pertama; pengaruh (1) faktor teknis; kesulitan menentukan ukuran kinerja dan keterbatasan sistem informasi; (2) faktor organisasional; komitmen manajemen, otoritas pembuatan keputusan, pelatihan, respon organisasi terhadap perubahan, dan insentif; dan (3) faktor karakteristik individu; self efficacy, conscientiousnes, opennes to experience, dan kompetensi pendidikan; terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja yang meliputi; pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, dan penggunaan
8
informasi kinerja oleh pemerintah daerah. Informasi dan temuan-temuan dari tahap pertama dieksplorasi lebih lanjut pada tahap kedua, yaitu tahap kualitatif. Pada tahap kedua, dilakukan wawancara kepada para responden untuk memeriksa kembali hasil-hasil dari pendekatan kuantitatif. Alasan ditindak lanjutinya
metoda
kuantitatif
dengan
metoda
kualitatif
adalah
untuk
mengeksplorasi dan menjelaskan secara lebih detil hasil-hasil yang diperoleh dari pendekatan kuantitiatif khususnya terkait fenomena isomorpisme institusional pada implementasi sistem pengukuran kinerja oleh pemerintah daerah di Indonesia . 1.4. Kontribusi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi sebagai berikut: 1) Dalam kaitannya dengan teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan teori, terutama dalam bidang akuntansi sektor publik. Menambah pengetahuan bagi dunia akademisi akuntansi, khususnya dibidang akuntansi sektor publik tentang ruang lingkup dan faktor–faktor yang memengaruhi implementasi sistem pengukuran kinerja di lingkungan pemerintah daerah di Indonesia. 2) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi jajaran praktisi di pemerintah daerah, yakni menjadi masukan dan bahan pertimbangan kebijakan bagi para praktisi di pemerintahan daerah dalam memahami dan upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan sistem pengukuran kinerja. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan pertimbangan jika di masa
9
mendatang akan terjadi perubahan pada sistem pengukuran kinerja pemerintah di Indonesia.
1.5. Sistematika Pembahasan Penulisan proposal penelitian ini disajikan dalam tiga bab sebagai berikut: Bab 1: Pendahuluan Bab ini menyajikan gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya penelitian yang meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab 2: Tinjauan Pustaka dan Pengembangan Hipotesis Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan teoritis mengenai beberapa konsep yang berkaitan dengan penggunaan sistem pengukuran kinerja dan beberapa faktor yang memengaruhinya dengan pertimbangan teori yang dipakai sebagai landasan dalam penyusunan hipotesis dan rumusan masalah yang dijawab dengan pendekatan kualitatif. Bab ini juga menyajikan kerangka pemikiran teoritis penelitian. Bab 3: Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan mengenai metoda penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian. Metoda penelitian ini berisi rincian mengenai desain penelitian, populasi, sampel, jumlah sampel dan teknik penentuan sampel, variabel dan definisi operasional variabel penelitian, instrumen penelitian, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.
10