1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Letak wilayah Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa menyebabkan Indonesia banyak memiliki hutan khususnya hutan hujan tropis. Areal hutan tersebut diperkirakan seluas kurang lebih 144 juta ha. 1 Hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia yakni dalam fungsi klimatologis, hidrolis, dan dalam memberikan kemanfaatan ekonomi. Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan dengan tujuan khusus yang diperlukan untuk kepentingan umum seperti untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta religi dan budaya, sehingga hutan memberikan manfaat bagi masyarakat. Untuk menjaga dan melestarikan fungsi hutan, dalam peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan ditetapkan suatu prinsip perlindungan hutan. Prinsip perlindungan hutan ini merupakan prinsip yang tidak terpisahkan dan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan atau yang kini diistilahkan dengan good forestry governance. Penerapan
1
1
Salim H.S, 2006, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
2
good forestry governance merupakan salah satu kunci untuk menekan terjadinya kerusakan hutan. Dalam tataran filosofi Hindu, prinsip perlindungan hutan dapat dilihat pada sejumlah pustaka suci. Prinsip ini terangkum dalam Sad Kertih yang tertuang dalam Kitab Purana terutamanya mengenai Wana Kertih yaitu upaya untuk melestarikan hutan. Sad Kertih merupakan enam konsep dalam melestarikan lingkungan yang terdiri dari Atma Kertih yaitu upaya untuk menyucikan Atma, Samudra Kertih yaitu upaya untuk melestarikan samudra, Wana Kertih yaitu upaya untuk melestarikan hutan, Danu Kertih yaitu upaya untuk menjaga kelestarian sumber air tawar di daratan, Jagat Kertih yaitu upaya untuk melestarikan keharmonisan hubungan sosial yang dinamis dan produktif berdasarkan kebenaran dan Jana Kertih yakni upaya untuk menjaga kualitas individu.2 Hutan dalam lontar Bhuwana Kosa VIII, 2-3 dikatakan sebagai sumber penyucian alam dimana patra (tumbuh-tumbuhan) dan pertiwi (tanah) merupakan pelebur dari segala hal yang kotor di dunia ini. Pustaka suci Rgveda III.51.5 misalnya menyebutkan: “Indraa ya dyaava osadhir uta aapah. Rayim raksanti jiyaro vanani” yang artinya tanpa terlindungi sumber-sumber alam tersebut manusia tidak akan pernah mendapatkan kehidupan yang aman damai dan sejahtera. Selanjutnya dalam kitab Pancawati sebagaimana yang dikutip oleh I Ketut Wiana dijabarkan
2
I Ketut Wiana, “Mulianya Pahala Menjaga Kelestarian Hutan”, disampaikan pada Dharma Wacana tentang upaya pelestarian hutan menurut agama Hindu yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Bali di Desa Ban Kabupaten Karangasem pada 24 Juni 2010.
3
mengenai tiga fungsi hutan untuk membangun hutan lestari (wana asri) yakni: a.
Maha wana adalah hutan belantara sebagai sumber dan pelindung berbagai sumber hayati di dalamnya. Maha wana juga sebagai waduk alami yang akan menyimpan dan mengalirkan air sepanjang tahun.
b.
Tapa wana artinya tempat orang-orang suci mendirikan pertapaan atau pasraman. Di pasraman inilah doa-doa suci terus dipanjatkan dan juga ajaran-ajaran suci ditanamkan ke dalam lubuk hati sanubari umat yang datang mohon tuntunan pada orang-orang suci tersebut.
c.
Sri wana artinya hutan sebagai sumber membangun kemakmuran ekonomi. 3 Umat Hindu di Bali sangat menghormati keberadaan pohon dan
kelestarian lingkungan. Penghormatan umat Hindu terhadap pohon ini merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap Dewa Wisnu dan Dewi Wasundari. Dalam mitologi Linggod Bhawa disebutkan bahwa
Dewa
Wisnu sebagai Dewa Air menjelma menjadi babi hitam yang mencari ujung bawah dari lingga yoni. Dalam pencarian tersebut Dewa Wisnu bertemu dan kawin dengan Dewi Wasundari (ibu pertiwi). Dari perkawinan ini lahirlah bhoma (bahasa Sanskerta dari pohon). Hal ini melukiskan peristiwa alam dimana air yang bertemu dengan bumi (pertiwi) melahirkan pohon.
3
Ibid.
4
Wujud nyata dari penghormatan ini dapat dilihat dari adanya upacara tumpek uduh yang dilaksanakan setiap wuku wariga. Tumpek uduh dimaknai sebagai hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh-tumbuhan (pohon-pohonan) agar tumbuh subur, terhindar dari hama penyakit dan memberikan hasil yang lebih baik dan berlimpah. Di jalan pun seringkali ditemukan pohon-pohon yang dilingkari dengan kain poleng (putih hitam). Ciri ini memiliki makna filosofis yang tinggi dimana para leluhur mengajarkan untuk “memanusiakan lingkungan”, sehingga
pohon-pohonan
tersebut
akan
diperlakukan
layaknya
memperlakukan manusia. Manusia diharapkan menghindari penebangan pohon namun apabila hal tersebut terpaksa dilakukan maka diharapkan setiap penebangan pohon selalu diikuti dengan penanaman pohon lain di sebelah pohon yang ditebang itu. Tradisi ini pun hingga kini tetap dipertahankan. Prinsip perlindungan hutan yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum nasional khususnya pada Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sesungguhnya berakar pula dari hukum adat. Sejak masa kerajaan di Bali telah dikenal profesi Mantri Juru Kayu atau kini dikenal dengan sebutan Menteri Kehutanan. Dalam Lontar Manawa Swarga dinyatakan bahwa barang siapa yang menebang pohon tanpa izin Raja akan didenda sebesar lima ribu kepeng. Sanksi tersebut diikuti dengan sanksi
5
spiritual berupa pengenaan kutukan agar kepalanya botak bagi orang yang menebang pohon sembarangan. 4 Sanksi terhadap pengerusakan hutan juga terkandung dalam awigawig desa pakraman, antara lain desa pakaraman Buahan, Kintamani, Bangli yang mengadaptasikan pesan leluhur mereka dalam menjaga kawasan hutan. Pesan leluhur tersebut dimuat dalam 23 lembar prasasti yang disebut “Prasasti Bhatara Ratu Pingit” dan disimpan di sebuah batu berlubang di Hutan Alas Kekeran yang disakralkan sebagai tempat roh para leluhur. 5 Pengaturan mengenai larangan pengerusakan hutan juga dapat dilihat dari awig-awig Desa Tenganan Pegringsingan yang mengatur mengenai sistem pengelolaan tata hutan. Adapun isi awig-awig tersebut antara lain, larangan memetik buah- buahan seperti buah durian, buah kemiri, buah pangi serta larangan menebang pohon di dalam hutan. Aturan ini sangat ketat dan konsisten dengan penerapan sanksi baik yang bersifat material maupun sanksi yang bersifat imaterial. Pengaturan sanksi dalam sejumlah awig-awig ini sejalan dengan pemikiran dari aliran Mazhab Sejarah oleh Von Savigny mengenai volkgeist (jiwa rakyat) dimana isi hukum ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. 6
4
Ibid.
5
Wayan Pukel, --- “Pengabdi Penyelamat Lingkungan: Desa Adat Pakraman Buahan” , Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL:http://www.google.com. 6
Lili Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, hal. 40
6
Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum perlu dijadikan lebih lengkap dan utuh, dalam hal perlu dijadikannya memiliki struktur politik pula. 7 Secara yuridis, pentingnya perlindungan hutan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ditindaklanjuti dengan langkah Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia dalam situs resminya mengemukakan mengenai perlindungan hutan yakni sebagai berikut:
Forest protecting consist of forest secure including flora and fauna, forest rangers and investigation. The aim of forest protection are to secure forest, forest land, and its environment in order to get sustainable and optimal functions of the forest e.g. protection, conservation, and production.8 (Perlindungan hutan terdiri dari pengamanan hutan atas flora dan fauna, penjagaan hutan dan investigasi. Hutan melindungi terdiri dari hutan yang aman termasuk flora dan fauna, penjaga hutan dan investigasi. Tujuan perlindungan hutan untuk mengamankan hutan, lahan hutan, dan lingkungan dalam rangka untuk mendapatkan fungsi yang berkelanjutan dan optimal, misalnya hutan perlindungan, konservasi, dan produksi). Berdasarkan
pernyataan
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
perlindungan hutan meliputi pengamanan hutan, pengamanan tumbuhan dan satwa liar, pengelolaan tenaga dan sarana perlindungan hutan serta penyidikan. Perlindungan hutan diselenggarakan dengan tujuan untuk
7
Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 8, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I). 8
Departemen Kehutanan, “Forest Protection And Nature Conservation”, Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL: http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/stat2002/PHKA/PHKA.htm.
7
menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi dapat tercapai secara optimal dan lestari. Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi : a.
Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.
b.
Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Berdasarkan rumusan norma tersebut dapat dikatakan bahwa prinsip
perlindungan hutan memiliki dua fungsi yakni di satu sisi berfungsi dalam melindungi kawasan hutan baik karena perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan di sisi lain berfungsi dalam mempertahankan dan menjaga hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan. Pelaksanaan dari prinsip perlindungan hutan ini sesungguhnya merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Pasal 47 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
8
Kehutanan). Hak-hak negara tersebut meliputi hak untuk menguasai hutan dengan mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan serta mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Masyarakat dan perorangan berhak untuk memanfaatkan dan mendapatkan izin usaha atas hutan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Oleh sebab itu ada 3 (tiga) prinsip minimal yang harus diperhatikan dalam tata kelola kehutanan yang baik, yaitu partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas. Prinsip tersebut harus saling bersinergi untuk mewujudkan usaha-usaha perlindungan terhadap hutan. Untuk mewujudkan perlindungan hutan secara optimal maka ditentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dimana setiap orang dilarang: a.
mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b.
merambah kawasan hutan;
c.
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2
9
(dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. d.
membakar hutan;
e.
menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f.
menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g.
melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h.
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i.
menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j.
membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k.
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
l.
membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Pengaturan yang komprehensif mengenai perlindungan hutan, ternyata tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan. Seiring dengan kebijakankebijakan perlindungan hutan yang dilaksanakan oleh pemerintah, organisasi lingkungan hidup dan masyarakat, ada saja persoalan yang terjadi. Persoalan ini terlihat dari semakin meningkatnya angka deforestasi
10
(perubahan tutupan suatu wilayah dari kawasan hutan menjadi tidak berhutan) dan degradasi hutan (penurunan kualitas hutan). Supriadi dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia” memprediksikan bahwa kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia diperkirakan 70 sampai dengan 80 persen merupakan akibat perbuatan manusia. Selanjutnya ia menambahkan bahwa permasalahan ini bagi Indonesia merupakan sesuatu yang sangat sulit, kerusakan hutan di Indonesia disebabkan karena ulah manusia, baik sebagai masyarakat maupun sebagai pengusaha. Namun pada sisi lain negara maju mendesak kepada negara berkembang, terutama negara yang memiliki hutan tropis menghentikan pemanfaatan hutan untuk keperluan pembangunannya. 9 Kerusakan hutan yang terjadi salah satunya disebabkan oleh illegal occupation terhadap kawasan hutan. Kasus illegal occupation sesungguhnya telah ada sejak masa prasejarah, namun seiring dengan perkembangan zaman, tujuan dan motif illegal occupation juga mengalami pergeseran. Sejak masa bercocok tanam/ zaman neolithik (kurang lebih 2000 SM), masyarakat seringkali membuka kawasan hutan dengan cara membakar hutan. Setelah hutan dibakar, masyarakat mengokupasi kawasan hutan tersebut dengan tinggal dan berladang di kawasan yang telah dibakar tadi. Jika kesuburan tanah dianggap telah menurun, maka warga meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan baru kembali. Peladang tradisional
9
Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 387-388.
11
biasanya membuka ladang sesuai dengan kebutuhan pangan dan kondisi calon pangan.10 Kegiatan membakar hutan dengan cara berhuma ini masih ada hingga kini, walaupun jumlahnya sudah menurun. Seiring dengan modernisasi yang terjadi di berbagai bidang kehidupan maka tujuan dan motif dari illegal occupation terhadap kawasan hutan juga mengalami perubahan. Kasus illegal occupation yang termodernisasi ini secara nyata dapat dilihat pada hutan-hutan di Bali, yakni illegal occupation dengan pensertifikatan kawasan hutan. Kasus illegal occupation memang tidak hanya terjadi di Bali melainkan di hampir setiap daerah yang memiliki kawasan hutan, salah satunya adalah di Desa Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu Malang. Dalam kasus tersebut terdapat sengketa penguasaan tanah hutan antara PT Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan sebagaimana yang dituliskan oleh Bambang Eko Supriyadi, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum PPSUB bersama Achmad Sodiki dan I Nyoman Nurjaya dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Dalam penelitian tersebut ditelusuri mengenai latar belakang masyarakat Desa Sumbergondo melakukan reklaiming dan mengokupasi tanah hutan Perhutani. Dari akar permasalahan penyebab konflik tersebut maka dilacak mengenai upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh para pihak dan pemerintah daerah dalam mengatasi masalah reklaiming dan okupasi tanah hutan, kendala-kendala
10
Samsudi, Agus Wiyanto, 2002, Modul Pelatihan Training of Trainers Pencegahan Kebakaran Hutan, Departemen Kehutanan dan ITTO, Bogor, hal. 49.
12
dan peluang para pihak dalam mengatasi masalah tersebut serta alternatif penyelesaian masalah reklaiming dan okupasi tanah hutan, namun dalam penelitian tersebut okupasi terhadap kawasan hutan oleh masyarakat di areal kekuasaan pengelolaan PT. Perhutani (Persero) tidak sampai pada tahap pensertifikatan. 11 Tesis tentang kehutanan pernah ditulis oleh Anang Tri Hananta dengan judul “Analisis Penegakan Hukum Pasal 50 dan Pasal 78 Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Wilayah Hukum Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang.” Dalam tesis tersebut dibahas mengenai pelaksanaan Pasal 50 dan 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan di Kecamatan Ngantang dan dampak dan penanggulangan penebangan liar di Ngantang sehingga dapat dicari solusi yang benar-benar efektif guna memberantas pembalakan liar. Tesis ini menelaah mengenai Pasal 50 yang juga mengatur mengenai larangan illegal occupation namun dalam tesis ini pembahasan atas pasal tersebut dikaitkan dengan penanggulangan terhadap pembalakan liar. 12
11
Bambang Eko Supriyadi, Achmad Sodiki dan I Nyoman Nurjaya, “Sengketa Penguasaan Tanah Hutan Antara PT. Perhutani (Persero) Dengan Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi di Desa Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu Malang) The Conflict of Forest Land Control between PT. Perhutani (Persero) and Village Society Surrounding Forest Area (A Study at Sumbergondo Village, District of Bumiaji, Batu, Malang),” Universitas Brawijaya, Malang, Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL: http://ppsub.ub.ac.id/perpustakaan/abstraksi/tesis/BAMBANG-EKO-SUPRIYADI---SENGKETAPENGUASAAN-TANAH-HUTAN-ANTARA-PT-PERHUTANI-%28PERSERO%29-DENGANMASYARAKAT-DESA-.pdf 12
Anang Tri Hananta “Analisis Penegakan Hukum Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Wilayah Hukum Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang”, tesis, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2009
13
Penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan melalui instrumen hukum pidana pernah ditulis oleh S., Andrijani (2007) dengan judul Penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia. Dalam tesis tersebut dikaji mengenai tindak pidana kehutanan dari aspek hukum positifnya, aspek sejarah hukum dan masalah penegakan hukumnya. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait, yakni instrumen hukum yang memadai, kebijakan dan peraturan yang mendukung, aparat penegak hukum serta kapasistas kelembagaan yang kuat, proses peradilan yang bersih, dan sanksi hukum yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana. 13 Dilihat dari vegetasinya, Tahura Ngurah Rai memiliki fungsi dalam mencegah abrasi yang mengancam Bali karena letaknya yang dikelilingi oleh pantai. Selain itu hutan ini juga memiliki fungsi yang intangable yakni dalam memberikan produk tambahan berupa jasa pariwisata. Manfaat dan fungsi hutan yang sangat berguna bagi lingkungan dan makhluk hidup di dunia memberikan konsekuensi logis bahwa keberadaan hutan harus dijaga kelestariannya. Okupasi terhadap hutan khususnya terhadap Tahura Ngurah Rai tentunya akan menyebabkan pulau Bali semakin rentan dengan abrasi. Permasalahan
illegal
occupation
terhadap
hutan
merupakan
permasalahan yang sangat kompleks mengingat pengaturan mengenai
13
S., Andrijani, “Penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia” tesis, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2007.
14
kepemilikan tanah diatur secara sporadis dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. Untuk itu para pihak yang terlibat dalam pensertifikatan tanah harus dapat mengintepretasikan peraturan tersebut secara tepat. Di sisi lain, okupasi ini menghadapkan beberapa kepentingan dari stake holder yang memiliki ego sektoral yang sangat tinggi. Kasus illegal occupation menjadi pemicu dari deforestasi dan degradasi dan konversi hutan secara ilegal. Hal ini tentu akan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan meniadakan hak negara untuk menguasai hutan demi kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu sangat menarik untuk membahas lebih lanjut mengenai IMPLEMENTASI PRINSIP PERLINDUNGAN HUTAN DALAM PENANGGULANGAN ILLEGAL OCCUPATION DI KAWASAN HUTAN (STUDI KASUS PADA ILLEGAL OCCUPATION DI TAHURA NGURAH RAI). 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: a.
Bagaimanakah bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai?
b.
Bagaimanakah implementasi prinsip perlindungan hutan dalam upaya penanggulangan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai?
15
1.3
Ruang Lingkup Masalah Penelitian mengenai implementasi prinsip perlindungan hutan dalam penanggulangan illegal occupation dilakukan di hutan mangrove Tahura Ngurah Rai. Hutan ini merupakan hutan konservasi yang memiliki fungsi pokok
pengawetan
keanekaragaman
tumbuhan
dan
satwa
serta
ekosistemnya. Dalam permasalahan pertama penelitian ini dibahas tentang bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai, yang dibagi menjadi beberapa sub-sub pembahasan yakni illegal occupation dalam bentuk menduduki kawasan hutan secara tidak sah dengan merambah kawasan hutan. Faktor-faktor penyebab meliputi faktor struktur hukum dan faktor budaya hukum. Permasalahan kedua
membahas mengenai
prinsip perlindungan
hutan dan implementasi prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi illegal occupation sehingga pada akhir pembahasan dapat dirumuskan mengenai upaya-upaya untuk menanggulangi illegal occupation di kawasan hutan. 1.4
Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat dua tujuan penelitian yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah: 1.4.1 Tujuan umum. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji masalah kehutanan dari perspektif ilmu hukum.
16
1.4.1 Tujuan khusus. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: a.
Menganalisis bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.
b.
Menganalisis implementasi prinsip perlindungan hutan dalam upaya penanggulangan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.
1.5
Manfaat Penelitian 1.5.1
Manfaat teoritis. Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan penelitian ini adalah untuk menambah wawasan serta pengembangan khasanah ilmu dalam hukum kehutanan.
1.5.2
Manfaat praktis. Secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: a.
Bagi legal drafter, penelitian ini dapat menjadi acuan untuk merevisi peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Adapun substansi dari peraturan perundang-undangan tersebut wajib memuat ketentuan-ketentuan baik yang bersifat preventif maupun represif terhadap segala bentuk illegal occupation di kawasan hutan.
b.
Bagi Badan Pertanahan Nasional agar berhati-hati dalam memverifikasi syarat-syarat pendaftaran tanah yang nantinya
17
akan menjadi dasar untuk mengeluarkan sertifikat kepemilikan tanah. c.
Bagi Polisi Hutan, untuk melakukan upaya preventif terhadap upaya-upaya illegal occupation dan represif terhadap pelaku illegal occupation sesuai dengan kewenangannya.
d.
Bagi Notaris agar memverifikasi status tanah dari setiap permohonan sertifikat kepemilikan yang diajukan oleh klien yang ditanganinya.
e.
Bagi Masyarakat agar lebih berhat-hati dalam membeli tanah agar jangan sampai terlanjur membeli tanah hutan.
1.6
Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.6.1 Landasan Teoritis Landasan teoritis dalam penelitian ini meliputi teori, konsep dan pendapat para sarjana. 1.6.1.1 Teori Teori-teori yang dipergunakan untuk menganalis permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Teori sistem hukum. 2) Teori hukum dan lingkungan fisik. 3) Teori kebutuhan. Teori tersebut dapat dijabarkan sebagaimana yang terurai di bawah ini:
18
1) Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence Friedman. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: sistem hukum terdiri dari tiga komponen sistem, yaitu 1) substansi hukum (legal subtance), 2) struktur hukum (legal structure) dan 3) budaya hukum (legal culture). Menurut Friedman yang dimaksud dengan komponen sistem hukum tersebut yakni: 14 a)
Struktur hukum adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi termasuk di dalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya,
pengadilan
dengan
hakimnya,
dan
seterusnya. b) Substansi hukum adalah keseluruhan aturan hukum (termasuk asas hukum dan norma hukum), baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. c)
Kultur hukum, mengenai pengertian kultur hukum ini Friedman menyatakan: Besides structure and subtance, then, there is a third and vital element of the legal system. It is
14
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.225.
19
the element of demand. What creates a demand? One factor, for what of a better term, we call ‘the legal culture’. By this we mean ideas, attitudes, beliefs, expectations and opinions about law. Teori ini akan digunakan untuk menganalisis permasalahan permasalahan
mengenai
faktor-faktor
penyebab terjadinya illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai. 2) Teori hukum dan lingkungan fisik Teori hukum dan lingkungan fisik merupakan teori yang dikemukan oleh Montesquieu dengan menjabarkan lebih lanjut mengenai hubungan antara hukum dengan lingkungan. Bagi pemikir pada era Aufklarung ini, ada faktor utama yang membentuk watak suatu masyarakat, yakni faktor fisik dan faktor moral. Faktor fisik yang utamanya adalah iklim yang menghasilkan akibat-akibat fisiologis mental tertentu. Selain faktor iklim, keadaan daratan, kepadatan penduduk, dan daerah kekuasaan suatu masyarakat juga turut berpengaruh. Dalam faktor moral terhimpun antara lain agama, adat-istiadat, kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir serta suasana yang tercipta di pengadilan.15
15
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 81-82.
20
Teori ini akan digunakan untuk menganalisis implementasi
prinsip
perlindungan
hutan
dalam
menanggulangi illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai. 3) Teori kebutuhan Teori kebutuhan merupakan salah satu bagian dari teori motivasi yang diperkenalkan oleh Abraham Maslow. Maslow mengatakan bahwa dalam diri manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan yakni: a)
Psikologis: antara lain rasa lapar, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks dan kebutuhan jasmani lain.
b) Keamanan: antara lain keselamatan perlindungan terhadap kerugian fisik emosional. c)
dan dan
Sosial: mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik dan persahabatan.
d) Penghargaan: mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri, otonomi dan prestasi serta faktor penghormatan dari luar seperti misalnya pengakuan dan perhatian. e)
16
Aktualisasi diri: dorongan untuk menjadi seseorang/ sesuatu sesuai ambisinya yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi dan pemenuhan kebutuhan diri. 16
Stephen P. Robbins, 2003, Perilaku Organisasi edisi kesepuluh, Indeks, Jakarta, hlm. 214.
21
Maslow mendikotomikan kelima kebutuhan ini yang
tersusun
secara
hierarki,
sehingga
dapat
digambarkan sebagai berikut: Gambar 1 Hierarki kebutuhan
Jika
kebutuhan-kebutuhan
sebagaimana
yang
dikemukakan Maslow tidak terpenuhi maka ia akan termotivasi untuk melakukan hal-hal dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian teori ini akan digunakan untuk menganalisis mengenai bentuk illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai dan implementasi
prinsip
perlindungan
hutan
dalam
menanggulangi illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. 1.6.1.2 Konsep Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) implementasi dan penanggulangan 2) prinsip
22
perlindungan hutan, 3) asas penyelenggaraan kehutanan, 4) illegal occupation, 5) kawasan hutan dan 6) Tahura. Konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Implementasi dan penanggulangan Kata implementasi berasal dari bahasa Inggris yakni
“implement”.
Dalam
Oxford
Dictionary,
implement berarti carry out (a plan, idea, etc.).17 Dengan demikian
implementasi
berarti
pelaksanaan
atau
penerapan suatu perencanaan, ide, prinsip, aturan dan sebagainya.
Adapun
kata
implementasikan
dapat
divisualisasikan sebagai berikut: Gambar 2 Visualisasi konsep implementasi18
17
Martin H. Compiler, 1995, Oxford Learner’s Pocket Dictiobary New Edition, Oxford University Press, Oxford, hal. 206. 18
Arti Kata.com, 2011, “Definisi 'implementasi' “Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL: http://www.artikata.com/arti-330542-implementasi.html
23
Kajian
mengenai
implementasi
prinsip
perlindungan hutan sangat penting untuk mengukur keberhasilan dalam penanggulangan illegal occupation. Konsep
penanggulangan
mengandung
upaya-upaya
preventif dan represif. Upaya preventif merupakan upaya pencegahan terhadap illegal occupation sedangkan upaya represif dilakukan melalui penegakan hukum terhadap pelaku illegal occupation. 2) Prinsip Perlindungan Hutan Perlindungan hutan menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan adalah: Usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Dalam memberikan perlindungan terhadap hutan maka hutan tersebut harus dikelola dengan baik. Pengelolaan hutan merupakan usaha untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari berdasar tata hutan, rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan,
24
perlindungan hutan dan konservasi. 19 Dengan adanya upaya-upaya untuk menanggulangi illegal occupation di kawasan hutan maka prinsip perlindungan hutan dan konsep good forestry governance akan terlaksana dengan baik. 3) Asas penyelenggaraan kehutanan Untuk melaksanakan prinsip-prinsip perlindungan hutan maka dibutuhkan upaya-upaya yang didasarkan pada asas penyelenggaraan kehutanan. Penyelenggaraan kehutanan didasarkan pada asas-asas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Adapun yang dimaksud dengan asas-asas penyelenggaraan kehutanan meliputi: a. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari,
dimaksudkan agar
penyelenggaraan
setiap
kehutanan
pelaksanaan
memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi. b. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan
keadilan,
dimaksudkan
penyelenggaraan kehutanan
harus
agar
setiap
memberikan
peluang dan kesempatan yang sama kepada semua 19
Anonim, 2006, “ Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bentuk Pengelolaan Hutan Masa Mendatang?” Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL: http://www.google.com, (selanjutnya disebut anonim I).
25
warga
negara
sesuai dengan kemampuannya,
sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat.
