BAB I PENDAHULUAN Arab Saudi sebagai negara dengan bentuk monarki absolut mengalami tantangan dalam mempertahankan legitimasinya. Masalah utama yang dihadapi Arab Saudi dengan bentuk monarki adalah negara ini tidak demokratis. Maka dari itu, diperlukan upaya-upaya Monarki Arab Saudi dalam mempertahankan legitimasinya. Upaya-upaya Monarki Arab Saudi terbukti mampu menghadapi tantangan-tantangan legitimasi kekuasasannya sehingga tetap kokoh berdiri sampai saat ini. Kekuasaan rezim Al Saud yang telah berkuasa dari 1932 sampai saat ini menjadi anomali bagi negara-negara dengan kekuasaan absolut bagi negara lain di Timur Tengah. A. Latar Belakang Arab Saudi merupakan negara dengan bentuk monarki absolut yang masih bertahan sampai saat ini di kawasan Timur Tengah. Bentuk monarki absolut menjadikan Arab Saudi sebagai negara yang tidak demokratis atau otoriter. Arab Saudi diresmikan sebagai Kerajaan Arab Saudi oleh Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud pada tahun 1932. Sejak saat itu, rezim Al Saud menjadi penguasa di Arab Saudi sampai sekarang. Raja Saudi merupakan pengambil keputusan yang utama. Raja mewakili semua kepentingan masyarakatnya, baik kepentingan di dalam negeri maupun kepentingan keluar. Peranan Raja Saudi sangat dominan yang diperlihatkan oleh posisinya sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Ketua Komisi Perencanaan Pembangunan Nasional, Ketua Majelis Al Syura, dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. 1 Raja Saudi diganti secara turun-temurun oleh keturunan al Saud lainnya. Menurut kebiasaan dan konvensi politik yang berlaku di lingkungan Monarki Arab Saudi, pergantian kekuasaan Raja Saudi dilakukan setelah wafat, dan umumnya raja pengganti berdasarkan senioritas. Putera mahkota dalam hal ini berkedudukan sebagai calon pengganti raja. Arab Saudi tidak mempunyai konsitusi sebagaimana umumnya sebuah
1
Lihat “Goverment and Administration” dalam The Kingdom of Saudi Arabia, terbitan resmi pemerintah Arab Saudi, 1996.
1
negara. Konstitusi Arab Saudi adalah Al Quran. 2 Arab Saudi merupakan negara yang mengandalkan minyak sebagai sumber pendapatan negara. Cadangan minyak Arab Saudi merupakan yang terbesar di dunia yaitu sebesar 260 miliar barrel atau seperlima cadangan minyak dunia.3 Hal ini yang menjadikan Arab Saudi mempunyai posisi penting baik di kawasan Timur Tengah maupun dunia internasional. Wilayah Arab Saudi merupakan yang terluas di kawasan Timur Tengah dengan luas kawasannya yaitu 2.149.690 km 2.4 Arab Saudi mempunyai dua kota suci umat Islam yaitu Mekah dan Madinah. Dua kota ini menjadikan Arab Saudi dikunjungi jutaan umat Islam di seluruh dunia untuk melaksanakan ibadah haji. Monarki Arab Saudi yang tidak demokratis mendapatkan tantangan dari berbagai pihak. Arus demokrasi yang menyebar secara luas menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Monarki Arab Saudi. Beberapa ancaman Monarki Arab Saudi yang pernah bergejolak dari dalam negeri yaitu Committe for the Defense of Legitimate Right (CDLR) dan Advice and Reformation Committe (ARC). CDLR dipimpin oleh Muhammad Al Masairi dan ARC dipimpin oleh Osama bin Laden. Pada tahun 1992, Muhammad Al Masairi bersama-sama dengan 107 cendekiawan dan beberapa syaikh mengajukan petisi untuk reformasi yang luas. 5 Petisi tersebut intinya sebagai sebuah politik protes yang menuntut perombakan dan perbaikan terhadap semua tatanan kehidupan Saudi. Sementara itu, ARC dibentuk oleh Osama bin Laden untuk menggulingkan pemerintahan monarki Arab Saudi yang memperbolehkan pasukan Amerika Serikat datang ke Arab Saudi. Tujuan kedatangan pasukan AS yaitu memberikan perlindungan bagi Arab Saudi apabila pasukan Irak menyerang Arab Saudi setelah invasi Irak ke Kuwait pada Perang Teluk II.6 Selain dengan dua kelompok tersebut, Monarki Arab Saudi juga berhadapan dengan oposisi Syiah. Pada tahun 1993, kaum minoritas Syiah membuat perjanjian dengan pemerintah Arab Saudi. Di dalam perjanjian tersebut 2
