BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Islam merupakan salah satu agama besar di dunia saat ini. Bermula dari kawasan Saudi Arabia, yaitu pada dua kota utama yaitu Kota Mekah tempat Rasul Muhammad dilahirkan dan Madinah sebagai pusat perkembangan awal Islam. Di Kota Madinah inilah terjalinnya integrasi sosioreligius antara kaum muhajirin (pendatang) dan anshor (penduduk Madinah). Mereka dipersatukan Rasul Muhammad berdasarkan konsep persaudaraan. Proses migrasi Nabi Muhammad dan para pengikutnya dari Mekah ke Madinah ini menjadi dasar dari sistem kalender Hijriah Islam. Akhirnya Islam berkembang keseluruh Jazirah Arab, Persia, Asia Selatan, China, Eropa Barat dan Timur, Nusantara (Asia Tenggara), dan kini ke seluruh penjuru dunia. Islam adalah agama yang paling pesat perkembangan jumlah pengikutnya dalam beberapa abad terakhir ini. 1
1
Di dunia ini, manusia ada yang beragama dan ada juga yang tidak beragama, namun sebahagian besar adalah beragama. Secara kuantitas, masyarakat yang tidak beragama berada pada peringkat ketiga dengan jumlah persentase 16 persen dari keseluruhan penduduk dunia. Yang menarik adalah setengah dari kelompok ini, percaya kepada Tuhan namun tidak mengikuti agama tertentu. Agama Yahudi yang jumlah pemeluknya memiliki persentase 0,22 % dari jumlah penduduk dunia berada pada peringkat terakhir dalam daftar agama-agama resmi dunia. Walaupun di Dunia Barat gereja-gereja yang tinggi menjulang banyak dibangun untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Kristiani, namun saat ini perkembangan agama Islamlah yang mengalami kemajuan pesat dan perselisihan serta perbedaan yang ada di tengah umat Islam pun semakin berkurang dibanding dengan agama-agama lain. Dengan mengingat segala permasalahan ekonomi dan berbagai problem lainnya yang terjadi pada negara-negara Islam, agama ini mampu berada pada peringkat kedua dalam daftar agama dengan jumlah penganut terbanyak. Berdasarkan laporan situs Baztab di Iran, hasil surveinya memperlihatkan agama Kristen menguasai 33 persen masyarakat dunia namun mereka mengalami perpecahan yang lebih besar dan lebih prinsipil dibanding agamaagama lainnya. Agama Kristen sekarang terpecah menjadi berbagai macam aliran yang berbedabeda seperti Katolik, Protestan, Ortodoks Timur, Anglikan, Evangelis, Pantekosta, dan lain sebagainya. Islam yang dipeluk oleh sekitar 21 persen dari penduduk dunia termasuk Suni, Syiah dan beberapa mazhab lainnya menempati agama kedua dengan penganut terbanyak setelah agama
Universitas Sumatera Utara
Kebesaran Islam bukan hanya terlihat dari jumlah pengikutnya namun Islam juga memiliki banyak aliran yang berbeda dalam menafsirkan dan mengamalkan perintah dalam Al-Qur’an dan Hadits. Yang paling jelas ada dua aliran dalam Islam yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah atau lazim disebut kelompok Suni dan Syiah atau Syi’i. Di dalam masyarakat muslim Suni sendiri terdapat empat mazhab besar berdasarkan imam yang mereka ikuti, yaitu:Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi’i. Demikian pula di dalam masyarakat muslim Syiah terdapat berbagai aliran lagi. Islam adalah agama samawiyah 2 yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Inti ajarannya adalah percaya kepada Allah Yang Ahad, yang diucapkan dan dibenarkan dalam hati yaitu Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah Utusan(Rasul) Allah (La ilaha ilallah Muhammadarrasulullah). Di dalam Islam juga dikenali dua rukun utama agama ini, yaitu rukun Islam dan rukun Iman. Rukun Islam adalah syariat dalam bentuk lima aktivitas, yaitu: (a)
Kristen. Orang-orang yang tidak beragama berada pada peringkat ketiga dengan persentase 16 persen dari jumlah penduduk dunia, termasuk di antaranya mereka yang tidak percaya kepada Tuhan, orang-orang sekuler, dan yang menyembunyikan keyakinannya. Yang menarik adalah setengah dari mereka ternyata percaya kepada Tuhan walaupun tidak meyakini agama mana pun. Agama Hindu berada pada peringkat keempat dengan jumlah pengikut sebanyak 14 persen dari jumlah penduduk dunia. Diikuti agama Buddha, agama tradisional Cina dan kepercayaankepercayaan tradisional masyarakat Afrika yang masing-masing memiliki jumlah persentase sebanyak 6 persen. Agama Sikh dengan 0,36 persen komunitasnya menempati peringkat berikutnya dan Yahudi ternyata menempati peringkat paling akhir dari daftar agama-agama dunia menurut jumlah pengikutnya. [icc-jakarta.com] 2 Istilah samawiyah ini berasal dari konsep Islam, yang mengandungi makna sebagai agama yang berdasar kepada wahyu yang diturunkan Tuhan melaluii-nabi. Istilah ini juga merujuk kepada agama Islam, Kristen, dan Yahudi. Secara harfiah samawiyah artinya adalah langit. Konteks makna kata ini adalah agama wahyu yang diturunkan dari langit, yaitu dari Allah. Di sisi lain ada pula istilah agama ardhiyah yaitu agama-agama yang muncul, tumbuh, dan berkembang di dunia ini. Faktor budaya dan peradaban manusia menjadi faktor utama tumbuhnya agama-agama ardhiyah ini.
Universitas Sumatera Utara
mengucap dua kalimah syahadat, (b) melaksanakan salat, (c) melaksanakan puasa; (d) menunaikan zakat; dan (e) melakukan ibadah haji bagi yang mampu. 3 Selanjutnya dikenal pula rukun iman yaitu berupa keyakinan, yang terdiri dari: (a) iman kepada Allah, yaitu patuh dan taat kepada ajaran dan hukum-hukum Allah; (b) iman kepada malaikat-malaikat Allah, artinya mengetahui dan percaya akan keberadaan kekuasaan dan kebesaran Allah di alam semesta; (c) iman kepada kitab-kitab Allah, berupa melaksanakan ajaran kitab-kitab Allah hanif. Salah satu kitab Allah adalah Al-Qur'an, yang memuat tiga kitab Allah sebelumnya, yaitu kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil; (d) iman kepada Rasulrasul Allah, yaitu mencontoh perjuangan para Nabi dan Rasul dalam menyebarkan dan menjalankan kebenaran yang disertai kesabaran, (e) iman kepada hari kiamat, yaitu faham bahwa setiap perbuatan akan ada pembalasan, dan (f) iman kepada qada dan qadar. Paham pada keputusan serta kepastian yang ditentukan Allah pada alam semesta. Di lain sisi rukun iman berikut ini adalah menurut aliran Islam Syiah (dikenal sebagai ushulluddin yaitu prinsip-prinsip keimanan) terdiri dari: (1) Attauhid yaitu keesaan Allah, (2) Al-adhalah yaitu keadilan Allah, (3) An-nubuwah yaitu kenabian, (4) Al-imamah yaitu kepemimpinan pasca Nabi Muhammad SAW., dan (5) Al-ma'ad. Aktivitas Islam secara umum dapat terlihat dari pengamalan 5 (lima) rukun Islam yang wajib dilaksanakan sebagai bentuk rasa
3
Dalam dunia sufi (tarekat) aktivitas-aktivtas ini disebut dengan syariat. Namun secara umum, sufi apapun alirannya di dalam Islam, selalu menekankan bahwa ibadah tidak cukup hanya dengan mengerjakan syariat saja, namun harus lebih dalam dan bermakna dari sekedar aktivitas itu, yaitu dalam tingkatan tarekat, hakikat, dan makrifat. Peringkat pelaksanaan ibadah ini yang didasari oleh zikir adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Universitas Sumatera Utara
patuh kepada Allah dengan mencontoh segala amal perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dalam mencontoh segala amalan yang dilakukan oleh Rasul tidak hanya terbatas oleh bentuk pelaksanaannya secara lahiriah saja namun bentuk amalan itu juga harus disertai dengan mencontoh rasa batiniahnya Rasul. Hal inilah yang banyak menjadi perbincangan diberbagai aliran di dalam Islam tentang bagaimana melakukan pendekatan tentang maksud dari tiap-tiap ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, karena Al-Qur’an tidak hanya dapat dimaknai dengan arti tersurat saja namun lebih jauh dari pada itu Al-Qur’an memiliki makna tersirat yang lebih mendalam. Sebagai contoh dalam kitab suci Al-Qur’an mengatakan bahwa orang-orang yang beruntung adalah orang yang bertawakal dan khusuk dalam salatnya. Oleh karena itu berbagai aliran Tarekat dalam Islam mencoba mendekatkan faham tentang rasa khusuk dan tawakal ini dalam aktivitas peribadatannya. Pengertian Tarekat 4 sebagaimana yang berkembang di kalangan ulama ahli tasawuf adalah “jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. dan yang dicontohkan beliau serta dikerjakan oleh para sahabatnya, tabiin, tabiit tabiin, dan
4
Penulisan tarekat ini adalah transliterasi dari kata dalam bahasa Arab, yaitu Kata ini kadangkala dalam teks-teks berbahasa Indonesia atau Melayu yang ditulis dengan huruf Latin atau Romawi menjadi thoriqot, thoriqat, thariqot, tharikat, tariqat, dan tarekat itu sendiri. Dalam tesis ini penulis memilih tarekat seperti yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka Jakarta 1980. Untuk selanjutnya walaupun ini istilah dalam bahasa Arab penulis tidak menulisnya huruf miring (italic) dalam tesis ini karena pada bab ini dan seterusnya akan banyak mengulang kata tarekat, jadi cukup ditampilkan sekali saja. Begitu juga dengan penulisan kata munajat, yang ditulis huruf miring pada awal tampilanhnya saja.