Oleh
karena
itu,
dalam
pemberian
wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus
dicegah
terjadinya
praktek
monopoli,
monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni. c. Penyelenggaraan kebersamaan,
kehutanan
berasaskan
dimaksudkan
agar
dalam
penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling
ketergantungan
secara
sinergis
antara
masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi. d. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan
mengikutsertakan
masyarakat
memperhatikan
aspirasi
Penyelenggaraan
kehutanan
keterpaduan, penyelenggaraan terpadu
dengan
masyarakat.
dimaksudkan kehutanan
dan
berasaskan agar
dilakukan
memperhatikan
setiap secara
kepentingan
nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat
26
4) Illegal occupation Istilah okupasi berasal dari bahasa Inggris yakni occupation. Dalam kamus Oxford disebutkan bahwa occupation adalah action of taking possession of a country20 atau secara bebas diterjemahkan sebagai tindakan untuk mengambil kepemilikan di suatu negara. Illegal occupation dalam konteks ini adalah kegiatan membuka lahan atau pendudukan di kawasan hutan baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa illegal occupation merupakan pendudukan kawasan hutan oleh masyarakat tanpa izin Menteri Kehutanan. 5) Kawasan Hutan Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1
20
Martin H. Compiler, op.cit., hal. 284.
27
angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Ketentuan dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Untuk itu pemerintah menetapkan wilayah Tahura. 6) Tahura Tahura (taman hutan raya) adalah kawasan hutan yang termasuk dalam hutan konservasi yang berfungsi untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan jenis ini tergolong pada hutan negara yang artinya dikuasai penggunaannya oleh negara. Tahura ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
28
1.6.1.3 Pandangan para sarjana Pandangan para sarjana yang digunakan dalam tesis ini adalah pandangan dari 1) Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2) H.L.A Hart, 3) Soerjono Soekanto, 4) Simon dan beberapa pandangan para ahli lain yang hampir serupa. Otje Salman dan Anton F. Susanto menuliskan bahwa pandangan “hukum sebagai sistem” adalah pandangan yang cukup tua, mesti arti “sistem” dalam berbagai berbagai teori yang berpandangan demikian itu meski tidak selalu jelas dan tidak juga seragam. Asumsi umum mengenai sistem mengartikan kepada kita secara langsung bahwa jenis sistem hukum tersebut telah ditegaskan lebih dari ketegasan yang dibutuhkan oleh sistem jenis manapun juga.21 Pandangan mengenai substansi hukum selalui dikaitkan dengan keberlakuan hukum. Dalam teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara tiga hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, yakni sebagai berikut: a)
Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori 21
Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung , hal. 86.
29
kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. c)
Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 22
Struktur hukum dalam sistem hukum adalah penegak hukum.
Penegak
hukum
atau
orang
yang
bertugas
menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas seyoggianya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugasnya.23 Kultur hukum berkaitan dengan penilaian manusia dalam melihat hukum. Manusia sebagai makhluk budaya selalu
melakukan
penilaian
terhadap
keadaan
yang
dialaminya. Menilai berarti memberi pertimbangan untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek berguna atau tidak. 24 Hasil penilaian itu disebut dengan nilai. Nilai-nilai yang hidup di masyarakat membentuk sistem nilai yang berfungsi sebagai pedoman, acuan perilaku. Sistem nilai menjadi dasar kesadaran
22
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.
23
Ibid., hal. 9.
24
Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 8
30
masyarakat untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan. 25 Dalam pembangunan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.26 Aspek kebudayaan merupakan suatu garis pokok tentang perikelakuan atau blueprint for behavior yang menetapkan peraturan-peraturan
mengenai
apa
yang
seharusnya
dilakukan, apa yang selayaknya dilakukan dan seterusnya 27 Teori sistem hukum juga dikemukakan oleh H.L.A Hart yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum modern. Inti pemikiran Hart terletak pada apa yang dijelaskannya sebagai primary rules dan secondary rules. Hart memandang bahwa penyatuan antara primary rules dan secondary rules merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam sistem hukum. 28 Primary rules lebih menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Mengenai primary rules Charles Sampford menyimpulkan terdapat dua model. Yang pertama adalah primary rules yang di dalamnya 25
Ibid.
26
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, hal. 232.
27
Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 204, (selanjutnya Soerjono Soekanto I). 28
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, op.cit., hal. 96.
31
berisi apa yang disebut aturan sosial (social rule), yang eksis apabila syarat-syarat yakni adanya keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Model kedua bahwa aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang relevan. 29 Secondary rules merupakan rules about rules yang apabila dirinci meliputi aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of recognition). Kedua, bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan ketiga, bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/ dipaksa, ditegakkan (rules of adjudication). Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of adjudication lebih efisien sedangkan rules of change bersifat sedikit kaku, dan rules of recognition bersifat reduksionis. 30 Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial di negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini negara memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bagi para pelanggarnya melalui penegak hukum yang dilegalisasi dengan substansi hukum. La Bruyerre, pakar
29
30
Ibid. Ibid., hal. 91.
32
hukum Prancis abad ke-17 menegaskan “dihukumnya seseorang yang tidak bersalah, merupakan urusan semua orang yang berpikir. Demikian juga pemeo hukum yang bunyinya “Under the law, it is better that ten guilty persons escape. than that one innocent man suffer” (di dalam hukum, adalah lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah, ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah). 31 Soerjono Sekanto mengemukakan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yakni: 1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja. 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3) Faktor sarana atau penegakan hukum.
fasilitas
yang
mendukung
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 32 Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup,
31
32
Achmad Ali, op.cit., hal. 501.
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8, (selanjutnya Soerjono Soekanto II).
33
dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. 33 Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). 34 Mengenai
nilai-nilai dalam
masyarakat
ini,
Soerjono
Soekanto mengungkapkan bahwa derajat efektivitas hukum dipengaruhi oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum. Dengan demikian, dikenal suatu asumsi bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. 35
33
Ibid.
34
Ibid.
35
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, hal. 62, (selanjutnya Soerjono Soekanto III).
34
Pemikiran mengenai perlindungan terhadap hutan juga dikemukakan oleh Koesnadi Hardjosoemantri yang menyatakan bahwa seharusnya diberikan hak perlindungan kepada hutan, samudra, sungai dan sumber daya alam lainnya yang ada dalam lingkungan, malahan sekaligus kepada lingkungan hidup itu sendiri. 36 Dengan demikian harus dikelola dengan baik demi pelaksanaan prinsip perlindungan hutan. Menurut Simon, perkembangan teori pengelolaan hutan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kategori kehutanan konvensional dan kategori kehutanan modern (kehutanan sosial). Kehutanan konvensional adalah teori pengelolaan hutan yang termasuk ke dalam kehutanan konvensional extraction
adalah penambangan kayu
(TE)
dan
perkebunan
kayu
atau
timber
atau
timber
management (TM). Kehutanan sosial adalah pengelolaan hutan sebagai sumber daya atau forest resource management (FRM) dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem atau forest ecosystem management (FEM). Keduanya disebut juga dengan istilah lain Sustainable Forestry Management (SFM). Teori-teori pengelolaan hutan tersebut, secara evolutif
36
Koesnadi Hardjosoemantri, 1983, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 211.
35
berkembang, sejak dari mulai penambangan kayu (TE) hingga sampai pada pengelolaan ekosistem hutan (FEM). 37 Pemanfaatan hutan bagi masyarakat sedapat mungkin memberikan kemanfaatan. Konsep ini sejalan dengan teori tujuan hukum yakni kemanfaatan tidak dapat dilepaskan dari doktrin yang sangat populer dari Jeremy Bentham yang mengedepankan the greatest happines principle (prinsip kebahagian yang semaksimal mungkin). Masyarakat yang ideal menurut Bentham adalah masyarakat yang mencoba memperbesar
kebahagiaan
dan
memperkecil
ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya. 38 1.6.2 Kerangka berpikir. Dalam penulisan penelitian ini, disusunkan kerangka konseptual yang menjelaskan secara singkat mengenai masalah yang akan diteliti, menggambarkan variabel-variabel dengan dilandasi oleh landasan teoritis sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun kerangka berpikir dapat diterjemahkan dalam bagan di bawah ini yakni: 37
Wikipedia, “Kehutanan”, Serial Online 13:58, 29 Oktober 2010, (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL:http://id.wikipedia.org/wiki/Kehutanan, 38 Achmad Ali, op.cit., hal. 274-275.
36
Gambar 3 Kerangka berpikir
Substansi Hukum
Struktur Hukum
Hierarki kebutuhan 1. 2. 3. 4. 5.
Budaya Hukum
Perspektif hukum dan lingkungan fisik
Psikologis Keamanan Sosial Penghargaan Aktualisasi diri
Illegal occupation
1. Faktor fisik 2. Faktor moral
Implementasi prinsip perlindungan hutan dalam penanggulangan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai Keterangan: = =
Mempengaruhi Teori Utama
Tindakan illegal occupation akan selalu ditinjau dengan menggunakan teori sistem hukum sebagai teori utama dalam penelitian ini. Analisis prinsip perlindungan hukum ditelaah dari segi substansi hukum yang menjadi payung hukum dari perlindungan hutan dan penegakan prinsip perlindungan hutan
37
dalam menanggulangi illegal occupation, struktur hukum dalam menjaga kawasan hutan dari illegal occupation dan budaya hukum terhadap upayaupaya perlindungan hutan. Analisis melalui elemen sistem hukum tersebut akan memberikan pemahaman mengenai bentuk illegal occupation di kawasan hutan serta faktor-faktor penyebab terjadinya illegal occupation. Dengan pemahaman tersebut maka dapat dirumuskan mengenai upaya-upaya penanggulangan terhadap illegal occupation baik yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi lingkungan hidup dan masyarakat. Berdasarkan teori kebutuhan dan teori lingkungan fisik maka dapat diketahui bentuk illegal occupation dan implementasi prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi illegal occupation. Terjadinya illegal occupation merupakan pelanggaran terhadap prinsip perlindungan hutan khususnya perlindungan hutan dari perbuatan manusia. 1.7 Hipotesis Berdasarkan teori sistem hukum, teori lingkungan fisik dan teori kebutuhan maka dapat dirumuskan hipotesis seperti ini: a.
Bentuk illegal occupation di Tahura Ngurah Rai terjadi karena adanya kebutuhan manusia untuk menduduki kawasan hutan.
Faktor-faktor
penyebab dari illegal occupatin di Tahura Ngurah Rai disebabkan karena faktor struktur hukum dan faktor budaya hukum.
38
b.
Implementasi prinsip perlindungan hutan ini sangat bergantung pada selarasnya hukum dan lingkungan fisik serta kebutuhan negara, penegak hukum, badan usaha dan masyarakat dalam melaksanakan prinsip perlindungan hutan. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan psikologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri.
1.8
Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum empiris yang mengkaji bekerjanya hukum di masyarakat, yakni dengan mengkaji mengenai illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat. Hukum dalam penelitian ini tidak dikonsepkan sebagai suatu gejala normatif yang otonom, akan tetapi suatu institusi sosial yang secara riil berkaitan dengan variabel-variabel sosial lainnya. 39 1.8.2 Sifat penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sikap, gejala dan keadaan dari illegal occupation di Tahura Ngurah Rai dalam konteks perlindungan hutan. Perlindungan hutan merupakan suatu prinsip dalam ilmu hukum yang kemudian dirumuskan secara normatif dalam peraturan perundangunangan. Oleh sebab itu penelitian ini termasuk dalam theoretical 39
Soetandyo Wignjosoebroto, 1974, “Penelitian Hukum: Sebuah Tipologi,” Majalah Masyarakat Indonesia, tahun ke-1 No. 2., hal. 96.
39
research. Terry Hutchinson menjelaskan bahwa theoretical research adalah “Research which fosters a more complete understanding of the conceptual bases of legal principles and of the combined effect of a range of rules and procedures that touch on particular area of activity.”40 Dengan demikian penelitian ini mengelaborasikan pemahaman yang lebih lengkap dari suatu konsep yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum dan menggabungkan akibat dari perubahan aturan-aturan serta prosedur yang berkaitan dengan tindakan hukum tertentu. Deskripsi mengenai illegal occupation ini disertai dengan analisis kritis terhadap struktur hukum dan budaya hukum yang menyebabkan terjadinya illegal occupation. Dari gambaran tersebut ditemukan prinsip perlindungan hutan yang disimpangi dari adanya illegal occupation dan upaya-upaya pencegahan yang dilakukan terhadap illegal occupation tersebut. 1.8.3 Lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di Tahura Ngurah Rai yang berlokasi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung karena Tahura Ngurah Rai merupakan satu-satunya Tahura yang dimiliki oleh Provinsi Bali sebagai kawasan Konservasi yang berfungsi sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Teknik penentuan informan kunci dimulai dari petugas pengukuran tanah 40
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., Sydney, Australia, hal. 9.
40
yang terdiri atas tim rekonstruksi/ pengukuran tanah hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali dan Polisi Hutan saat melakukan patroli keamanan hutan. Dari hasil pengukuran tersebut terlihat perubahan posisi pada beberapa titik pal batas, adanya kegiatan di luar kegiatan kehutanan berupa bangunan, pondasi dan penebangan mangrove. Penggalian informasi dilanjutkan terhadap pelaku illegal occupation. Dari pelaku illegal occupation
diperoleh informasi
adanya kepemilikan hak yang sudah mereka pegang sebagai dasar bagi mereka menduduki kawasan hutan tersebut. Informan selanjutnya adalah BPN, Notaris, Tokoh Adat dan Masyarakat untuk menelaah mengenai faktor penyebab dan kronologis dari illegal occupation. Begitu seterusnya pencarian informasi mengenai illegal occupation, dan berhenti pada titik jenuh atau sudah terpenuhinya data yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini. 1.8.4 Jenis data dan sumber data. 1.8.4.1 Jenis data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan langsung dari sumber pertama baik dari informan maupun dari responden. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan berupa literatur dan kamus.
41
1.8.4.2 Sumber data a)
Sumber data primer Data primer dalam penelitian ini bersumber dari wawancara yang dilakukan terhadap polisi hutan, notaris, BPN, Tokoh Adat/masyarakat dan pelaku illegal occupation serta melalui observasi terhadap kawasan hutan yang diokupasi secara ilegal serta sidang pengadilan mengenai illegal occupation.
b) Sumber data sekunder Sumber data sekunder berasal dari bahan hukum dan bahan non hukum. Bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah: 1.
Undang-undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia 1945. 2.
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
42
4.
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
5.
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil-hasil penelitian, awigawig, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku hukum dan jurnal-jurnal hukum baik yang dimuat dalam media cetak maupun media online. 3) Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamus. Bahan non hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah prasasti dan literatur tentang lingkungan hidup, ilmu manajemen dan kehutanan. 1.8.5
Teknik pengumpulan data. 1.8.5.1 Teknik pengumpulan data primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik:
43
a.
Wawancara,
wawancara
dilakukan
untuk
menggali faktor-faktor penyebab dari illegal occupation dan upaya yang telah dilakukan untuk
menanggulanginya.
dilakukan
pada
Polisi
Wawancara
Kehutanan
Dinas
Kehutanan Provinsi Bali, Notaris, BPN, Tokoh Adat/masyarakat dan pelaku illegal occupation. b.
Observasi/ pengamatan, teknik ini dilakukan pada illegal occupation di Tahura Ngurah Rai dan pada proses sidang pengadilan mengenai illegal occupation. Teknik ini dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat segala hal untuk menjelaskan occupation
mengenai dan
bentuk
faktor-faktor
illegal penyebab
terjadinya illegal occupation di kawasan hutan. 1.8.5.2 Teknik pengumpulan data sekunder Teknik pengumpulan data sekunder yang digunakan adalah studi kepustakaan yakni dalam mengumpulkan bahan hukum dan bahan non hukum yang relevan dengan penelitian ini.
44
1.8.6
Pengolahan dan analisis data. 1.8.6.1 Pengolahan data Data lapangan yang telah dilakukan proses editing yakni merapikan kembali data yang telah diperoleh dengan
memperhatikan
kelengkapan,
kejelasan dan sinkronisasi dari data yang telah dikumpulkan sebelumnya, Kemudian dilanjutkan dengan coding yakni mengklasifikasikan jawaban informan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, kemudian diolah sehingga data tersebut dapat berfungsi secara relevan didalam menjawab semua permasalahan yang dirumuskan didalam penelitian ini. 1.8.6.2 Analisis data Analisis
data
yang
dipergunakan
dalam
penelitian ini adalah analisis kualitatif oleh karena penelitian
ini
bersifat
deskriptif.
Data
yang
dikumpulkan dalam penelitian ini bukanlah berupa angka-angka melainkan berupa fakta-fakta, kasuskasus dan hubungan antara variable mengenai illegal occupation melalui pensertifikan tanah hutan menjadi tanah milik. Proses analisis dilakukan
45
dengan cermat hingga mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel. 1.8.7
Teknik penyajian data Setelah dianalisis maka hasil analisis data tersebut disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. Hasil analisis dijabarkan dalam bentuk uraian-uraian mengenai fenomena yang diangkat, kemudian dihubungkan dengan teori, konsep dan pendapat sarjana sehingga diperoleh gambaran
yang
komprehensif
mengenai
substansi
permasalahan. Gambaran ini disusun secara sistematis sesuai dengan kerangka berpikir yang telah dijelaskan sebelumnya guna memperoleh simpulan dan saran yang rasional.
46
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN ILLEGAL OCCUPATION DI TAHURA NGURAH RAI
2.1
Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hutan Prinsip perlindungan hutan sangat diperlukan untuk menjaga dan melestarikan Tahura dari illegal occupation, sehingga secara umum hutan dan perlindungan hutan merupakan dua terminologi yang tidak dapat dipisahkan. Hutan menunjuk pada objek hukum sedangkan perlindungan hutan menunjuk pada perbuatan subjek hukum terhadap objek hukum. Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Inggris). Forrest
merupakan dataran tanah yang bergelombang dan dapat
dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan seperti pariwisata. Di dalam hukum Inggris Kuno, forrest (hutan) adalah daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burungburung hutan. Di samping itu, hutan juga dijadikan tempat pemburuan, tempat peristirahatan dan tempat bersenang-senang bagi raja dan pegawaipegawainya.41 Menurut Dengler yang diartikan dengan hutan, adalah: Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuhtumbuhan/ pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal).42
41
Black dalam Salim H.S., op.cit., hal. 40.
42
Ibid., hal 40.
47
Selanjutnya Dengler mengemukakan bahwa “yang menjadi ciri hutan adalah adanya pepohonan yang tumbuh pada tanah yang luas (tidak termasuk
savana
dan
kebun),
dan
pepohonan
tumbuh
secara
berkelompok.”43 Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan memberikan pengertian bahwa hutan adalah “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.” Dari uraian mengenai pengertian hutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tersebut dapat diketahui empat unsur yang terkandung dari definisi tersebut yakni: a.
Unsur lapangan yang cukup luas (minimal ¼ hektar), yang disebut tanah hutan.
b.
Unsur pohon (kayu, bambu, palm), flora dan fauna.
c.
Unsur lingkungan.
d.
Unsur penetapan pemerintah.44 Dalam konteks kehutanan dan kelangsungan hidup manusia, hutan
sangat penting bagi kehidupan jutaan orang Indonesia. Sekitar 48,8 juta orang hidup di hutan negara dan sekitar 10,2 juta orang di antaranya
43
44
Ibid. Ibid, hal. 40.
48
merupakan orang miskin. Secara keseluruhan, sekitar 20 juta orang Indonesia tinggal di daerah pedesaan dekat hutan, dan sekitar 6 juta orang memperoleh penghasilan dari sumber daya hutan . Di samping menyediakan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat, hutan juga penting untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masyarakat termiskin di kawasan hutan, seperti untuk kayu bakar, obat-obatan, makanan, bahan bangunan, dan barang lainnya. 45 Kuantitas areal hutan yang begitu besar memberikan kesempatan kerja yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia. Tercatat sektor kehutanan mampu menyerap tenaga kerja langsung sebesar 1,5 juta orang dan penyerapan tenaga kerja tidak langsung sebesar 2,5 juta orang. Apabila setiap pekerja memiliki tanggungan keluarga sebanyak 3-4 orang, maka jumlah orang yang hidupnya tergantung kepada sektor kehutanan mencapai 12-16 juta orang. Tidak hanya itu, sektor kehutanan juga berhasil menjadi pendorong bagi berkembangnya sektor-sektor lain, diantaranya sektor industri pendukung mesin dan peralatan, industri kimia, industri perbankan dan asuransi, industri metal, industri jasa berupa pendidikan, pelatihan dan pengembangan serta jasa-jasa pengujian. Pada periode tersebut, total investasi di sektor kehutanan yang ditanamkan oleh pihak swasta mencapai US$27,7 miliar dimana US$10,7 miliar merupakan industri pulp dan
45
H. MS. Kaban, “Perlindungan dan Pemberdayaan Hutan; Wujud Bela Negara dalam Perspektif Kebangkitan Nasional”, Selasa, 19 Juni 2007, http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=527&Itemid=11, diakses pada 2 November 2010.
49
kertas.46 Dari sisi finansial, keberadaan hutan dan hasil-hasil hutan mampu menopang roda perekonomian negara, badan usaha dan masyarakat. Dari
sisi
pelestarian
lingkungan
hidup,
hutan
mampu
mengkonversikan CO2 menjadi O2 dalam proses fotosistensis sehingga efek rumah kaca dan gangguan iklim dapat teratasi. Dalam hal ini hutan memiliki fungsi klimatologis yakni sebagai pengatur iklim dan sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen. Fungsi hutan sebagai pengahasil O2 tentunya sangat bermanfaat bagi hidup manusia. O2 merupakan bahan baku bagi manusia untuk bernafas, oleh sebab itu manusia sangat membutuhkan hutan dalam kehidupannya. Selain itu, hutan juga memiliki fungsi hidrolis yakni dapat menampung air hujan di dalam tanah, mencegah intrusi air laut yang asin dan menjadi pengatur tata air tanah. Menilik pada fungsi hutan yang begitu besar dalam kehidupan manusia, maka hutan tersebut harus dilindungi. Kenyataan inilah yang melahirkan konsep perlindungan hutan. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
46
Agung Nugraha, 2004, Menyongsong Perubahan Menuju Evitalitasi Sektor Kehutanan, Wirna Aksara, Jakarta, hal. 58-59.
50
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Sehingga dari rumusan normatif tersebut dapat dijelaskan mengenai ruang lingkup dari perlindungan hutan yakni: a.
Suatu usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
b.
Dari perbuatan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit.
c.
Dalam rangka mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Ruang lingkup perlindungan hutan ini juga ditegaskan kembali dalam
Penjelasan Umum Undang-undang No, 41 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Hutan yang menyebutkan: Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Dalam Pasal 46 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dinyatakan bahwa penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi
alam
bertujuan
menjaga
hutan,
kawasan
hutan
dan
lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Pemerintah mengatur perlindungan
51
hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja melainkan diselenggarakan melalui sinergi antara pemerintah, pemegang hak atau izin pengelolaan hutan dan masyarakat yang dilakukan berdasarkan status hutan, apakah termasuk hutan negara atau hutan hak. Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Dengan demikian secara spesifik ada beberapa pihak yang berkewajiban melaksanakan perlindungan hutan yakni pemerintah, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan, pemegang hak dan masyarakat. Untuk
menjamin
perlindungan
hutan
melalui
good
forestry
governance maka dilakukan penegakan prinsip perlindungan hutan. Penegakan prinsip perlindungan hutan merupakan salah satu bentuk dari penegakan hukum di bidang kehutanan. Ada empat faktor yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum secara konsisten di bidang kehutanan, yaitu:
52
a.
Ada ketentuan hukum yang akomodatif, yaitu ketentuan hukum yang ada harus mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam bidang kehutanan. Ketentuan hukum yang ada dalam bindang kehutanan telah cukup memadai karena telah mengatur berbagai hal seperti tata cara penyidikan, penuntutan serta memuat tentang sanksi yaitu sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana;
b.
Adanya penegak hukum yang tangguh, terampil dan bermoral di bidang kehutanan, seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Polri, Kejaksaan dan Hakim.
c.
Adanya fasilitas yang mendukung ke arah penegakan hukum seperti, alat tulis dan alat transportasi.
d.
Adanya partisipasi masyarakat dalam mendukung penegakan hukum di bidang kehutanan, karena tanpa partisipasi masyarakat, penegak hukum sulit memprosesnya. 47 Terkait
dengan
fungsi
penegak
hukum
dalam
menjamin
terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus. Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus berwenang untuk: a.
mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
47
Salim H.S., op.cit., hal. 3-4.
53
b.
memeriksa
surat-surat
atau
dokumen
yang
berkaitan
dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; c.
menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d.
mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
e.
dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
f.
membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Perlindungan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan
hutan. Kegiatan perlindungan hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Adapun kegiatan perlindungan hutan ini merupakan kewenangan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah. Kegiatan perlindungan hutan di wilayah dan untuk kegiatan tertentu, dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kehutanan. Dalam rangka kepentingan penelitian, pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, religi dan budaya, Menteri menetapkan perlindungan
54
hutan dengan tujuan khusus. Perlindungan hutan pada kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk kegiatan : a.
penelitian dan pengembangan dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan;
b.
pendidikan dan pelatihan dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan;
c.
religi dan budaya dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan keagamaan dan kebudayaan. Prinsip perlindungan hutan merupakan aktualisasi dari nilai-nilai civil
society yang artinya berasal dari kearifan lokal dan dipertahankan melalui penguatan budaya hukum mereka. Terkait dengan budaya hukum masyarakat maka perlindungan hutan ini menjadi isu etika bagi mereka. Perlindungan hutan akan terlaksana dengan baik jika mereka memiliki etika yang baik dalam menjaga dan memanfaatkan kawasan hutan. Prinsip ini juga merupakan penjabaran dari nilai-nilai religius agama yang mereka anut, sehingga sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku pengrusakan hutan selalu dikaitkan dengan upacara agama dan adat-istiadat masyarakat setempat. Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan yang sesuai dengan good forestry governance
pada dasarnya adalah upaya perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia atas perolehan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana yang dikumandangkan dalam sejumlah instrumen hak asasi manusia. Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia merupakan kewajiban semua pihak, negara dan warga negaranya. Hak asasi
55
manusia tidak hanya berbicara mengenai hak, tetapi juga berbicara mengenai kewajiban, yaitu kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai hak asasi manusia orang lain. Dengan demikian segala kegiatan pengrusakan hutan merupakan tindakan melanggar hak asasi orang lain. 2.2
Tinjauan Umum Tentang Illegal occupation Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai adalah perbuatan hukum yang bertentangan dengan prinsip penguasaan hutan oleh negara. Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dinyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Rumusan norma tersebut mengamanatkan bahwa penguasaan atas bumi, air dan kekayaan alam dilakukan oleh negara, sehingga hutan sebagai salah satu kekayaan alam yang juga merupakan sumber air dikuasi oleh negara. Penguasaan terhadap hutan mutlak dipegang oleh negara, namun pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dilakukan oleh badan usaha atau masyarakat. Hutan pada dasarnya tidak dapat dimiliki oleh badan usaha atau masyarakat, sebab konsep kepemilikan oleh badan usaha atau masyarakat sangat bertentangan dengan konsep penguasaan oleh negara. Pemilikan adalah hak untuk menguasai terhadap suatu barang baik dalam bentuk memanfaatkan maupun dalam bentuk mengalihkan hak penguasaan dan
56
pemilikannya. 48 Kepemilikan atas hutan berarti mengghilangkan hak penguasaan hutan oleh negara, yang mana hal ini bertentangan dengan konstitusi. Dengan kompleksitas masalah yang ada di dalam masyarakat, dewasa ini badan usaha atau masyarakat sering kali memanfaatkan, menduduki, memiliki bahkan mengubah fungsi hutan menjadi daerah pemukiman, pertanian, pertambangan dan lain-lain. Dalam pemanfaatan terhadap hutan, badan usaha dan masyarakat dapat menduduki kawasan hutan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan di bidang kehutanan. Bahkan perubahan peruntukan kawasan hutan memang diatur dalam Pasal 19 Undang-undang No, 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menyebutkan: Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian terpadu yang dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan untuk menjamin objektivitas
dan
kualitas
hasil
penelitian,
maka
kegiatan
penelitian
diselenggarakan oleh lembaga Pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait. Adapun yang dimaksud dengan “berdampak penting dan cakupan
48
Zainuddin Ali, op.cit., hal. 31.