Lihat “Goverment and Administration” dalam The Kingdom of Saudi Arabia, terbitan resmi pemerintah Arab Saudi, 1996. 3 Lihat http://www.eia.gov/countries/country-data.cfm?fips=SA, diakses tanggal 27 Juli 2013. 4 Lihat https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/sa.html, diakses tanggal 27 Juli 2013. 5 Anoar Boukhars, Crisis of Legitimacy in Saudi Arabia, Presented at International Studies Association, Nevada, 10-11 Oktober 2005, hal. 5. 6 Sidik Jatmika, AS Penghambat Demokrasi: Membongkar Standar Ganda Amerika Serikat, Bigraf Publishing, Yogyakarta 2001, hal. 91.
2
termasuk keprihatinan yang sama terhadap serangan kaum radikal yang menyerang pemerintah Arab Saudi maupun minoritas Syiah. Sebenarnya perjanjian ini tidak sepenuhnya diterima oleh kaum minoritas Syiah. Sehingga, kaum Syiah Arab Saudi tetap mengambil posisi oposisi yang menentang kekuasaan monarki Arab Saudi. Pasca pengeboman yang terjadi di pangkalan militer Dhahran pada 25 Juni 1996, aksi protes dilakukan oleh kelompok Hizbullah Arab Saudi dan juga kelompok oposisi lainnya yang menuntut reformasi di Arab Saudi. Akan tetapi aksi tersebut tidak mendapat tanggapan dari rezim monarki Arab Saudi.7 Pergolakan-pergolakan yang menentang kekuasaan Monarki Arab Saudi sampai saat ini masih dapat diatasi oleh pemerintah Monarki Arab Saudi sehingga pengaruhnya tidak meluas. Pemerintah Monarki Arab Saudi menggunakan caracara non-demokratis untuk meraih otoritas dan legitimasi karena mereka tidak yakin bahwa cara-cara demokratis dapat digunakan secara efektif untuk menyelesaikan berbagai masalah politik yang dihadapinya. Amien Rais mencatat, bahwa sebagaian besar negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi masih harus berjuang mengatasi masalah-masalah otoritas, identitas, dan ekualitas.8 Hal ini sesuai dengan pendapat Michael C. Hudson menjelaskan tentang tiga permasalahan yang ada di negara-negara Timur Tengah yaitu otoritas, identitas, dan ekualitas.9 Krisis tersebut pada umumnya muncul akibat rendahnya derajat demokrasi, yang berimplikasi pada rendahnya tingkat demokratisasi di Arab Saudi, khususnya rendahnya tingkat partisipasi politik warga negara. Nampaknya rendahnya tingkat otoritas dan legalitas penguasa Arab Saudi juga ditandai atau disebabkan oleh adanya krisis identitas atau krisis kesetiaan warga negara. Rakyat Saudi sebagaimana negara-negara Arab lainnya mengalami krisis kesetiaan, dimana orientasi politik rakyat mengalami pergulatan kesetiaan antara ikatan sebagai anggota komunitas politik nasional dan kesetiaan yang bersifat subnasional atau supranasional.10 Akan tetapi, jika penguasa Monarki Arab Saudi
7
John L. Esposito, (ed), Langkah Barat Menghadang Islam, Jendela Yogyakarta, 2004, hal.85-86. Sidik Jatmika, op.cit., hal. 77. 9 Michael C. Hudson, The Legitimacy Problem in Arab Politics, New Haven and London: Yale University Press, 1977, hal. 1. 10 Sidik Jatmika, op.cit. hal 78. 8
3
dapat menjamin fasilitas kesejahteraan dan sistem kebijakan yang lebih dianggap adil oleh rakyatnya, maka krisis kesetiaan tidak mudah terjadi. Pada beberapa tahun ini, negara-negara di kawasan Timur Tengah mengalami pergolakan politik atau disebut Arab Spring. Pergolakan ini dialami oleh negara-negara dengan bentuk pemerintahan otoriter seperti pemerintahan Ben Ali di Tunisia, Muammar Gaddafi di Libya, Hosni Mubarok di Mesir, dan Bashar Al Assad di Suriah. Penguasa negara-negara tersebut berusaha digulingkan oleh rakyatnya.11 Masyarakat di negara-negara tersebut melakukan demonstrasi besar menuntut adanya perubahan kekuasaan ke arah yang lebih demokratis. 