Universitas Sumatera Utara
secara turun temurun sampai kepada guru-guru, ulama-ulama, secara bersambung dan berantai hingga pada masa sekarang ini.” (Imron Abu Amar, 1980:1). Sebuah contoh diketahui umum di dalam Islam bahwa di dalam AlQur’an hanya dapat dijumpai adanya ketentuan kewajiban salat, tetapi tidak ada satu ayat pun yang memberikan perincian tentang rakaat salat tersebut. Misalnya salat Zuhur 4 rakaat, Ashar 4 rakaat, Maghrib 3 rakaat, Isya 4 rakaat, dan Subuh 2 rakaat. Demikian juga terhadap syarat dan rukunnya salat-salat wajib tersebut. Rasulullah sebagai orang yang pertama yang memberikan contoh-contoh dan cara-cara salat tersebut melalui perbuatan yang dipertunjukkan dan ditiru oleh para shahabatnya terus dienkulturasikan kepada umat Islam lainnya dan dikekalkan hingga sekarang ini melalui ajaran dan petunjuk yang diberikan oleh para guru, syeikh, dan ulama. Ini tidaklah ditafsirkan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok hukum Islam tidak lengkap, sunnah Rasul dan ilmu fiqih yang disusun para ulama tidak sempurna, tetapi sebenarnya masih banyak penjelasan yang dibutuhkan umat agar pelaksanaan peraturan dan ketentuan Allah dan Rasulullah dapat dikerjakan secara teratur, bukan menurut penerimaan atau penangkapan akal bagi orang yang hanya mampu membaca, menghayati, dan memahami yang pada akhirnya orang ini akan mengerjakan syariat Islam sesuai dengan kemauan hawa nafsunya sendiri. Demikian landasan berpikir kaum Tarekat dalam Islam. Selain itu, Tarekat adalah termasuk ke dalam ilmu mukasyafah, yang dapat memancarkan cahaya ke dalam hati para penganutnya. Sehingga dengan cahaya itu terbukalah segala sesuatu yang terdapat di balik rahasia ucapan-ucapan
Universitas Sumatera Utara
Nabi Muhammad. Demikian pula halnya terhadap sesuatu yang ada di balik rahasia Allah. Adapun tujuan mengamalkan Tarekat sebagaimana yang lazim dikerjakan oleh para jemaahnya, ada beberapa hal. Di antaranya adalah: (a) mengadakan latihan jiwa (riyadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat tercela dan diisi sifat terpuji, (b) selalu mewujudkan rasa ingat kepada Allah melalui amalan wirid dan zikir diikuti tafakur yang terus menerus dikerjakan, (c) timbul rasa takut kepada Allah sehingga menghindarkan diri dari segala macam pengaruh duniawi yang menyebabkan lupa kepada Allah, (d) akan dapat mencapai tingkat alam makrifat, sehingga dapat mengetahui segala rahasia di balik tabir cahaya Allah dan RasulNya secara jelas, (e) dapat diperoleh apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidup ini (Imron Abu Amar, 1980:12-13). Adapun landasan pengamalan Tarekat dalam Islam adalah mengutip Surah Al-Jin ayat ke-16, seperti berikut ini.
Artinya: Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak) Ayat ini oleh para ulama ahli Tarekat dijadikan pegangan hukum dasar melaksanakan amalan-amalan yang diajarkan. Meskipun masih ada sebahagian orang yang menentang dijadikannya ayat ini sebagai dasar hukum Tarekat.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian dari sisi materi pokok amalan Tarekat yang berupa wirid zikrullah (berzikir), sesuai firman Allah dalam Qur’an sebagai berikut.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah; zikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya waktu pagi dan petang (Q.S. Al-Ahzab: 41-42)
Memperhatikan ayat di atas, maka dengan jelas Allah telah memerintahkan kepada semua orang yang beriman untuk tetap senantiasa berzikir dengan menyebut asma Allah. Kegiatan ini dilakukan sepanjang waktu, siang atau malam, pagi atau petang. Aliran Tarekat mendekatkan faham tersebut dengan melakukan berbagai cara, mulai dengan melakukan tarian untuk merasakan gerakan jiwa, merasakan ketentraman hati tatkala berzikir dan mengikhlaskan harta pada saat sedekah. Semua ini dilatih agar dapat mencapai tingkat kepasrahan kepada Yang Maha Pengasih. Walaupun sedikit kontroversial tetapi inilah jalan yang ditempuh oleh para sufi agar dapat lebih ikhlas, sabar dan bersyukur akan nikmat yang diberikan Allah SWT. Di dalam konteks Dunia Islam, terdapat berbagai aliran Tarekat. Di antaranya adalah Jabariyah, Samaniyah, Mauwaliyah (Mevlevi), Naqsyabandiah, dan lain-lainnya. Inti ajarannya adalah sama secara umum, yakni mendekatkan diri kepada Allah melalui zikir. Namun terdapat variasi-variasi dalam tata cara pengamalannya.
Universitas Sumatera Utara
Aliran Tarekat Naqsyabandiah adalah Tarekat dengan jalan melakukan amalan dengan mengasingkan diri (berkhalwat) dari keramaian dan melakukan zikir sampai ribuan kali setiap harinya. Mengasingkan diri ini dilakukan mencontoh aktifitas yang dilakukan Rasul ketika menerima wahyu dari Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril di gua Hira. Berdasarkan sejarah inilah para penganut Tarekat Naqsyabandiah melakukan zikir di suatu tempat yang dinamakan dengan suluk. Tarekat Naqsyabandiah ini salah satu yang terkenal di Nusantara dan Dunia Islam adalah Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat, Sumatera Utara, Indonesia. Pada Tarekat Naqsyabandiah Babussalam ini, ada amalan-amalan berupa zikir yang disebut suluk tadi, haul yaitu memperingati hari wafatnya Tuan guru Syekh Abdul Wahab Rokan Khalidy Naqsyabandy, salat berjamaah, tausyiyah (ceramah tau siraman rohani) agama oleh para ulama Tarekat ini, azan untuk memulakan salat, penggunana nakus (kentongan) sebelum masuknya azan. Yang menarik secara religius adalah bahwa di dalam Tarekat Naqsyabandiah Babussalam ini terdapat aktivitas munajat.
Secara etimologis
munajat artinya adalah doa atau permohonan doa, merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari ritual ibadah oleh agama dan kepercayaan manapun. Melalui perantaraan doa, setiap individu meminta kepada yang kuasa tentang segala hal yang diinginkannya. Oleh karena meminta adalah suatu proses mengharapkan akan sesuatu maka di dalam memanjatkan doa setiap individu, kelompok maupun suatu agama tertentu memiliki aturan, persepsi, dan syarat yang dianggap wajib dilakukan agar doa tersebut terkabulkan. Demikian pula halnya pada aliran
Universitas Sumatera Utara
sufistik Tarekat
Naqsyabandiah
yang memiliki cara yang berbeda dalam
menyampaikan doanya. Pelaksanaan munajat pada Tarekat Naqsyabandiah Babussalam sedikit berbeda dengan pelaksanaan munajat pada umat Islam secara umum. Biasanya pada masyarakat Islam umum, munajat tidak dilakukan dengan bersenandung dan isi dari munajat secara langsung merupakan permohonan kepada Allah. Namun pada Tarekat Naqsyabandiah Babussalam selain munajat tersebut disenandungkan juga permohonan kepada Allah melalui perantaraan guru dan syekh yang dianggap suci dan keramat. Sudah menjadi kebiasaan sejak Desa Babussalam dibangun, apabila kirakira setengah jam lagi waktu Salat Maghrib, Subuh, dan Jum’at masuk, bilal 5 mengumandangkan munajat di atas menara Madrasah besar dengan suara yang merdu dan lantang. Demikian pula menjelang Isya pada bulan Ramadhan, Munajat ini terdiri dari 44 (empat puluh empat) bait yang pada dasarnya mengandung puji-pujian kepada Allah, doa mohon ampun dan kelapangan hidup dunia akhirat dengan berkat Syekh-Syekh Tarekat Naqsyabandiah serta Wali-Wali Allah yang keramat dan Saleh. Syair-syair munajat diciptakan oleh tuan guru pertama yaitu Syekh4 Abdul Wahab Rokan Khalidy Naqsyabandy semasa hidupnya. Pembacaan
5
Bilal adalah petugas keagamaan Islam yang mengumandangkan azan baik di dalam mesjid atau di atas menara (minaret), sebagai indeks atau tanda akan masuknya sholat wajib atau sunat lainnya seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Istilah bilal ini adalah merujuk kepada nama pengumandang azan Islam yang pertama kali yaitu Bilal bin Rabba. Istilah bilal juga disinonimkan dengan istilah muazin, yang maknanya adalah pengumandang azan (pertanda akan sholat). Umat Islam dalam membuat tanda akan segera masuk ibadah sholat ini adalah melalui azan. sedanagkan umat Kristiani tanda masuknya ibadah melalui bunyi lonceng gereja. Kemudian umat Yahudi memberi tanda masuknya ibadah di synagog melalui tiupan terompet.