57
yang luas serta bernilai strategis” menurut penjelasan Pasal 19 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Kriteria fungsi hutan, cakupan luas hutan, pihakpihak yang melaksanakan penelitian, dan tata cara perubahan peruntukan hutan ini diatur dalam peraturan pemerintah. Okupasi atau pendudukan terhadap kawasan hutan memang diatur dan diperbolehkan oleh peraturan di bidang kehutanan berdasarkan kriteria tertentu dan terkait dengan perlindungan hutan dengan tujuan khusus. Secara empiris, praktik okupasi kawasan hutan ini, dapat dilihat pada pembuatan pal batas di kawasan hutan untuk tempat pembangunan pelinggih, pembangunan jalan raya dan fasilitas umum lainnya. Meskipun hutan didayagunakan untuk kemakmuran rakyat namun hutan tidak dapat serta-merta diduduki oleh individu, masyarakat atau badan usaha. Pendudukan yang melanggar peraturan di bidang kehutanan inilah yang menimbulkan tindakan illegal occupation. Illegal occupation adalah terminologi baru dalam penegakan prinsip perlindungan hutan walaupun telah dilakukan sejak zaman pra sejarah. Frasa ini terdiri atas dua kata yakni illegal dan occupation. Black’s Law Dictionary mengartikan illegal sebagai forbidden by law; unlawful. 49
49
Bryan A.Garner (ed.), 1999, Black’s Law Dictionary Deluxe Seventh EditionWest Group, St. Paul United States of America, hal. 750.
58
Occupation sendiri diartikan dalam berbagai konteks yakni: (1) An activity or persuit in which a person is engaged; esp., a person’s usual or principal work or bussiness, (2) The possesion, control, or use of real property (3) The seizure and control of a territory by military force; the condition of territory that has been placed under the authority of a hostile army. (4) The period during which territory seized by military force is held.50 Illegal merujuk pada perbuatan yang tidak sah menurut hukum sedangkan kata occupation di dalam konteks ini diterjemahkan dengan okupasi atau pendudukan atas suatu wilayah meskipun tidak dilakukan oleh militer. Dengan demikian, secara sederhana illegal occupation berarti pendudukan hutan secara dengan melawan hukum atau pendudukan hutan secara tidak sah. Pendudukan kawasan hutan secara tidak sah sangat terkait dengan masalah kependudukan. Penduduk memang merupakan objek dari pembangunan yang menjadi kekuatan bagi negara untuk membangun. Namun penyebaran penduduk yang tidak merata dengan ledakan penduduk hanya di beberapa titik saja dan kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi masalah kependudukan, dapat menimbulkan permasalahan baru. Salah satu permasalahan yang kerap muncul adalah keterbatasan lahan pemukiman. Akibatnya penduduk yang belum mendapatkan tempat tinggal, merambah hutan dan mendudukinya. Apalagi jika hutan tersebut berada di kawasankawasan strategis.
50
Ibid., hal. 1106.
59
Menilik dengan seksama mengenai manfaat sumber daya hutan selama lebih kurang 25 tahun terakhir, dimana eksploitasi sumber daya alam dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh terhadap hutan. Secara keseluruhan, Bappenas telah menyoroti faktor-faktor yang menekan hutan Indonesia yaitu pertumbuhan penduduk dan penyebaran yang tidak merata, konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan, pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumber daya alam, program transmigrasi, pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah, degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak, pemungutan spesies hutan secara berlebihan dan introdusir spesies eksotik. 51 Penegakan hukum
melalui penegakan prinsip perlindungan hutan
dalam menanggulangi illegal occupation sangat memerlukan peran serta dari masyarakat. Relasi ini juga disepakati oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul “Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.” Dalam bukunya tersebut beliau menuliskan: Membahas penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakannya, merupakan pembahasan yang steril sifatnya. Apabila membahas penegakan hukum hanya berpegang pada keharusankeharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka hanya akan memperoleh gambaran stereotips yang kosong. Membahas penegakan hukum menjadi berisi apabila dikaitkan pada pelaksanaan yang konkret oleh manusia. 52
51
52
Supriadi., op.cit., hal 16.
Satjipto Rahardjo, 2011, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 26, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II).
60
Upaya pencegahan terhadap illegal occupation dilakukan dengan meletakkan kewajiban hukum bagi masyarakat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 69 ayat (1) tersebut dinyatakan “Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.” Kemudian dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1) dikatakan “Yang dimaksud dengan memelihara dan menjaga, adalah mencegah dan menanggulangi terjadinya pencurian, kebakaran hutan, gangguan ternak, perambahan, pendudukan, dan lain sebagainya.” 2.3
Status Hukum Tahura Ngurah Rai Penetapan status hukum kawasan hutan merupakan kegiatan penting dalam menentukan apakah tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum adalah illegal occupation atau legal occupation. Kedudukan atau status hutan di Indonesia perlu dilakukan penetapan status dan fungsi agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran terhadap status hutan tersebut. Penetapan status dan fungsi sangat penting diwujudkan untuk menghindari klaim atau tuntutan dari masyarakat yang saat ini gencarnya menuntut pengakuan atas hutan hak mereka. 53 Penetapan status dan fungsi hutan ini memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas hutan. Penegasan terhadap status hukum dari kawasan hutan dilakukan melalui pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Undang-
53
Supriadi, op.cit. hal. 18.
61
undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya dalam Pasal 14 dan 15 yang menyebutkan: Pasal 14 (1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan. (2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.
Pasal 15 (1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan, b. penataan batas kawasan hutan, c. pemetaan kawasan hutan, dan d. penetapan kawasan hutan. (2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Secara normatif, hutan berdasarkan statusnya menurut Pasal 5 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan terdiri dari: a.
Hutan negara Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang ditetapkan berdasarkan kenyataannya sepanjang masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dikemudian hari masyarakat adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Hutan negara yang berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap).
62
Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimaksudkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hukum negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat
hukum adat
sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. 54 b.
Hutan hak. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Pasal 48 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyebutkan bahwa: (4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya. (5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaikbaiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Pasal 6 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
mengatur mengenai fungsi hutan yakni fungsi konservasi, fungsi lindung,
54
Supriadi, op.cit, hal. 19.
63
dan fungsi produksi. Pada dasarnya setiap hutan memiliki ketiga fungsi ini, namun dari ketiga fungsi ini tentu ada salah satu fungsi yang lebih menonjol. Berdasarkan fungsi pokok tersebut, Pemerintah menetapkan jenis hutan yakni hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan produksi
adalah
kawasan
hutan
yang
mempunyai
fungsi
pokok
memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru. Dilihat dari status hukum, maka tahura merupakan suatu kawasan hutan yang termasuk dalam hutan konservasi yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kewajiban pemerintah dalam mempertahankan keberadaan hutan konservasi menjadikan hutan ini sebagai satu-satunya jenis hutan yang tidak dapat dialihfungsikan. Keberadaan tahura ini memang benarbenar dijaga sebab hutan ini memang bukan hutan alami melainkan memang sengaja ditata untuk tujuan dan fungsi tertentu. Secara singkat status hukum tahura dapat dilihat pada skema berikut ini:
64
Gambar 4 Skema Tahura dalam Jenis Hutan
Hutan
Hutan Negara
Hutan Lindung
Hutan Hak
Hutan Konservasi
Hutan Produksi
Hutan Suaka Alam
Cagar Alam
Hutan Kawasan Pelestarian Alam
Suaka Marga Satwa
Taman Wisata Alam
Hutan Wisata
Taman Taman Taman Nasional Buru Hutan Raya (Tahur a) Kawasan tahura menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam adalah “kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan jenis asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.” Secara
65
spesifik tahura merupakan hutan konservasi yang termasuk dalam hutan pelestarian alam karena dibuat oleh manusia. Dengan demikian tahura merupakan hutan tetap yang berfungsi untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Hutan Raya, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: 1.
merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya sudah berubah;
2.
memiliki keindahan alam dan atau gejala alam;
3.
mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli atau bukan asli. Upaya pengawetan kawasan tahura dilaksanakan dalam bentuk
kegiatan perlindungan dan pengamanan, inventarisasi potensi kawasan, penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan, pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan atau satwa dan pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan satwa untuk tujuan koleksi. Upaya pengawetan kawasan tahura dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungssi kawasan. Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan tahura adalah:
66
a.
merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya;
b.
merusak keindahan alam dan gejala alam;
c.
mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan;
d.
melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang.
e.
suatu kegiatan, dapat dianggap sebagai tindakan permulaan melakukan kegiatan apabila melakukan perbuatan memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan.
f.
membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, menangkap berburu, menebang, merusak, memusnahkan dan mengangkut sumber daya alam ke dan dari dalam kawasan. Kawasan tahura dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian dan
pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan,
kegiatan penunjang
budidaya, pariwisata alam dan rekreasi, pelestarian budaya. Kegiatan penelitian dan pengembangan meliputi penelitian dasar, penelitian untuk menunjang pengelolaan dan budidaya. Tata kelola kehutanan yang baik merupakan kunci dari perlindungan hutan. Prinsip-prinsip inilah yang semestinya diterapkan pada perlindungan hutan-hutan di Bali. Hutan di Provinsi Bali terdiri dari 22 kelompok hutan dan 29 Register Tanah Kehutanan (RTK). Dari seluruh luas kawasan hutan di Bali 93 % memiliki fungsi konservasi terhadap tanah atau sebagai fungsi hidroorologis.Tipe hutan yang tumbuh di Provinsi Bali sebagian besar tipe
67
hutan hujan tropik. Selain ditumbuhi flora yang beraneka ragam di Provinsi Bali terdapat fauna khas endemik. Menurut fungsinya kawasan hutan di Provinsi Bali terbagi menjadi Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Cagar Alam, Taman Wisata, Taman Nasional dan Taman Hutan Raya.55 Salah satu taman hutan raya yang ada adalah Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai. Tahura Ngurah Rai merupakan suatu kawasan hutan bertipe hutan payau yang selalu tergenang air payau dan dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasi utama di Tahura ini adalah tanaman mangrove. Dilacak dari sejarah pengukuhan kawasan Tahura Ngurah Rai, kawasan hutan ini dulunya disebut dengan Hutan Prapat benoa yang dikukuhkan melalui Staatsblad 1923 No. 509 tertanggal 29 Mei 1927 selanjutnya oleh SK Menteri Pertanian No. 821/KPTS/UM/II/1982, tanggal 10 november 1982 tentang penunjukan areal hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali sebagai kawasan hutan dengan luas 125.513.8 Ha. Pada tahun 1992, kawasan ini diubah menjadi taman wisata alam melalui SK Menteri Kehutanan No. 885/Kpts-II/1992. Pengukuhan kawasan Prapat Benoa sebagai Tahura mulai berlaku sejak tahun 1993 yakni sejak dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No. 544/KPTS-II/1993 tentang perubahan fungsi kawasan hutan Prapat Benoa menjadi Tahura dengan luas sekitar 1.373.50 ha.
55
Departemen Kehutanan, “Hutan Propinsi Bali”, Serial Online (Cited 2011 May. 2), available from : URL: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/BALI/hutan_bali.html, diakses
68
Secara umum di Tahura Ngurah Rai terdapat 18 jenis mangrove yaitu Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhyiza,
Rhizophora
stylosa,
Avicennia
marina,
Xylocarpus
granatum, Excoecaria agalocha, Avicennia lanata, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrical, Sonneratia caseolaris, Lumnitzera racemosa, Ceriops decandra dan Phemphis acidula). Semua jenis mangrove ini adalah jenis mangrove sejati (true mangrove). Jenis tanaman yang mendominasi di Tahura Ngurah Rai adalah Rhizophora apiculata dan Rhizophora Mucronata, Soneratia alba, Bruguiera gymnorrhyiza, Avecinia marina dan Ceriops tagal. Tahura Ngurah Rai berada di dua Kabupan/Kota yaitu di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Tahura Ngurah Rai Merupakan muara dari sungai Tukad badung dan Tukad mati yang merupakan sungai utama di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. 56 Dilihat dari vegetasinya, Tahura Ngurah Rai memiliki fungsi dalam mencegah abrasi dan tsunami yang mengancam Bali karena letaknya yang dikelilingi oleh pantai. Selain itu hutan ini juga memiliki fungsi yang intangable yakni dalam memberikan produk tambahan berupa jasa pariwisata. Manfaat dan fungsi hutan yang sangat berguna bagi lingkungan
56
Anonim, “Perubahan Luasan Tanaman Mangrove di Tahura Ngurah Rai – Bali”, Serial Online 12 Februari 2009, (Cited 2011 May. 2), available from : URL: http://mbojo.wordpress.com/2009/02/12/perubahan-luasan-tanaman-mangrove-di-tahura-ngurahrai-bali/, (selanjutnya disebut anonim II).
69
dan makhluk hidup di dunia memberikan konsekuensi logis bahwa keberadaan hutan harus dijaga kelestariannya.
70
BAB III BENTUK DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ILLEGAL OCCUPATION DI TAHURA NGURAH RAI
3.1
Bentuk Illegal Occupation Penyimpangan terhadap prinsip perlindungan hutan menimbulkan illegal occupation yang semakin meluas dan sistemik. Bentuk illegal occupation di Tahura Ngurah Rai sangat ditentukan oleh kebutuhankebutuhan manusia akan penguasaan tanah. Tanah-tanah hutan dikuasai untuk dijadikan kawasan perumahan, sekolah ataupun tempat usaha. Berdasarkan data yang dihimpun dari hasil penelitian lapangan, terdapat 17 kasus illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai. Adapun ke-17 kasus tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:57
57
1.
Illegal occupation oleh I Wayan Suka seluas 0,8 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I Made Mudra dengan sertifikat No. 3283 tanggal 30/4/1990 Ps. No. 86, PP No. 908. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
2.
Illegal occupation oleh I Wayan Suka seluas 1 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I Made Tinggal dengan sertifikat No. 3073 tanggal 4/11/1989 Ps. No. 89, PP No. 396 Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
3.
Illegal occupation oleh Ni Wayan Sudarti seluas 0,46 are yang berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I Made Mudra dengan sertifikat No. 3363 tanggal
Observasi langsung kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yakni di Br. Jaba Jero Kuta, Br. Pengabetan, Br. Temacun. Br. Anyar Kuta, Pemogan, Desa Sanur Kauh, Br. Mumbul, Br. Perarudan, Kelurahan Kedonganan dan di Kelurahan Sesetan pada 5 Januari 2011.
71
4/08/1990 Ps. No. 89 c, PP No. 908 Kls I Ds./Kuta. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal. 4.
Illegal occupation oleh I Wayan Rembyok seluas 0,2 are yang berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I Made Tinggal dengan sertifikat No. 30733 tanggal 4/11/1989 Ps. No. 89, PP No. 396 Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
5.
Illegal occupation oleh I Ketut Urip seluas 0,178 are yang berlokasi di Br. Anyar Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I Made Mudra dengan sertifikat No. 3539 tanggal 22/4/1991 Ps. No. 89, PP No. 908 Kls II Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
6.
Illegal occupation oleh I Wayan Lunas seluas 0,18 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I Made Mudra dengan sertifikat No. 3468 tanggal 12/12/1990 Ps. No. 89 c, PP No. 908 Kls II Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
7.
Illegal occupation oleh I Wayan Suadi seluas 0,675 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I Made Tinggal dengan sertifikat No. 3657 tanggal 30/9/1991 Ps. No. 517 c, PP No. 89 c Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
8.
Illegal occupation oleh I Ketut Konde seluas 0,9 are yang berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut merupakan tanah warisan dengan sertifikat No. 89 c, PP No. 517 Kls II Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
9.
Illegal occupation oleh I Wayan Buda seluas 1 are yang berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung. Tanah bersertifikat No. 89 c, PP No. 53 Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
10. Illegal occupation oleh I Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made warta dan Nyoman Wartika seluas3,3 dan 1,65 are yang berlokasi di Pemogan, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat No. 1047 tanggal 31/8/1990. Saat ini sebagian tanah telah dirambah dan dikapling-kapling sedangkan sebagian lagi telah dibangun 3 unit rumah.
72
11. Illegal occupation oleh I Wayan Wija/ Tjegeg seluas 0,14 are yang berlokasi di Sanur Kauh, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat No.1442 tanggal 30/5/1996. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal. 12. Illegal occupation oleh IB Surakusuma/ IB Lolek seluas 2 are yang berlokasi di Mumbul, Kuta Tanah tersebut bersertifikat No.1363 tanggal 19/11/1991. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal. 13. Illegal occupation oleh I Nyoman Sudri/ Artono seluas 1 are yang berlokasi di Br. Pemogan, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat No.3091 tanggal 3/9/1996. Saat ini tanah hutan tersebut dirambah. 14. Illegal occupation oleh I Ketut Lolong, Nyoman Kardiana, Nyoman Suarta (PT Bali Siki Utama) seluas 84 are yang berlokasi di Br. Perarudan, Jimbaran, Badung. Tanah tersebut bersertifikat No. 257 1978, Kls IV. Saat ini tanah hutan tersebut dirambah, dikapling untuk bangunan, diduduki dengan mendirikan 4 unit rumah di sebelah selatan sungai yang dijual kepada dr. Ana dkk. dan di sebelah utara sungai sudah ada 2 bangunan, di dalamnya termasuk kaplingan milik A.A. Santosa seluas 7 are dan I Ketut Juana seluas 4 are. Kasus illegal occupation ini sedang digelar dipersidangan Pengadilan Negeri Denpasar. 15. Illegal occupation oleh Desa Adat Kedonganan seluas 0,1768 are yang berlokasi di Kelurahan Kedonganan. Tanah tersebut bersertifikat No. 8115 tanggal 8/7/2001. Saat ini di atas tanah hutan tersebut telah didirikan SMA Negeri 2 Kuta yang dibangun pada awal 2006. 16. Illegal occupation oleh I Wayan Suwirta seluas 6,30 are yang berlokasi di Kelurahan Sesetan, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat No. 9362 tanggal 6/4/2010. Di atas tanah telah dipagari dengan seng dan sudah diurug serta siap didirikan bangunan. 17. Illegal occupation oleh Ahmad Sofyan seluas 30 are dengan klaim SPPT PBB NOP. 51.71.010.008.037.0139.0. Tanaman mangrove di atas tanah hutan tersebut ditebang oleh anak buah yang bersangkutan namun aktivitas ini dihentikan oleh Polisi Kehutanan Tahura Ngurah Rai. Kasus ini tengah diproses di Polsek Denpasar Selatan (Sanur).
73
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, diketahui ada dua bentuk illegal occupation yaitu 1) Menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan 2) Merambah kawasan hutan.
3.1.1 Menduduki Kawasan Hutan Secara Tidak Sah Perbuatan illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai pada dasarnya adalah kegiatan menduduki hutan secara tidak sah yakni tanpa seizin Menteri Kehutanan. Artinya jika menduduki tanah hutan atas seizin Menteri Kehutanan tidak dapat dikategorikan sebagai illegal occupation. Dalam kasus-kasus yang terjadi di Tahura Ngurah Rai, dapat diketahui bahwa perbuatan illegal occupation dilakukan dengan menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Karena pendudukan ini dilakukan untuk membuat sejumlah bangunan, maka tanah-tanah hutan tersebut dirambah terlebih dahulu. Salah satu illegal occupation yang kini masih dalam proses hukum adalah kasus Bali Siki. Bali Siki adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti yang membeli tanah dari I Ketut Lolong. Kasus illegal occupation ini diketahui sejak pembuatan pondasi pada tahun 2002. Saat itu KRPH melalui surat bernomor 300/164/RPH.THR tertanggal 20 April 2002 diikuti dengan surat dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali bernomor 300/ 75/Dishut-4 tertanggal 29 Mei 2002 telah memberikan surat peringatan pada Bali
74
Siki untuk menghentikan pembangunan karena melanggar Pasal 5 ayat (3) huruf o Jo Pasal 78 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menindaklanjuti kasus ini, maka instansi terkait
yakni
Dinas
Kehutanan Provinsi,
Dinas
Kehutanan
Kabupaten dan Kejaksaan telah melakukan gelar perkara pada tahun 2003. Namun hasilnya hanya sebatas inventarisasi permasalahan dan tidak ada upaya ke arah penyidikan.58 Kasus ini kembali mencuat, ketika A.A Santosa dan I Ketut Juana berkeinginan untuk melakukan pengukuran ulang terhadap tanah yang mereka beli dari Bali Siki dengan tujuan untuk menjualnya kembali. Dinas Kehutanan Provinsi Bali kali ini mengajukan keberatan dan tidak mau menandatangi daftar hadir yang disodorkan oleh Badan Pertanahan Kabupaten Badung karena sebagian dari tanah tersebut adalah termasuk dalam kawasan tahura Ngurah Rai. Hal ini tentu sangat menyulitkan A.A Santosa dan I Ketut Juana yang telah membeli tanah bersertifikat dari Bali Siki. Illegal occupation yang terjadi di kawasan Tahura Ngurah Rai diduga dilakukan oleh Bali Siki, dimana pihak Bali Siki awalnya membeli tanah dari I Ketut Lolong seluas 1,250 Ha yang berbatasan dengan Tahura Ngurah Rai. Setelah kepemilikian tanah tersebut beralih pada Bali Siki, luas tanah yang ada di dalam sertifikat
58
Observasi di persidangan pada Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.
75
berubah dan bertambah seluas 81,44 are ke kawasan Tahura Ngurah Rai. Ini berarti ada indikasi bahwa Bali Siki telah melakukan illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai seluas 81,44 are. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sesungguhnya Dirut Bali Siki, I Nyoman Suartha, telah menyadari dan memahami bahwa dirinya terindikasi melakukan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Perbuatan melawan hukum ini telah disadari sebelum adanya bangunan di atas tanah hutan tersebut. Namun pengkavlingan tanah terus dilakukan. Untuk menutupi jejaknya, menghindari kerugian bahkan
menambah
keuntungan,
I
Nyoman
Suarta
melalui
perusahaan properti miliknya menjualnya kembali tanah-tanah tersebut kepada perseorangan dengan sertifikat yang telah diperoleh dengan pemalsuan data penyanding.
Ia menggunakan kedok
sertifikat Nomor 257 an. Lolong seluas 1,250 Ha. Bahwasanya sertifikat tersebut adalah sah, namun setelah kepemilikan tanah beralih pada PT Bali Siki, luas tanah yang ada di dalam sertifikat berubah dan melebar. Dari hasil pengukuran parsial terindikasi bahwa kelebihan luas tanah mencapai 81,44 are. Artinya seluas 81,44 are tanah hutan Tahura Ngurah Rai telah diokupasi secara ilegal. 59
59
Wawancara dengan I Nyoman Suartha, 40 tahun, laki-laki, Dirut Bali Siki (pelaku) pada 4 Mei 2011.
76
Kasus illegal occupation yang dilakukan dengan menduduki kawasan Tahura Ngurah Rai secara tidak sah juga dilakukan oleh I Wayan Suka, Ni Wayan Sudarti, I Wayan Rembyok, I Ketut Urip, I Wayan Lunas, I Wayan Suadi, I Ketut Konde, I Wayan Buda, I Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made Warta, Nyoman Wartika, I Wayan Wija/ Tjegeg dan IB Surakusuma/ IB Lolek. Pelaku menduduki kawasan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai dengan mendirikan rumah tinggal. Pendudukan secara tidak sah ini juga dilakukan oleh Desa Adat Kedonganan dengan memberikan tanah yang ada di wilayah hukumnya untuk dibangun sekolah yakni SMA Negeri 2 Kuta. Pendirian sekolah di atas tanah hutan itu belum mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan, dengan demikian tanah tersebut diduduki secara tidak sah. Berdasarkan kasus-kasus illegal occupation yang dihimpun sebelumnya maka telah terdapat 15 kasus menduduki kawasan hutan secara tidak sah dari 17 kasus illegal occupation yang ada. Perbuatan
illegal
occupation
yang
terjadi
di
Tahura
menyebabkan degradasi hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan di bumi. Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang menjadi penyangga kehidupan di bumi. Vegetasi ini menjadi begitu penting karena mampu menjadi sumber kehidupan bagi manusia dan mencegah bencana alam. Salah satu jenis hutan yang
77
memiliki fungsi tersebut adalah hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Dilihat dari segi fungsi hutan mangrove dideteksi sebagai hutan yang memiliki elemen terbesar dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.60 Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Hutan Mangrove memiliki karakteristik habitat yang khas yakni umumnya tumbuh pada daerah pasang surut yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, atau berpasir, tergenang air laut secara berkala, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang besar dan arus pasut yang kuat dan air bersalinitas payau (2 – 22 permil) hingga asin (38 permil).61
60
Anonim, 2007, “Peranan dan Fungsi Hutan Bakau (Mangrove) dalam Ekosistem Pesisir”, Serial Online Desember 30, 2007, (Cited 2011 May. 2), available from : URL: available from URL: http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/30/peranan-dan-fungsi-hutan-bakau-mangrovedalam-ekosistem-pesisir/. 61
Faiq, 2007, “Hutan Mangrove sebagai Tujuan Wisata”, Serial Online Sabtu, 29 Desember 2007, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:, http://f4iqun.wordpress.com/2007/12/29/hutanmangrove-sebagai-tujuan-wisata/
78
Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai sangat berhubungan dengan letak kawasan hutan tersebut. Hutan mangrove pada dasarnya adalah jenis hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh di pantai-pantai yang terlindung atau pantaipantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Letaknya disekitar pantai tentu menjadi incaran investor untuk menduduki kawasan hutan ini guna menunjang sarana rekreasi pantai dan pembangunan rumah di sekitar pantai. Orientasi ini menjadi faktor pendorong dilakukannya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Ekosistem
hutan
mangrove
memiliki
fungsi
ekologis,
ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun.62 Hal ini juga terjadi di Bali, dimana illegal occupation telah mengghilangkan kawasan hutan
62
Chairil Anwar dan Hendra Gunawan “Peranan Ekologis Dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove Dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir”, (Cited 2011 May. 2), available from : URL: http http://www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf.