12 Tekanan lainnya datang dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan sekutunya yang mendukung adanya demokratisasi di negara-negara otoriter ini. Di tengah pergolakan terhadap legitimasi negara-negara dengan kekuasaan otoriter di kawasan Timur Tengah, Arab Saudi menjadi salah satu negara yang tidak mengalami demonstrasi secara besar-besaran dan tekanan-tekanan besar dari negara-negara Barat. Pemerintahan Raja Saudi tetap kokoh mempertahankan legitimasinya di tengah keterpurukan negara-negara otoriter lainnya. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini yaitu: Bagaimana upaya Monarki Arab Saudi mempertahankan legitimasinya? C. Kerangka Berpikir Untuk
mengkaji
bagaimana
Arab
Saudi
dapat
mempertahankan
legitimasinya sampai sekarang, peneliti menggunakan konsep legitimasi sebagai kerangka berpikir. Legitimasi dalam suatu pemerintahan merupakan hal yang sangat vital. Menurut Max Webber, tanpa adanya legitimasi, sebuah peraturan, rezim, atau sistem pemerintahan akan sulit sehingga membutuhkan tenaga ekstra untuk mencapai suatu kapabilitas dalam mengatasi konflik. Hal ini sangat esensial bagi kestabilan jangka panjang sebuah negara dengan pemerintahan yang baik. Legitimasi disini secara sederhana diartikan sebagai hak moral seseorang atau 11
Uriel Abulof, What is the Arab Third Estate?, The Hauffington Post, 10 Maret 2011, lihat http://www.huffpost.com/us/entry/832628, diakses tanggal 28 Juli 2013. 12 Richard falk, Tears for ‘The Arab Spring’?: Recalling the Orientalist overview, Al Jazeera, 22 Juli 2013, lihat http://www.aljazeera.com/story2013721101621588211, diakses tanggal 27 Juli 2013.
4
suatu rezim pemerintahan untuk memimpin dan mengatur negaranya dan mendapatkan dukungan serta rasa hormat dari warga negaranya.13 Menurut Hudson, sumber legitimasi bagi para pemimpin di dunia Arab terbagi menjadi dua yakni internal dan eksternal. Sumber legitimasi internal beberapa negara Arab adalah identitas mereka sendiri sedangkan legitimasi eksternal dapat diperoleh dari pengaruh dari luar seperti perspektif ancaman, kekuatan, janji dan dukungan dari rezim negara tetangganya. Serta legitimasi juga diberikan kepada mereka yang setia terhadap dukungan kepada perjuangan Palestina.14 Untuk menjelaskan permasalahan legitimasi yang ada di negara-negara Timur Tengah, Hudson menggunakan tiga pendekatan modernisasi dalam sistem politik yaitu, model transformasionis, mosaik dan mobilisasi sosial. Model transformasionis menjelaskan tentang perubahan mendasar masyarakat dari tingkat tradisional menuju tingkat rasional melalui jalan revolusi. Artinya masyarakat Arab sekarang sedang mengalami modernisasi melalui revolusi yang nantinya akan menghapus nilai-nilai tradisional dan menumbuhkan nilai-nilai baru yang bersifat lebih rasional. Namun hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi negara-negara Arab karena pada kenyataannya nilai-nilai tradisional dalam masyarakat masih sangat kental dan sulit untuk dihapuskan. Namun bukan berarti nilai-nilai baru yang rasional tidak bisa ditumbuhkan karena berdasarkan pandangan Marxis-Liberalis, dasar-dasar fundamental yang kuat nantinya akan dapat menggerakkan kesadaran masyarakat dan mendorong pada munculnya legitimasi yang baru dan rasional.15 Model kedua adalah mosaik dimana model ini sangat bertentangan dengan model pertama. Model ini menjelaskan bahwa revolusi akan menghasilkan legitimasi yang baru dan rasional itu tidak mungkin terjadi, kecuali jika dengan menggunakan kekuatan yang besar dan usaha-usaha yang brutal dan koersif. Sebaliknya model ini menganggap bahwa nilai-nilai primordial akan akan terus
13
Michel C. Hudson, Arab Politics : The Search for Legitimacy. New Haven & London: Yale University Press. Chapter 1 : The Legitimacy Problems in Arab Politics. 1977, hal.1-2. 14 Michel C. Hudson, ibid., hal.5. 15 Michel C. Hudson, ibid., hal. 7-8.