Universitas Sumatera Utara
munajat ini dimulai sejak masa kampung Babussalam pertama kali didirikan yaitu pada tanggal 15 Syawal 1300 H dimana Syekh Abdul Wahab dengan keluarga serta murid-muridnya yang berjumlah 130 (seratus tiga puluh) orang Hijrah dengan menggunakan 13 (tiga belas) perahu ke daerah tersebut. Di Tarekat Naqsyabandiah Babussalam, istilah munajat mengacu kepada 2 (dua) pengertian yaitu munajat sebagai senandung yang dibacakan setiap hari diatas menara madrasah menunggu waktu salat tiba yang dilakukan bergantian oleh 3 (tiga) sampai 4 (empat) orang dan yang kedua munajat yang dibacakan sebelum ritual zikir di dalam suluk dimulai. Keunikan yang ada dalam pembacaan munajat ini menjadikan munajat menjadi salah satu ciri khas dari Tarekat Naqsyabandiah Babussalam. Pembacaan munajat ini tetap dilakukan bukan saja di Babussalam namun di Masjid dan surausurau yang jamaahnya menganut faham Tarekat ini akan mengumandangkan munajat untuk menunggu waktu salat subuh, Maghrib dan salat Jum’at tiba. Budaya pembacaan munajat ini bagi masyarakat Naqsyabandiah menjadi penting karena disamping sebagai wujud kepatuhan murid kepada sang guru yang menganjurkannya juga munajat merupakan perwujudan tradisi kepercayaan yang telah dibangun oleh ajaran Tarekat ini ratusan tahun bahkan ribuan tahun yang lampau yang disebut dengan rabhithah dan wasilah. Pembacaan senandung munajat telah dilakukan berulang kali pada setiap harinya di madrasah Babussalam, namun sejauh pengamatan penulis belum ada suatu panduan tentang peraturan dalam pembacaan senandung munajat ini bila ditinjau dari aspek melodinya.
Universitas Sumatera Utara
Anggapan sementara penulis munajat sangat berhubungan erat dengan tradisi budaya seni dan sastra. Hal ini dapat terlihat dari modus melodi yang digunakan tatkala menyenandungkannya maupun dari unsur sastra dalam penggunaan kata dalam syairnya. Didalam menyenandungkannya Munajat menggunakan aspek musikal Melayu yang dipengaruhi oleh unsur tekhnik vokal Arabian seperti modus atau maqam rast, sika, nahwa, dan hijaz. Demikian pula bila ditilik dari penggunaan kata dan sastranya yang digunakan tidak terlepas dari pengaruh budaya sastra Melayu dan unsur filosofi Tarekat Naqsyabandiah. Keberadaan
munajat
dalam
kelompok
Tarekat
Naqsyabandiah
Babussalam Langkat ini menarik dilihat dari berbagai fenomenanya. (a) Munajat adalah doa yang disenandungkan dan diciptakan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan, yang menguasai dua aliran Tarekat yaitu Naqsyabandiah dan Samaniyah sekali gus, namun yang dikembangkannya di Babussalam Langkat adalah Tarekat Naqsyabandiah. (b) Munajat di dalam kelompok Tarekat ini disajikan dengan menggunakan bahasa Melayu, artinya munajat ini dibumikan dengan cara Melayu, bukan cara Arab atau Gujarat. (c) Munajat yang dikumandangkan menjelang azan pada Salat Maghrib, Subuh, dan Jum’at, menggunakan ornamentasi melodi Melayu dan tangga nada (maqam yang khas Timur Tengah) dan ornamentasi melayu yaitu patah lagu, cengkok, dan gerenek. (d) Bahwa munajat yang terdapat dalam Tarekat ini mengutamakan sajian teks (logogenik) 6
6
Yang dimaksud logogenik adalah satu kebudayaan musik etnik atau musik dunia, yang ciri khas utamanya adalah menggunakan dan menumpukan teks yang dikomunikasikan secara verbal. Biasanya menggunakan salah satu atau perpaduan unsur-unsur ritme, melodi, atau harmoni. Dalam kebudayaan musik logogenik ini, unsur sastra dan folklor mendapat peranan penting. Namun agak berbeda dengan bahasa sehari-hari, teks dipertunjukkan melalui lagu bukan bahasa sehari-hari. Dengan demikian nyanyian jenis ini selalu menggunakan bahasa yang
Universitas Sumatera Utara
artinya komunikasi utama adalah secara verbal yang sesuai dengan konsep budaya Melayu, yaitu yang kurik kundi, yang merah saga; yang baik budi, yang indah bahasa. (e) Bahwa dalam munajat ini, unsur estetika juga memainkan peranannya setelah unsur tekstual, unsur estetika ini mencakup aspek sastra seperti unsur syair, rima (persajakan), bait, baris, makna teks, dan lainnya. Juga adanya unsur melodis seperti patah lagu, cengkok dan gerenek, tangga nada, variasi individu pengumandang munajat, dan lainnya. (f) Bahwa munajat merupakan ekspresi budaya Melayu dalam konteks agama Islam, yang merupakan hasil adunan Melayu dan Timur Tengah. Dengan keberadaanya yang seperti itu, maka munajat ini menarik untuk dikaji dari sisi ilmu seni budaya dan ilmu agama Islam. Dalam hal ini, penulis menggunakan ilmu etnomusikologi dan agama Islam khususnya tentang Tarekat yang disebut dengan ilmu tasawuf. Untuk itu perlu diulas sekilas tentang apa itu etnomusikologi dan ilmu-ilmu dalam agama Islam yang mengkaji Tarekat. Etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan fusi atau gabungan dari dua induk ilmu yaitu etnologi (antropologi) dan musikologi. Penggabungan ini sendiri telah menimbulkan dampak yang kompleks dalam perkembangan etnomusikologi. Jika kemudian ia berfusi lagi dengan ilmu lain, katakanlah arkeologi, maka akan terjadi sesuatu perkembangan yang menarik.
digayakan dan mengandung unsur-unsur perlambangan. Adakalanya bersifat rahasia seperti pada mantea. Seterusnya, jika sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini, lebih menumpukan pertunjukan kepada aspek komunikasi bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi, atau bunyi-bunyia lainnya, diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menelitinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang dapat ditelusuri melalui pikiran mereka (lihat Malm, 1977).
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks etnomusikologi, bidang musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri--sedangkan etnologi memandang musik sebagai
bagian dari fungsi
kebudayaan manusia dan sebagai suatu bagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4). 7
Dari
kutipan paragraf di atas,
menurut Merriam
para pakar
etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk
itu selalu dilakukan percampuran dua bagian
keilmuan yang
7
Buku ini menjadi “bacaan wajib dan mendasar” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “buku wajib” dalam disiplin etnomusikologi seluruh dunia.
Universitas Sumatera Utara
terpisah,
yaitu
musikologi
dan
etnologi.
kemungkinan-kemungkinan masalah besar disiplin itu dengan cara yang
Kemudian menimbulkan
dalam rangka mencampur kedua
unik, dengan
penekanan
pada salah satu
bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya-seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan.
Pada saat yang sama,
beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik
dalam
konteks etnologisnya. Di sini, penekanan
etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara dalam
musik sebagai suatu bagian dari permainan musik
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan
kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" Amerika,
etnomusikologi
yang sebenarnya tidak persis sama.
di Jerman dan
Mereka melakukan
studi
etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan,
atau
penekanannya.
Beberapa
studi
provokatif
awalnya
dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah
Universitas Sumatera Utara
yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika
telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin dasar yaitu etnologi dan musikologi, walau terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan
bahwa mereka
sama-sama berangkat dari musik dalam konteks
kebudayaannya. Berbagai definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Dalam edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, 1995, yang disunting oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 (empat puluh dua) definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976. 8
8
R. Supanggah, 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan
Universitas Sumatera Utara
Dari 42 (empat puluh dua) definisi tentang etnomusikologi dapat diketahui bahwa etnomusikologi adalah fusi dari dua disiplin utama yaitu musikologi dan antropologi, pendekatannya cenderung multi disiplin dan interdisiplin. Etnomusikologi masuk ke dalam bidang ilmu humaniora dan sosial sekaligus, merupakan kajian musik dalam kebudayaan, dan tujuan akhirnya mengkaji manusia yang melakukan musik sedemikian rupa itu. Walau awalnya mengkaji budaya musik non-Barat, namun sekarang ini semua jenis musik menjadi kajiannya namun jangan lepas dari konteks budaya. Dengan demikian, masalah definisi dan lingkup kajian etnomusikologi sendiri akan terus berkembang dan terus diwacanakan tanpa berhenti. Mengapa penulis mengambil disiplin ilmu ini dalam mengkaji keberadaan munajat di kelompok Tarekat Naqsyabandiah dengan menggunakan disiplin etnomusikologi adalah dilandasi oleh beberapa hal. (a) Sebagai sebuah aktivitas keagamaan munajat Tarekat ini mengandung unsur-unsur musikal melodi (yang kemudian dapat lagi dirinci menjadi tangga nada, bentuk melodi, frase melodi, motif melodi, densitas, frekuensi, dan lainnya) yang merupakan wilayah kajian etnomusikologi. (b) Demikian pula munajat ini mengandung unsur syair yang juga merupakan wilayah kajian etnomusikologi yang sering disebut dengan kajian tekstual. Unsur-unsur syair ini meliputi bait, baris, rima atau persajakan bunyi, jumlah kata per baris, makna denotasi dan konotasi, dan hal-hal sejenisnya. (c) Munajat juga diciptakan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan, yaitu
buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
Universitas Sumatera Utara
dalam konteks budaya Melayu. Jadi munajat ini sangat menarik untuk distudi yakni pertunjukan dalam konteks budayanya sebagaimana yang biasa dilakukan di dalam disiplin etnomusikologi. Namun demikian, untuk mengkaji munajat dalam konteks dunia Tarekat atau sufisme, maka dalam tesis ini penulis menggunakan ilmu-ilmu dan pendekatan tasawuf yang lazim digunakan dalam mengkaji keberadaan Tarekat di dalam Dunia Islam. Untuk itu perlu dijelaskan apa itu ilmu tasawuf. Tasawuf (tasawwuf) atau sufisme (bahasa Arab: )ﺗﺻﻭﻑ
adalah ilmu
untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun lahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam
perkembangannya
melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai
aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Suni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8. Sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata sufi. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari suf, bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari sufi adalah safa, yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Universitas Sumatera Utara
Kelompok lain dalam Islam menyarankan bahwa etimologi dari sufi berasal dari ashab al-suffa ("sahabat beranda") atau ahl al-suffa ("orang-orang beranda"),
yang
mana
adalah
sekelompok
muslim
pada
waktu Nabi
Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa. Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasawuf sangatlah membingungkan. Sebagian pendapat mengatakan bahwa faham tasawuf merupakan faham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non-Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari
kemewahan
dan
kesenangan
keduniaan.