79
seluas 133,9598 are. Hilangnya hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai tentu menimbulkan laju kerusakan hutan yang signifikan, apalagi Tahura Ngurah Rai difungsikan sebagai benteng bagi Bali untuk mencegah tsunami. Pendudukan kawasan hutan secara ilegal membutuhkan suatu gerakan perlindungan hutan. Perlindungan hutan merupakan prinsip yang memasuki seluruh dimensi dalam menciptakan good forestry governance. Prinsip ini membutuhkan langkah-langkah preemtif, preventif dan respresif dalam penjagaan kawasan hutan dari kerusakan hutan. Supriadi dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia” menegaskan bahwa kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia hampir dapat dipastikan 70 sampai 80 persen merupakan akibat perbuatan manusia. 63 Hal ini menjadi landasan pemikiran yang tepat manakala legislator secara khusus mengatur mengenai perlindungan hutan dari perbuatan manusia dalam ketentuan-ketentuan di bidang kehutanan. Pengaturan mengenai perlindungan hutan tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Payung hukum dari perlindungan hutan adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999
Tentang
Kehutanan
sedangkan
secara
umum
perlindungan hutan diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan 63
Supriadi, op.cit., hal. 387.
80
Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dengan adanya sejumlah peraturan tersebut maka penegakan prinsip perlindungan hutan sudah dilakukan. Dalam ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dirumuskan sejumlah perbuatan manusia yang dilarang dalam penegakan prinsip perlindungan hutan. Adapun perbuatan yang dilarang tersebut dapat dirinci sebagai berikut: a.
merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
b.
setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
c.
mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
d.
merambah kawasan hutan;
e.
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari
81
tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. f.
membakar hutan;
g.
menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
h.
menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
i.
melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
j.
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
k.
menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
l.
membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
82
m. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; n.
membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan
serta
membahayakan
keberadaan
atau
kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan o.
mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka bentuk illegal ocupation yang terjadi terhadap kawasan hutan meliputi mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; merambah kawasan hutan dan menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, b dan i Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Semua tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran dari prinsip perlindungan hutan yang dilakukan oleh manusia. Manusia baik dalam kapasitasnya sebagai masyarakat maupun badan usaha dianggap paling bertendensi dalam melindungi atau
83
merusak hutan termasuk melakukan illegal occupation. Kedua perilaku yang kontradiktif tersebut ditentukan dari motivasi yang dimiliki masing-masing pihak. Motivasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan dan memelihara perilaku manusia, dan merupakan suatu proses untuk mencoba mempengaruhi seseorang agar
melakukan
sesuatu
yang
diinginkan.
Motivasi
dapat
mengarahkan perilaku hukum masyarakat. Mengenai perilaku hukum ini, Lawrence M. Friedman mengatakan: Perilaku hukum mencakup perilaku taat hukum, tetapi semua perilaku yang merupakan reacting to something, going on in the legal system (reaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi dalam sistem hukum). Reaksi tersebut dapat merupakan reaksi ketaatan terhadap hukum, tetapi juga termasuk reaksi yang bersifat ketidaktaatan kepada hukum. Selain itu juga mengkaji mengenai motivasi mengapa use (menggunakan) atau non use (tidak menggunakan aturan hukum).64 Berdasarkan teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow, dapat diindetifikasi beberapa motivasi yang melahirkan ketaatan hukum yakni melaksanakan prinsip perlindungan hutan dan beberapa motivasi
yang
melahirkan
ketidaktaatan
dengan
melakukan
pendudukan secara tidak sah di Tahura Ngurah Rai. Perilaku yang menunjukkan ketaatan hukum dalam perlindungan hutan antara lain disebabkan karena:
64
Achmad Ali, op.cit., hal. 144.
84
a.
Kebutuhan
psikologis
yakni
kebutuhan akan
hidup
di
lingkungan yang nyaman dan kebutuhan akan rekreasi (hutan merupakan salah satu tempat rekreasi). b.
Kebutuhan
keamanan
dimana
hutan
berfungsi
dalam
menyediakan oksigen yang dibutuhkan oleh manusia untuk bernafas, menjadi sumber mata air serta mampu mencegah bencana alam seperti tsunami dan abrasi. Perilaku ketidaktaatan hukum dari manusia menimbulkan kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia yaitu illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Adapun beberapa motivasi yang menyebabkan illegal occupation antara lain: a.
Kebutuhan
psikologi,
dimana
setiap
manusia
memiliki
keinginan untuk berlindung. Perlindungan ini salah satunya didapat ketika manusia memiliki rumah. Hal ini membuat mereka menduduki kawasan hutan membuka lahan hutan untuk perumahan bahkan memiliki hutan untuk kepentingan tersebut. b.
Kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan ini sangat berkaitan dengan kebutuhan akan aktualisasi diri dimana seseorang memiliki ambisi untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Salah satunya adalah kebutuhan untuk dihormati oleh orang lain. Kehormatan ini didapat jika yang bersangkutan memiliki kekayaan. Bentuk dan cara yang digunakan untuk mendapatkan kekayaan tentunya bermacam-macam, salah satunya adalah
85
didasarkan pada kepemilikan tanah. Atas dasar inilah mereka berlomba-lomba untuk menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Dalam ketentuan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa bahwa perbuatan yang dilarang meliputi tiga jenis perbuatan yakni mengerjakan dan
atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa ketiga perbuatan hukum yakni mengerjakan, menggunakan dan menduduki kawasan hukum secara tidak sah dapat dilakukan secara komulatif atau secara alternatif (masing-masing perbuatan hukum berdiri sendiri) untuk mewujudkan delik illegal occupation. Mengerjakan kawasan hutan menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya. Mengerjakan kawasan hutan untuk peternakan
atau pengembalaan ternak
seringkali menjadi ancaman bagi
keberadaan hutan. Hewan ternak yang untuk sementara diliarkan di kawasan hutan dapat merusak vegetasi hutan, apalagi jika lahan hutan sengaja dirambah untuk dijadikan kawasan peternakan. Oleh sebab itu perlindungan hutan dari ternak memang perlu untuk dilakukan. Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan diatur mengenai perlindungan hutan dari
86
gangguan ternak. Adapun substansi dari Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan adalah: (1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 huruf a dari gangguan ternak, dalam kawasan hutan produksi dapat ditetapkan lokasi penggembalaan ternak. (2) Penetapan lokasi penggembalaan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Unit Pengelolaan Hutan. (3) Untuk kepentingan konservasi dan rehabilitasi hutan, tanah dan air, Kepala Unit Pengelolaan Hutan dapat menutup lokasi penggembalaan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut tentang, penetapan lokasi penggembalaan ternak dalam kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud, pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri. Dalam kasus illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai, pelaku memang tidak mengerjakan kawasan hutan untuk kepentingan pertanian atau perladangan mengingat kawasan Tahura yang bertanah rawa yang tidak cocok untuk pertanian maupun perladangan. Menggunakan kawasan hutan menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. Penggunaan kawasan hutan Tahura Ngurah Rai bukanlah penggunaan kawasan hutan yang melanggar hukum. Kegiatan wisata yang ada di Tahura Ngurah Rai merupakan salah satu fungsi dari hutan konservasi yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Bahkan
87
untuk mendukung kegiatan wisata ini, pihak Indonesia telah bekerjasama dengan Jepang dalam membangun Mangrove Information Centre. Bentuk illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai adalah menduduki kawasan hutan. Menduduki kawasan hutan menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Pelaku menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan properti yakni pembangunan perumahan (seperti dalam kasus Bali Siki “1”) dan tempat usaha. Dengan demikian illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai adalah perbuatan menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Perbuatan ini dikukuhkan dengan pensertifikatan tanah hutan.
Fungsi dan peranan hutan mangrove yang begitu besar bagi kehidupan ternyata tidak diikuti dengan penjagaan dan pelestarian hutan mangrove. Hal itulah yang setidaknya terjadi di hutan manggrove Tahura Ngurah Rai. Pendudukan hutan mangrove secara ilegal (illegal occupation) kini menjadi permasalahan pelik yang dihadapi
negara
(khususnya
Dinas
Kehutanan)
dalam
mempertahankan penguasaan atas kawasan hutan. Dari kawasan Tahura Ngurah Rai yang diduduki, setidaknya ada 17 wilayah yang berhasil dihakmilikkan oleh individu melalui penunjukan bukti sertifikat.
88
Adanya illegal occupation merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang. Mengenai perilaku menyimpang ini Frank E. Hagan menuliskan deviant behavior may refer to a broad range of activities which the majority in society mayview as eccentric, dangerous, annoying, bizarre, oulandish, gross, abhorent and the like.65 Menilik dari kasus illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai maka dapat disimpulkan bahwa prinsip perlindungan hutan yang disimpangi adalah prinsip perlindungan hutan dari perbuatan manusia, yakni perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dimana setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. 3.1.2
Merambah Kawasan Hutan Kegiatan merambah hutan dalam illegal occupation di Tahura Ngurah Rai terungkap saat beberapa orang diketahui dan tertangkap tangan sedang menebang hutan. Dalam kasus Ahmad Sofyan ini, tanaman mangrove ditebang oleh anak buah yang bersangkutan. Pelaku saat itu langsung ditangkap oleh Polisi Kehutanan sebagai penyidik PNS dan diserahkan kepada penyidik polisi di Polsek Denpasar Selatan (Sanur).66
65
Frank E. Hagan, 1989, Introduction Criminology Theories, Method and Criminal Behavior, Nelson-Hall Inc., Chicago., hal. 6. 66
2011.
Observasi langsung pada kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari
89
Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai didahului dengan perbuatan merambah hutan. Hutan mangrove yang ada di areal tersebut dirambah, kemudian diduduki untuk mendirikan bangunan tempat tinggal. Diantara tanah-tanah tersebut, memang masih ada lahan yang kosong, seperti tanah seluas 6,3 are yang disertifikatkan atas nama Drs. I Wayan Suwirta. Namun tanah tersebut sudah dipagari dengan seng, diurug dan siap dibangun. Berdasarkan observasi langsung pada seluruh kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yakni di Br. Jaba Jero Kuta, Br. Pengabetan, Br. Temacun. Br. Anyar Kuta, Pemogan, Desa Sanur Kauh, Br. Mumbul, Br. Perarudan, Kelurahan Kedonganan dan di Kelurahan Sesetan, seluruh kegiatan menduduki kawasan Tahura Ngurah Rai secara tidak sah didahului dengan merambah hutan, yaitu sebanyak 15 kasus dari 17 kasus yang ada. Sebanyak 2 kasus illegal occupation hanya sampai dilakukan pada kegiatan merambah hutan saja yakni illegal occupation yang dilakukan oleh I Wayan Suwitra dan Ahmad Sofyan.67 Merambah hutan merupakan perbuatan hukum yang tidak dapat dipisahkan dengan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai, bahkan perbuatan ini menjadi perbuatan yang harus dilakukan untuk dapat menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Berdasarkan Penjelasan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
67
Observasi langsung di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
90
Tentang Kehutanan yang dimaksud dengan merambah adalah
melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Merambah kawasan hutan tidak hanya berdampak
pada
pengurangan
kawasan
hutan
tetapi
juga
pengurangan fungsi lingkungan hidup sebagai penghasil oksigen. Fakta empiris menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga negara pengemisi karbon terbesar di dunia yang mayoritas berasal dari deforestasi, dan keduanya bertanggung jawab atas 50% emisi global yang dihasilkan dari deforestasi. Secara global, penggundulan hutan menyumbang sekitar 20% dari emisi gas rumah kaca, melebihi emisi yang dihasilkan dari kereta api, pesawat dan mobil di dunia bila dijadikan satu. Oleh karena itu, kesepakatan iklim yang baik hanya akan efektif jika berhasil menangani emisi dari kedua sumber yaitu bahan bakar fosil dan deforestasi. 68 Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hutan dari perbuatan manusia hanya dapat dilakukan jika manusia memiliki komitmen dalam melindungi hutan baik dari degradasi maupun deforestasi. Kedekatan serta ketergantungan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan dengan hutan tersebut, menyebabkan adanya interaksi masyarakat dengan hutan di sekitarnya. Pada awalnya interaksi-interaksi tersebut terjadi dengan tetap memperhatikan
68
Green Peace, 2009, “Industri ternak menolak kehancuran Hutan Amazon, Sebuah Petunjuk Untuk Perlindungan Hutan Indonesia”, Serial Online 7 Oktober, 2009, (Cited 2011 May. 2), available from : URL: http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/industri-ternak-tolakkehancuran-amazon/
91
aspek pelestarian alam, tetapi dengan semakin berkembangnya peradaban dan kebutuhan, maka interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan hutan sudah mulai bergeser. Bahkan bukan hanya masyarakat yang dekat dengan hutan lagi yang melakukan interaksi dengan hutan. Interaksi dalam arti negatif saat ini banyak terjadi hutan di seluruh Indonesia, yaitu perambahan. 69 Berdasarkan observasi yang dilakukan di Tahura Ngurah Rai, dalam kasus illegal occupation, pelaku yang tertangkap tangan diketahui sedang melakukan perambahan hutan untuk kemudian diduduki secara tidak sah.
Adapun beberapa
faktor
yang
menyebabkan terjadinya perambahan hutan dalam illegal occupation ini adalah: a.
Perambahan hutan dilakukan dengan maksud menghilangkan unsur hutan yakni pepohonan yang tumbuh di areal tersebut. Hilangnya unsur pepohonan membuat pelaku dapat leluasa untuk menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Pelaku tidak mungkin menjual, membangun atau mensertifikatkan tanah hutan apabila bentuknya masih berupa hutan. Pembangunan gedung di kawasan Tahura Ngurah Rai tentu didahului dengan perambahan hutan.
b.
Perambahan hutan juga dipicu oleh pemekaran wilayah yang kurang menghitung daya dukung kawasan membuat tekanan
69
Detik.com, 2010, “Motif Perambahan Hutan”, Serial Online 3 Juni 2011, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:http://forum.detik.com/motif-perambahan-hutan-t188997.html
92
terhadap hutan semakin berat. Suatu daerah yang terkena pemekaran tentu akan berusaha mendapatkan penghasilan yang maksimal untuk daerahnya. Hutan secara kasat mata tidak memberikan penghasilan
dibandingkan jika hutan tersebut
dialihfungsikan untuk kawasan pemukiman dan tempat usaha sehingga ada kecendrungan untuk merambah hutan menjadi kawasan pemukiman dan tempat usaha tersebut. c.
Kurangnya pengawasan dan belum optimalnya penegakan hukum terhadap perambahan hutan. Meskipun kebijakan moratorium telah dikeluarkan, kegiatan perambahan masih belum dapat dihentikan. Hal tersebut karena pelaku tidak ditindak sesuai prosedur hukum yang berlaku. Tindakan penegak hukum justru dianggap sebagai tindak pidana pengancaman dan pemerasan oleh pelaku. Perambahan kawasan hutan menjadi perbuatan hukum
pertama yang dilakukan dalam mengokupasi lahan hutan. Perambahan ini bertujuan untuk mempersiapkan lahan hutan sebagai kawasan yang akan dibangun. Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan di Tahura Ngurah Rai maka dapat digambarkan bentuk illegal occupation sebagai berikut:
93
Tabel 1 Bentuk illegal occupation No.
Menduduki Kawasan Hutan
Merambah Kawasan Hutan
I Wayan Suka seluas 0,8 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. I Wayan Suka seluas 1 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
x
x
x
x
3
Ni Wayan Sudarti seluas 0,46 are yang berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung.
x
x
4
I Wayan Rembyok seluas 0,2 are yang berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung.
x
x
5
I Ketut Urip seluas 0,178 are yang berlokasi di Br. Anyar Kuta Kabupaten Badung.
x
x
6
I Wayan Lunas seluas 0,18 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
x
x
7
I Wayan Suadi seluas 0,675 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
x
x
8
I Ketut Konde seluas 0,9 are yang berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung.
x
x
9
I Wayan Buda seluas 1 are yang berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten
x
x
1
2
Kasus
94
Badung. 10
I Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made warta dan Nyoman Wartika seluas3,3 dan 1,65 are yang berlokasi di Pemogan, Denpasar
x
x
11
I Wayan Wija/ Tjegeg seluas 0,14 are yang berlokasi di Sanur Kauh, Denpasar.
x
x
12
IB Surakusuma/ IB Lolek seluas 2 are yang berlokasi di Mumbul, Kuta Tanah tersebut bersertifikat No.1363 tanggal 19/11/1991.
x
x
13
I Nyoman Sudri/ Artono seluas 1 are yang berlokasi di Br. Pemogan, Denpasar.
x
x
14
I Ketut Lolong, Nyoman Kardiana, Nyoman Suarta (PT Bali Siki Utama) seluas 84 are yang berlokasi di Br. Perarudan, Jimbaran, Badung.
x
x
15
Desa Adat Kedonganan seluas 0,1768 are yang berlokasi di Kelurahan Kedonganan.
x
x
16
I Wayan Suwirta seluas 6,30 are yang berlokasi di Kelurahan Sesetan, Denpasar.
-
x
17
Ahmad Sofyan seluas 30 are dengan klaim SPPT PBB NOP. 51.71.010.008.037.0139.0.
-
Total
15
x
17
95
Bentuk illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai dilakukan dengan merambah hutan, kemudian membangun di kawasan hutan menjadi tempat pemukiman atau kegiatan usaha, menduduki
secara
tidak
sah
bahkan
dikukuhkan
melalui
pensertifikatan. Dengan demikian ada dua perbuatan hukum dalam illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yakni menduduki kawasan Tahura Ngurah Rai secara tidak sah dan merambah Tahura Ngurah Rai. 3.2
Faktor-faktor Penyebab Illegal Occupation Indikasi
terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai
sebenarnya telah terlihat sejak 20 April 2002, yang sejak KRPH menyurati pihak pengembang Bali Siki untuk menghentikan pembangunannya. Kemudian pada tahun 2003, gelar perkara atas kasus ini dilakukan dengan melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi Bali dan Kejati Bali, namun hasilnya hanya terbatas pada inventarisasi kasus tanpa disertai tindakan nyata untuk memulai penyidikan. Kasus illegal occupatin di Tahura Ngurah Rai kemudian dibiarkan bergulir sampai pada tahun 2009, sejumlah pembeli properti PT Bali Siki ingin mengadakan pengukuran ulang karena akan menjual tanah itu kembali. Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai merupakan penyimpangan prinsip perlindungan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Kasus
96
hukum ini terjadi karena beberapa faktor-faktor yang dapat dianalisis melalui teori sistem hukum. Analisis ini tidak lepas dari pandangan para ahli hukum seperti H. Baharuddin Lopa yang berpendapat bahwa “jika membicarakan hukum tentu tidak terlepas dari suatu sistem, yaitu sistem hukum yang berlaku dalam tatanan kehidupan bernegara. Demikian pula keterkaitan dan keterpaduannya dengan sistem lain sebagai bagian dari sistem nasional secara keseluruhan.” 70 Lawrence M. Friedman mengemukakan “a legal system in actual is a complex in which structure, substance and culture interact”71 dimana ada tiga elemen dari sistem hukum yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Dalam kajian ini, struktur hukum dan budaya hukum menjadi kajian dalam menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan illegal occupations sedangkan substansi hukum yang mengatur mengenai hukum kehutanan telah terumus dengan jelas. Secara normatif, tidak ada kekosongan, kekaburan dan konflik norma yang mengatur mengenai larangan illegal oocupation di Tahura Ngurah Rai. Larangan tersebut dirumuskan dengan jelas pada Pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
70
H. Baharuddin Lopa, 1996, Alquran dan Hak-hak Asasi Manusia, Dana Bhakti Prima Yasam Yogyakarta, hal. 124. 71
Lawrence. M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Sentence Perspective, Russel Sage Foundation, New York, hal. 16.
97
3.2.1 Faktor Struktur Hukum Struktur hukum dalam sistem hukum menunjuk pada penegak hukum di bidang kehutanan. Dalam pembahasan ini adalah polisi kehutanan yang memiliki tugas dalam menjaga dan melindungi Tahura Ngurah Rai dari illegal occupation. Hukum merupakan suatu sistem yang terdiri atas elemen-elemen yang memiliki fungsi otonom, namun jika elemen-elemen tersebut dielaborasikan maka ia akan mencapai tujuan. Sehingga polisi kehutanan merupakan elemen otonom untuk disinergikan dengan elemen lain dalam mencapai perlindungan hutan dari illegal occupation. Di dalam hukum kehutanan, kedudukan Polisi Kehutanan sangat kuat sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Sedangkan, tugas-tugas Polisi Kehutanan itu sendiri tercantum dibanyak peraturan baik Undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun Intruksi Presiden. Secara garis besar, tugas Polisi Kehutanan adalah mengamankan segala peraturan yang ada tentang kehutanan. Hutan
merupakan aset
negara
yang
menjadi
sumber
penghidupan bagi masyarakat. Sehingga diperlukan upaya yang sistematis dan terpadu untuk mencegah dampak sistemik dari illegal occupation. Salah satunya dengan mengoptimalisasi peranan polisi kehutanan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan. Dalam
98
Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang Perlindungan Hutan disebutkan: Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam pengamanan kawasan hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai, ditempatkan sejumlah polisi hutan yang memiliki kewenangan untuk
melaporkan, melakukan pendataan terhadap
pihak yang melanggar, memberi peringatan dan pembinaan, mengambil tindakan sesuai dengan aturan yang berlaku seperti menangkap dalam hal tertangkap tangan, melakukan penyelidikan dan penyidikan khusus bagi PPNS jika di lapangan ia menemukan pihak-pihak yang melakukan illegal occupation. Sejauh ini ada beberapa upaya yang telah dilakukan dan akan dilakukan oleh polisi kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali untuk mencegah dan mengembalikan kawasan hutan yang telah diokupasi secara melawan hukum. Adapun upaya tersebut meliputi kegiatan menghentikan dan mengambil tindakan sesuai kondisi di TKP, memproses temuan tersebut melakukan gugatan baik pidana maupun perdata. Untuk mengembalikan fungsinya sebagai kawasan
99
hutan maka tanah-tanah hutan tersebut ditanami kembali dengan tanaman mangrove.72 Untuk mencegah illegal occupation maka Dinas Kehutanan Provinsi Bali telah melakukan pengukuran luas kawasan Tahura Ngurah Rai secara berkala yakni sekurang-kurangnya satu kali dalam lima tahun, bahkan jika ada hal-hal yang bersifat mendesak maka pengukuran dapat dilakukan kapan pun. Misalnya dalam perbatasan wilayah antara kawasan hutan dengan tanah milik dimana sebagai penyanding tidak ditemukan pal batas kawasan hutan. Pengukuran juga dapat dilakukan sewaktu-waktu dalam hal ada permasalahan yang memerlukan pengukuran titik-titik koordinat maka dilakukan pengukuhan secara parsial,
insidental dan
kasuistis. 73 Secara represif, lemahnya perlindungan hutan dari illegal occupation disebabkan karena lemahnya penegakan hukum atas kasus tersebut. Dalam konsep negara hukum, maka prinsip perlindungan hutan harus ditegakkan guna menanggulangi illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai. Penanggulangan illegal occupation dalam kerangka negara hukum dapat dilakukan dengan
72
Wawancara dengan I Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011. 73
Wawancara dengan I Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
100
penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan konkritisasi dari negara hukum. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.74 Sehingga penegakan hukum terhadap illegal occupation berfungsi untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat. Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial di negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini negara memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bagi para pelanggarnya melalui penegak hukum yang dilegalisasi dengan substansi hukum. Dengan demikian penegakan hukum terhadap pelaku illegal occupation harus ditindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pembiaran terhadap pelaku illegal occupation berarti sama dengan penodaan terhadap negara hukum. Perlindungan hutan dari illegal occupation selama ini dilakukan dengan upaya preventif dan upaya represif namun hingga kini penegakan hukum kehutanan terhadap kasus ini masih belum optimal. Adapun beberapa hal yang melemahkan penegakan hukum
74
Soerjono Soekanto II, op.cit., hal. 5.
101
terhadap illegal occupation di Tahura Ngurah Rai oleh polisi hutan adalah: a.
Kurangnya dukungan pimpinan terhadap polisi hutan yang melaksanakan tugas pengamanan hutan. Hal ini dapat dilihat dari penjejalan beban kerja bagi polisi hutan.
Berdasarkan
observasi yang dilakukan di Tahura Ngurah Rai, maka diketahui bahwa polisi kehuatanan yang bertugas di daerah tersebut masih harus
mengerjakan
tugas-tugas
administratif
yang
sesungguhnya dapat dikerjakan oleh staf biasa. 75 b.
Kurangnya komitmen dari pimpinan dalam menyelesaikan kasus illegal occupation. Kurangnya komitmen ini dapat terekam dalam kasus Bali Siki dimana kasus illegal occupatiion ini telah diketahui sejak tahun 2002 dan gelar perkara telah dilakukan di tahun 2003, namun hingga kini belum ada penyelesaian secara tuntas terhadap kasus ini. Kegiatan pengurugan tanah hutan, pembuangan limbah dan penyerobotan tanah hutan mengandung indikasi sebagai tindakan permulaan dari illegal occupation di kawasan hutan. 76 Namun dalam praktik, tindakan permulaan tersebut
seringkali
tidak
diwaspadai
karena
kurangnya
koordinasi diantara instansi terkait dalam penanganan kasus.
75 76
Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
Wawancara dengan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
102
Akibatnya, tindakan-tindakan permulaan tersebut tidak ditindak oleh petugas atau penyelesaian kasus dalam setiap permasalahan yang telah dilaporkan atau ditangani terkatung-katung.77 Jika dilihat dari tahun pensertifikatan semua kasus illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai sebagaimana yang telah dideskripsikan dalam Bab III diketahui bahwa, kasus ini 1978 melalui kepemilikan tanah dari I Ketut Lolong, dilanjutkan pada tahun 1989 dengan pensertifikatan tanah atas nama I Wayan Suka seluas 1 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta, Kabupaten Badung. Di Tahun yang sama juga terjadi pensertifikatan atas nama I Wayan Rembyok seluas 0,2 are yang berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung.78 c.
Sarana dan prasarana pengamanan hutan yang belum memadai. Dalam proses hukum illegal occupation yang kini tengah ditangani di Pengadilan Negeri Denpasar, polisi hutan tidak difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dalam mencari barang bukti baik dalam bentuk kendaraan dinas maupun biaya operasional. 79
d.
Kemampuan polisi hutan yang masih kurang. Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali, saat ini
77
Wawancara dengan I Made Puspama, 36 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011. 78 79
Data diperoleh dari RPH. Tahura Ngurah Rai.
Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.
