BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Kepastian tenurial dinilai menjadi salah satu prakondisi kelangsungan pengelolaan hutan. Ketidakpastian kawasan hutan dapat menghambat pencapaian efektifitas pengelolaan hutan. Meskipun banyak faktor yang diduga sebagai penyebab kerusakan hutan, namun ketidakpastian status kawasan hutan dan lemahnya pengelola hutan di tingkat tapak/lapangan diketahui sebagai akar masalahnya (Kartodihardjo, 2010). Departemen Kehutanan (2009) menyatakan bahwa terdapat kawasan hutan seluas 55,93 juta ha (46,5%) yang tidak dikelola secara intensif, 30 juta ha di antaranya dikelola oleh Pemerintah Daerah. Selain itu dari data BPS (2007) dan Departemen Kehutanan (2009) menunjukkan bahwa sekitar
17,6-24,4 juta ha kawasan hutan yang mengalami konflik
berupa
tumpang tindih klaim, baik antar desa/kampung di sebanyak 19.410 desa di 32 propinsi, maupun tumpang tindih ijin antar sektor perkebunan dengan pertambangan. Hingga saat ini belum ada mekanisme yang efektif untuk penyelesaian konflik penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan serta perambahan hutan, kasus-kasu di lapangan pada umumnya cenderung dibiarkan (Kartodihardjo, 2010). Persoalan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal, yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi bisnis kehutanan dan pemerintah. Tumpang tindih
1
klaim atas kawasan hutan terjadi di antaranya akibat legislasi dan kebijakan yang tidak terformulasi jelas, pemberian izin yang tidak terkoordinasi dan kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal pengguna hutan lainnya. Ini memicu kemunculan konflik-konflik tenurial di kawasan hutan (Safitri, 2011). Hermosilla & Fay (2005) juga menyatakan bahwa konflik dan ketidaksepakatan tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan merupakan sumber dari berbagai ketegangan para pihak dan mengarah pada perilaku merusak. Dalam konteks pengukuhan kawasan hutan, sampai awal 2005 proses penatabatasan kawasan hutan baru mencakup 12 juta hektar dari sekitar 120 juta hektar tanah yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh negara atau baru sebesar 10% saja. Tidak terlalu salah jika diasumsikan 90% lainnya berada dalam kategori kawasan non-hutan, karena tanah-tanah tersebut belum dapat diterima secara hukum sebagai kawasan hutan negara. Namun demikian pemberian ijin usaha di berbagai konsesi kehutanan telah diberikan di atas tanah yang belum ditentukan kepastian hak yang ada padanya (Hermosilla&Fay,2005). Data serupa juga dilansir oleh Kelompok Kerja Tata Kelola Hutan Unir Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dalam Nota Konsep Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan secara Definitif dengan Mekanisme Klaim Verifikasi pada tanggal 18 Desember 2013, bahwa baru 12 juta ha dari 128 juta ha kawasan hutan yang telah ditetapkan secara definitf. Tidak mengherankan jika ini membuahkan konflik di banyak tempat. HuMa (2012) mencatat konflik berlangsung di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi pada kurun waktu 2006-2012
2
dengan luasan areal konflik mencapai 2.043.287 ha. Konflik tersebut meliputi permasalahan seputar pengelolaan sumber daya alam dan kepastian agraria. Hukum yang diharapkan mampu menjadi pijakan untuk mengatasi ketidakpastian masalah tenurial ini masih menyisakan ruang perdebatan. Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 dan Undang Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan yang direvisi pada tahun 1999 merupakan peraturan perundangan yang sangat penting yang berada di bawah payung TAP MPR IX/2001 dalam mengatur tanah dan sumber daya alam. Produk hukum tersebut mengatur pengelolaan dan distribusi manfaat dari sumber daya alam. Harsono (1997) dalam Hermosilla& Fay (2005) menyampaikan analisis mengenai kewenangan kehutanan dan sumber daya alam di Indonesia. Menurutnya, dari perspektif hukum pertanahan tentang tanah dimana terdapat hutan di atasnya, penguasaan diatur menurut hukum tanah sedangkan hak-hak pengelolaan sumber daya di atasnya diberikan kepada Kementerian Kehutanan seperti dimandatkan oleh Undang Undang Kehutanan. Pada situasi ini, pemberian dan pengakuan hakhak atas tanah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) menggunakan hukum tanah. Kementerian Kehutanan hanya memiliki kewenangan memberikan hak pemanfaatan hutan dan hak pengumpulan hasil hutan. Lebih lanjut Hermosilla& Fay (2005) menjelaskan bahwa UUPA tahun 1960 mencakup seluruh tanah di Indonesia termasuk tanah hutan. Dengan terbitnya UU Kehutanan tahun 1967, kawasan hutan memiliki acuan yang terpisah dari tanah pada umumnya dan tidak lagi mengacu pada yuridiksi agraria. Peraturan ini memberikan kekuasaan kepada Kementerian Pertanian pada saat itu, sekarang
3
tugas pokok fungsi berada di Kementerian Kehutanan, untuk menetapkan dan mengelola tanah hutan atau yang lazim disebut kawasan hutan. PP No.33/ 1970 memperkuat mandat kepada Kementerian Kehutanan untuk mendefinisikan kawasan hutan negara hingga pada puncaknya sampai pertengahan dekade 80-an tiga perempat wilayah tanah di Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan. Seperti kutipan Peluso (2004) dari Moniaga (1997) dan Zerner (1992), sampai pada tahap ini semua pemusatan kekuasaan pengaturan lahan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan berpusat pada interpretasi berlebihan atas pasal 33 UUD 1945 di mana negara memiliki kedaulatan atas wilayah nasional dan seluruh tanah serta sumberdaya di dalamnya. Penunjukan jutaan hektar tanah dengan menjadikannya sebagai hutan negara menumbuhkan persoalan-persoalan tenurial di banyak tempat, yang muncul dalam berbagai bentuk (Bachriadi dan Lucas,2001; Li,2007 dalam Peluso, 2012).
Proses
penunjukan
yang ditempuh
melalui
Tata
Guna
Hutan
Kesepakatan(TGHK) dalam kajian-kajian meja ini memancing reaksi pemerintah daerah yang kerap mempertanyakan batas-batas hutan serta konsekuensi yang timbul
akibat
penetapan
pengkategorian
pemanfaatan
hutan
(Hermosilla&Fay,2005). Fenomena konflik pada sekitar 19 ribu desa seperti telah dipaparkan sebelumnya menjadi bukti adanya tumpang tindih pemanfaatan hutan. Terbukanya kran demokrasi melalui gerakan reformasi tahun 1998 membuat persoalan menyangkut hak pemanfaatan lahan semakin mengemuka. Tuntutan pembagian lahan dari kalangan petani tak bertanah dan petani kecil yang dimobilisasi oleh penggiat agraria marak terjadi. Organisasi petani terbesar di
4
Jawa, Serikat Petani Pasundan (SPP) yang secara resmi didirikan pada tahun 2000 aktif pada area-area konflik agraria dan menduduki lebih dari 15.000 ha perkebunan negara dan tanah kehutanan di Jawa Barat. Mereka menduduki, menggarap dan mengubah tata guna tanah-tanah negara yang dimandatkan pada Perhutani dan Perkebunan Negara (Peluso,2012). Selain itu, okupasi kawasan hutan juga terjadi di banyak daerah. Fenomena okupasi kawasan hutan merupakan representasi adanya pihak yang kuat sebagai bentuk implementasi kebijakan sehari-hari di tingkat lokal (Krott et.al., 2013) . Potret hampir sama terlihat pada kawasan hutan negara di Pulau Jawa yang dimandatkan kepada Perum Perhutani melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Hutan negara seluas 2.429.203 ha yang terdiri dari hutan produksi seluas 1.767.304 ha dan hutan lindung seluas 658.902 ha ini diklaim telah ditata batas sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku pada masa itu (Bosch Ordonnantie Java en Madura 1927 dan Bosch Verordening Java en Madura 1932) sampai dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1967 (Supriyadi, 2013). Selanjutnya dalam kutipannya dari Peluso 1992, Supriyadi (2013) menuliskan bahwa dalam melaksanakan pengelolaan hutan Perum Perhutani dituntut untuk memainkan sedikitnya 3 peranan pokok, yaitu: (1) sebagai pemegang kuasa kawasan hutan (government forest land lord); (2) sebagai perusahaan kehutanan Negara (government forest corporation); (3) sebagai institusi yang melakukan upaya konservasi hutan (forest conservation institution), dengan menguasai komponen sumber daya hutan meliputi tanah hutan