Hal
ini
didorong
oleh
kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam kehidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut faham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme, atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi. Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa),
Universitas Sumatera Utara
dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad. Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik. Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung di masa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Muncullah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah, yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh
Hasan Al-Bashiri
pada abad
kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan alTsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah. Ilmu tasawuf ini didefinisikan oleh beberapa pakar.
Tasawuf
yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (G.B.J. Hiltermann & Van De Woestijne). Tasawuf adalah aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (C.B. Van Haeringen). Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abdil Wahhab Al-Sha'rani mendefinisikan sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra, Kairo, 1374). Sufisme yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan Dia (J. Kramers Jz). Al-Qur’an pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
Keyakinan dan gerak-gerik (akibat faham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam (Abubakar Aceh, 1980). Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980). Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (shuuf), maka mereka disebut dengan sufi. Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para
Universitas Sumatera Utara
sahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran sufi ini diambil dan diwarisi
dari
kerahiban Nasrani,
Brahma
Hindu,
ibadah Yahudi dan
zuhud Budha"( Ruwaifi’ bin Sulaimi dalam buku At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, 1981:28). Tokoh-tokoh
yang
mempengaruhi
tasawuf Nusantara pada
masa
perkembangan awal Islam yaitu: Hamzah Al-Fansuri, Syekh Abdurrauf AsSinkili,
dan Syekh Yusuf
Al-Makasari,
Syekh
H.
Muhammad
Yusuf
Minangkabau, dan Syekh Abdul Wahab Rokan. Kemudian pada masa kemerdekaan muncul tokoh-tokoh tasawuf seperti: Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dan Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, serta yang lainnya. Adapun tokoh-tokoh tasawuf yang berpengaruh di Cirebon di antaranya ialah Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Gunungjati, Syekh Iman atau
yang
Nurjati, guru dari Sunan terkenal
dengan
sebutan
Gunungjati, Syekh Pangeran
Abdullah
Cakrabuana, Syekh
Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh Royani yang melahirkan para ulama diSrengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu.
Kemudian
ada Mbah
Kriyan, Syekh
Tholhah yang
menjadi guru dari Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul
Arifin pendiri Pondok
Pesantren
Al-Jauhariyah Balerante,
Palimanan, Kabupaten Cirebon, dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Jadi dapat dikemukakan bahwa ilmu tasawuf atau sufi dalam agama Islam adalah salah satu ilmu tentang kerohanian atau kebatinan yang berdasar kepada zikir untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu tasawuf menjadi pemerkaya batin kepada umat Islam yang mengamalkannya. Berdasarkan
latar
belakang
keberadaan
Tarekat
Naqsyabandiah
Babussalam Langkat seperti terurai di atas dan pendekatan keilmuan yang akan dilakukan, maka penulis membuat judul penelitian ini: Munajat dalam Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat: Kajian terhadap Fungsi, Makna Teks, dan Struktur Melodi.
1.2 Pokok Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, sebenarnya keberadaan munajat pada Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat ini, dapat dikaji melalui
berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu ushuluddin agama Islam, ilmu
psikologi, sosiologi, linguistik, sejarah, dan lain-lainnya. Namun demikian seperti sudah penulis kemukakan sebelumnya, dalam tesis ini penulis mendekatkan kajian pada disiplin seni dan ilmu tasawuf. Disiplin seni yang utama pun adalah etnomusikologi. Ini bertujuan untuk dapat memperdalam kajian estetikanya yang dilatar belakangi keberadaan munajat dalam lingkungan Tarekat dan agama Islam yang lebih luas yaitu mencakup persebarannya di Dunia Islam. Selain itu, kajian terfokus ini, adalah mempertimbangkan latar belakang keilmuan penulis yang dalam strata satu berpendidikan sebagai ilmuwan pendidik seni musik. Tentu saja pendekatan ini tidak lupa menggunakan multidisiplin dan interdisiplin ilmu,
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana yang lazim dianjurkan dalam penelitian-penelitian di bidang ilmuilmu seni. Untuk memfokuskan kajian dan penyelesaian masalah, maka penulis dalam tesis magister ini perlu dilakukan pembatasan masalah agar menghindari pembahasan yang mengambang dan menyimpang. Adapun yang menjadi pokok masalah yang diteliti adalah sebagai berikut. (1) Pokok permasalahan pertama adalah bagaimana fungsi munajat dalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat? Pokok masalah ini nanti akan dikaji meliputi guna munajat dan fungsinya. Guna melihat dari sisi praktisnya, sedangkan fungsi melihat dari perspektif sosiobudaya yang lebih luas, terintegrasi dan mendalam. (2) Pokok masalah yang kedua adalah apa-apa saja makna yang terkandung dalam teks (syair) munajat dalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat? Dalam pembahasan penelitian ini, maka pokok masalah ini akan mencakup aspek struktural dan makna semiosis, yang mencakup seperti jumlah bait teks munajat, jumlah baris dalam satu bait, jumlah kata dalam satu baris dan bait, suku kata per baris, penggunaan aspek estetika seperti rima atau persajakan bunyi akhir baris, intonasi, makna konotasi, makna denotasi, lambang, ikon, indeks, dan hal-hal sejenis. (3) Pokok masalah yang ketiga adalah bagaimana struktur melodi munajat yang dipraktikkan dalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat yang ada pada saat ini? Pokok masalah ini akan diurai dengan parameter seperti tangga nada (maqam), wilayah nada, nada dasar, persebaran interval,
Universitas Sumatera Utara
formula melodi, pola-pola kadensa, kontur, dan hal-hal sejenis. Kajian ini diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas tentang identitas musikal yang terkandung di dalam munajat, yang menyatu dan terintegrasi dengan sistem estetika Islam atau tasawuf. Selain ketiga pokok masalah di atas, di dalam tesis ini juga akan dibahas beberapa masalah lainnya, yang dipandang dapat mengungkapkan dan membantu menjawab tiga pokok masalah di atas. Di antara pokok masalah tambahan lainnya adalah: Bagaimana sejarah tumbuh dan berkembangnya Tarekat Naqsyabandiah atau persulukan di Desa Besilam (Babussalam) Langkat ? Pokok masalah ini dibuat untuk dapat mengungkap sejarah tumbuh dan berkembangnya Tarekat ini dari dimensi ruang dan waktu yang dilaluinya. Selain itu juga akan dikaji tentang biografi ringkas guru pendiri Tarekat ini yaitu Syekh Abdul Wahab Rokan, yang berlatarbelakang sebagai orang Melayu dan jiwa kemelayuan yang juga tercermin dalam munajat ciptaan beliau. Begitu juga dengan guru-guru penerusnya, yang akan dikaji secara singkat saja, tidak mendalam. Pokok masalah tambahan lainnya adalah bagaimana bentuk penyajian atau pertunjukan munajat di dalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat? Masalah ini akan memberikan atau mendeskripsikan jalannya penyajian munajat dari sejak awal, hingga akhir menjelang azan dan salat maghrib, Subuh, dan Jum’at. Masalah ini akan membahas siapa penyajinya, di mana disajikan, bagaimana menyajikannya, bagaimana respons atau umpan balik para jemaahnya, dan hal-hal sejenis.
Universitas Sumatera Utara
Dengan menentukan pokok masalah seperti ini diharap akan dapat mengungkap secara jelas tiga pokok masalah di atas. Penelitian ini juga diharapkan akan memberikan wawasan keilmuan yang lebih terurai jelas dalam lingkup disiplin seni dan agama sekaligus.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah seperti uraian berikut ini. 1.
Memahami
guna
dan
fungsi
munajat
dalam
komunitas
Tarekat
Naqsyabandiah Besilam (Babussalam) Langkat. 2.
Memahami makna-makna teks munajat ciptaan Syekh Abdul wahab Rokan, yang disajikan sebelum azan pada salat Subuh, maghrib, dan Jum’at.
3.
Mengetahui dan mengerti bagaimana struktur melodi munajat yang disajikan yang mengandung unsur musikal Melayu dan Arab (Timur Tengah). Selain itu penulisan tesis ini bertujuan untuk dapat mengungkapkan
tumbuh dan berkembangnya Tarekat Naqsyabandiah di Babussalam Langkat, berdasarkan dimensi waktu dan ruang yang dilaluinya. Tujuan lainnya adalah memahami bagaimana bentuk penyajian atau pertunjukan munajat didalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah
Universitas Sumatera Utara
1.3.2 Manfaat Penelitian Sesuai dengan yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian diatas, manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Sebagai salah satu sumber informasi tentang salah satu kesenian ritual keagamaan dalam bentuk vokal yang ada di Langkat Sumatra Utara.
2.
Sebagai usaha melestarikan seni budaya Islam, khususnya bagi masyarakat pendukungnya.
3.
Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan tentang kebudayaan seni ritual Islam.
4.
Sebagai sarana untuk memperkenalkan seni Tarekat di kalangan sivitas akademika perguruan tinggi baik dalam lingkup daerah, nasional, atau internasional.
5.
Sebagai salah satu bahan saintifik pendukung untuk pengembangan metode dan teori dalam bidang ilmu-ilmu seni, khususnya etnomusikologi dan seni dalam agama, karena ilmu harus terus dikembangkan sesuai dengan peredaran zaman.
6.
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan.
7.