103
belum ada polisi hutan ahli yang memiliki kemampuan dibidang penindakan illegal occupation, sebab kasus ini memerlukan kemampuan komunikasi antar instansi, koordinasi dengan para pihak termasuk kejaksaan, pengadilan, hakim, notaris dan sebagainya. Hal ini juga didukung dengan keterbatasan tenaga PPNS di Dinas Kehutanan, bahkan di Provinsi tidak ada yang memiliki izin PPNS sehingga setiap kasus dialihkan ke pihak kepolisian. Penyidikan hanya oleh penyidik polisi dalam kasus di bidang kehutanan tentu bertendesi memunculkan bias dalam penyelesaian kasus. Akibat kasus menjadi mengambang atau justru melebar. e.
Ketidaktuntasan kasus illegal occupation ini disebabkan karena kinerja dan koordinasi dari pemangku kebijakan. Pemangku kebijakan selama ini kurang tegas dan berniat dalam memproses setiap laporan tentang terjadinya gangguan keamanan hutan yang dilaporkan oleh polisi hutan dan aparat yang bertugas di tingkat RPH dan UPT KPH. Dalam penyelesaian kasus seringkali terjadi konflik kepentingan antara stake holder yang berkecimpung di dalam penyelesaian kasus tersebut baik antara Notaris, tokoh adat, BPN, Dinas Kehutanan, pelaku dan masyarakat.
Beberapa
diantaranya
bahkan
membela
104
kepentingannya tanpa memperhatikan kepentingan dan hak negara atas penguasaan hutan.80 Dalam proses penyelesaian illegal occupation, aparatur pemerintah tidak hanya terfokus pada bagaimana cara menghadapi pelaku tetapi juga saling menyalahkan satu sama lain. Masingmasing memiliki ego sektoral untuk tidak ingin disalahkan dan bertanggung jawab terhadap kasus illegal occupation yang terjadi, sehingga mereka sibuk untuk menyusun alibi dan mengalihkan kasus tersebut. Akibatnya kasus ini semakin mengambang tanpa adanya penyelesaian yang jelas dan saling mendalihkan. Untuk menanggulangi illegal occupation, dibutuhkan sebuah strategi baru yang berorientasi kepada optimalisasi peranan polisi hutan yang berafiliasi dengan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis yang bersifat khusus (applied)) dan berpijak kepada pengembangan potensi lokal (locallity development), yakni membangun konsensus dari komitmen yang kuat dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat dan para pengusaha dibidang kehutanan bahwa hutan harus diselamatkan. Mewujudkan kelembagaan berarti diperlukan SDM polisi kehutanan yang baik dan berkompeten dan profesional, oleh karena
80
Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
105
itu paradigma polisi kehutanan hanya pelaksana perlu dirubah ke arah polisi hutan sebagai perancang kebijakan dan perancang program keamanan yang baik dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan dan pengamanan hutan. Meningkatkan kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan dan bertanggungjawab berarti polisi hutan berperan dalam pengelolaan konflik. Konflik dikelola menjadi suatu yang dapat membangun dan mendukung program kehutanan. Disinilah ruang gerak polisi hutan tingkat ahli. Selain itu, polisi hutan
ahli
harus
pemberdayaan
mampu
masyarakat
menciptakan
yang
tepat
program-program
sasaran
dan
tepat
guna/applicable. Hukum merupakan sistem yang terdiri atas satu kesatuan yang utuh. Dalam sistem hukum tersebut terdapat unsur-unsur yang yang saling berinteraksi satu sama lain dan berkerjasama untuk mencapai satu tujuan dalam kesatuan tadi. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, teori hukum, asas hukum dan pengertian hukum. Dalam sistem terdapat sub sistem yang saling mendukung dan tidak bercerai-berai antara satu sub sistem dan sub sistem lainnya. Sistem hukum merupakan satu mata rantai yang memiliki perannya masing-masing. Dengan demikian hukum menjadi pedoman bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
106
Hukum, menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the game). Dalam konsteks ini, aturan tersebut diistilahkan dengan substansi hukum. Fungsi utama sub sistem ini mengkoordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main. Parson kemudian menempatkan hukum sebagai unsur utama dalam integrasi sistem. Hal ini juga didukung oleh Steeman yang membenarkan bahwa apa yang secara formal membentuk sebuah masyarakat adalah penerimaan umum terhadap aturan main yang normatif. Pola normatif inilah yang mesti dipandang sebagai unsur paling teras dari sebuah struktur yang terintegrasi. Dalam kerangka Bredemeier ini, hukum difungsikan untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul di masyarakat.81 Pembentukan hukum merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan hukum pada konsep negara hukum. Dalam konteks pembangunan hukum menuju kondisi yang lebih baik itu, dapat dirumuskan paling tidak dua hal. Pertama bagaimana faktor domestik,
baik
pemerintah
maupun
masyarakat
memainkan
peranannya dalam pembangunan tata aturan. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh ideologi politik hukum atau untuk mudahnya politik pembangunan hukum. Kedua bagaimana kondisi hukum ke depan dapat menjawab perkembangan global dan regional yang
81
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, op.cit., hal 152-153.
107
berpengaruh
pada
paradigma
negara
dalam
menjalankan
pembangunan dan pembaruan hukum. 82 Dalam kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, Darji Darmodiharjo dan Shidarta berkata, “setidaknya kita sadar bahwa
hukum
(gerechtigheit)
dibentuk disamping
karena
pertimbangan
keadilan
kepastian
hukum
sebagai
(rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigheit).”83 Beranjak dari pemikiran tersebut maka pembentukan hukum di Indonesia harus berorientasi pada pencapaian tujuan hukum. Pembentukan hukum kehutanan di Indonesia sedapat mungkin memberikan keadilan bagi negara sebagai pemegang hak atas penguasaan hutan, masyarakat, masyarakat hukum adat dan
badan usaha untuk
mendapatkan manfaat atas hutan. Selain itu, izin usaha pemanfaatan, pengukuhan kawasan hutan dan sebagainya diharapkan dapat menjami kepastian hukum. Dengan demikian, apa yang diatur dalam hukum kehutanan diharapkan dapat memberikan manfaat lingkungan dan manfaat ekonomi. Sejumlah produk normatif yang diterbitkan tentu tidak akan lepas dari dinamika internal maupun eksternal, yakni relasi antar negara, negara dan korporasi internasional. Relasi-relasi inilah yang
82
Adnan Buyung Nasution, Visi Pembangunan Hukum Tahun 2025 Akses Terhadap Keadilan dalam Negara Demokrasi Konstitusional, Jurnal Buah Pena Vol. V/No.4/Agustus 2008. 83
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI, hal. 154
108
bekerja dalam membentuk hukum di Indonesia. Subtansi hukum, struktur hukum dan aparat penegak hukum tidak akan pernah dapat bekerja sendiri di luar model negara yang hendak dibangun oleh aktor-aktor pemegang keputusan di sebuah negara. Dirumuskannya ketentuan di bidang kehutanan tentu tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentingan terhadap hutan. Dewasa ini, negara maju cenderung mendorong negara berkembang untuk menyelamatkan hutan guna mengekspor oksigen kepada negara maju. Sehingga ketentuan
di
bidang
kehutanan
bukan
hanya
menyangkut
permasalahan sektoral di suatu negara namun menjadi payung hukum bagi penyelesaiaan masalah global. Dalam pembentukan substansi hukum selain memperhatikan relasi
antar
negara,
negara
dan
korporasi
internasional,
pembentukan substansi hukum di bidang kehutanan juga menyerap berbagai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, disinilah filosofi-filosofi dalam hukum adat di Indonesia digali dan diangkat menjadi hukum positif. Dibandingkan hukum nasional yang state law itu, hukum lokal yang folklaw itu memang tak mempunyai struktur-strukturnya
yang
politik,
namun
kekuatan
dan
kewibawaannya memang tidak tergantung dari struktur-struktur yang politik itu melainkan dari imperativa-imperativanya yang moral dan kultural. Maka dalam bingkai-bingkai kesatuan politik kenegaraan yang satu dan bersatu dalam konteks-konteksnya yang nasional,
109
tetap tertampakkanlah pluralitas dan keragaman yang kultural dalam konteks-konteksnya yang lokal dan subnasional. 84 Interkoneksi
relasi
antar
negara,
negara,
korporasi
internasional dan kearifan lokal telah melahirkan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memperhatikan relasirelasi tadi. Dalam Undang-undang tersebut diatur mengenai hak penguasaan hutan oleh negara, tanggung jawab bersama dalam pengelolaan hutan yang memungkinkan keberlangsungan hutan untuk dinikmati oleh seluruh umat manusia dan kesempatan bagi BUMN, BUMD, BUMS dan koperasi untuk memiliki usaha izin pemanfaatan hutan. Relasi kearifan lokal dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ditunjukkan dengan hak dari masyarakat hukum adat atas hutan, penetapan status hutan adat dan kehadiran polisi kehutanan (rimbawan) dalam penegakan hukum kehutanan. Pentingnya interkoneksi relasi antar negara, negara, korporasi internasional dan kearifan lokal digambarkan oleh Geoffrey Sawer dengan menyatakan bahwa “The adaptability of law to social demand varies greaty which the techniques of interpreatation adopted in particular systems, or in parts of particular systems and there is no uniform correlation between type of interpretation and 84
Soetandyo Wignjosoebroto, 2010, “Masalah Budaya Dalam Pembentukan Hukum Nasional”, Serial Onlie, (Cited 2011 May. 2), available from : URL: http://soetandyo.wordpress.com/2010/07/13/masalah-budaya-dalam-pembentukan-hukumnasional/
110
social consequence.”85 Hal ini menjelaskan bahwa perlunya adapatasi
hukum
terhadap
tuntutan
sosial
sehingga
dalam
pembentukan hukum relasi antar negara, negara, korporasi internasional dan kearifan lokal memang menjadi energi dalam substansi hukum yang dihasilkan. Hukum yang baik akan dihasilkan dari proses pembentukan hukum yang baik. Dalam proses pembentukan hukum itu sendiri melewati tahapan sebagai berikut: a.
Tahapan Sosiologis : Dalam konteks sosiologis, faktor masyarakat merupakan tempat timbulnya suatu kejadian, permasalahan atau tujuan sosial. Untuk menentukan agar problem tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah dapat dilihat dari beberapa faktor, antara lain aspek peristiwanya, siapakah yang terkena peristiwa itu, apakah mereka yang terkena peristiwa itu terwakili oleh mereka yang mempunyai posisi sebagai pembuat keputusan, dan apakah jenis hubungan antara pembuat kebijaksanaan dan orang-orang yang terkena pengaruh kebijakan tersebut.
Dalam tahap ini
diperhatikan berbagai kepentingan masing-masing pihak dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Dengan adanya perhatian
85
Geoffrey Sawer, 1973, Law in Society, Oxford University Press, London, hal. 182.
111
terhadap berbagai kepentingan ini maka diharapkan illegal occupation dapat dihindari. b.
Tahapan Politis : Apabila problem yang timbul tersebut dapat dimasukkan dalam agenda pemerintah atau sebagai policy problems, maka langkah selanjutnya adalah pada tahapan politis. Tahapan politis ini berusaha mengidentifikasi problem dan kemudian merumuskan lebih lanjut. Tahapan politis inilah yang sangat menentukan, apakah ide atau gagasan itu perlu dilanjutkan atau diubah untuk selanjutnya memasuki tahapan yuridis. Konteks pemahaman politis ini sangat menentukan bagi lahirnya suatu peraturan, karena harus disadari bahwa peraturan hukum ini merupakan salah satu alat
yang penting untuk
menyalurkan dan
mewujudkan tujuan-tujuan kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian, apa yang ingin diatur dalam ketentuan di bidang kehutanan akan diformulasikan dalam bentuk hukum. c.
Tahapan Yuridis : Pada tahapan ini lebih memfokuskan diri pada masalah penyusunan dan pengorganisasian masalah-masalah yang diatur kedalam rumusan-rumusan hukum. Keadaan hukum tidak dapat dipahami terlepas dari konteks sosial dan konteks politis. Mencari model penyusunan peraturan perundang-undangan
112
yang demokratis, diharapkan dapat menghasilkan kondisi hukum yang responsif sehingga dapat menjawab berbagai tuntutan di masyarakat.86 Produk hukum yang dilahirkan di bidang kehutanan juga dipengaruhi oleh sistem politik yang dianut pada saat pembentukan hukum. Menurut Mahfud M.D, suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum
yang
kemudian dilahirkannya.
Dalam
negara
yang
konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif dan populistik sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis. 87 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan lahir pada era reformasi. Salah satu ciri reformasi yang tampak dalam Undang-undang ini adalah adanya pengakuan hak masyarakat hukum adat dan adanya kesempatan bagi siapa saja yang dilanggar haknya untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Pengakuan atas hak-hak rakyat inilah yang sangat terbatas pada masa orde baru. Upaya pembangunan tatanan hukum paling tidak didasarkan atas tiga alasan. Pertama, sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena
86
Warassih,E., 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama, Semarang. 87
Mahfud MD dalam Iman Syaukani dan A.Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 6.
113
hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Kedua, sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan. 88
Manipulasi
inilah
yang
menimbulkan
illegal
occupation di kawasan hutan. Hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perkelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuantujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang dinamakan Gunnar Myrdal sebagai sofdevelopment, dimana hukumhukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. 89 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat dikatakan berhasil dalam mengubah perilaku masyarakat terhadap hutan. Hal ini terbukti dengan belum dicabutnya aturan yang telah berjalan selama 12 tahun (1999-2011). Efektifnya Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak lepas dari keberadaan asas-asas hukum yang
88
Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 61-62. 89
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 135.
114
dianutnya. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Kebutuhan akan pendayagunaan asas-asas hukum tersebut menurut Satjipto Rahardjo, disebabkan karena kita membutuhkan orientasi yang jelas ke arah mana masyarakat ini ingin dibawa oleh hukumnya. Selain itu, disebabkan pula karena sistem hukum itu tidak hanya terdiri dari undang-undang yang berbaris, melainkan juga punya semangat. Asas hukum memberikan nutrisi kepada sistem perundang-undangan, sehingga ia tidak hanya merupakan bangunan perundang-undangan, melainkan bangunan yang sarat dengan nilai dan punya filsafat serta semangatnya sendiri. Sebagai konskuensi apabila kita meninggalkan asas-asas hukum adalah adanya kekacauan dalam sistem hukum90 Keberadaan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengantisipasi illegal occupation di kawasan hutan melalui pengaturan dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan “Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”
Terhadap pelanggaran atas
ketentuan ini, akan dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara
90
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, hal. 141, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo IV).
115
dan denda. Ketentuan ini menjadi dasar dari penegakan hukum terhadap illegal occupation di kawasan hutan. Struktur hukum (penegak hukum) merupakan bagian dari sistem hukum yang sangat mempengaruhi bekerjanya hukum kehutanan dalam mengatur penguasaan dan pemanfaatan hutan di dalam masyarakat. Kehadiran penegak hukum menelusuri efektivitas hukum dalam masyarakat dijelaskan Achmad Ali sebagai berikut: Efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret. Efektitif atau tidaknya aturan hukum juga mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. 91 Adanya subtansi hukum yang baik ternyata tidak menjadi satusatunya jaminan dalam melindungi hutan dari illegal occupation. Hal ini disebabkan karena kelemahan dalam struktur hukum dan budaya hukum. 3.2.2 Faktor Budaya Hukum Budaya hukum masyarakat mempengaruhi terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Budaya hukum merupakan working machine dari sistem hukum. Oleh karena itu, baik tidaknya suatu hukum dalam konteks ini disandarkan pada kesadaran hukum dan kepatuhan hukum dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang 91
Achmad Ali, op.cit., hal. 378.
116
secara politik, ekonomi dan sosial kurang memberikan penghargaan tinggi terhadap hukum bahkan berangsur-angsur melecehkan hukum, tidak akan pernah memberikan energi pendorong bagi terciptanya suatu penegakan hukum. Merujuk apa yang pernah diungkapkan Paul Scholten bahwa kesadaran hukum itu merupakan suatu kesadaran yang ada dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan taat kepada hukum. 92 Maraknya kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai disebabkan karena budaya hukum masyarakat. Adapun berdasarkan penelitian lapangan yang telah dilakukan, dapat diketahui penyebab dari tindakan tersebut yaitu: a. Kawasan Tahura Ngurah Rai merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Faktor ekonomi ini sangat berpengaruh pada implementasi prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi illegal occupation. Pertumbuhan globalisasi yang begitu pesat membuka
jaringan
bisnis
yang
semakin
terbuka
lebar.
Perkembangan aspek bisnis ini tentu mampu memberikan kontribusi
dalam
mengherankan
jika
pembangunan pemerintah
nasional, semakin
maka
tidak
menggalakkan
penanaman modal asing dalam bentuk investasi. Investasi
92
IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer, Udayana University Press, Denpasar, 18-19.
117
memberikan sumber dana yang begitu besar dalam pemerataan pembangunan. b. Adanya
pembangunan
di
bidang
industri
pariwisata.
Pengembangan kawasan wisata saat ini telah merambah areal hutan mangrove terutama di daerah wisata seperti Sanur, Kuta, dan Nusa Dua. Pengalihfungsian lahan ini bisa terjadi karena tidak semua hutan mangrove dikelola pemerintah Provinsi Bali. Sebagian tanaman mangrove berdiri di atas lahan pribadi. Selain itu, para pengembang juga sudah mengantongi izin pembangunan dari pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah daerah tidak dapat membendung penyempitan lahan hutan mangrove. Lokasi-lokasi ini memang strategis dijadikan kawasan wisata. Sehingga banyak pengembang yang merubah hutan mangrove menjadi bangunan penunjang pariwisata. Keberadaan restoran Aka Mie di Denpasar Selatan yang hingga kini belum mengantongi izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dari Dinas LH Denpasar. Padahal, pembangunan restoran ini telah mengorbankan sejumlah lahan hutan mangrove. 93 c. Adanya sindikat yang bergerak untuk membeli atau menguasai tanah dorongan ekonomi, dimana kawasan Tahura Ngurah Rai merupakan salah satu kawasan strategis di Bali untuk
93
Muhammad Saifullah, 2008, “Hutan Mangrove Bali Terancam Punah”, Serial Online Sabtu, 8 Maret 2008 17:26 wib, (Cited 2011 May. 2), available from : URL: http://news.okezone.com/read/2008/03/08/1/90001/hutan-mangrove-bali-terancam-punah.
118
pengembangan usaha terutama pengembangan jasa sarana pariwisata. Perbuatan melawan hukum ini akan lebih mudah dilakukan dengan lemahnya mekanisme kontrol terhadap kawasan hutan. d. Kurang
jelinya
menandatangani
aparat SPOP
desa/ yang
tokoh diajukan
masyarakat oleh
dalam
masyarakat.
Kebocoran pertama kalinya berada di tingkat SPPT pajak, kemudian berlanjut ke Notaris dan BPN. Notaris tidak melakukan verifikasi ke lapangan mengenai kebenaran data yang diajukan (teks clearens). Kebenaran yang diverifikasi hanya sebatas kebenaran data yang diajukan bukan kebenaran data yuridis dan data fisik atau data lapangan. BPN sendiri terlalu terburu-buru memutuskan atau menyatakan bahwa apabila berbatasan dengan jalan, sungai dan tanah negara langsung dicantumkan dalam kartu hijau tanpa memperhatikan apakah jalan, sungai dan tanah negara itu berada dalam kawasan hutan atau tidak. Bahkan dalam pelaksanaannya, pihak BPN tidak mau mengundang pihak dari Dinas Kehutanan apabila ada permohonan hak atas tanah yang berbatasan dengan hutan melainkan langsung menuliskan batasbatasnya dengan “berbatasan dengan fasilitas umum.” e. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai sertifikat milik. Sertifikat selama ini dipandang sebagai alat bukti yang paling kuat. Padahal didalam sistem pendaftaran hak di Indonesia,
119
apabila dikemuadian hari ada data yang keliru maka keabsahan sertifikat milik dapat dikaji ulang. Nyoman Suarta yang kini menduduki kawasan Tahura Ngurah Rai mengaku sama sekali tidak mengetahui bahwa tanah tersebut termasuk dalam kawasan hutan. Ia yakin untuk membeli tanah seluas 160 m2 karena sertifikat tanah bernomor 08877 tersebut jelas yakni atas nama I Ketut Lolong melalui Made Kardiana. Ia pun hanya melihat patok BPN dan tidak ada pal hutan disana. Tanah tersebut baru diketahui berstatus tanah hutan negara sejak petugas Polisi Kehutanan menghentikan pembangunan pondasi di atas tanah tersebut.94 Hal yang serupa juga diungkap oleh I Ketut Juana yang kini tengah mengokupasi kawasan Tahura Ngurah Rai. Ia juga membeli tanah dari Made Kardiana dengan sertifikat atas nama I Ketut Lolong dan pada tahun 2002, sertifikat tersebut sudah atas nama I Ketut Juana. Seperti Nyoman Suarta, Juana juga yakin bahwa tanah tersebut tidak ada masalah karena sudah bersertifikat sehingga bagaimana mungkin tanah hutan bisa dikonversi menjadi tanah milik. Di depan tanah tersebut pun adalah jalan aspal dan dibelakangnya adalah sungai besar sehingga ia tidak menyangka jika tanah tersebut adalah kawasan Tahura Ngurah
94
Wawancara dengan Nyoman Suarta, 40 tahun, laki-laki, pelaku illegal occupation di Tahura Ngurah Rai, pada 4 Mei 2011.
120
Rai. Akibat kasus ini, Juana merasa dirugikan dan menuntut pengembalian uang pembelian atas tanah tersebut.95 Pensertifikatan tanah hutan dalam kasus illegal occupation dilakukan karena adanya penyelundupan hukum oleh oknum-oknum tertentu. Pelaku sengaja membayar pajak atas tanah hutan selama kurun waktu tertentu dan bukti dari SPPT tersebut dijadikan syarat untuk mensertifikatkan tanah. Pada dasarnya SPPT ini dapat dijadikan syarat dalam permohonan sertifikat. Untuk melengkapi permohonan tersebut, pemohon hanya perlu mengajukan saksi-saksi dan bukti atas penguasaan fisik atas bidang tanah dalam jangka waktu yang lama. 96 Dalam fakta persidangan pada kasus illegal occupation yang dilakukan oleh PT Bali Siki terungkap bahwa pelaku mendapatkan sertifikat dengan mengajukan persyaratan berupa SPPT dan dokumen dengan tanda tangan penyanding yang dipalsukan. Pemalsuan ini memang sangat mudah dilakukan apalagi pihak Notaris tidak melakukan pemeriksaan data yang diajukan oleh pemohon. 97 Kalaupun melakukan verifikasi data yang disampaikan pemohon, sifatnya hanya sebatas kebenaran formil artinya semua 95
Wawancara dengan I Ketut Juana, 39 tahun, laki-laki, pelaku illegal occupation di Tahura Ngurah Rai, pada 4 Mei 2011. 96
Wawancara dengan Bistok Situmorang,46 tahun, laki-laki dan Ida Monica E. Sidjabat, 45 tahun, perempuan, Notaris, pada 19 Mei 2011. 97
Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.
121
data yang disampaikan oleh pemohon kepada notaris dianggap benar adanya, kecuali ada pihak lain yang membantah. Apabila dikemudian hari ditemukan adanya pemalsuan data maka pihak notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan.98 Hal ini menjadi kendala dalam perlindungan hutan dari illegal occupation, apalagi jika tanda tangan penyanding tersebut dipalsukan. Polisi kehutanan bisa jadi tidak mengetahui bahwa ada suatu pihak yang telah memohonkan
penerbitan
sertifikat
atas
tanah
hutan
yang
diamankannya itu, maka tidak mengherankan jika kasus ini baru terungkap setelah bertahun-tahun sejak penerbitan sertifikat. Pengembalian tanah hutan yang telah disertifikatkan oleh suatu pihak tidak serta merta dapat dilakukan. Pengembalian ini melalui proses panjang. Sertifikat dapat dibatalkan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika dikemudian hari ditemukan fakta bahwa pemohon menghakmilikkan tanah secara melawan hukum. Hal ini disebabkan karena sistem hukum pertanahan di Indonesia tidak berlaku mutlak.99 Kelemahan-kelemahan dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia ini menjadi peluang bagi meningkatnya jumlah illegal occupation. Apalagi dengan banyaknya oknum-oknum yang
98
99
Wawancara dengan Bistok Situmorang,46 tahun, laki, Notaris, pada 19 Mei 2011.
Wawancara dengan Bistok Situmorang,46 tahun, laki-laki dan Ida Monica E. Sidjabat, 45 tahun, perempuan, Notaris, pada 19 Mei 2011.
122
memanfaatkan kesempatan ini, sehingga yang perlu dilakukan adalah membangun kesadaran hukum masyarakat untuk taat kepada hukum yang berlaku.100
Hukum mengikat bukan karena negara
menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat itu diutarakan oleh H. Krabbe dalam bukunya “Die Lehre der Rechtssouveranitat”. Selanjutnya beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.101 Adanya sindikat yang mengokupasi kawasan hutan menunjukkan lemahnya kesadaran hukum masyarakat
atas perlindungan hutan. Mereka tanpa
mengindahkan hukum, berbuat untuk kepentingannya. Ajaran kesadaran hukum lahir sebagai kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis, yang merupakan gejala umum yang terdapat pada setiap individu dengan derajat yang merata. Kesadaran hukum ada yang bersifat pribadi dan yang umum. Pada kesadaran pribadi masing-masing individu memiliki kesadaran hukum spontan mengenai apa yang dianggap selaras dengan hukum atau berupa sifat yang melanggar hukum. Kesadaran hukum, antara lain terwujud
100
Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011. 101
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 84.
123
apabila masyarakat mempunyai sikap tertentu terhadap hukum yang ada. Sikap tertentu tersebut berupa ketaatan hukum dalam masyarakat. Keberadaan hukum nasional yang mengatur kehutanan tampak perlu dielaborasikan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat (exiting law) Hal ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran hukum masyarakat mengenai pentingnya perlindungan hutan. Elaborasi ini sejalan dengan pemikiran Anthon Freddy Susanto dalam bukunya yang berjudul “Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna”, dimana dalam buku tersebut ia menuliskan: Sistem peraturan perundang-undangan adalah sebuah fungsi dari suatu kelompok atau masyarakat yang jelas dan otonom, yaitu organisasi-organisasi/ institusi dan tentu saja termasuk juga manusia. Untuk mengatakan bahwa masyarakat itu bersifat otonom, artinya masyarakat itu sendiri bebas dalam pengertian formal, dan bahwa masyarakat mempunyai peraturan sendirisendiri. 102 Hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu. Apabila memulai berbicara tentang nilai-nilai, maka telah termasuk pula kegiatan menilai dan memilih. Keadaan tersebut memberikan araharah tertentu pada jalannya hukum di suatu negara. 103 Ketentuan di bidang kehutanan diharapkan dapat memberikan reorientasi nilainilai bagi masyarakat mengenai pentingnya mempertahankan 102
Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Refika Aditama, Bandung, hal. 85. 103
Satjipto Rahardjo II, op.cit. hal. 137.