5
(control of forest land) dan hasil hutan kayu/non kayu (control of forest species) serta pengawasan dan pengendalian terhadap keberadaan petani/ pekerja hutan (control of forest labour) yang terlibat dalam pengusahaan hutan. Kendali pada 3 ranah modal ini diupayakan oleh Perum Perhutani untuk dapat menjaga kelangsungan fungsi produksi perusahaan. Sebagai sebuah perusahaan yang pada tahun 2001 wilayahnya berbatasan dengan kurang lebih 6 ribu desa dengan jumlah penduduk mencapai 30 juta jiwa, hampir 60% menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan, Perum Perhutani juga menyadari adanya dinamika masyarakat desa sekitar hutan yang menjadi tantangan tersendiri. Meningkatnya jumlah penduduk membawa konsekuensi logis pada peningkatan kebutuhan akan tanah, baik untuk tempat tinggal ataupun bercocok tanam, serta dihadapkan pada kenyataan bahwa luasan tanah tidak bertambah, maka menjadi dapat dipahami jika hutan akhirnya menjadi tumpuan hidup (Supriyadi, 2013). Simon (2006) senada dengan hal tersebut menjelaskan bahwa dalam kurun waktu 1930-an sampai dengan 1980-an terjadi penurunan luas kepemilikan lahan pertanian di sebagian besar petani Jawa, dari 0.88 ha menjadi 0,58 ha per keluarga (KK). Fenomena pengurangan luas lahan garapan juga dialami oleh masyarakat sekitar hutan. Di lain pihak Perum Perhutani membutuhkan tenaga kerja untuk melaksanakan kegiatan teknis kehutanan, salah satunya penanaman tanaman pokok. Untuk itu Perum Perhutani melibatkan masyarakat sebagai petani pesanggem dengan luas lahan garapan 0,5 ha di awal dekade 50-an yang terus menurun menjadi 0,1 ha di awal dekade 80-an. Lebih lanjut menurut Simon, semakin sempitnya lahan garapan yang diijinkan oleh Perum Perhutani untuk
6
pesanggem menimbulkan masalah baru. Antara lain kegagalan penanaman yang mulai nampak sejak awal dekade 60-an, pergeseran ritme pencurian kayu yang semula musiman menjadi pencurian sepanjang tahun yang berfluktuasi hingga akhir abad ke-20. Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Kalibodri adalah salah satu representasi potret pengelolaan hutan di Perum Perhutani. BKPH Kalibodri merupakan bagian dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kendal Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, dengan luas wilayah 4.170,80 ha terdiri dari 4 wilayah Resort Pemangkuan Hutan (RPH), yakni : RPH Tanjung, RPH Pongangan, RPH Magangan, dan RPH Gemuhsingkalan. Dari data internal KPH Kendal diperoleh informasi bahwa kegiatan tata batas kawasan hutan untuk BKPH Kalibodri telah dilaksanakan pada jaman pemerintahan Hindia Belanda yang tertuang dalam dokumen Proses Verbal van Grensregeling tanggal 5 Januari 1928 yang disahkan tanggal 7 April 1928 sebagai bagian dari Bagian Hutan (BH) Kalibodri. BKPH Kalibodri berada wilayah administratif Kabupaten Kendal dan dikelilingi oleh beberapa desa hutan. Sebagaimana umumnya kawasan hutan yang berdekatan dengan pedesaan, BKPH Kalibodri mengalami masalah klasik yang sama, yaitu ketergantungan masyarakat desa terhadap hutan. Sebagian besar masyarakat bekerja di hutan sebagai penggarap lahan di bawah tegakan. Terdapat dua (2) RPH dengan prosentase luas lahan garapan masyarakat relatif tinggi di kawasan BKPH Kalibodri yaitu RPH Magangan dan RPH Gemuhsingkalan. Dua RPH ini mengalami tekanan relatif lebih berat. Pada banyak petak yang terdapat lahan garapan masyarakat, tanaman pokok hanya bertahan paling lama sampai
7