Sebagai bahan awal untuk kajian ilmu-ilmu seni dan agama dalam perspektif yang lebih luas, seperti dalam konteks Indonesia, Dunia Melayu, Dunia Islam, dan perbandingan antar agama yang mempraktekkan hal-hal yang sejenis dengan munajat ini.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Tinjauan Pustaka Sebelum melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan. Ini dilakukan dengan cara mencari literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Adapun yang menjadi tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan dasar-dasar teori yang mampu menelaah pokok masalah, berdasar literatur-literatur tersebut dalam lingkup penelitian pengkajian dan penciptaan seni. Kemudian memetakan sejauh apa para peneliti terdahulu mengkaji keberadaan praktik religi munajat dan sejenisnya ini. Tujuan lainnya adalah untuk menghindari penelitian yang tumpang tindih. Sepanjang pengetahuan penulis, dari hasil penelitian pustaka yang dilakukan menunjukkan bahwa hingga saat ini belum ada kajian yang berkenaan dengan munajat Naqsyabandiah ditinjau dari aspek kajian fungsi, makna teks, dan struktur melodi munajat dalam Tarekat Naqsyabandiah di Dunia Melayu, termasuk di Babussalam Langkat, Sumatera Utara. Untuk mendukung pengetahuan dan pemahaman penulis dalam membahas permasalahan yang ada, maka penulis mempergunakan penelitianpenelitian atau penulisan terdahulu sebagai acuan. Adapun bahan-bahan acuan tersebut antara lain sebagai berikut. 1.
Buku Sejarah Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam oleh H. Ahmad Fuad Said. Buku yang berhalam 190 ini, menceritakan tentang sejarah Tarekat Naqsyabandiah serta perjuangan Tuan guru Babussalam dalam mengembangkan ajarannya serta perjuangannya pada masa penjajahan. Serta
Universitas Sumatera Utara
silsilah yang dipergunakan dalam Tarekat ini yang nantinya menjadi acuan dalam membahas mengenai syair yang digunakan dalam munajat. 2.
Buku yang bertajuk Hakekat Tarekat Naqsyabandiah yang ditulis oleh H. Ahmad Fuad Syaid, diterbitkan di Babussalam Langkat oleh Pustaka Babussalam, 1989. Buku yang terdiri dari 211 (dua ratus sebelas) halaman dan dibagi ke dalam 18 (delapan belas) bab ini, memberikan wawasan yang mendalam,
bagaimana
orang-orang
dalam
Tarekat
Naqsyabandiah
Babussalam Langkat menilai dan mengekspresikan ide-ide keagamaannya dalam konteks pelaksanaan Tarekat. Buku ini sangat membantu melihat dari sisi pandangan orang dalam (insider), agar peneliti tidak terjebak dalam tafsiran yang menurut persepsi peneliti sendiri. Buku ini memberikan data yang diperlukan dalam konteks studi dengan teori etnosains atau grounded theory. 3.
Seterusnya buku yang bertajuk Mengenang Kembali Syekh Fakih Tambah, yang ditulis oleh Sulaiman JWR, tahun 2002, yang diterbitkan di Babussalam. Buku ini memberikan gambaran tentang Syekh Fakih Tambah, sebagai seorang tokoh ulama, pemimpin agama, dan ahli tasawuf. Beliau adalah putra Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Kholidi Naqsabandi, Tuan Guru Mursyid dan Nazir Babussalam langkat, Sujmatera Utara, Indonesia. Buku ini memberikan pengetahuan lebih jauh bagaimana kontinuitas yang dilakukan keturunan Syekh Abdul Wahab Rokan ini dalam mengelola kelompok Tarekat ini.
Universitas Sumatera Utara
4.
Buku berbahasa Inggris, Sufi Expressions of the Mystic Quest oleh Laleh Bakhtiar. Buku ini memandu penulis untuk lebih mengenal bentuk-bentuk seni sufistik Islam. Bahwa Islam sebagai sebuah agama besar memiliki sisisisi spritualitas dalam seninya, yang memiliki berbagai genre, khususnya sebagai sen sufistik.
5.
Buku Sastra Melayu Sumatra Utara oleh Muhammad Takari Bin jilin Syahrial dan Fadlin Bin Muhammad Dja’far. Dalam buku ini, Takari dan fadlin menguraikan secara mendalam bagaimana keberadaan sastra Melayu yang terdapat di Sumatera Utara, seperti sinandong, syair, gubang, pantun, gurindam, nazam, talibun, seloka, dan lain-lainnya dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Buku ini membantu penulis dalam mengenal sastra Melayu dan menelaah permasalahan-permasalahan dalam memaknai maksud dari syair munajat.
6.
Psikologi Komunikasi oleh Jalaluddin Rakhmat. Buku ini berisikan hal-hal yang dikomunikasikan oleh suatu kelompok kepada masyarakat serta bagaimana bentuk komunikasi tersebut mempengaruhi perilaku manusia. Buku ini membantu penulis untuk memahami bagaimana penerimaan pesan komunikasi dan komunikasi yang terjadi pada saat disajikannya munajat menjelang azan dan salat Maghrib, Subuh, dan Jum’at di dalam kelompok Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat.
7.
Selanjutnya buku Bersufi Melalui Musik oleh Abdul Muhaya. buku ini menjelaskan tentang tingkatan spiritualitas dalam mendengarkan musik dan pembagian derajat sufi dalam mendengarkan musik serta beberapa pandangan
Universitas Sumatera Utara
Islam tentang musik. Bagi kalangan sufi, musik (al-sama’) merupakan alat stimulus Ilahiah yang dapat meningkatkan kecintaan mereka kepada Allah. Melalui kecintaan yang kuat, seorang sufi akan sampai kepada derajat wajd (ekstasi). Ini adalah sebuah peristiwa suatu perasaan yang ditimbulkan oleh rasa cinta yang sungguh-sungguh kepada Sang Khalik (Allah Subhana Wata’ala) dan kerinduan untuk selalu bertemu dengan Allah. Buku ini memberikan wawasan yang luas tentang bagaimana memandang dan mengkaji seni musik dalam dunia tasawuf dalam Islam. 8.
Buku Mutiara Al-Qur’an dalam Kapita Selecta oleh Kadirun Yahya. Buku ini membantu penulis untuk lebih mengerti dan memahami tentang terminologi yang lazim digunakan di kalangan sufi yaitu wasilah rabithah dan adab dalam melakukan Suluk serta sudut pandang ilmiah metafisika tasawuf.
9.
Selanjutnya buku Sejarah Teori Antropologi Budaya oleh J.Van Baal. Buku ini banyak membantu penulis dalam mencari teori yang berhubungan dengan agama sebagai gejala budaya. Buku ini memberikan ilmu pengatahuan kepada penulis tentang bagaimana pendekatan secara budaya terhadap fenomena-fenomena agama sebagai sebuah realitas budaya dan sosial.
10. Dalam rangka kajian pustaka terhadap munajat ini dalam perspektif etnomusikologi, penulis membaca buku William P. Malm, 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey, Englewood Cliffs: Prentice Hall; serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialih
Universitas Sumatera Utara
bahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Buku ini di salah satu babnya mengkaji secara umum budaya musik Islam di Timur Tengah, yang umum menggunakan istilah-istilah seperti maqam, maqamat, datsgah, iqa’at, huda, qasidah, dan sejenisnya sebagai identitas musik Islam. 11. Penulis juga membaca skripsi sarjana etnomusikologi yang ditulis oleh Makhmud Hasbi, 1993.
Studi Komparatif terhadap Aspek-aspek Muzikal
dalam Penyajian Azan oleh Empat Muazin di Kotamadya Medan. Skripsi Sarjana Muda Seni, di Bidang Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini memberikan pengetahuan kepada penulis tentang bagaimana azan dipraktikkan oleh masyarakat Islam di Sumatera Utara dengan ciri ornamentasinya. dari skripsi ini juga penulis akan melihat gaya munajat yang disajikan di dalam komunitas Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat. 12. Demikian pula untuk melihat aspek estetis melodi munajat, penulis membaca skripsi sarjana seni Etnomusikologi, Fakultas Sastra USU Medan, yang ditulis oleh Elydawati Pasaribu, 1993. Tradisi Musik Vokal Marhaban dalam Upacara Menabalkan Anak di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini juga nmemberikan pengetahuan tentang bagaimana secara musikal marhaban dan barzanji disajikan dalam kebudayaan masyarakat muslim di Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
13. Selanjutnya penulis menggunakan halaman web www.maqomword.com. Situs ini membantu penulis dalam menganalisis maqam yang dipergunakan dalam pembacaan senandung munajat serta pembagian pembagian frase dalam kalimat lagu.