124
kawasan hutan. Mindset mengenai konsep kepemilikan hutan perlu diubah dari “kepemilikan atas tanah hutan” menjadi “kepemilikan atas hutan”. Dengan konsep kepemilikan atas hutan berarti masyarakat harus mempertahankan dan menjaga hutan untuk kelangsungan hidupnya. Budaya hukum masyarakat dalam kasus illegal occupation ini menunjukkan kecenderungan akan ketidaktaatan hukum. Dalam hal ini diperlukan upaya-upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat yang tidak taat tersebut. Mengubah pola berpikir masyarakat dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat memerlukan suatu proses, salah satunya dengan proses pendidikan. Mengenai pendidikan ini Purwanto dkk. berpendapat: Education for sustainability is more than learning about nature and the environment, but more importantly, it must improve the skills for constructive and meaningful participation in the Biosphere Reserve management, The key objective is to develop the capability to shape the future sustainably. In this regard, it is evident that the Biosphere Reserve’s role is a laboratory for learning to achive sustainable development.104 Dengan adanya pemahaman akan pentingnya penjagaan lingkungan maka diharapkan masyarakat akan patuh terhadap prinsip perlindungan hutan tersebut. Masalah kepatuhan hukum melibatkan perasaan hukum dari subjek hukum. Menurut Soerjono Soekanto, kepatuhan hukum atas dasar
104
nilai-nilai keanggotaan kelompok,
Purwanto dkk., 2009, Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve Riau-SumatraIndonesia: Caring for Live, LIPI Press, Jakarta, United hal. 31.
125
medapatkan bermacam tanggapan. Tanggapan-tanggapan tersebut berintikan pada pendapat bahwa nilai keanggotaan kelompok pada dasarnya merupakan motivasi pada identifikasi terhadap kelompok tersebut, bukan merupakan dasar motivasi untuk patuh. Kepatuhan hukum dari individu pada hakikatnya merupakan hasil proses internalisasi yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh sosial yang mempengaruhi kejiwaan seseorang. Sehingga kepatuhan tersebut sesungguhnya berasal dari faktor eksternal dalam diri manusia. Seorang kriminolog Belanda Hoefnagels membedakan adanya derajat kepatuhan hukum yang meliputi: a.
Seseorang berperilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya hal mana sesuai dengan sistem nilai-nilai dan mereka yang berwenang.
b.
Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan.
c.
Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan kaidah-kaidah penguasa.
tersebut
maupun
daripada
nilai-nilai
dan
126
d.
Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai dari pada mereka yang mempunyai wewenang.
e.
Seseorang yang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan dia pun tidak patuh pada hukum (melakukan protes). 105 Hukum tidak mungkin bekerja tanpa adanya dukungan
masyarakat,
sehingga
illegal
occupation
tidak
mungkin
ditanggulangi tanpa adanya niat dan moral yang baik dari masyarakat untuk menaati prinsip perlindungan hutan. Prinsip ini harus menjadi kewajiban hukum bagi masyarakat yang dilakukan karena kesadarannya. Mengenai kewajiban ini Hari Chand berpendapat “The obligation in such a society form the historical fact that the society has adopted such a scheme. Thus, integrity is the best interpretation of a morally pluralistic society. “106 Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan ini sejalan dengan komitmen social forestry. Social Forestry dilaksanakan dengan prinsip: 1) Penciptaan suasana yang memungkinkan berkembangnya potensi/ daya yang dimiliki masyarakat, 2) memperkuat potensi/daya yang dimiliki masyarakat, dan 3) melindungi masyarakat dari dampak persaingan yang tidak sehat, antara lain dengan pemihakan
105
106
Ibid., hal. 82-83.
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala Lumpur. hal. 167.
127
kepada masyarakat. Sebagai dasar konsepsi, pembangunan social forestry dimaksudkan untuk
meningkatkan
kemampuan dan
kemandirian masyarakat setempat dalam pemanfaatan hutan, dengan tujuan membangkitkan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan mempercepat rehabilitasi hutan dengan mempersatukan masyarakat, investasi, dan institusi usaha pengelolaan hutan. Hukum kehutanan yang baik adalah sarana untuk mengatur kehidupan manusia dalam berinteraksi di masyarakat, yakni kehidupan manusia untuk tidak melakukan illegal occupation. Melalui teori perjanjian masyarakat, negara diserahi tugas oleh masyarakat untuk mengatur masyarakat tersebut. Dalam hal ini Cotterrell mengatakan negara hanya menyediakan fasilitas melalui pembuatan hukum dan untuk selebihnya diserahkan kepada rakyat. Diserahkan kepada rakyat berarti menyerahkan pilihan kepada rakyat tentang apa yang ingin dilakukannnya, apakah menggunakan hukum atau tidak. Maka dalam sosiologi hukum dikenal fenomena “hukum yang tidur/ ditidurkan” (statutory dormancy), yaitu hukum yang masih berlaku tetapi tidak lagi dipakai oleh rakyat.107 Hubungan antara hukum tekstual dengan rakyat disebabkan karena adanya pertautan dalam suatu sistem sosial. Parson menempatkan hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem
107
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku Hidup yang Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Kompas, Jakarta, hal. 21, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo V).
128
sosial yang lebih sosial. Di samping hukum, terdapat sub-sub sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sub sistem dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi. 108 Budaya, politik dan ekonomi inilah yang mempengaruhi cara pandang manusia terhadap hukum atau yang sering diistilahkan dengan budaya hukum. Budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan dalam mempraktikkan hukumnya. Problema yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bahwa nilainilai yang ada dalam hukum yang mereka pakai, yaitu hukum modern, tidak persis sama dengan yang ada dalam masyarakat. Perilaku substantif mereka diresapi dan dituntun oleh sistem nilai yang berbeda.109 Oleh sebab itu pembangunan atas budaya hukum masyarakat untuk melaksanakan prinsip-prinsip perlindungan hutan sangat diperlukan dalam menanggulangi illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Budaya hukum berimplikasi terhadap jalannya suatu proses hukum. Saat ini kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai sedang berada pada proses hukum di Pengadilan Negeri Denpasar. Untuk mengungkap kasus ini, budaya hukum masyarakat pelaku dan
108
Talcott Parsons dalam Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, op.cit., hal 152. 109
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hal. 212, (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo VI).
129
saksi sangat penting untuk menggali fakta-fakta di persidangan. Dapat dikatakan budaya hukum akan mempengaruhi penolakan dan penerimaan masyarakat terhadap suatu peraturan hukum. Hal ini penting diperhatikan karena suatu peraturan hukum tanpa dukungan dari masyarakat, dapat berakibat tidak berwibawanya peraturan hukum tersebut. Dukungan ini hanya dapat diperoleh bila apa yang ditetapkan sebagai suatu peraturan oleh pihak yang berkompeten, selaras dengan keyakinan hukum masyarakat. 110 Sehingga dapat diketahui bahwa illegal occupation di Tahura Ngurah Rai dilakukan karena masyarakat tidak mendukung prinsip perlindungan hutan atau karena ada faktor lainnya. Berdasarkan penelitian
lapangan
mengenai
17
kasus
illegal
occupation di Tahura Ngurah Rai maka faktor penyebab illegal occupation tersebut dapat dirinci sesuai tabel berikut ini: Tabel 2 Faktor penyebab illegal occupation di Tahura Ngurah Rai No. 1
Kasus
Faktor Struktur Hukum
I Wayan Suka seluas 0,8 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan. Kurangnya kualitas dan kuantitas polisi kehutanan. Keterbatasan
110
Faktor Budaya Hukum Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis yang bernilai ekonomi tinggi. Rendahnya pemahaman
H. Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, hal. 155-156.
130
PPNS. Tidak mewaspadai tindakan permulaan. 2
I Wayan Suka seluas 1 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan.
3
Ni Wayan Sudarti seluas 0,46 are yang berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan.
4
I Wayan Rembyok seluas 0,2 are yang berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan.
mengenai sertifikat.
arti
Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat. Tidak mewaspadai tindakan permulaan. Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat. Tidak mewaspadai tindakan permulaan. Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat.
131
Tidak mewaspadai tindakan permulaan. 5
I Ketut Urip seluas 0,178 are yang berlokasi di Br. Anyar Kuta Kabupaten Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan. Kurangnya kualitas dan kuantitas polisi kehutanan. Keterbatasan PPNS.
Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis yang bernilai ekonomi tinggi. Rendahnya pemahaman mengenai arti sertifikat.
Tidak mewaspadai tindakan permulaan. 6
I Wayan Lunas seluas 0,18 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan. Kurangnya kualitas dan kuantitas polisi kehutanan. Keterbatasan PPNS.
Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis yang bernilai ekonomi tinggi. Rendahnya pemahaman mengenai arti sertifikat.
Tidak mewaspadai tindakan permulaan. 7
I Wayan Suadi seluas 0,675 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan.
Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat. Tidak mewaspadai
132
tindakan permulaan. 8
I Ketut Konde seluas 0,9 are yang berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan.
Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat. Tidak mewaspadai tindakan permulaan.
9
I Wayan Buda seluas 1 are yang berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan.
10
I Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made warta dan Nyoman Wartika seluas3,3 dan 1,65 are yang berlokasi di Pemogan, Denpasar
Kurangnya komitmen pimpinan.
Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat. Tidak mewaspadai tindakan permulaan. Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat. Tidak mewaspadai tindakan
133
permulaan. 11
I Wayan Wija/ Tjegeg seluas 0,14 are yang berlokasi di Sanur Kauh, Denpasar.
Kurangnya komitmen pimpinan.
Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat. Tidak mewaspadai tindakan permulaan.
12
IB Surakusuma/ IB Lolek seluas 2 are yang berlokasi di Mumbul, Kuta Tanah tersebut bersertifikat No.1363 tanggal 19/11/1991.
Kurangnya komitmen pimpinan.
13
I Nyoman Sudri/ Artono seluas 1 are yang berlokasi di Br. Pemogan, Denpasar.
Kurangnya komitmen pimpinan.
Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Kawasan Tahura merupakan Keterbatasan kawasan PPNS. pariwisata. Tidak Rendahnya mewaspadai pemahaman tindakan mengenai arti permulaan. sertifikat. Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat. Tidak mewaspadai tindakan permulaan.
134
14
I Ketut Lolong, Nyoman Kardiana, Nyoman Suarta (PT Bali Siki Utama) seluas 84 are yang berlokasi di Br. Perarudan, Jimbaran, Badung.
Kurangnya komitmen pimpinan.
Pandangan bahwa kawasan Tahura merupakan kawasan strategis Kurangnya yang bernilai kualitas dan ekonomi tinggi. kuantitas polisi kehutanan. Rendahnya pemahaman Keterbatasan mengenai arti PPNS. sertifikat. Tidak mewaspadai tindakan permulaan.
15
Desa Adat Kedonganan seluas 0,1768 are yang berlokasi di Kelurahan Kedonganan.
Kurangnya Pandangan bahwa kualitas dan kawasan Tahura kuantitas polisi merupakan kehutanan. kawasan strategis yang bernilai Keterbatasan ekonomi tinggi. PPNS. Rendahnya Tidak pemahaman mewaspadai mengenai arti tindakan sertifikat. permulaan. Kurangnya fasilitas dalam penyelesaian kasus.
Penyelundupan hukum oleh oknum tertentu.
Tidak ada tanggapan terhadap laporan. Konflik kepentingan antara stake holder. 16
I Wayan Suwirta seluas 6,30 are yang berlokasi di Kelurahan Sesetan, Denpasar.
Kurangnya Pandangan bahwa kualitas dan kawasan Tahura kuantitas polisi merupakan kehutanan. kawasan strategis yang bernilai Keterbatasan ekonomi tinggi. PPNS. Tidak
Rendahnya
135
mewaspadai tindakan permulaan.
pemahaman mengenai arti sertifikat.
Konflik kepentingan antara stake holder. 17
Ahmad Sofyan seluas 30 are dengan klaim SPPT PBB NOP. 51.71.010.008.037.0139.0.
Kurangnya Pandangan bahwa kualitas dan kawasan Tahura kuantitas polisi merupakan kehutanan. kawasan strategis yang bernilai Keterbatasan ekonomi tinggi. PPNS. Pemalsuan tanda tangan pada SPOP.
Tidak mewaspadai tindakan permulaan. Konflik kepentingan antara stake holder. Jumlah
Dari
dua
faktor
9 Faktor
yang
Penyelundupan hukum oleh oknum tertentu.
menyebabkan
Penyelundupan hukum oleh oknum tertentu.
5 Faktor
penyimpangan
prinsip
perlindungan hutan berupa tindakan illegal occupation, maka dapat dikatakan bahwa faktor dominan yang menyebabkan illegal occupation adalah faktor struktur hukum.
136
BAB IV IMPLEMENTASI PRINSIP PERLINDUNGAN HUTAN DALAM MENANGGULANGI ILLEGAL OCCUPATION DI TAHURA NGURAH RAI
4.1
Prinsip Perlindungan Hutan Prinsip perlindungan hutan merupakan prinsip fundamental dalam hukum kehutanan demi mencegah illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Prinsip ini meliputi pengamanan dan kelestarian hutan yang dikonkritisasi pada perbuatan pengurusan hutan yang meliputi kegiatan penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan. Prinsip perlindungan hutan lahir dari dinamika kehidupan masyarakat telah berpengaruh pada kehidupan hukum masyarakat. Perubahan penting yang terjadi dewasa ini menunjukkan semakin banyaknya konstitusi (UUD) di berbagai negara di dunia yang semakin mengakui hak asasi manusia atas ekonomi. Pencantuman hak ekonomi ini menunjukkan semakin pentingnya hak asasi manusia atas ekonomi untuk dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Konstitusi merupakan dokumen hukum yang sangat penting dalam sebuah negara hukum untuk mengakui dan melindungi hak asasi tersebut. Konsep inilah yang menimbulkan pembedaan hak dari negara, masyarakat dan perorangan atas kawasan hutan serta pembatasan atas hak tersebut.
137
Hak merupakan konsep politik yang dapat diperjuangkan oleh siapa pun sampai pada batas-batas tertentu. Hak akan menjadi hak asasi manusia jika diakui dalam instrumen hukum. Mengenai konsep hak, Satjipto Rahardjo mengemukakan ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum adalah sebagai berikut: a.
Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut pemilik atau subjek dari hak. Ia juga disebut orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran hak.
b.
Hak itu tertuju kepada orang lain dalam pengertian menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelasi.
c.
Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Hal ini dapat disebut isi dari hak.
d.
Seseorang yang berkewajiban melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu perbuatan disebut objek dari hak.
e.
Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.111 Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan merupakan upaya dalam pelaksanaan perlindungan hutan. Oleh sebab itu hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan perlu diinventarisir untuk mengetahui pembatasan dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat di masingmasing pihak.
111
Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 95 (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo III).
138
Pada dasarnya negara memiliki hak mutlak untuk menguasai hutan. Konsep penguasaan ini tercermin dari Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dari rumusan pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa penguasa tunggal atas hutan dan kawasan hutan adalah negara. Penguasaan hutan dan kawasan hutan oleh negara kembali dipertegas dalam Pasal 4 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa: (1)
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2)
Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:
(3)
a.
mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b.
menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c.
mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam tataran kehidupan masyarakat ada kaidah-kaidah yang
membatasi ruang gerak mereka. Kaidah merupakan patokan untuk bertingkah laku sebagaimana yang diharapkan. Seseorang dalam kondisi normal akan memikirkan pendapat orang lain atas hal-hal yang
139
dilakukannya. Dalam kondisi inilah kaidah menjadi kontrol perilaku dalam kehidupan manusia. Kaidah-kaidah yang terkandung dalam hukum bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia melainkan juga mengatur manusia dengan lingkungan alam. Filosofi keseimbangan antara hubungan manusia dengan lingkungan alam merupakan bagian dari filosofi Hindu yakni Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan). Dalam filosofi tersebut
dijelaskan bahwa
keseimbangan di dunia ini akan dapat tercapai jika ada keserasian antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Kecintaan terhadap alam dapat diwujudkan dengan penegakan prinsip perlindungan hutan. Prinsip ini adalah prinsip fundamental dalam menjaga kawasan hutan dari illegal occupation. Dengan demikian prinsip perlindungan hutan meliputi pengamanan dan kelestarian hutan. Dalam mengamankan dan melestarikan hutan,
maka prinsip
perlindungan hutan dikonkritisasi pada perbuatan pengurusan hutan yang meliputi kegiatan penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Hal ini tentu sejalan dengan konsep penguasaan hutan oleh negara.
140
Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan melalui pengurusan hutan merupakan implementasi hak menguasai hutan oleh negara yang berimplikasi pada hak pemerintah dalam menetapkan status hutan. Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pemerintah menetapkan status hutan menjadi hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan negara dapat berupa hutan adat dan hutan adat ini ditetapkan sepanjang
menurut
kenyataannya
masyarakat
hukum
adat
yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Pemerintah juga berhak menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokoknya yakni fungsi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Untuk kepentingan umum, maka pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus yakni untuk tujuan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, religi dan budaya. Penguasaan negara terhadap hutan dan kawasan hutan melahirkan kewajiban hukum bagi pemerintah dalam pengurusan hutan. Perencanaan kehutanan sebagai kegiatan awal dari pengurusan hutan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan. Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan
141
kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Dengan adanya kegiatan perencanaan ini maka akan diketahui prosedur dan ketersediaan pemanfaatan hutan serta akan memudahkan polisi hutan nantinya untuk menentukan perbuatan yang termasuk illegal occupation dengan perbuatan yang termasuk legal occupation. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi hutan dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Kegiatan ini terdiri dari inventarisasi hutan tingkat nasional, inventarisasi hutan tingkat wilayah, inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. Hasil inventarisasi hutan antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan. Berdasarkan inventarisasi hutan, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
142
Dikukuhkannya Tahura Ngurah Rai sebagai hutan konservasi mengandung konsekuensi yuridis bahwa hutan tersebut memang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap,
sehingga
hutan ini tidak dapat
dikonversikan atau
dialihfungsikan. Setelah pengukuhan kawasan hutan, pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Pembentukan wilayah
pengelolaan
hutan
dilaksanakan
untuk
tingkat
propinsi,
kabupaten/kota, dan. unit pengelolaan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri. Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Sehingga
143
pemerintah sedapat mungkin harus melakukan upaya-upaya dalam mempertahankan luas sebaran hutan yang ada. Perambahan hutan menjadi kegiatan yang perlu dihindari untuk mempertahankan jumlah minimal 30% (tiga puluh persen) tersebut, sehingga legalisasi atas perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sangat dibatasi. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan hanya dapat ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Perubahan peruntukan kawasan hutan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi dari persetujuan rakyat. Dengan demikian, dalam hal-hal tertentu yang didasarkan pada penelitian terpadu, fungsi dan peruntukan hutan dapat diubah. Berdasarkan hasil inventarisasi dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan. Rencana kehutanan perlu mempertimbangkan aspek-aspek dan estimasi pengaruh dari suatu penyelenggaraan hutan bagi masyarakat sehingga penyelenggaraan hutan diharapkan tidak sampai merugikan masyarakat. Rencana kehutanan disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan. Kegiatan perencanaan hutan melalui inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan sudah berlangsung
144
dengan baik dalam mencegah illegal occupation. Untuk mencegah illegal occupation ini pemerintah melalui Menteri Kehutanan telah menetapkan hutan mangrove sebagai taman hutan raya yang menjadi hutan konservasi. Ini berarti pemerintah telah mengamatkan agar hutan ini selalu dipertahankan dalam kondisi apapun. 112 Demi kelangsungan fungsi hutan maka pengelolaan hutan menjadi prioritas penting. Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumber daya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Pengelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam. Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Blok-blok dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Berdasarkan blok dan petak, disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.
112
Observasi langsung di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
145
Konsep penguasaan hutan oleh negara sesungguhnya bertujuan agar hutan-hutan yang ada tidak dieksploitasi untuk kepentingan beberapa kelompok. Hutan hendaknya dapat
memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat, oleh sebab itu konsep penguasaan hutan oleh negara tidak berarti meniadakan hak masyarakat dan badan usaha untuk menikmati dan memanfaatkan hasil hutan. Dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat yang berkeadilan, maka usaha kecil, menengah, dan koperasi mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dalam pemanfaatan hutan. Badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS Indonesia) serta koperasi yang memperoleh izin usaha dibidang kehutanan wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat
setempat dan secara bertahap
memberdayakannya untuk menjadi unit usaha koperasi yang tangguh, mandiri dan profesional sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya. Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, merupakan bagian dari penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan perimbangan pemanfaatannya untuk kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain kewajiban untuk membayar iuran, provisi maupun dana reboisasi, pemegang izin harus pula menyisihkan dana investasi untuk pengembangan
sumber
daya
manusia,
meliputi
penelitian
dan
pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana investasi pelestarian hutan.
146
Secara normatif ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat
untuk mencegah,
membatasi dan mempertahankan serta menjaga hutan dari perbuatan manusia demi pengamanan dan kelestarian hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yaitu: a.
melakukan sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan;
b.
melakukan inventarisasi permasalahan;
c.
mendorong peningkatan produktivitas masyarakat;
d.
memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat;
e.
meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan;
f.
melakukan kerjasama dengan pemegang hak atau izin;
g.
meningkatkan efektifitas koordinasi kegiatan perlindungan hutan;
h.
mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian masyarakat;
i.
meningkatkan efektifitas pelaporan terjadinya gangguan keamanan hutan;
j.
mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan keamanan hutan; dan atau
k.
mengenakan sanksi terhadap pelanggaran hukum. Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya
diserahkan kepada BUMN di bidang kehutanan, dilaksanakan dan menjadi
147
tanggung jawab pengelolanya. Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang telah menjadi areal kerja pemegang izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, izin pemungutan hasil hutan, dan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dilaksanakan dan
menjadi
tanggung
jawab
pemegang
izin
yang
bersangkutan. Kegiatan perlindungan hutan pada kawasan hutan dengan tujuan khusus dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pengelolanya. Perlindungan hutan oleh BUMN dan pemegang izin meliputi : b.
mengamankan areal kerjanya yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan termasuk tumbuhan dan satwa;
c.
mencegah kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak, kebakaran hutan, hama dan penyakit serta daya-daya alam;
d.
mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap adanya gangguan keamanan hutan di areal kerjanya;
e.
melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran hukum di areal kerjanya kepada instansi kehutanan yang terdekat;
f.
menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga pengamanan hutan yang sesuai dengan kebutuhan. Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya
diserahkan kepada masyarakat hukum adat, dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab masyarakat hukum adat dan dilaksanakan berdasarkan kearifan tradisional yang berlaku dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan pendampingan dari Pemerintah, pemerintah provinsi
148
dan/ atau pemerintah kabupaten/ kota. Pelibatan masyarakat adat dalam perlindungan hutan dilakukan baik secara sekala maupun niskala. Perlindungan secara sekala yakni dengan memberikan informasi mengenai adanya kegiatan baru di Tahura Ngurah Rai yang sangat mungkin menjadi indikasi awal dari illegal occupation dan melestarikan mangrove dengan melakukan reboisasi. Secara niskala, masyarakat adat sudah biasa melakukan persembahyangan sehari-hari atau di saat-saat tertentu seperti saat tumpek uduh.113 Perlindungan hutan pada hutan hak, dilaksanakan dan menjadi tanggungjawab pemegang hak. Adapun pelaksanaan perlindungan hutan hak meliputi kegiatan antara lain: a.
pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak;
b.
pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran;
c.
penyediaan personil dan sarana prasarana perlindungan hutan;
d.
mempertahankan dan memelihara sumber air;
e.
melakukan kerjasama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pemungutan, dan masyarakat. Pemerintah, pemerintah provinsi dan atau pemerintah kabupaten/kota
melakukan fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan yang dilakukan oleh BUMN, pemegang izin, masyarakat dan masyarakat hukum adat serta terhadap hutan hak. Dengan
113
Observasi langsung di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
149
demikian perlindungan hutan dari manusia memerlukan tanggung jawab komprehensif dari pemerintah, BUMN, pemegang izin, masyarakat dan masyarakat hukum adat. Pengurusan hutan tidak meniadakan hak untuk memanfaatkan hutan. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa
pemanfaatan
kawasan,
pemanfaatan
jasa
lingkungan,
dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Izin usaha pemanfaatan kawasan dapat diberikan kepada perorangan atau koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan atau koperasi. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
150
kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Izin usaha pemanfaatan kawasan dapat diberikan kepada perorangan atau koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat diberikan kepada perorangan atau koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan atau koperasi. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.
151
Pemegang izin berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari. Hal ini bertujuan untuk tetap menjaga kondisi tanah dari tanah hutan. Selanjutnya, pengaturan, pembinaan dan pengembangan mengenai pengolahan hasil hutan diatur oleh Menteri Kehutanan. Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, lembaga sosial dan keagamaan. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan juga wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan sedangkan setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan hanya dikenakan provisi. Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
152
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan
hidup
sehari-hari
masyarakat
adat
yang
bersangkutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan
153
demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai. Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Selain hak menikmati kualitas lingkungan hidup tersebut, masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
mengetahui
rencana
peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan, memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kerusakan hutan dan kerugian yang ditimbulkan atas penetapan kawasan hutan, memberikan hak hukum (legal rights) bagi masyarakat untuk mendapatkan kompensasi. Hal ini sesuai dengan fungsi hukum dalam mengubah masyarakat. Roscoe Pound mengatakan bahwa hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law
154
as a tool of social engineering). Hukum dapat berperan di depan untuk memimpin
perubahan
memperlancar
dalam
kehidupan
pergaulan masyarakat,
masyarakat
dengan
cara
mewujudkan perdamaian dan
ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hukum berada di depan untuk mendorong pembaruan dari tradisional ke modern. 114 Sehingga siapa pun yang merasa dirugikan berhak untuk mengajukan proses hukum atas kerugian yang dialaminya. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk
114
Abdul Manan, 2009, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media Goup, Jakarta, hal. 20-21.