5
ada di tengah-tengah arus modernisasi dan dikendalikan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan besar.16 Kemudian model yang ketiga yakni mobilisasi sosial yang menjelaskan bahwa modernisasi merupakan hal yang kontradiktif yaitu terkadang berguna dan terkadang memperburuk legitimasi. Dikatakan berguna ketika modernisasi semakin menuntut adanya integrasi politik dalam negeri yang sejalan dengan perkembangan ekonomi, media massa, pendidikan, urbanisasi. Kesemuanya itu mengarah pada politisasi institusi publik dan nantinya membutuhkan pembagian elit untuk mengatur berbagai bidang. Ketika elit semakin berintegrasi dengan masyarakat dalam hal pengakomodasian berbagai bidang maka legitimasi akan semakin mudah dicapai. Sebaliknya modernisasi juga dapat menghambat legitimasi, ketika akibat perkembangan sistem informasi yaitu banyaknya muncul kelompok-kelompok yang mengatasnamakan etnis, agama, bahasa. Hal ini tentu dapat melemahkan legitimasi pemerintah itu sendiri.17 Secara garis besar, legitimasi pemimpin Arab didapatkan dari proses tradisi, positive affectual, kepercayaan rasional terhadap suatu nilai, emosi dan pengakuan terhadap legalitas. Namun yang paling banyak digunakan adalah legitimasi berdasarkan kekuasaan yang legal. Kelegalan ini biasanya berdasarkan nilai-nilai Islam yang sudah sekian lama terintegrasi dalam sistem pemerintahan dan kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga agama seringkali dijadikan alat untuk menyatakan legitimasi suatu pemerintahan.18 Adapun strategi yang dilakukan untuk membangun legitimasi adalah dengan cara personal, ideologis dan struktural. Cara-cara personal yang dimaksud disini seperti tokoh yang kuat dan dicintai masyarakat, misalnya Ayatollah Khomeini di Iran yang menjadi simbol kebanggaan dan semangat masyarakat setempat. Kemudian secara ideologi, legitimasi dibangun melalui Islam dimana Islam merupakan agama sekaligus ideologi dalam sistem perpolitikan negara Arab. Kemudian secara struktural berarti legitimasi yang dibangun berdasarkan susunan prosedur bagi para pengikutnya. Hal tersebut memiliki peran yang cukup signifikan karena keberhasilan birokrasi (struktur pemerintahan) dalam mengatur 16
Michel C. Hudson, ibid., hal. 9. Michel C. Hudson, ibid., hal. 12. 18 Michel C. Hudson, ibid., hal. 17. 17
6
masyarakatnya dapat dijadikan dasar legitimasi untuk kembali memimpin negara tersebut.19 Rendahnya legitimasi negara juga dapat dipertahankan apabila negara tersebut mendapatkan perlindungan (back up) dari negara-negara tau rezim yang kuat secara ekonomi atau militer. Dukungan dari rezim tetangga merupakan sumber legitimasi eksternal. Dukungan dari negara yang memiliki power besar akan memberikan jaminan kepada negara lain yang lebih lemah. Akan tetapi ada konsekuensinya yaitu adanya timbal balik yang menguntungkan untuk negara yang lebih kuat. Untuk mengalisis hubungan Arab Saudi dengan Amerika Serikat, penulis menggunakan konsep Aliansi. Aliansi menurut Stephen Walt yaitu komitmen formal atau informal dalam kerjasama keamanan antara dua negara atau lebih.20 Sementara itu Joseph S. Nye menyatakan bahwa aliansi merupakan kesepakatan formal ataupun informal negara-negara