1.5 Konsep dan Landasan Teori 1.5.1 Konsep Dalam rangka memperjelas makna-makna peristilahan yang digunakan dan berhubungan dengan topik tesis ini, maka penulis akan menjelaskan apakah konsep dan teori itu. Penulis mengunakan ini agar tidak terjadi pendistorsian makna. Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588). Dalam penulisan tesis ini konsep yang akan diuraikan adalah tentang: (1) munajat, (2) kajian, (3) fungsi, (4) teks, dan (5) struktur melodi. Konsep ini terutama mengacu kepada pandangan para ahli di dunia ilmu pengetahuan seni dan dari kalangan Tarekat Naqsyabandiah itu sendiri. (1) Munajat secara etimologi berarti Doa atau permintaan kepada Allah. Dalam Tarekat Naqsyabandiah dikenal ada 2 (dua) macam munajat yang dikenal yaitu: (1) Munajat yang dibacakan setiap melakukan ritual zikir dalam bersuluk yang berisi kalimah “ilahi anta maksudi waridho kamaklubi” yang artinya adalah Allah yang dimaksud/dituju dan ridho yang diharapkan. (2) Munajat yang dikumandangkan setiap hari sebelum Azan Salat Subuh, Maghrib dan Salat
Universitas Sumatera Utara
Jum’at yang diciptakan oleh tuan guru Babussalam pertama Syekh Abdul Wahab Rokan Naqsyabandy yang terdiri dari 44 (empat puluh empat) bait. Adapun pemaksudan dari munajat yang akan dibahas dalam tesis ini adalah munajat yang terdiri dari 42 (empat puluh dua) bait tuan guru di atas. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S Poerwadarminta munajat berarti bergaul dengan tuhan dalam doa (berdoa dalam batin). Tarekat menurut pengertian bahasa berarti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga huruf yaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahwa huruf Ta bererti Taubat, Ra berarti Redha dan Qaf berarti Qana’ah. Lafaz jamak bagi Tarekat ialah Taraiq atau Turuq yang berarti tenunan dari bulu yang berukuran 4 (empat) hingga 8 (delapan) hasta dan dipertautkan sehelai demi sehelai. Tarekat juga berarti garisan pada sesuatu seperti garis-garis yang terdapat pada telur dan menurut Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tarekat ialah tiap garis di atas tanah, atau pada jenis-jenis pakaian. Menurut al-Jurjani dalam kitabnya Al-Ta'rifaat: "Tarekat adalah jalan yang khusus bagi ahli salikin (orang yang berjalan) menuju kepada Allah dengan melalui berbagai rintangan dan peningkatan berbagai makam." (Al-Jurjani, Ta'rifaat H: 94). Naqsyabandiyah adalah nama salah satu Tarekat dari sahabat rasullullah Abu Bakar Siddik Ra dan didirikan oleh Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 Masehi yaitu pada abad ke 8 (delapan) Hijrah bersamaan
Universitas Sumatera Utara
dengan abad ke 14 (empat belas) Masehi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan Bukhara. Naqsyabandiah terdiri dari 2 kata : Naqs berarti lukisan, ukiran, peta atau tanda. Band berarti terpahat, terlekat, tertampal atau terpatri. Naqsyaband berarti “ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan kalimah Allah Subhana Wa Ta’ala dihati sanubari sehingga benar-benar terpahat dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah. (2) Konsep mengenai kajian. Istilah ini berasal dari kata analisa atau analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang di mulai dengan dugaan akan sebenarnya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). (3) Selanjutnya yang dimaksud fungsi menunjuk pada bagian yang dimainkan dalam sebuah sistem. Fungsi dan peran merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri atau sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin,1989:439). (4) Kemudian yang dimaksud dengan teks atau lirik Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari Kitab Suci untuk pangkal ajaran atau alasan, serta bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran,
Universitas Sumatera Utara
berpidato, dan sebagainya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar
Bahasa
Indonesia 2005). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka yang dimaksud dengan teks adalah lirik munajat yang diciptakan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan. Teks ini ada yang strukturnya berdasarkan syair dalam kebudayaan Melayu. Syair sendiri adalah salah satu genre sastra tradisi Melayu yang dalam satu bait terdiri dari empat baris, menggunakan rima, dan kesemuanya adalah isi. Syair dalam budaya Melayu dibawa pertama kali oleh Hamzah Fansuri abad ke13 (Takari dan Fadlin, 2010:45). (5) Yang dimasud dengan struktur melodi adalah sebagai berikut. Struktur adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau struktur masyarakat. Begitu juga dengan struktur gedung atau bangunan. Struktur juga bermakna sebagai bangunan bisa saja bangunan musik, bangunan sejarah, bangunan tari, bangunan atom, dan lainlain. Atau bisa juga sebagai kerangka yang membentuk bidang-bidang apa saja. Misalnya
kerangka
karangan,
kerangka
layang-layang,
dan
seterusnya
(Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).
Dalam
kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan, nada yang digunakan, polapola kadensa, dan kontur melodi.
Universitas Sumatera Utara
1.5.2 Teori Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177). Dalam pelaksanaannya, terutama untuk mencapai tujuannya, penelitian ini menggunakan sejumlah perangkat teori, prinsip pendekatan dan prosedur pemecahan masalah yang relevan yaitu sebagai berikut. (1) Untuk menganalisis fungsi dan guna munajat di dalam komunitas Tarekat Naqsyabandiah, penulis menggunakan teori fungsionalisme. Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan paham ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. 9
9
Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi begitu mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).
Universitas Sumatera Utara
Selaras dengan pendapat Malinowski, munajat dalam komunitas Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat, Sumatera Utara, timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakatnya.
Munajat
timbul,
karena
masyarakat
pengamalnya
ingin
memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan dan keagamaan. Namun lebih jauh daripada itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya dan lainnya. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat.
Bahwa struktur sosial itu hidup terus,
sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, munajat bisa dianggap sebagai bahagian daripada struktur sosial masyarakat Tarekat Naqsyabandiah.
Universitas Sumatera Utara
Pertunjukan munajat adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai-bagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat. Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktikal dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri, dan (3) sebagai penyajian estetika (1995). Selaras dengan pendapat Soedarsono, munajat mempunyai fungsi sosial, ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan penyajian estetika. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi.
Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah
sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, sama ada ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut.Music is used in certain
Universitas Sumatera Utara
situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin, dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut
behubungan
mengorganisasikan
dengan
ritual
dan
mekanisme
lain,
kegiatan-kegiatan
seperti
menari,
upacara.
berdoa,
“Penggunaan”
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, sejalan dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. (2) Untuk mengkaji makna teks yang terkandung di dalam munajat, penulis menggunakan teori semiotik. Untuk menganalisis makna terkandung dalam teks munajat menggunakan teori
yang
semiotika yaitu teori
Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini. Semiotic also called Semiology, the study of signs and signusing behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce. Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an
Universitas Sumatera Utara
index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified. Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians. This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism. Modem semioticians have applied Peirce and Saussure's principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communi-cations, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude LéviStrauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva. Semiotik adalah “ilmu” yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Karena manusia memiliki kemampuan untuk memberikan makna pada berbagai gejala sosial budaya dan alam. Tanda adalah bagian dari kebudayaan manusia. Dengan demikian, semiotik adalah “ilmu” yang dapat digunakan untuk mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Penanda terletak pada tingkatan ungkapan dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi,
Universitas Sumatera Utara
huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda terletak pada tingkatan isi atau gagasan dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik yang ditawarkan empat orang pakarnya. (A) Semiotik Charles Sanders Peirce. Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323). Bagan 1.1 Segitiga Makna Objek
Representamen
Interpretan
Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan
Universitas Sumatera Utara
pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut. Bagan 1.2 Pembagian Tanda
Ground/ representamen : Objek/ referent: yaitu apa tanda itu sendiri sebagai yang diacu. perwujudan gejala umum.
Interpretant: tandatanda baru yang terjadi dalam batin penerima. Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.
Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau.
Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta.
Sinsign/tokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas.
Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.
Dicent sign: tanda sebagai fakta/ pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.
Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran.
Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan / suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata.
Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.
Sumber: Erni Yunita (2011)
Universitas Sumatera Utara
Bagan 1.3 Hubungan Tanda
Sumber: Erni Yunita (2011)
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciriciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen (R), Object (O), dan Interpretant (I). (R) adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang
Universitas Sumatera Utara
diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara (R) dan (O). Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang”(O), selanjutnya ia menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang disitu” (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional. (B) Semiotik Ferdinand de Saussure. Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut (Culler, 1996:7). Bagan berikut tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (dalam Djajasudarma, 1993:23).
Universitas Sumatera Utara
Bagan 1.4 Tentang Tanda Signifiant (signifier) “yang menandai” (citra bunyi) misalnya: pohon [p o h o n] Signe Signifie (signified) “yang ditandai” (pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran). Contoh:
Pohon tangkal
tangkal
Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe linguistique atau signe) bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-ka-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa. Signifiant bersifat linear, unsur-unsurnya membentuk satu rangkaian (unsur yang satu mengikuti unsur lainnya).
Bagan 1.5 Tentang Hubungan Tanda
Sign/symbol
Signifier ---------- signification --------------
Signified
Universitas Sumatera Utara
Menurut Saussure (Chaer, 2003:348), tanda terdiri dari: bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyibunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut
referent.
Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” Bahasa merupakan sistem tanda, di mana setiap tanda yang ada terdiri dari dua bagian yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau gagasan. Sementara signified adalah kata-kata atau tulisan yang menyampaikan konsep, ide, atau gagasan tersebut. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, suatu signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa–apa, sebaliknya suatu signifier tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia yang masih sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier. Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified “bayi.” (C) Semiotik Roland Barthes. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika
Universitas Sumatera Utara
menjadi 2 (dua) tingkatan penandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung,
dan pasti.
Konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Barthes, 2007:82). Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure, yang tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure (dalam Aminuddin, 1995:168) hubungan antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan, dan sebagainya. Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang mengembangkan konsep tanda Saussure dengan menambahkan konsep “relasi.” Relasi yang dimaksud adalah penghubung penanda (disebut expression “ungkapan” dilambangkan dengan E) dan petanda (disebut contenu/ content “isi” dilambangkan dengan C). Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi (R). Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dari sistem atau bentuk kedua yang membina bentuk
Universitas Sumatera Utara
yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi–Denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di sudut lain, seperti bagan berikut ini (Pudentia, 2008:335).