155
kepentingan pelestarian fungsi hutan. Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan harus memenuhi persyaratan berbentuk badan hukum, organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Bagian terakhir dari pengurusan hutan adalah kegiatan pengawasan Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut. Prinsip perlindungan hutan melalui pengurusan hutan mencakup dimensi preventif, preemtif dan represif yang bermuara pada pengamanan dan kelestarian hutan (sustaibale forest). Dengan demikian, pelaksanaan prinsip perlindungan hutan akan menjamin keberlangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 4.2
Implementasi Prinsip Perlindungan Hutan Dalam Menanggulangi Illegal Occupation Penyimpangan
terhadap
prinsip
perlindungan
hutan
yang
menyebabkan terhadinya illegal occupation merupakan masalah hukum kehutanan yang saat ini menjadi kendala dalam menjaga fungsi lingkungan hidup. Terjadinya kasus ini tidak lepas dari kebutuhan-kebutuhan yang meliputi diri manusia. Illegal occupation terjadi di sejumlah daerah di
156
Indonesia termasuk juga di Bali. Illegal occupation di Bali paling banyak terjadi di kawasan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai. Berdasarkan data yang diperoleh dari RPH Tahura Ngurah Rai, dari 17 tanah hutan yang berhasil disertifikatkan, tanah-tanah tersebut telah diubah fungsinya dari tanah hutan menjadi bangunan rumah tinggal, sekolah dan bangunan lain yang belum selesai dengan total wilayah seluas 133,9598 Ha. Adapun tanah-tanah tersebut tersebar di beberapa wilayah yakni Br. Jaba Jero Kuta, Br. Pengabetan Kuta, Br. Temacun Kuta, Br. Anyar Kuta Badung, Pemogan, Desa Sanur, Br. Mumbul, Br. Perarudan, Kelurahan Kedonganan dan kelurahan Sesetan.115 Tanah-tanah yang disertifikatkan tersebut diantaranya adalah A.A Santosa seluas 7 are dan I Ketut Juana seluas 4 are yang sama-sama berlokasi pada perumahan Bali Siki, Jimbaran pada tahun 2002. Kasus tersebut diketahui saat rekonstruksi ulang pal batas RTK-10 kawasan hutan Prapat Benoa oleh Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Kasus serupa juga terungkap pada permohonan SPPT PBB seluas 30 are oleh Ahmad Sofyan di Jalan Pantai Pengembak Sanur Kauh yang diketahui pada saat anak buah pelaku tertangkap oleh Polisi Hutan ketika menebang mangrove di kawasan tahura.116
115
Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
116
Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
157
Klaim kawasan hutan oleh I Wayan Suwirta atas sebidang tanah yang bersebelahan dengan Supermarket Lotte menjadi catatan penting dalam upaya perlindungan hutan dari illegal occupation. Illegal occupation ini dilakukan sejak tahun 2008 yang didahului oleh pihak Suwirta yang mengajukan penegasan konversi hak atas tanah seluas 6,3 are ke Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Karena 6,3 are dari konversi tanah yang dimohonkan adalah termasuk wilayah hutan Prapat Benoa, maka permohonanan hak kepada Kantor Pertanahan Kota Denpasar tersebut ditolak oleh BPN. Terhadap keputusan tersebut, Suwirta mengajukan gugatan ke PTUN yang akhirnya mengeluarkan putusan yakni menerima permohonan penggugat dan meolak penolakan dari BPN Kota Denpasar serta memerintahkan untuk melanjutkan proses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Merujuk pada putusan tersebut BPN Kota Denpasar secara serta merta menerbitkan sertifikat hak milik atas nama I Wayan Suwirta
dengan mengabaikan keberatan dari Dinas
Kehutanan Provinsi Bali. 117 Illegal occupation menimbulkan deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi ini terlihat pada kawasan Tahura Ngurah Rai yang berkurang yakni 133,9598 are.118 Berkurangnya luas kawasan Tahura Ngurah Rai tentu menimbulkan degradasi hutan dalam menjamin stabilitas lingkungan hidup.
117
Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
118
Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
158
Perbuatan illegal occupation merupakan pelanggaran terhadap prinsip lingkungan hidup yakni prinsip pengamanan hutan dan kelestarian hutan. Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan belum optimal dalam menanggulangi illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Padahal Tahura Ngurah Rai memiliki fungsi penting dalam mencegah abrasi, tempat perlindungan biota laut, menahan limbah sampah ke laut, menahan gelombang air laut ke darat, sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan tempat rekreasi. Oleh karena itu langkah-langkah perlindungan hutan perlu dilakukan. Secara yuridis, upaya perlindungan hutan mangrove ini dilakukan dengan penetapan kawasan hutan mangrove menjadi Tahura yang secara spesifik diurus oleh UPT dari Dinas Kehutanan.119 Konskritisasi prinsip perlindungan hutan meliputi kegiatan a. perencanaan
kehutanan,
b.
pengelolaan
hutan,
c.
penelitian
dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan d. pengawasan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan diketahui bahwa tidak semua kegiatan tersebut efektif dalam melindungi Tahura Ngurah Rai dari illegal occupation. Perencanaan kehutanan pada dasarnya telah dilakukan dengan baik dengan melakukan inventarisasi sumber daya mangrove, penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan sebagai taman hutan raya yang termasuk
119
2011.
Wawancara dengan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada 4 Mei
159
hutan konservasi. Penetapan ini menjadi landasan yuridis bagi Tahura Ngurah Rai untuk tetap dipertahankan dalam kondisi apapun. Pengurusan dan pengelolaan hutan menjadi kewajiban dari pemerintah, badan usaha dan masyarakat. Berbagai kegiatan perlindungan hutan sudah dilakukan oleh ketiga komponen tadi. Pemerintah telah membuat serangkaian regulasi untuk memberikan kewajiban hukum bagi semua pihak untuk melindungi hutan baik dari perbuatan manusia, kebakaran, ternak, hama maupun penyakit. Kebijakan tersebut juga diikuti dengan langkah-langkah konkrit dengan menerapkan pola kemitraan dalam
pengamanan
hutan,
menjatuhkan sanksi
bagi pelaku
pengrusakan hutan serta memberikan apresiasi berupa penghargaan kalpataru bagi pihak-pihak yang berjasa dalam menjaga lingkungan hidup. Badan usaha baik berupa BUMN, BUMD, BUMS dan koperasi telah berupaya dalam melindungi hutan baik melalui perbuatan aktif seperti ikut melakukan reboisasi maupun dengan perbuatan pasif yakni dengan melaksanakan kegiatan usaha yang ramah lingkungan. Masyarakat termasuk masyarakat hukum adat juga telah berupaya melindungi hutan baik dengan melaksanakan ketentuan hukum kehutanan maupun dengan hukum adat yang mereka miliki. Masyarakat menganggap bahwa hutan merupakan bagian dari dirinya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, hal ini tampak pada pelaksanaan upacara tumpek uduh (ritual untuk mendoakan pohon-pohonan) serta pembangunan tempat suci di kawasan hutan. Warga di sekitar Tahura Ngurah Rai sesungguhnya paham akan arti penting perlindungan hutan bagi makhluk hidup. Mereka sering dilibatkan dalam penanaman mangrove
160
dan pemasangan pal batas dalam rekonstruksi yang dilakukan oleh RPH Dinas Kehutanan. Warga yang tinggal berbatasan dengan hutan mangrove juga memiliki kesadaran untuk mengadakan upacara bagi kelestarian hutan.120 Hal ini menunjukkan adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan hutan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha dan masyarakat ternyata belum mampu menghindari fakta-fakta kerusakan.
Fakta kerusakan
hutan khususnya mangrove dapat dilihat dengan jelas di Bali. Pembabatan hutan mangrove secara besar-besaran mulai dari Desa Pesanggaran sampai dengan Desa Pemogan (perbatasan antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung) yang dilakukan sebelum tahun 1990-an oleh investor. Investor tersebut bergerak dalam bidang usaha tambak udang yang telah mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya tambak-tambak
udang
tersebut
memang
menguntungkan
dan
mampu
meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, tetapi setelah beberapa tahun beroperasi tambak-tambak tersebut mengakibatkan
kebangkrutan
yang
mulai mengalami kerugian sehingga berujung
pada
penutupan
usaha
pertambakan. 121
120
Wawancara dengan I Made Sami, 70 tahun, laki-laki, tokoh agama dan masyarakat di kawasan Tahura Ngurah Rai, pada 20 Mei 2011. 121
I Nengah Subadra, 2009, “Penyelamatan Hutan Mangrove Jawaban ”Global Warming’” Serial Online 19 February 2009, (Cited 2011 Jan. 2), available from :http://artikelpariwisata.blogspot.com/2009/02/bali-tourism-watch-penyelamatan-hutan.html
161
Seiring dengan kemajuan pariwisata yang begitu pesat maka illegal occupation dilakukan dengan menduduki kawasan hutan secara tidak sah dengan pembangunan gedung. Hal ini menjadikan kawasan Tahura Ngurah Rai sebagai wilayah incaran atas ekspansi ekonomi pariwisata. Dengan pengetahuan yang kurang memadai, masyarakat pelaku sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada kasus Bali Siki membeli rumah di kawasan tersebut dengan alasan tanah telah bersertifikat. Padahal mereka tidak mengetahui bahwa sertifikat tersebut didapat secara melawan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan belum berjalan optimal sehingga pengetahuan hukum masyarakat masih sangat kurang. Penyebab illegal occupation tidak hanya dari masyarakat sekitar kawasan hutan, namun lebih karena kelemahan kebijakan pemerintah, seperti: a.
Kegagalan menurunkan pertumbuhan penduduk, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan;
b.
Kegagalan menjamin kepastian hukum kawasan;
c.
Kegagalan reformasi di bidang agraria dan pembaharuan sosial ada lahan-lahan produktif;
d.
Kegagalan menciptakan lapangan kerja alternatif dalam industri dan agroindustri yang jauh dari kawasan hutan;
e.
Lebih membuka daripada membatasi akses ke kawasan hutan; serta
162
f.
Pemberian susbsidi dan insentif bagi transmigrasi dan translokasi di lahan-lahan hutan negara.
g.
Kendala kelembagaan pemerintah yang turut bertanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan konservasi, seperti : 1) Prioritas bagi upaya konservasi alam biasanya rendah karena sistem sosial terbiasa dengan pemanfaaatan sumberdaya alam secara bebas. 2) Sistem komando dalam struktur organisasi pemerintah kaku, dan lemahnya dukungan dari lembaga-lembaga lain dalam menghadapi konflik; 3) Kondisi politik, ekonomi, dan sosial saat ini yang melemahkan dukungan finansial dan kemampuan birokrasi untuk menangani tindakan konservasi dan perlindungan. 4) Adanya tantangan politik lokal, tekanan organisasi kemanusiaan internasional dibidang HAM, dan perkembangan pemberdayaan otoritas daerah, di mana pihak berwenang tidak mendahulukan aspek konservasi dalam kasus-kasus
yang
terkait
dengan
eksploitasi sumber daya alam. 122 Pendapat di atas sejalan dengan yang terjadi di Tahura Ngurah Rai, dimana dalam kasus illegal occupation tersebut, pelaku menduduki kawasan hutan untuk membangun rumah tinggal seperti dalam kasus Illegal occupation oleh I Wayan Suka, Ni Wayan Sudarti, I Wayan Rembyok, I
122
Iman Santoso dkk. op.cit., hal. 30-31.
163
Ketut Urip, I Wayan Lunas, I Wayan Suandi, I Ketut Konde, I Wayan Buda, Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made Warta dan Nyoman Wartika, Wayan Wija/ Tjegeg, IB Surakusuma/ IB Lolek dan Bali Siki. Hal ini mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk.
Akibat
ledakan
penduduk
tersebut
maka
masyarakat
membutuhkan rumah tinggal. Keterbatasan lahan menyebabkan mereka mengekspansi wilayah hutan untuk dijadikan rumah. Apalagi daerah Tahura Ngurah Rai termasuk wilayah strategis. 123 Belum optimalnya kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan bukan hanya bagi individu melainkan juga bagi masyarakat hukum adat setempat. Hal ini dapat dilihat dari kasus illegal occupation oleh Desa Adat Kedonganan seluas 0,1768 are yang berlokasi di Kelurahan Kedonganan. Tanah bersertifikat No. 8115 tanggal 8/7/2001 tersebut telah didirikan SMA Negeri 2 Kuta yang telah dibangun pada awal 2006.124 Pendirian sekolah di wilayah tersebut memang penting namun akan lebih baik jika membangun di tempat lain di luar kawasan Tahura Ngurah Rai. Disinilah terlihat kurangnya pendidikan mengenai arti penting hutan. Dengan demikian belum optimalnya kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan terjadi pada 15 kasus dari 17 kasus yang ada.
123
124
Observasi di kawasan Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
Observasi di Kelurahan dan Desa Adat Kedonganan mengenai pendirian SMA Negeri 2 Kuta yang seluruh wilayahnya sebenarnya masih termasuk wilayah Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
164
Pengawasan merupakan instrumen yang sangat penting untuk mengamankan dan melestarikan hutan. Kelemahan dalam lini ini tentu akan menyebabkan illegal occupation yang sulit terkendali. Tindakan ini akan berakibat pada kerusakan hutan. Penyebab kerusakan hutan mangrove menurut Harry Santoso dalam makalahnya yang berjudul “Penyelamatan Ekosistem Mangrove Dalam Mewujudkan Kelestarian Hutan”
juga
diakibatkan karena adanya konflik kepemilikan lahan, konversi lahan hutan mangrove menjadi lahan pertanian/ pemukimaan/ budidaya/ tambak, perkembangan teknologi yang membuat lahan mangrove menjadi lahan industri, pemanfaatan kayu. Dengan kondisi yang seperti itu, maka dibutuhkan lebih banyak Balai Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia dimana saat ini hanya ada dua yang bertempat di Bali dan Medan. Selain itu, harus digalakkannya ketentuan mengenai kawasan hutan mangrove dimana diadakannya pelarangan kegiatan budidaya di kawasan mangrove kecuali kegiatan yang tidak merusak/mengganggu kawasan lindung tersebut. Tsunami Aceh merupakan salah satu fenomena yang mencengangkan dimana Aceh diporak-porandakan oleh tsunami. Tsunami tersebut terjadi dikarenakan pada saat itu hutan mangrove sudah jarang sehingga tidak mampu menahan gelombang besar yang mengakibatkan air laut masuk ke daratan dan menghempas semua yang dilaluinya. 125
125
Harry Santoso, “ “Penyelamatan Ekosistem Mangrove dalam Mewujudkan Kelestarian Hutan”, Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from :http://fdcipb.wordpress.com/2011/02/28/seminar-nasional-%E2%80%9Cpenyelamatanekosistem-mangrove-dalam-mewujudkan-kelestarian-hutan%E2%80%9D/
165
Kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab kejahatan terhadap hutan sama dengan kejahatan terhadap berjuta-juta umat manusia. Oleh sebab itu diperlukan suatu instrumen hukum yang dapat digunakan untuk menjaring pelaku pengrusakan hutan. Dilihat dari fungsinya hukum lingkungan berisi kaedahkaedah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya, langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Secara tidak langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaedah kepada masyarakat. Sanksi adalah elemen penting bagi tegaknya hukum di dalam masyarakat. Dalam Pasal 78 dan 80 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur mengenai sanksi atas pelaku illegal occupation. Dalam Pasal 78 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”. Adapun rumusan Pasal 50 ayat (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah “Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”
166
Pengenaan sanksi pidana penjara dan denda yang dirumuskan secara komulatif juga diikuti dengan kewajiban bagi penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 80 (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyebutkan: Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan. Adanya pengaturan mengenai larangan menduduki kawasan hutan secara tidak sah (lllegal occupation) memerlukan manusia sebagai penggeraknya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Otje Salman dan Anton F. Susanto, dimana hukum dianggap sebagai sistem yang abstrak yang hadir dalam bentuk keharusan-keharusan (das sollen). Pada posisi ini manusia akan bertindak sebagai partisipan faktor yang berperan menjalankan sistem tersebut), yaitu mereka yang bermain dan memainkan sistem berdasarkan logic tadi. Tujuan lebih kepada kepentingan praktik dan untuk membuat keputusan.126 Sehingga untuk menanggulangi illegal occupation diperlukan penegakan hukum oleh aparat-aparat yang berwenang.
126
Otje Salman dan Anton F. Susanto, op.cit., hal. 51.
167
Penegakan
hukum
dapat
menjadi
instrumen
represif
dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Instrumen hukum yang mengatur mengenai prinsip perlindungan hutan hanya dapat berjalan efektif jika masyarakat memiliki komitmen untuk melaksanakannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Jimly Asshiddiqie yang menjelaskan: Yang penting untuk disadari adalah bahwa institusi negara dibentuk, tidak dengan maksud untuk mengambil alih fungsi-fungsi yang secara alamiah dapat dikerjakan sendiri secara lebih efektif dan efisien oleh institusi masyarakat. Institusi negara dibentuk justru dengan maksud untuk makin mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban bangsa Indonesia, sesuai dengan cita dan citra masyarakat madani yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin, demokratis dan berkeadilan. 127 Suatu Undang-undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat. Penegakan hukum pada hakikatnya adalah penegakan norma-norma hukum, baik yang berfungsi suruhan (gebot, command) atau berfungsi lain seperti memberi kuasa (ermachtigen to empower), membolehkan (erlauben,
127
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 68.
168
to permit), dan menyimpangi (derogieren, to derogate).128 Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janji dan kehendak tersebut misalnya
untuk
memberikan
hak
kepada
seseorang,
memberikan
perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya. 129 Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor penegak hukum. Dalam konteks ini penegakan hukum terhadap illegal occupation dapat dilakukan oleh polisi kehutanan. Polisi kehutanan selama ini mengalami hambatan dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku illegal occupation sebab mereka berhadapan dengan pelaku yang dibentengi oleh pelaku-pelaku intelektual. Pelaku justru memiliki sertifikat atas tanah hutan yang diduduki secara tidak sah. Padahal tanah hutan hanya dapat dikonversi apabila ada izin dari menteri kehutanan itu pun hanya dapat dilakukan pada hutan produksi dan hutan lindung sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyebutkan bahwa “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.” Sementara hutan 128
A. Hamid S. Attamimi dalam Siswanto Sunarso, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 42. 129
Satjipto Rahardjo II, op.cit, hal. 7.
169
mangrove Tahura Ngurah Rai adalah hutan konservasi, yang berarti tidak dapat digunakan untuk pembangunan di luar kegiatan hutan apalagi sampai disertifikatkan. Dikeluarkannya sertifikat milik atas tanah hutan tentu melibatkan Notaris dan PPAT serta BPN. Hal ini menunjukkan adanya indikasi pelaku intelektual atas illegal occupation. Selama ini belum ada permohonan pensertifikatan tanah hutan oleh pribadi, jika ada permohonan maka sebelumnya harus mendapat izin dari Menteri Kehutanan dan harus ada pelepasan hak dari Menteri Kerhutanan.130 Padahal kasus pensertifikatan tanah hutan ini memang ada dan kini sedang dalam proses hukum. 131 Keberhasilan
penegakan
hukum
terhadap
illegal
occupation
memerlukan kredibilitas dan transparansi dari polisi kehutanan. Penegak hukum menurut Abdulkadir Muhammad harus jujur dalam menegakkan hukum atau melayani pencari keadilan dan menjauhkan diri dari perbuatan curang. Kejujuran berkaitan kebenaran, keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dan ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Kejujuran adalah kendali untuk berbuat menurut apa adanya sesuai dengan
130
Wawancara dengan Ni Putu Eka Darmayanti, 23 tahun, perempuan, BPN Tabanan dan Drs. I Wayan Dastra, 50 tahun, laki-laki, BPN Badung, pada 21 April 2011. 131
Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.
170
akal (ratio) dan kebenaran hati nurani. Benar menurut akal, baik menurut akal diterima oleh hati nurani. 132 Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan
hukum menjangkau pula sampai kepada
pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum. 133 Sehingga penegakan hukum akan berlangsung dengan optimal apabila dimulai dengan prosedur dan komitmen yang kuat sejak perumusan hingga pelaksanaannya. Substansi hukum yang baik sudah tentu akan memudahkan penegak hukum yang dalam hal ini adalah polisi kehutanan untuk menegakkan hukum terhadap pelaku illegal occupation. Penerapan hukum pidana atau pelanggaran hukum lingkungan banyak tergantung pada hukum administratif atau hukum pemerintahan, terutama menyangkut
perizinan.
Yang
mengeluarkan
izin adalah pejabat
132
Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
133
Satjipto Rahardjo II, op.cit., hal. 24.
119.
171
administrasi, baik pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat.134 Penerapan sanksi pidana tersebut bisa saja terjadi karena pemegang kendali penerapan instrumen sanksi pidana adalah aparat penegak hukum dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri (PPNS) dan penyidik POLRI. Lemahnya instrumen pengawasan terjadi pada semua kasus (17 kasus) illegal occupation di Tahura Ngurah. Meskipun dalam kasus Ahmad Sofyan telah dilakukan penangkapan oleh polisi kehutanan dan diproses di Polsek Denpasar Selatan namun kasusnya hingga kini masih terkatung-katung. Gelar perkara pada kasus Bali Siki juga pernah dilakukan pada tahun 2002, namun tindak lanjut dari kasus tersebut sangat minim. Baru pada tahun 2010, kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar (pidana dan perdata). Kawasan Tahura Ngurah Rai juga telah dipagari dengan seng dan sudah diurug serta siap didirikan bangunan oleh I Wayan Suwirta dan didirikan bangunan rumah tinggal dan sekolah oleh pelaku lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Perbuatan-perbuatan ini sampai terjadi karena lemahnya pengawasan hingga penjatuhan sanksi bagi pelaku illegal occupation. 135 Adapun kelemahan-kelemahan dalam kegiatan perlindungan hutan dapat dilihat secara rinci dalam tabel berikut:
134
Andi Hamzah, op.cit., hal. 74.
135
Observasi di kawasan Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
172
Tabel 3 Kelemahan dalam kegiatan perlindungan hutan No
Kasus
Perencanaan kehutanan
Pengelolaan hutan
Penelitian dan pengembangan pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan
Pengawasan
1
I Wayan Suka seluas 0,8 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. I Wayan Suka seluas 1 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
-
-
x
x
-
-
x
x
3
Ni Wayan Sudarti seluas 0,46 are yang berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung.
-
-
x
x
4
I Wayan Rembyok seluas 0,2 are yang berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung.
-
-
x
x
2
173
5
I Ketut Urip seluas 0,178 are yang berlokasi di Br. Anyar Kuta Kabupaten Badung.
-
-
x
x
6
I Wayan Lunas seluas 0,18 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
-
-
x
x
7
I Wayan Suadi seluas 0,675 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung.
-
-
x
x
8
I Ketut Konde seluas 0,9 are yang berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung.
-
-
x
x
9
I Wayan Buda seluas 1 are yang berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung.
-
-
x
x
174
10
I Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made warta dan Nyoman Wartika seluas3,3 dan 1,65 are yang berlokasi di Pemogan, Denpasar
-
-
x
x
11
I Wayan Wija/ Tjegeg seluas 0,14 are yang berlokasi di Sanur Kauh, Denpasar.
-
-
x
x
12
IB Surakusuma/ IB Lolek seluas 2 are yang berlokasi di Mumbul, Kuta Tanah tersebut bersertifikat No.1363 tanggal 19/11/1991.
-
-
x
x
13
I Nyoman Sudri/ Artono seluas 1 are yang berlokasi di Br. Pemogan, Denpasar.
-
-
x
x
14
I Ketut Lolong, Nyoman Kardiana, Nyoman
-
-
x
x
175
Suarta (PT Bali Siki Utama) seluas 84 are yang berlokasi di Br. Perarudan, Jimbaran, Badung. 15
Desa Adat Kedonganan seluas 0,1768 are yang berlokasi di Kelurahan Kedonganan.
-
-
x
x
16
I Wayan Suwirta seluas 6,30 are yang berlokasi di Kelurahan Sesetan, Denpasar.
-
-
-
x
17
Ahmad Sofyan seluas 30 are dengan klaim SPPT PBB NOP. 51.71.010.008 .037.0139.0.
-
-
-
x
-
-
15
17
Total
Illegal occupation memiliki dampak yang besar bagi keberlangsungan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai. Pembiaran atas tindakan tersebut akan menimbulkan degradasi dan deforestasi mangrove, padahal mangrove di
176
kawasan Tahura Ngurah Rai sangat bermanfaat untuk melindungi Bali dari bencana tsunami. Mangrove juga berfungsi menyerap CO2 dan mencegah terjadinya
abrasi,
sehingga
keberadaan
hutan
mangrove
harus
dipertahankan. Ancaman degradasi dan deforestasi mangrove Tahura Ngurah Rai karena adanya pendudukan yang tidak sah, perlu diperhatikan dan dicarikan solusinya. Oleh sebab itu diperlukan antara sinergi pemerintah, badan usaha dan masyarakat untuk menanggulangi illegal occupation. Pemerintah Penegakan hukum lingkungan dalam upaya penanggulangan illegal occuption dapat dilakukan secara preventif dan represif sesuai sifat dan efektifitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkret yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan,
pemantauan,
dan
penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Dengan demikian penegakan hukum yang utama adalah pejabat/aparat pemerintah daerah yang berwenang mencegah pencemaran lingkungan. Penegakan hukum yang bersifat represif, dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peratuaran. Penindakan secara pidana umumnya selalu menyusuli pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Untuk menghindari penindakan pidana secara
177
berulang-ulang pelaku/ pencemar sendirilah yang harus menghentikan keadaan itu. Hukum yang tidak dikenal dan tidak sesuai dengan konteks sosialnya serta
tidak
ada
komunikasi
yang
efektif
tentang
tuntutan
dan
pembaharuannya bagi warga negara tidak akan bekerja secara efektif. 136 Sehingga menjadi tugas pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mensosialisasikan serta mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menanggulangi illegal occupation. Adapun upaya yang diatur dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan langkahlangkah yang telah ditempuh untuk menyelamatkan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai adalah: a.
Penyuluhan kehutanan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 Pasal 57 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Penyuluhan kehutanan
bertujuan
untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh Pemerintah juga bekerjasama dengan dunia usaha, dan masyarakat. Pemerintah memiliki kewajiban
136
hal 18.
Muchsin & Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang,
178
hukum untuk mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan. b.
Pengawasan kehutanan, pengawasan kehutanan yang diatur dalam Pasal 59 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan ini, dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut. Pemerintah pemerintah pusat melakukan
yang
melakukan
hutan
meliputi
dan Pemerintah. Pemerintah pusat berkewajiban
pengawasan
diselenggarakan
pengawasan
oleh
terhadap
Pemerintah
pengurusan Daerah.
Dalam
hutan
yang
pelaksanaan
pengawasan hutan oleh pemerintah, masyarakat dan atau perorangan dapat berperan serta dalam pengawasan kehutanan. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat juga melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan. Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional.
179
Terkait dengan adanya pengawasan terhadap kawasan hutan terhadap illegal occupation, maka Dinas Kehutanan telah meregistrasi lokasi yang dipinjam pakai maupun yang ditukar guling dan mengurangi peluang-peluang untuk memanfaatkan kawasan hutan sebagai tempat usaha.137 c.
Memperketat perizinan. Perizinan merupakan salah satu wujud keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam hukum administrasi
untuk
mempengaruhi
dan
mengendalikan
tindaka
masyarakat, sebagai bagian dari keputusan pemerintah, maka perizinan pada hakikatnya adalah tindakan hukum pemerintah bersifat sepihak berdasarkan
kewenangan
publik
yang
memperbolehkan
atau
memperkenankan suatu kegiatan. Menurut N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge sebagaimana dikutip oleh Arya Utama, motif atau tujuan utama instrumen perizinan adalah sebagai berikut: 1) Keinginan mengarahkan (mengendalikan/ sturen) aktivitasaktivitas tertentu. 2) Untuk mencegah bahaya bagi lingkungan hidup (izin-izin lingkungan hidup). 3) Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin tebang, izin membongkar pada monumen-monumen). 4) Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghunian di daerah padat penduduk). 5) Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitasaktivitas. 138
137
Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011. 138
I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 23.