berdaulat yang bergabung dengan satu sama lainnya untuk menjamin keamanan bersama mereka.21 Mereka dapat termotivasi oleh urusan militer karena dua negara kelas menengah akan menjadi lebih terjamin menghadapi ancaman dari negara yang lebih besar dengan bentuk aliansi. Aliansi terbentuk tidak hanya karena urusan militer, tetapi dapat terbentuk juga karena ideologi, konflik, dan urusan ekonomi. Misalnya dalam aliansi Amerika Serikat dengan Jepang. Aliansi ini memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat sehingga dapat mendirikan pangkalan militer di Okinawa, Jepang. D. Argumentasi Utama Berdasarkan kerangka berpikir dan fakta yang telah dijabarkan di bagian sebelumnya, maka penulis mempunyai argumentasi utama sebagai berikut. a. Wahhabi sebagai sumber legitimasi Arab Saudi berhasil mempertahankan eksistensi Monarki Arab Saudi sampai saat ini.
19
Michel C. Hudson, ibid., hal. 19. Stephen M. Walt, Why Alliances Endure or Collapse, Survival 39/1 (Spring 1997), hal. 157. 21 Joseph S. Nye Jr., Undestanding International Conflict: An Introduction to Theory and History, Sixth Edition, Pearson Longman, 2007, hal. 69. 20
7
b. Minyak sebagai sumber kemakmuran Arab Saudi berperan penting dalam menjaga legitimasi Monarki Arab Saudi dari tantangan legitimasi yang ada. c. Legitimasi
yang
rendah
dari
pemerintah
Monarki
Arab
Saudi
membutuhkan perlindungan (back up) dari negara besar yaitu Amerika Serikat. E. Metode Penelitian Penulisan skripsi selanjutnya akan terdiri dari beberapa proses: 1. Proses pengumpulan data Dalam proses pengumpulan data, penulis akan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk menjelaskan norma, nilai atau sikap yang berkaitan dengan subjek penelitian yang diperoleh dari beberapa sumber seperti sumber literatur, artikel maupun jurnal internet. Misalnya pengaruh Wahhabi terhadap Monarki Arab Saudi dan masyarakatnya, aliansi yang dibentuk Arab Saudi dengan Amerika Serikat dan lain sebagainya. Sedangkan metode penelitian kuantitatif digunakan untuk mengumpulkan data-data yang berasal dari hasil survei dan hasil-hasil pengamatan yang berbasis angka, baik berupa grafik, tabel maupun presentase misalnya jumlah produksi minyak Arab Saudi, pendapatan per kapita penduduk Arab Saudi, jumlah pembelian senjata antara Arab Saudi dengan Amerika Serikat, jumlah ekspor minyak Arab Saudi ke Amerika Serikat dan lain sebagainya. 2. Proses pengolahan data Dalam
proses
pengolahan
data,
penulis
akan
melakukan
pengolahan data yang disesuaikan dengan tujuan dari penulisan skripsi pada
tahap
selanjutnya.
Penulis
akan
menggolongkan
data,
mengidentifikasi dan menghubungkan data-data yang diperoleh. Misalnya penulis akan menggolongkan data berdasarkan faktor-faktor penyebab bertahannya legitimasi Arab Saudi sampai saat ini, mengidentifikasi faktor-faktor tersebut, dan menghubungkan data-data dengan teori yang ada. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan apakah faktor tesebut berpengaruh terhadap eksistensi Monarki Arab Saudi atau tidak.
8
3. Proses pelaporan data Dalam proses ini penulis akan menggabungkan data yang telah dikumpulkan dan diolah dalam penjelasan yang sistematis, besifat deskriptif analitis.
9