Bagan 1.6 Konotasi dan Metabahasa
Denotasi
E
\
C
E
Objek bahasa d
Konotasi
d
d
E
asa
C
C d
E
d C
d
Contoh : Tempat jin turun berkecimpung
Denotasi Konotasi
E
C
Jin
makhluk halus Jin
berkecimpung
E
C
E Jin Jin
E
C bermain air /mandi
Bergembira menerima persembahan
Objek bahasa Metabahasa
C
Universitas Sumatera Utara
(D) Semiotik Halliday. Teori bahasa fungsional sistemik dikembangkan seorang pakar linguistik M.A.K. Halliday seorang pakar bahasa yang berasal dari Inggris dan kini tinggal di Australia sebagai guru besar di Universitas Sydney. Kata sistemik adalah suatu teori yaitu tentang makna. Bahasa merupakan semiotik sistem (Halliday dkk., 1992:4). Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya dan faktor situasi sebagai semiotik konotatif, pemakaian bahasa menujukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, semiotik meminjam budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjutnya konteks situasi meminjam semiotik yang berada dibawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan oleh bahasa yang mencakupi semantik, tata bahasa dan fonologi. Bahasa dalam pandangan semiotik sosial menandai jenis pendekatan yang dilakukan oleh Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspresi, berbeda dengan semiotik biasa sebagai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Arti (semantic
atau discourse semantics) direalisasikan bentuk
Universitas Sumatera Utara
(grammar atau lexicogrammar) dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi atau phonology/graphology (Saragih, 2000:1). Proses semiotik adalah suatu proses pembentukan makna dengan melakukan pemilihan. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik denotatif dan semiotik konotatif yang memiliki arti dan bentuk. Bahasa merupakan semiotik denotatif dengan pengertian bahwa semantik sebagai arti direalisasikan oleh lexicogrammar sebagai bentuk dan selanjutnya lexicogrammar diekspresikan oleh phonology. Dalam rangka penelitian terhadap makna teks munajat pada komunitas Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat, penulis menggunakan empat teori semiotik tersebut di atas, yakni versi Peirce, Saussure, Barthes dan Halliday. Keempatnya memiliki kesamaan dan sedikit perbedaan terutama dalam interpretasi, namun dengan menggunakan keempat-empatnya akan menghasilkan kajian yang relatif sama. Keempat teori tersebut penulis sederhanakan pola-pola atau pokok pikirannya sebagai berikut. (a) Peirce menggunakan segitiga makna yang terdiri dari: tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) kepada hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol, ikon, dan indeks, acuan tanda ini disebut objek (konteks sosial). (b) Saussure membagi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda adalah wujud fisik yang dapat dikenal melalui
Universitas Sumatera Utara
wujud karya arsitektur atau seni rupa. Dalam konteks penelitian ini adalah madrasah, tempat Tarekat, peralatan, pakaian, dan seterusnya, khususnya yang difungsikan dalam pernyajian munajat.
Sedang pertanda adalah makna yang
terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nilai yang terkandung di dalam karya arsitektur atau rupa. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Dalam konteks ini misalnya komunitas Tarekat ini memiliki ide-ide seperti zikir, suluk, guru, dan lain-lainnya yang terdapat dalam pikiran mereka. (c) Barthes mengembangkan semiotik menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung,
dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. (d) Halliday mengembangkan teori semiotik di dalam bahasa verbal. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memiliki bentuk. (3) Untuk mengkaji struktur melodi munajat, yang menggunakan dimensi maqam dan derivatnya, penulis menggunakan teori weighted scale (bobot tangga nada) sebagaimana yang ditawarkan Malm (1977). Teori ini pada prinsipnya
Universitas Sumatera Utara
menawarkan
delapan
karakteristik
yang
harus
diperhartikan
dalam
mendeskripsikan melodi yaitu: scale (tangga nada), pitch center (nada dasar), range (wilayah nada), frequency of note (jumlah nada), prevalent interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formulas (formula-formula melodis), dan contour (kontur) (Malm 1997:8). Kalau dijelaskan lebih rinci lagi maka tangga nada yang dimaksudkan di sini adalah nada-nada yang digunakan pada munajat, yang didasari oleh sistem maqam Arab atau tangga nada Melayu. Selanjutnya nada dasar adalah nada yang selalu dijadikan sebagai patokan tonalitas dalam sebuah melodi. Nada ini cenderung untuk digunakan pada ujung kadensa frase melodi atau ujung lagu. Kemudian wilayah nada adalah jarak atau selisih frekuensi antara nada yang tertinggi dengan nada yang terendah yang digunakan dalam sebuah arsitektonik lagu dalam hal ini munajat. Selanjutnya jumlah nada-nada adalah jumlah masingmasing nada yang digunakan dalam sebuah komposisi musik, dalam hal ini munajat. Jumlah nada ini dikaitkan juga dengan bersaran nilai nada yang digunakannya bukan hanya sekedar jumlah kemunculan. Selanjutnya, interval yang dipakai adalah bermakna selang nada yang dipergunakan dalam keseluruhan komposisi ini, baik itu yang sifatnya melangkah atau melompat, juga interval ke atas atau ke bawah. Selanjutnya, pola-pola kadensa adalah dua nada atau lebih yang digunakan di ujung frase lagu dalam hal ini munajat termasuk kadensa akhirnya. Sedangkan formula melodi kadang disebut juga dengan bentuk melodi adalah bagaimana lagu tersebut disusun oleh bentuk-bentuk melodi, bahagian mana yang diulang, bahagian pembuka, isi, penutup, dan sejenisnya. Adapun yang
Universitas Sumatera Utara
dimaksud dengan kontur adalah garis melodi yang disajikan dalam sebuah lagu. Ini biasa dideskripsikan dengan kata-kata seperti melengkung, statis, sekuen, berjenjang, pendulum, dan lain-lainnya. Itulah ketika teori yang digunakan untuk memecahkan tiga pokok masalah yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan harapan fokus dan dalamnya kajian dapat dilaksanakan dalam penelitian ini. Namun untuk mendukung pokok masalah utama tersebut digunakan juga teori-teori lain yang mendukung tiga pokok masalah tersebut seperti diuraikan berikut ini. Untuk mengkaji sejarah Tarekat Naqsyabandiah secara umum dan yang ada di Babussalam, dipergunakan teori fenomenologis agama-historis. Menurut Garraghan (1957), yang dimaksud sejarah itu memiliki tiga makna yaitu: (1) peristiwa-peristiwa mengenai manusia pada masa lampau; aktualitas masa lalu; (2) rekaman manusia pada masa lampau atau rekaman tentang aktualitas masa lampau;dan (3) proses atau tekhnik membuat rekaman sejarah tersebut berkaitan erat dengan disiplin ilmu pengetahuan. Lengkapnya sebagai berikut. The term history stands for three related but sharply differentiated concepts: (a) past human events; past actuality; (b) the record of the same; (c) the process or technique of making the record. The Greek ιστορια, which gives us the Latin historia, the French histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation, research, and not a record of data accumulated thereby—the usual present-day meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks attached to it the meaning of “a record or narration of the results of inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or imply any one of three things: (1) inquiry; (2) the objects of inquiry; (3) the record of the results of inquiry, corresponding respectively to (c), (a), and (b) above (Garraghan 1957:3).
Universitas Sumatera Utara
Untuk menganalisis aktivitas Tarekat Naqsyabandiah dalam perspektif etnosains atau orang dalam, digunakan teori atqakum oleh Sanat (1998) Istilah atqakum diambil dari surah Al-Hujurat (49:13) yang maknanya adalah kamu yang lebih bertakwa. Di sini merujuk kepada manusia yang lebih mulia di sisi Allah ialah yang lebih bertakwa. Di dalam Al-Qur’an, terdapat maksud seperti takwa, bertakwa, ketakwaan, ketakwaannya, dan bertakwalah. Menurut Indeks AlQur’an (1999:440-441) Teori atqakum yang dimaksud oleh Sanat adalah melampaui pengertian teori biasa, teori ini merujuk langsung kepada perintah Allah untuk menjadi manusia bertakwa. Manusia wajib melakuknnya dalam konteks hubungan dengan Sang Khalik. Penunaian kewajiban itu adalah sebagai tanda ketaatan dan kesyukuran yang manfaatnya akan didapati manusia yang melaksanakannya. Sebaliknya, keingkaran kepada Allah tidak akan mengurangi kemuliaan dan kekuasaan Allah. Hal ini terekam di dalam Al-Qur’an seperti berikut ini
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Al-Qur’an, surah Lukman, 31:12).
Teori atqakum menggagaskan bahwa menjadi lebih bertakwa merupakan hukum perintah yang tidak ada pilihan pada saat apa pun dan tempat mana pun.