KU II. Masyarakat diduga sering mematikan tanaman muda baik dengan memangkas, menebang, ataupun dengan semprotan herbisida yang mereka gunakan untuk membersihkan gulma yang mengganggu tanaman bawah tegakan. Jika ada tanaman pokok yang bertahan pada petak dengan lahan garapan, jumlahnya tidak banyak. Petak tersebut terlihat sangat jarang. Pada lokasi lain bahkan menjadi tanah kosong. Ekstremnya, ada beberapa petak yang tidak pernah lagi ada kegiatan pemanenan. Situasi di BKPH Kalibodri merupakan salah satu contoh dampak carut marut penataan penggunaan wilayah yang merupakan warisan ketidakpastian agraria serta lemahnya pengelolaan tingkat tapak. Permasalahan tenurial yang terjadi telah berlangsung cukup lama dengan tingkat intensitas yang semakin tinggi mengingat kebutuhan lahan juga semakin meningkat. Untuk itu perlu dikaji lebih dalam mengenai gambaran permasalahan tenurial sehinggan diperoleh dinamika permasalahan yang terjadi di wilayah BKPH Kalibodri . Selain itu juga perlu dipelajari lebih lanjut faktor-faktor yang dinilai turut melanggengkan permasalahan tenurial yang terjadi di sana serta mekanisme penguatan hegemoni para aktor yang terlibat dalam konflik tenurial tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Potret konflik yang tersebar di banyak tempat merupakan sebuah konsekuensi logis dari banyaknya pihak/aktor yang berkepentingan terhadap sumber daya hutan. Para aktor berkepentingan untuk memperoleh manfaat yang disediakan hutan baik secara ekonomi, ekologi, serta sosial. Selain masyarakat
8
sekitar hutan yang biasanya terjun secara langsung, ada juga kelompok aktor yang yang berada pada tingkat regional, nasional, ataupun internasional yang turut berperan dalam menentukan bentuk akses masyarakat
terhadap hutan dan
sumberdaya di dalamnya (Peluso, 1994). Kelompok aktor tidak selamanya secara eksplisit terlihat terjun langsung dalam pengelolaan hutan, namun perannya tidak dapat dinafikkan. Setiap aktor akan bertindak sesuai tujuan yang hendak dicapainya. Seperti yang dikemukakan Krott (2005) bahwa kepentingan para aktor didasarkan pada tindakan/orientasi yang diikuti oleh individu maupun kelompok untuk kemudian menetapkan manfaat yang mungkin dapat diperoleh dari sebuah sumber daya. Aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan hutan saling berinteraksi baik langsung ataupun tak langsung dan membentuk hierarki yang relatif terlihat jelas. Kemampuan masing-masing aktor akan menentukan posisi politisnya (Weber 1964 dalam Maryudi 2011). Aktor dengan kemampuan superior akan menempati posisi dominan dan dapat menentukan bentuk pemanfaatan sumber daya di tingkat tapak, sementara sebaliknya aktor diseberangnya akan menempati posisi subordinat. Permasalahan pemanfaatan lahan adalah salah satu kendala yang jamak dihadapi dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Di BKPH Kalibodri hampir 39% terdapat lahan garapan masyarakat. Prosentase lahan garapan masyarakat di setiap RPH bervariasi, pada RPH Tanjung terdapat sekitar 127,6 ha lahan garapan dari 1.059,3 ha luas RPH atau sekitar 12%, RPH Pongangan dengan lahan garapan kurang lebih 287 ha dari 1.292,5 ha luas RPH atau sekitar 22%, RPH Magangan mengampu sekitar 630,5 ha lahan garapan dari 967,8 ha luas RPH atau sekitar 65%, dan terakhir RPH
9
Gemuhsingkalan dengan 580,10 ha lahan garapan dari 851,20 ha luas RPH (data internal KPH Kendal,2012). Diperlukan upaya strategis untuk dapat menangani permasalahan secara efektif dan efisien. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan mengenali karakteristik masalah untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berpengaruh di dalamnya . Agar lebih terstruktur, penelitian ini akan difokuskan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana dinamika konflik stenurial di BKPH Kalibodri? 2. Bagaimana
mekanisme penguatan hegemoni yang terjadi pada
aktor
dominan yang terlibat dalam penggarapan lahan?
