BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kehutanan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan sendiri memiliki arti suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan menurut FAO merupakan lahan yang luasnya lebih dari 0,5 Ha dengan pepohonan yang tingginya lebih dari 5 m dan tutupan tajuk lebih dari 10%, atau pohon dapat mencapai ambang batas di lapangan tidak termasuk lahan yang sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian atau pemukiman. Hutan produksi di Indonesia yang dikenal saat ini dibedakan atas dua jenis berdasarkan jenis tegakan yaitu Hutan Heterogen (tegakan tidak seumur dan memiliki jenis yang bebeda) dan Hutan Homogen (tegakan seumur dan jenis sama) contoh Hutan Tanaman. Di pulau Jawa salah satu hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan secara berkelanjutan oleh Perum Perhutani adalah jati (Tectona grandis L.f). Dalam kegiatan pengelolaan hutan dasar dan tujuan utama adalah asas atau prinsip kelestarian.Kegiatan pemanenan hasil hutan merupakan sebagian dari kegiatan pengelolaan pengusahaan hutan. Prinsip kelestarian dapat terjamin apabila penebangan yang dilakukan tidak mengurangi jumlah volume kayu yang
1
ada, dalam arti jatah yang dipanen merupakan hasil pertumbuhan riap rerata pohon yang ada. Sehingga dalam pemanenan hutan ditetapkan adanya Jatah Produksi Tahunan. Penentuan besar Jatah Produksi Tahunan di tiap KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) menggunakan nilai faktor koreksi yang berbeda-beda hal tersebut tergantung pada kondisi tegakan serta teknis dan non teknis di lapangan. Faktor koreksi adalah angka pecahan yang menghubungkan volume (m3) realisasi hasil tebangan dengan volume taksasi (m3) bila digunakan tabel atau tariff tertentu (Durbani, 1992). Keberadaan faktor koreksi sangat penting untuk mengakomodir hal-hal yang mungkin menimbulkan error di lapangan dan mengimbangi adanya kesalahan yang mungkin terjadi dalam perhitungan volume tegakan (Samantha, 2013). Faktor yang diangggap mengganggu dalam perhitungan taksiran volume tegakan yaitu adanya gangguan seperti pencurian kayu dan bencana alam, kesalahan dalam pengukuran pohon, faktor keberhasilan tanaman, faktor kecacatan kayu dan faktor lainnya yang dianggap menghambat terjadinya kelestarian hasil dalam pengusahaan hutan. Nilai faktor koreksi fisik bergantung pada volume realisasi dan volume taksiran pohon. Dalam Instruksi 1974 faktor koreksi merupakan faktor untuk merubah batang kayu dari volume (st) ke dalam volume kayu perkakas kasar (kpk). Volume kayu batang (
) merupakan besaran volume batang yang diukur
dari tonggak hingga ke Tinggi Batang Bebas Cabang (TBBC). Volume kayu perkakas (kpk) adalah volume yang dihitung kayu batang (log) saja dengan meniadakan bagian kulit, ranting, cabang dan lain-lain. Dalam cara perhitungan
2
faktor koreksi tentu terdapat perbedaan antara volume realisasi (kpk) dengan volume taksiran (
). Kehilangan pohon akibat pencurian dan bencana alam juga
menjadi penyebab lain yang mempengaruhi perhitungan faktor koreksi karena jumlah realisasi tebangan akan menurun dibandingkan dengan volume taksiran. Jumlah pohon dapat mempengaruhi nilai faktor koreksi dalam melihat realisasi tebangan dengan rencana tebangan yang tertera pada PDE-10 (Ikhtisar Tebangan Menurut Waktu dan Tempat). Faktor koreksi didalamnya meliputi error, faktor keamanan, dan faktor eksploitasi. Oleh karena itu, untuk menghitung faktor koreksi dengan mempertimbangkan dari segi jumlah pohon beserta analisis perbandingan dengan ketetapan Perum Perhutani untuk setiap BH (Bagian Hutan) maka penelitian ini dilakukan.
Mengingat
bahwa tingkat keberhasilan
pengendalian kelestarian sangat bergantung pada besarnya faktor koreksi yang dihasilkan. Dalam kegiatan pemanenan tegakan dihasilkan kayu perkakas (kpk) yang dibagi kedalam beberapa sortimen AI, AII dan AIII. Pemanenan di KPH Banyuwangi utara memiliki umur tebang minimum 40 tahun dan umur tebang rata-rata yaitu 52 tahun yang masuk dalam rentang kelas umur hutan yaitu KU IV up. Setiap penebangan pada masing-masing kelas umur memiliki besar hasil volume tiap kelas sortimen yang berbeda. Hasil pemanenan tegakan yang baik dan maksimal salah satunya adalah menghasilkan persentase nilai sortimen AIII yang lebih besar hal itu membuktikan jika ukuran dan volume kayu yang dihasilkan relatif besar. Semakin besar persentase volume dan ukuran kayu yang diterima maka akan semakin besar keuntungan finansial bagi perusahaan yang akan
3
didapat. Perhitungan persentase volume sortimen pada tiap kelas umur perlu dilakukan untuk dapat mengetahui kelas umur optimal yang dapat menghasilkan sortimen AIII.
1.2 Rumusan Masalah Ketepatan dan efisiensi dalam kegiatan tebangan kayu sangat diperlukan agar dapat meminimalisir limbah sisa penebangan serta kerusakan hutan sehingga dapat mencapai hasil produksi optimum dan menjaga kelestarian hasil hutan. Untuk mengakomodir hal tersebut digunakan faktor koreksi sebagai pengaman penaksiran volume produksi hasil kayu yang dapat diketahui dengan membandingkan antara volume realisasi dan volume taksiran dalam penebangan pohon. Kecermatan nilai faktor koreksi dalam perhitungannya tergantung pada beberapa faktor yang mempengaruhi di lapangan baik nonteknis dan teknis meliputi pengaruh kondisi karakteristik suatu wilayah seperti iklim, kelerengan, faktor keamanan, adanya perbedaan antara macam kayu yang diterima di tebangan dan macam kayu dalam taksasi serta faktor teknis seperti kecermatan tebangan dan perbedaan pendekatan penggunaan tabel/tariff yang digunakan untuk taksasi volume pohon. Dengan demikian faktor koreksi tersebut dapat berbeda-beda pada masing-masing Bagian Hutan pada suatu KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan). Pentingnya nilai faktor koreksi khususnya pada kegiatan pemanenan dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan pengelolaan hutan yang
4
berkelanjutan. Oleh karena itu dibutuhkan pengembangan dan evaluasi lebih lanjut mengenai hal tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui besaran nilai faktor koreksi penebangan kayu komersial jati di KPH Banyuwangi Utara dengan mempertimbangkan jumlah pohon. 2. Mengetahui persentase sortimen hasil produksi kayu berdasarkan kelas umur tegakan (KU).
1.4 Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfat: 1. Memberikan gambaran bagi KPH mengenai keberhasilan realisasi tebangan dibandingkan rencana tebangan melalui faktor keamanan tegakan, faktor eksploitasi dan faktor lain yang termasuk didalam faktor koreksi. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak KPH dalam menentukan kebijakan terutama faktor koreksi yang ditetapkan untuk menaksir volume kayu.
5