Universitas Sumatera Utara
Dengan syarat taklif syar’i. Penunaian teori dalam semua bidang kehidupan atau disiplin ilmu sebagai tanda ketaatan dan kesyukuran yang membawahi khasanah di dunia dan akhirat. Teori ini menjadi supraordinat kepada teori lain dalam subdisiplin, termasuk linguistik. Untuk dapat melihat isi makna syair munajat, selain teori semiotik, penulis juga menggunakan teori takmilah Shafie Abu Bakar yang diciptakan untuk aplikasi terhadap semua karya bagi menilai dan mengukur nilai keislaman dalam karya. Pada satu posisi mungkin karya itu bebas dari nada keislaman, tetapi setelah dianalisis baru nampak citra keislamannya. Demikian sebaliknya, sesebuah karya yang kelihatan bernada keislaman, setelah dianalisis mengandung citra yang sebaliknya. Mungkin di luar alam sadar pengarangnya. Teori takmilah menekankan tiga komponen penting yaitu pengarang, karya, dan khalayak. Semuanya harus bermula dari kesadaran tauhid pengarang yang menuangkan kesedaran itu ke dalam karya untuk membangkitkan kesadaran tauhid pembaca. Ketiga-tiganya memperlihatkan sifat saling menyempurnakan, yang menjadi sifat Allah dan lambang kesempurnaan-Nya. Karya yang indah harus berdasar kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Karya ini tercerna dalam hubungan sikap dan perlakuan manusia terhadap Allah, sikap dan perlakuan manusia sesama makhluk Allah, serta sikap dan perlakuan manusia dengan alam sekitarannya. Keindahan dan kesempurnaan karya sastra meliputi keindahan isi dan bentuk. Jika isi baik tetapi disampaikan dalam bentuk yang tidak sesuai, atau bentuk baik tetapi isi tidak sesuai, maka karya itu dianggap tidak indah dan tidak
Universitas Sumatera Utara
sempurna. Isi dan bentuk karya harus sama-sama indah, sebagaimana maksud sastra itu sendiri, dan karya sastra ini berpandukan ajaran Al-Qur’an. Walaupun aspek struktur karya sama, namun teori ini melihat aspek strukturnya harus tidak bertentangan dengan isi, tepat dengan genre, bahasanya tepat, isinya mudah difahami, dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dari segi isinya karya itu harus dapat memberi teladan atau hikmah kepada pembaca. Satu hal yang ditegaskan oleh Shafie Abu Bakar bahwa teori takmilah melihat segala kejadian atau peristiwa sebagai indah, baik peristiwa itu menggembirakan maupun menyedihkan. Misalnya peristiwa tsunami di Aceh. Di dalamnya terkandung hikmah dan keteladanan, dalam konteks tauhid kepada Allah. Untuk menguatkan teori ini, Shafie Abu Bakar mengemukakan tujuh prinsip, yaitu: (1) prinsip ketuhanan yang bersifat kamal, (2) prinsip kerasulan sebagai insan kamil, (3) prinsip keislaman yang bersifat akmal, (4) prinsip ilmu dengan sastra yang bersifat takamul, (5) prinsip sastra bercirikan estetis dan bersifat takmilah, (6) prinsip pengkarya yang seharusnya mengistikmalkan diri, dan (7) prinsip khalayak yang bertujuan memupuk mereka ke arah insan kamil.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif Lexi. J. Moleong yang mengatakan “metode Kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan, yang pertama: menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah
Universitas Sumatera Utara
apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, kedua : metode kualitatif menyajikan secara langsung hakekat hubungan antar peneliti dan responden, ketiga : metode kualitatif ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman dengan pengaruh bersama dan terhadap pola-pola yang dihadapi. Pada penelitian kualitatif, teoritis dibatasi pada pengertian: suatu pernyataan sistematis berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan diuji kembali secara empiris.” Dalam mencapai tujuan dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua metode yaitu: (1) Metode literatur yaitu metode yang menggali tesis ini melalui buku, kitab suci Al Qur’an, kamus, artikel dan lain-lain. (2) Metode wawancara dan tanya jawab dalam metode ini penulis melakukan tanya jawab secara langsung kepada pihak-pihak yang mengetahui tentang munajat terutama kepada penyenandung munajat, syekh-syekh dan tuan guru yang memimpin persulukan di Babussalam dengan tujuan untuk menambah pengetahuan guna melengkapi dan membantu metode literatur.
1.6.2 Transkripsi dalam Bentuk Notasi Untuk dapat mengkaji bentuk melodi munajat ini menggunakan metode transkripsi yang merupakan pencatatan (notasi) bunyi melodi seseorang atau sekelompok pemusik dalam bentuk lambang-lambang atau gambaran tertentu. Adapun bentuk notasi yang akan dipergunakan adalah notasi tablatura. Notasi tablatura merupakan cara pencatatan bunyi musik yang diwujudkan ke dalam
Universitas Sumatera Utara
bentuk simbol, dengan
tidak mewujudkan
lintasan gerakan naik turunnya
frekuensi nada. Menurut Nettl, kenyataan menunjukkan bahwa beberapa tangga nada dari tradisi non-Barat tidak selalu cocok dengan
ritme dan
sistem
notasi
Barat sehingga agak menyulitkan untuk memproduksi ulang kembali ke dalam notasi konvensional. khusus dari notasi
Beberapa
pentranskripsi menambah
simbol-simbol
konvensional tersebut, dengan simbol yang diinginkan,
sesuai dengan suara yang dihasilkan.
Misalnya interval yang lebih besar dari
setengah langkah ditambahi tanda "tambah" atau yang lebih kecil ditambahi tanda "kurang" di atas notnya (Nettl 1946:31). Transkripsi merupakan pencatatan (notasi) bunyi musik atau gerakgerik tari yang dihasilkan seseorang atau sekelompok pemusik atau penari, ke dalam bentuk
lambang-lambang atau gambaran
tertentu.
Pada dasarnya,
secara kasar bentuk-bentuk notasi musik dapat dikelompokkan kepada dua jenis: (1) notasi tablatura dan (2) notasi grafik.
Notasi tablatura merupakan cara
pencatatan bunyi musik atau gerak tari yang diwujudkan ke dalam bentuk simbol, dengan tidak mewujudkan lintasan gerakan naik turunnya frekuensi nada. Contoh notasi ini adalah nota angka Barat, yang pada awalnya diperkenalkan oleh Guido de Arrezo dan Cheve tahun 1850. Contoh
lain
adalah nota dalam
musikologi Jepang, untuk nada-nada G, A, C, D, E, dan G', simbol (
ditulis dengan
). Juga dalam musik Jawa
dikenal
sistem notasi kepatihan dan sari swara yang mempergunakan angka-angka Arabik.
Nota grafik merupakan
sistem
pencatatan bunyi
musik yang
Universitas Sumatera Utara
diwujudkan ke dalam bentuk simbol dengan menuruti lintasan gerak naik turunnya frekuensi nada atau lintasan melodi (melodic line).
1.6.3 Kehadiran Peneliti Guna mendapatkan data/informasi demi kepentingan thesis ini penulis melakukan wawancara langsung kepada tuan guru Babussalam, syekh-syekh, penyenandung munajat dan budayawan Tarekat Naqsyabandiah yang telah ditentukan sebagai informan. Penulis melakukan peran sebagai pengamat penuh dalam penelitian ini, serta peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subjek atau informan. Sebagaim informan tambahan peneliti melibatkan masyarakat setempat baik yang berlatar belakang Tarekat Naqsyabandiah maupun masyarakat yang tidak tergabung didalamnya guna mengetahui respon terhadap pembacaan munajat.
1.6.4 Sumber Data Lofland mengatakan bahwa umber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya ada data tambahan seperti dokumen. Sesuai dengan penelitia ini penulis memperoleh sumber data dari: 1.
Kata-kata dan tindakan yaitu : wawancara yang merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat dalam catatan secara tertulis atau melalui rekaman Video/Audio tapes dan pengambilan gambar foto.
Universitas Sumatera Utara
2.
Sumber tertulis yaitu, bahan yang berasal dari sumber tertulis yang terdapat pada : lembar teks munajat, buku , sumber dari arsip pemerintahan setempat dan artikel lainnya.
3.
Foto yang dipergunakan sebagai alat untuk keperluan penelitian kualitatif
1.6.5 Data Statistik Penulis menggunakan data statistik yang tersedia sebagai data tambahan demi mengetahui jumlah penduduk di Desa besilam (Babussalam). Begitu juga dengan sebaran penduduk berdasarkkan jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah rumah ibadah, tofografi desa, dan lainnya. Tentu saja penelitian ini menggunakan data pengikut Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat yang datanya terdapat di kelompok Tarekat ini.
1.6.6 Prosedur Pengumpulan Data Dalam prosedur pengumpulan data penulis menggunakan metode Lof Land yang dalam pengumpula data
nmenggunakan observasi partisipan,
wawancara mendalam dan dokumentasi. Fidelitas mengandung bukti nyata dari lapangan yang disajikan memakai instrument Audio dan Video. Disamping itu penulis juga menggunakan dimensi struktur agar penulisan dapat dilakukan secara sistematis pada saat wawancara dan observasi.
Universitas Sumatera Utara
1.6.7 Analisis Data Menurut Patton analisis data adalah : “mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar”. Taylor mendefinisannya : “Analisis data merupakan proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesa (ide). Dari pendapat diatas penulis menggunakan teori tersebut untuk menganalisis data dengan pertama-tama mengorganisasikan data yang terkumpul berupa gambar, catatan,artikel, biografi dan sebagainya. Data-data yang dikumpulkan diatur, diurutkan dan dikelompokkan dengan memberikan kode tertentu serta dikategorikan.
1.7 Sistematika Penulisan Tesis ini ditulis ke dalam lima bab. Setiap bab dipandang sebagai satu kesatuan yang dekat. Antara bab sendiri merupakan satu kesatuan dalam rangka memecahkan pokok masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun sistematika penulisan atau pembahagian bab tulisan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. Bab I merupakan Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka. Konsep dan Teori yang Digunakan (Konsep, Teori), Metode Penelitian (Pendekatan Penelitian, Kehadiran Peneliti, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data) dan Sistematika Penulisan.
Universitas Sumatera Utara
Bab II berisi tentang Tarekat Naqsyabandiah Babussalam meliputi sejarah berdirinya, masuknya ketanah melayu langkat dan biografi tuan guru Syekh Abdul Wahab Rokan serta Membahas aktifitas yang dilakukan diTarekat Naqsyabandiah,
pemaknaan
di
dalam
ritualnya
serta
silsilah
Tarekat
Naqsyabandiah. Bab III membahas tentang fungsi dan guna munajat dirinjau dari aspek etnomusikologis.
Bab ini terdiri dari sub bab penggunaan munajat, yaitu
menjelang azan dan salat Subuh, Maghrib, dan Jum’at. Fungsinya sebagai penguat identitas Tarekat, komunikasi kepada Allah SWT., integrasi kelompok Tarekat, penyajian estetika, mengesakan Allah, dan lainnya. Bab IV berisi kajian syair munajat berdasarkan makna semiotik dengan hubungannya dengan keberadaan Tarekat Naqsyabandiah. Teori semiotik ini menggunakan empat jenis yaitu dari Peirce, Saussure, Barthes, dan Halliday. Bab V berisi tentang analisis munajat berdasarkan melodinya. Ada delapan unsur yang akan dikaji yaitu: tangga nada, wilayah nada, jumlah nada, nada dasar, formula melodi, interval, pola-pola kadensa, dan kontur. Bab VI Merupakan Bab Penutup yang berisi tentang kesimpulan penelitian ini yang menjawab tiga pokok masalah dan disertai dengan saran-saran keilmuan praktis seni budaya.
Universitas Sumatera Utara