180
Sebagai bagian dari produk hukum, perizinan merupakan suatu jaminan kepastian hukum bagi pemegang izin sehingga pihak manapun yang memegang izin dalam pemanfaatan hutan, tidak dapat diganggu gugat kembali. Kepastian izin dalam pemanfaatan hutan ini mampu membedakan apakah pendudukan hutan oleh sekelompok orang tersebut merupakan illegal occupation atau tidak. Pengeluaran izin atas tempat usaha di kawasan Baypass Ngurah Rai dan Baypass Sanur juga perlu diperhatikan apakah berdiri di atas tanah hutan atau tidak. d.
Pembentukan hukum yang responsif dan penegakan hukum di bidang kehutanan. Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan demi kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan. 139 Di dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum terkandung tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan, seperti penegakan hukum. 140 Penegakan hukum terhadap pelaku illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai, telah dilakukan dengan mengupayakan penertiban dan penataan kawasan hutan hingga mengajukan gugatan atas illegal
139
Siti Sundari Rangkuti, 2003, Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta,
hal. 2 140
Satjipto Rahardjo II, op.cit., hal. 1.
181
occupation yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang.141 Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (ancaman sarana administratif, keperdataan, dan kepidanaan).142 Upaya penegakan hukum lingkungan yang konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional. e.
Penataan batas wilayah hutan. Dengan adanya penetapan batas wilayah hutan maka dapat diketahui perubahan luas dari hutan itu sendiri. Sejak kawasan hutan mangrove dikukuhkan hingga kini telah terjadi perubahan luas hutan. Hal ini disebabkan karena pendudukan kawasan dengan
adanya
tanah
kawasan
yang
bersertifikat,
terjadinya
pembuangan sampah dan limbah secara liar dan untuk kepentingan umum. Bahkan diantara tanah-tanah yang diokupasi tersebut ada yang sudah disertifikatkan hak milik baik dalam pinjam pakai maupun tukar
141
Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011. 142
Suparni, Ninik, 1992, Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 160.
182
guling seperti untuk pembangunan Bandara Ngurah Rai, BTDC dan BTID maupun oleh individu.143 Dalam rangka memperoleh kepastian hukum di lapangan maka setiap areal yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan penataan batas. Dengan telah dilakukannya penataan batas hutan, maka tanpa adanya kewenangan yang sah setiap orang dilarang memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan. 144 Upaya perlindungan Tahura Ngurah Rai perlu dilakukan secara komprehensif baik melalui cara preemtif, preventif dan represif. Ada beberapa upaya yang selalu dilakukan dalam perlindungan hutan yakni dalam penempatan personil yang terdiri dari polisi kehutanan, staf administrasi, KRPH dan KPH pemantauan wilayah hutan, pengamanan daerah yang rawan pelanggaran, patroli rutin dan menindak tegas bagi pelaku yang melakukan kejahatan atau pelanggaran di kawasan hutan. Bahkan Dinas Kehutanan tidak segan-segan memperkarakan pelaku baik secara pidana maupun perdata atau dituntut di pengadilan tata usaha negara guna mempertahankan kawasan hutan.145
143
Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011. 144
Waldemar Hasiholan, 2009, “KONSEP DASAR PERLINDUNGAN HUTAN”, Serial Online Selasa, 06 Januari 2009 (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL: http://conservationforest.blogspot.com/2009/01/konsep-dasar-perlindungan-hutan.html 145
Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
183
Untuk menjaga kawasan hutan mangrove (Tahura Ngurah Rai), Dinas Kehutanan Provinsi telah menempatkan personil yang sebelumnya ditempatkan di RPH Tahura Ngurai Rai dan sekarang di UPT KPH Tahura Ngurah Rai dengan spesifikasi 15 orang polisi hutan, 3 pejabat teknis dan 3 staf dengan komposisi luasan kawasan yang diemban sudah sesuai dengan jumlah personil
yang
bertugas
untuk mengawasi kawasan hutan
mangrove.146 Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global. Kawasan Hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi. Penunjukan Kawasan Hutan ini disusun berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).147 Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
146
Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011. 147
Departemen Kehutanan, “Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2009”, hal. 9.
184
Badan Usaha Badan usaha memiliki peranan penting dalam melindungi hutan dari tindakan illegal occupation. Dalam Pasal 57 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ditentukan bahwa: (1)
(2)
Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan. Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
Ketentuan Pasal 57 ayat (1) yang mewajibkan dunia usaha dalam bidang kehutanan untuk menyediakan dana investasi yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan
merupakan
implementasi dari konsep
corporate
sosial
responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial badan usaha. Setiap usaha yang ada di Indonesia wajib menyediakan dana untuk kepentingan sosial. Melalui konsep ini, badan usaha yang bergerak dalam bidang kehutanan tersebut dapat bermitra dengan pemerintah dalam penyuluhan hutan, dengan sekolah atau perguruan tinggi serta lembaga-lembaga penelitian lainnya. Badan usaha yang tidak bergerak di bidang kehutanan selama ini telah memberikan perhatian pada keberlangsungan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai dengan melakukan penanaman bakau. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA), perusahaan di Jakarta yang bergerak di bidang konstruksi misalnya telah melakukan penanaman 1.000 pohon bakau di
185
daerah Pasanggaran, Bali, sejumlah perusahaan jasa pariwisata, perusahaan pembiayaan dan yayasan pendidikan di Bali juga melakukan hal yang sama. Pencegahan terhadap illegal occuption oleh badan usaha dapat dilakukan dengan pembentukan kesadaran hukum dari badan usaha untuk tidak membangun usahanya di kawasan hutan. Pembangunan tempat usaha hendaknya jangan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi saja namun juga pada keberlangsungan lingkungan hidup. Kawasan Tahura Ngurah Rai memang menjadi lokasi yang strategis untuk pengembangan usaha, sebab kawasan ini berada di daerah pariwisata Sanur, Kuta dan Nusa Dua. Selain itu juga dekat dengan Bandara (Bandara Ngurah Rai). Harga tanah di daerah ini pun cukup tinggi yakni hampir mencapai RP 500.000.000,00 per are. Masyarakat Dalam Pasal 68 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dikatakan bahwa masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Selain hak tersebut masyarakat dapat: a.
memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b.
mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
c.
memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
186
d.
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Hak-hak tersebut dapat menjadi landasan bagi peran serta masyarakat
untuk mencegah illegal occupation. Dalam pengukuran tanah misalnya, ada beberapa pihak yang dilibatkan yakni pemohon yang akan menunjukkan batas, penyanding yang bersebelahan langsung, pejabat di lokasi tanah dimohonkan misalnya Pekaseh jika tanah tersebut tanah sawah atau Kelian Dinas jika tanah tersebut tanah karang/ tanah rumah dan petugas ukur. Dengan pelibatan ini, masyarakat dapat memberikan informasi kepada petugas yang berwenang mengenai status tanah yang ada di daerahnya. Dalam pengukuran tanah tersebut, jika ada protes dari perorangan, masyarakat atau pemerintah sehubungan dengan tanah yang dimohonkan, maka BPN akan menunda proses penyelesaian permohonan kemudian memanggil pihak-pihak yang berkeberatan dan pemohon selanjutnya memfasilitasi atau menjadi mediator dalam permasalahan tersebut. Hal ini menjadi upaya preventif untuk mencegah didudukinya tanah hutan secara tidak sah. Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau Pemerintah. Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai
187
kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan. Dalam upaya penanggulangan illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai, diperlukan pemahaman masyarakat mengenai arti sertifikat tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya sedangkan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain sebagaimana yang diamanatkan oleh PP Nomor 24 tahun 1997
188
serta
peraturan perundang-undangan
yang
terkait.
Adapun sistem
pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia adalah sistem pendaftaran hak bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pada sistem publikasi negatif yang murni tidak menggunakan sistem pendaftaran hak juga tidak ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal UUPA bahwa sertifikat adalah alat bukti yang kuat.148 Sertifikat dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia pada dasarnya menjadi bukti otentik yang menyatakan bahwa subjek hukum yang tertulis namanya dalam sertifkat adalah pemegang hak mutlak. Namun jika ditemukan adanya kekeliruan dalam data fisik dan data yuridis maka keabsahan sertifikat tanah dapat dikaji ulang. Dari beberapa kasus illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai diketahui bahwa masyarakat yang kini menduduki hutan mangrove untuk perumahan mereka, mau membeli tanah tersebut karena sudah ada sertifikat atas nama pengembang. Bagi mereka sertifikat adalah bukti yang kuat untuk menyatakan suatu
148
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, hal. 477.
189
kepemilikan atas tanah sehingga mereka tidak melakukan verifikasi atas kebenaran data dalam sertifikat tersebut. Untuk mensertifikatkan tanah menjadi hak milik maka ada beberapa persyaratan yang harus ditempuh seperti fotocopy KTP dan KK baik penjual maupun pembeli, akta jual beli yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah, pelunasan pajak untuk permohonan peralihan hak. Prosedur ini harus dilakukan seluruhnya karena peralihan hak harus melalui proses jual beli, tukar menukar atau hibah. Hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam permohonan untuk menjamin kepastian hak yang dimohonkan. Oleh sebab itu terhadap data tersebut, pihak BPN akan memverifikasi kebenaran data dengan membentuk sebuah panitia kecil (Panitia A) yang bertugas untuk menyidangkan apakah data yang diajukan pemohon tersebut sudah benar dan apakah setiap proses permohonan hak seperti pengukuran dan penggambaran telah dilalui. Hasil sidang tersebut akan diumumkan kepada publik.149 Upaya yang dilakukan oleh pihak BPN tersebut ternyata belum mampu menanggulangi illegal occupation. Kenyataannya tanah-tanah yang diduduki justru telah bersertifikat. Penanggulangan terhadap illegal occupation memerlukan kerjasama dengan masyarakat hukum adat yang ada di kawasan hutan. Menurut Ter Haar, kesadaran mengenai adanya hubungan masyarakat dengan tanah itu terbukti dari adanya keselamatan yang tetap di tempat-tempat tertentu yang dipimpin oleh Kepala Adat pada waktu permulaan mengerjakan tanah, 149
2011.
Wawancara dengan Drs I Wayan Dastra, 50 tahun, laki-laki, BPN Badung, pada 21 April
190
sedangkan keyakinan dari adanya pertalian hidup antara manusia dengan tanah terlihat dari upacara keagamaan yang hingga kini masih dilaksanakan oleh masyarakat adat.150 International Tropical Timber Organization (ITTO) sebagai salah satu organisasi internasional yang bergerak dalam bidang perlindungan hutan telah melakukan kerjasama dengan masyarakat hukum adat di China, India, Mexico, Kamerun dan Philiphina. Mereka memiliki manajemen pengelolaan tersendiri sebagaimana yang ditulis dalam laporan ITTO yakni “Community forestry, the management of forests with or by local communities, is an important mechanism for addressing social equaity while pursuing the sustainability of the forest resourse.”151 Manajemen pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat berbasis pada kearifan lokal (local indigenous). Local indigenous atau yang juga dikenal dengan istilah local genius merupakan sejumlah karakter budaya yang dirasakan masyarakat sebagai hasil pengalaman hidupnya sehari-hari atau the sum of the cultural characterstics which the vast majority of people have in comment as a result of their experiences in early life.152 Karakteristik kultural dari masyarakat hukum adat mengandung pelbagai nilai. Mengenai sistem nilai tersebut, Abdulkadir Muhammad mengatakan:
150
I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, hal. 116. 151
International Tropical Timber Organization, 2007, Making SFM Work ITTO’S First Twenty Years, ITTO’s First 20 Years, hal. 41. 152
hal. 30.
Ayatro Haedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta,
191
Sistem nilai yang dianut masyarakat itu menjadi tolok ukur kebenaran dan kebaikan cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan. Sistem nilai tersebut berfungsi sebagai kerangka acuan untuk menata kehidupan pribadi dan menata hubungan manusia dan manusia serta alam di sekitarnya. Sistem nilai yang menjadi dasar kesadaran masyarakat untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan. 153
Keberadaan kawasan hutan dikeramatkan hampir merata pada berbagai etnik Nusantara. Kelompok masyarakat mengakui adanya nilai-nilai tak terukur, nilai-nilai magis di balik fenomena alam hutan. Eksistensi kelompok masyarakat berkembang mengikuti dua pola dasar. Pertama pola alamiah, dimana masyarakat berdasarkan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungannya, dan mereka mengakui adanya kekuatan gaib yang mempengaruhi hidupnya. Kedua masyarakat lokal berinteraksi dengan kelompok masyarakat pendatang, dan mereka mendapat pengetahuan tentang kekuatan magis dalam kehidupannya memiliki landasan sistem norma.154 Desa pakraman sebagai desa adat yang ada di Bali mempunyai tugas bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, termasuk pembangunan di bidang kehutanan. Selain itu, desa pakraman mempunyai tugas membina dan mengembangkan nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada
153
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 8.
154
Ibid.
192
umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan parasparos, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka (musyawarah mufakat).155 Desa adat pada dasarnya berfungsi untuk mengatur tata kehidupan warga desanya dalam rangka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan dari warga desa yang dinamakan Moksa dan Jagadhita, dimana hal tersebut sejalan dengan tujuan agama Hindu yakni Morksartham Jagadhita ya ca iti Dharma.156 Tanggung jawab desa pakraman dalam pembangunan di bidang kehutanan ini merupakan implementasi dari Tri Hita Karana yang merupakan falsafah keseimbangan (keseimbangan manusia dengan Tuhan, keseimbangan antara manusia dengan manusia dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan), terutama palemahan yakni keseimbangan antara manusia dengan lingkungan. Masyarakat Adat Tenganan di Bali turun temurun melalui mekanisme kelembagaannya telah mampu menjaga hutan dan stabilitas ekosistemnya. Dalam
perspektif
deep
ecology
masyarakat
tersebut
memandang
keberlangsungan kehidupan dan eksistensi alamnya merupakan kombinasi faktor yang tampak dan tidak tampak. Konsepsi yang sesuai dengan peta aksi deep ecology yaitu pandangan ekologi yang lebih mendalam. Pandangan dan aksi ekologis bertumpu tidak hanya pada gejala biofisik,
155
I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Hukum Adat di Bali, Udayana university Press, Denpasar, hal. 14. 156
I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar, hal. 24.
193
tetapi mengutamakan etika moral. 157 Masyarakat adat Tenganan ini memang dapat dijadikan contoh dalam meningkatkan peran serta masyarakat hukum adat dalam perlindungan hutan. Masyarakat desa pakraman di sekitar kawasan Tahura Ngurah Rai selama ini desa pakraman belum pernah dilibatkan dalam pengukuran hutan, upaya yang dilakukan desa pakraman untuk menanggulangi illegal occupation pun belum ada karena bagi warga desa illegal occupation ini merupakan masalah pribadi. Namun sejak tahun 1967, pihak desa sudah menjalin kerjasama dengan Dinas Kehutanan untuk mengamankan hutan. Hansip desa diberikan wewenang untuk memberikan informasi jika ada penebangan pohon mangrove, selain itu mereka juga dilibatkan dalam pemasangan pal batas bila dilaksanakan rekonstruksi di kawasan Tahura Ngurah Rai.158 Illegal occupation yang merugikan masyarakat dapat menimbulkan hak bagi masyarakat. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena 157
I.G.P.Suryadarma, Peran Hutan Masyarakat Adat Dalam Menjaga Stabilitas Iklim Satu Kajian Perspektif Deep Ecology (Kasus Masyarakat Desa Adat Tenganan, Bali), Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/I%20Gusti%20Putu%20Suryadarma,%20MS.,% 20Dr.%20/18%29%20Peran%20Hutan%20Masyarakat.pdf 158
Wawancara dengan I Made Sami, 70 tahun, laki-laki, tokoh agama dan masyarakat di kawasan Tahura Ngurah Rai, pada 20 Mei 2011.
194
hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara
ideal,
mempertimbangkan
pemanfaatan kebutuhan
kawasan
masyarakat
mangrove tetapi
tidak
harus sampai
mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan mangrove. Selain sebagai penahan abrasi dan gelombang air laut, mangrove juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan, yakni mampu menyerap karbondioksida yang dikeluarkan dari gas emisi cerobong asap perusahaan dan kendaraan bermotor. Bahkan menurut Bambang Suprayogi, setiap satu hektare hutan mangrove mampu menyerap 36 sampai dengan 43 ton karbondioksida. Karenanya di dunia internasional konservasi dan pelestarian ekosistem hutan mangrove mendapat perhatian serius. Bahkan beberapa negara telah menerapkan biaya ganti rugi kepada perusahaan yang mengeluarkan gas emisi perusak lingkungan. Untuk itu, perusahaan harus memberikan ganti rugi terhadap negara yang telah merawat dan melestarikan hutan mangrove, demi terciptanya iklim udara yang baik. Menurut Bambang Prayogi, untuk satu ton karbondioksida yang diserap hutan mangrove, dihargai dengan 2030 euro. Hasil ganti rugi tersebut dapat dimanfaatkan untuk pelestarian dan konservasi hutan mangrove.159
159
Redaksi, 2011, “Hutan Mangrove Penopang Ekonomi Masyarakat Pesisir”, Serial Online Minggu, 24 Apr 2011 10:22 WIB, (Cited 2011 May 2), available from : URL: http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/04/24/30527/hutan_mangrove_penopang_ekon omi_masyarakat_pesisir/
195
Organisasi bidang kehutanan yang ada di tengah-tengah masyarakat dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, dapat mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan. Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan harus memenuhi persyaratan yakni berbentuk badan hukum dimana organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan serta telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Sinergi antara pemerintah, badan usaha dan masyarakat merupakan implementasi dari ciri-ciri negara hukum Pancasila. Adapun ciri-ciri dari negara hukum Pancasila adalah: a.
Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan nasional.
b.
Hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara.
c.
Prinsip penyelesaian sengketa secara bermusyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir.
d.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban.160
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk mendukung kehidupan umat manusia dan alam semesta memiliki keterbatasanketerbatasan. keterbatasan
Perlindungan daya
dukung
dan
pengelolaan
lingkungan
akan
yang
memperhatikan
membuat
lingkungan
berkembang berkelanjutan, sebaliknya perlindungan dan pengelolaan yang
160
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematikan Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal. 162.
196
berlebihan hanya akan menyebabkan kerusakan bahkan melahirkan bencana ekologis. Dalam hal ini negara bertanggung jawab menjamin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya secara berkelanjutan. Tanggung jawab Negara tersebut diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan. 161 Dalam merehabilitasi mangrove tersebut, yang diperlukan adalah master plan yang disusun berdasarkan data obyektif kondisi biofisik dan sosial. Untuk keperluan ini, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam dapat memberikan kontribusi
dalam
penyusunan
master
plan
dan studi
kelayakannya. Dalam hal rehabilitasi mangrove, ketentuan green belt perlu dipenuhi agar ekosistem mangrove yang terbangun dapat memberikan fungsinya secara optimal (mengantisipasi bencana tsunami, peningkatan produktivitas ikan tangkapan serta penyerapan polutan perairan). 162 Pelindungan hutan dari illegal occupation di Tahura Ngurah Rai merupakan konsekuensi dari negara hukum. Sebagai sebuah negara hukum yang ditegaskan dalam konstitusi tertulis sebagai dasar negara, maka segala aspek kehidupan masyarakat selalu didasarkan atas hukum termasuk dalam
161
Anonim, 2009, “Kita Butuh UU Lingkungan Hidup?”, Serial Online Wednesday, 29 July 2009 09:35, (Cited 2011 May 2), available from : URL: available from URL: http://www.perwaku.org/index.php?option=com_content&view=article&id=79:tanggapan-ruulingkungan-hidup&catid=40:artikel-dan-opini&Itemid=77 162
Anonim, 2009, “Fungsi dan Peranan Hutan Bakau (Mangrove) dalam Ekosistem, Jaga Kelestarian Ekosistem Hutan Bakau Bangka Belitung”, Serial Online Tanggal 2009-01-27 Jam 16:09:10, (Cited 2011 May 2), available from : URL: http http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Fungsi%20dan%20Peranan%20Hutan%20Bakau %20%28Mangrove%29%20dalam%20Ekosistem,%20Jaga%20Kelestarian%20Ekosistem%20Hut an%20Bakau%20Bangka%20Belitung&&nomorurut_artikel=268
197
menjaga dan melindungi kawasan hutan. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat negara. 163 Hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup, regulasi perundangundangannya pun ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-undang kehutanan, dimana UndangUndang Kehutanan merupakan undang-undang sektoral yang dinaungi oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian “mengingat” dalam konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup.164 Sehingga menjaga hutan sama dengan menjaga keberlangsungan fungsi lingkungan hidup. Salah satu hutan yang harus dijaga adalah hutan mangrove yang berada di daerah pantai. Lingkungan hidup adalah bagian dari kehidupan manusia yang menjadi sumber penghidupan manusia. Permasalahan lingkungan hidup memang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas manusia. Masalah lingkungan hidup dewasa ini timbul karena kecerobohan manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masalah hukum lingkungan dalam periode beberapa dekade akhir-akhir ini menduduki tempat perhatian dan sumber pengkajian
163
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 76. 164
Jakarta.
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, cetakan pertama, Sinar Grafika,
198
yang tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional maupun internasional, karena dapat dikatakan Ia sebagai kekuatan yang mendesak untuk mengatur kehidupan umat manusia dalam kaitannya dengan kebutuhan sumber daya alam, dengan tetap menjaga kelanjutan dan kelestarian itu sendiri. Dua hal yang paling essensial dalam kaitannya dengan
masalah pengelolaan lingkungan hidup,
adalah timbulnya
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. 165 Hutan merupakan salah satu penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran bagi makhluk hidup. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang (Penjelasan Umum Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) sehingga ancaman kerusakan hutan menjadi ancaman bagi kehidupan makhluk hidup.
165
Nurdu’a M. Arief, Nursyam B. Sudharsono, 1991, Aspek Hukum Penyelesaian Masalah Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, Satya Wacana, Semarang, hal. 7.
199
BAB V PENUTUP
5.1
Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a.
Bentuk illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai adalah perbuatan menduduki kawasan hutan secara tidak sah yang didahului dengan perbuatan merambah hutan. Illegal occupation ini diikuti dengan pensertifikatan tanah hutan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai adalah faktor struktur hukum dan budaya hukum. Faktor struktur hukum meliputi kurangnya dukungan dan komitmen pimpinan terhadap polisi hutan yang melaksanakan tugas pengamanan hutan, sarana dan prasarana pengamanan hutan yang belum memadai, kemampuan polisi hutan yang masih kurang, keterbatasan tenaga PPNS di Dinas Kehutanan, adanya aktor-aktor intelektual di balik kasus ini, kurangnya koordinasi antara Dinas Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Tokoh Adat/masyarakat dan Notaris dalam mengamankan kawasan hutan menyebabkan kasus illegal occupation sulit ditanggulangi. Dari segi budaya hukum, illegal occupation juga disebabkan karena lemahnya pemahaman masyarakat mengenai arti sertifikat sehingga mereka yakin
bahwa
membeli
tanah
yang
bersertifikat
tidak
akan
200
menimbulkan masalah di kemudian hari. Selain itu juga karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang mendorong mereka untuk menduduki kawasan Tahura Ngurah Rai yang memang menjadi lokasi strategis, apalagi jika tanah tersebut dijual dengan harga yang murah. b.
Implementasi prinsip perlindungan hutan belum optimal dalam menanggulangi illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai. Belum optimalnya penegakan prinsip perlindungan hutan ini terletak pada kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan terhadap Tahura Ngurah Rai. Penegakan prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai dilakukan dengan pola kemitraan antara pemerintah dalam melakukan penegakan hukum preventif dan represif, tanggung jawab sosial badan usaha dan partisipasi masyarakat termasuk organisasi kehutanan yang berada di tengah-tengah masyarakat dan masyarakat hukum adat (sekala dan niskala) dalam menjaga kawasan hutan dari pendudukan secara tidak sah.
5.2
Saran Adapun hal-hal yang dapat disarankan dalam tesis ini adalah: a.
Diperlukan pengawasan oleh polisi kehutanan terhadap setiap perambahan yang dilakukan terhadap hutan, sebab kegiatan ini merupakan kegiatan awal dari illegal occupation dan dapat dilihat secara nyata. Diperlukan pula suatu pemahaman yang jelas bagi
201
pemerintah, penegak hukum dan masyarakat mengenai hutan mana saja yang dapat diokupasi dan dibangun, sebab pada dasarnya hutan konservasi tidak dapat diokupasi. Selain itu juga diperlukan kesatuan pemikiran mengenai apa saja yang termasuk dalam pendudukan yang sah dan yang mana menjadi illegal occuption. Setiap adanya izin dari Menteri
Kehutanan
untuk
membuka
lahan
hutan
hendaknya
dipublikasikan kepada publik. Notaris dan BPN hendaknya lebih berhati-hati dalam penerbitan sertifikat tanah dengan meneliti terlebih dahulu keaslian data dari pemohon. Untuk meningkatkan kinerja dari polisi kehutanan sebagai penegak hukum di bidang kehutanan maka terhadapnya perlu diberlakukan sistem reward and punishment sehingga polisi kehutanan yang berhasil menggagalkan atau menindak pelaku illegal occupation dapat diberikan semacam penghargaan sedangkan bagi mereka yang tidak melaksanakan kewajibannya hendaknya dikenakan sanksi. b.
Penegakan prinsip perlindungan hutan sangat diperlukan untuk menanggulangi illegal occupation. Oleh sebab itu, prinsip perlindungan hutan seharusnya dipahami dan dilaksanakan oleh semua stake holder. Pemerintah hendaknya memahami bahwa keberadaan hutan harus dipertahankan
untuk
menjamin
kesejahteraan
rakyat
dan
keberlangsungan lingkungan hidup. Penegakan prinsip perlindungan hutan oleh polisi kehutanan, hendaknya bukan hanya sekadar wacana melainkan memerlukan sistem komando yang jelas sehingga aparat di
202
bawahnya dapat melakukan penegakan hukum atas illegal occupation yang terjadi di kawasan Tahura Ngurah Rai. Penegak hukum juga memerlukan bantuan dari masyarakat untuk
mencegah illegal
occupation dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum. Selain itu juga diperlukan penelitian dan penyuluhan kehutanan kepada masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat dalam melindungi hutan juga perlu ditingkatkan dengan adanya penyuluhan di bidang kehutanan. Peranan masyarakat sangat diperlukan untuk melaporkan tindakan-tindakan permulaan dari segala bentuk pelanggaran terhadap prinsip illegal occupation. Keterlibatan masyarakat hukum adat dalam menjaga kawasan hutan juga perlu direvitalisasikan kembali.