1.3 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui dinamika konflik tenurial di BKPH Kalibodri. 2. Mengetahui mekanisme penguatan hegemoni yang dimiliki oleh
aktor
dominan yang terlibat dalam penggarapan lahan.
1.4 Keaslian Penelitian Telah banyak penelitian mengenai konflik pengelolaan hutan, baik yang berada di kawasan konservasi, lindung maupun produksi. Berikut ini beberapa penelitian seputar konflik kehutanan:
10
Tabel 1.1 Penelitian pendahulu yang terkait dengan tema konflik tenurial Peneliti / Judul Karya Ilmiah
Lokasi
1 Wulan et.al (2004) HPH di KalSel dan Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Sumut Indonesia 1997-2003 HTI di Riau HL di Kalsel TN di Kaltim HP di KPH Randublatung Jong et al (2005) Conflict and communal forest management in northen Bolivia Dassir (2008) Resolusi Konflik Pemanfaatan Lahan Masyarakat Dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Luwu Timur Hastanti (2009) Evaluasi Pengelolaan Hutan Lestari : Tinjauan Pengelolaan Hutan Jati (Studi Kasus di KPH Matingan Propinsi Jateng) Nurjaya (2009) Conflict Over State Forest Laand of Indonesia : A Case of Firest Region in East Java Imlabla (2010) Resolusi Konflik pada Kawasan Hutan Lindung Nona di Kota Ambon Simangunsong (2010) Kelola Konflik Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar dan Danau Bawah di Kabupaten Siak Propinsi Riau Willy et.al (2010) The End of Hinterland : Forest, Conflict, ans Climate Change Devkota (2010) Interest and Power as Drivers of Community Forestry Momo (2011) Politik, Konflik, dan Kekerasan terhadap Hutan di Kabupaten Muna Larson et.al (2010) Forest for People : Community Rights and Forest Tenure Reform Maryudi (2011) The contesting aspiration in the forest Yasmi et.al (2012) Community-outsider conflict over forest
Topik 2 3
4
Bolivia
HL di Kab Luwu Timur Sulsel
Perum Perhutani
Perum Perhutani
HL di Ambon
SM di Riau
Global
Nepal Hutan Sultra
Jati
Muna
Global HKm Jawa dan HP Perum Perhutani Asia Tenggara *
11
Peneliti / Judul Karya Ilmiah Yasmi et.al (2012) Konflik Kehutanan di Asia dan Implikasinya bagi REDD+ Zainuddin et.al (2012) Kontestasi dan Konflik Memperebutkan Emas di Poboya Suntoro (2013) Aplikasi AHP dalam Upaya Penyelesaian Konflik Pengambilan Kayu Bakar/ Rencek di Taman Nasional Alas Purwo, Purwanto et.al (2013) Hutan Jawa : Kontestasi dan Kolaborasi Herwati (Januari 2014) Peasant in Mismanaged Java Forest Keterangan :
Lokasi
1
Topik 2 3
4
Hutan Asia
Tahura Sulteng
Poboya **
TN Alas Purwo
Hutan Jawa
Perum Perhutani
1
= karakteristik konflik, meliputi latar belakang, aktor, dan tipe konflik
2
= resolusi konflik
3
= implikasi konflik
4
= identifikasi hegemoni
*
= disertai dampak konflik
**
= disertai struktur dan eskalasi konflik = hutan jawa/ Perum Perhutani sebagai lokus penelitian
Keaslian yang ditawarkan dari penelitian ini selain lokus yang baru dan belum pernah diteliti sebelumnya juga eksplorasi tentang faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya permasalahan tenurial serta mekanisme penguatan hegemoni pada setiap aktor yang terlibat konflik tenurial, dalam hal ini berbentuk penggarapan lahan oleh masyarakat di hutan negara.
12