1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan A. Latar Belakang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyebutkan bahwa titik berat pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 33 menjelaskan bahwa pembangunan di bidang ekonomi didasarkan pada demokrasi ekonomi dan masyarakat diwajibkan memegang peran aktif dalam kegiatan pembangunan. Diantara program pembangunan di bidang ekonomi tersebut adalah mpeningkatkan pembinaan tehadap golongan ekonomi lemah, yaitu dengan meningkatkan kemampuan usaha dan pemasaran dalam rangka pengembangan kewiraswastaannya.1 Lembaga jaminan kredit yang mampu memberikan kepastian hukum dan perlindungan baik kepada kreditur maupun kepada debitur, menurut R. Subekti, adalah lembaga jaminan yang ideal, yaitu : 1) yang secara mudah membantu perolehan kredit itu pihak yang memerlukannya; 2) yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya;
1
Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1988-1993, Bina Pusataka Tama, Surabaya, hlm. 47.
1
2
3) yang memberikan kepastian si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit.2 Praktek perbankan pemberian kredit oleh Undang-Undang Perbankan ditegaskan bahwa dalam rangka melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk kredit perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) Harus
dilakukan
dengan
menggunakan
prinsip
kehati-hatian
(prudential principles); 2) Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan; 3) Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank; 4) Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Disamping penilaian tersebut di atas dan usaha untuk kepentingan bank selaku kreditur, bank diijinkan untuk minta jaminan yang dikhususkan untuk bank. Jaminan khusus yang timbul karena adanya jaminan yang berupa kebendaan. Jaminan khusus untuk benda tak bergerak sebagai lembaga jaminannya adalah Hak Tanggungan. Tata hukum Indonesia mengenal adanya jaminan umum dan jaminan yang bersifat khusus. Terhadap jaminan yang bersifat umum, yaitu dalam 2
R. Subekti, Ditulis kembali oleh Johannes Gunawan, 1996, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya, hlm.21.
3
ketentuan Pasal 1331 KUHPerdata, yang berbunyi : “Segala kebendan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatanya perseorangan”. Pasal 1332 KUHPerdata berbunyi: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan” Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, bahwa semua kreditur itu mempunyai hak yang sama terhadap semua benda milik debitur, kecuali jika ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.3 Ketentuan dalam Undang-Undang yang bersifat memberikan jaminan bagi perutangan debitur telah ada sebagaiman tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Ketentuan tersebut diatas merupakan ketentuan yang bersifat umum. Dalam arti bahwa yang menjadi jaminan adalah semua harta benda milik debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,benda yang sudah ada maupun yang masih akan ada. Jaminan yang demikian di dalam praktek perkreditan tidak menguntungkan dan kurang menjamin rasa aman bagi perolehan kredit yang diberikan. Kreditur memerlukan adanya benda–benda tertentu yang dijadikan jaminan secara khusus dan hanya berlaku bagi kreditur itu sendiri.
3
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, 1975, Hukum Perdata – Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, hlm.32.
4
Negara dalam rangka mengadakan unifikasi Hukum Tanah Nasional, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria kemudian disebut dengan UUPA menyediakan lembaga Hak Jaminan atas tanah yang baru, yaitu Hak Tanggungan. Hak tanggungan ini menggantikan lembaga hipotik dan creditverband yang merupakan lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah dalam kuasa hukum tanah yang lama. Semenjak berlakunya UUPA maka Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga jaminan atas tanah yang ketentuannya diatur dalam hukum tertulis. UUPA mengenai Hak Tanggungan tersebut baru menetapkan obyeknya, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Hak Tanggungan ini dalam Pasal 51 UUPA, masih akan diatur dengan undang-undang. Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa selama undang-undang yang dimaksudkan dalam Pasal 51 UUPA tersebut belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang mengenai hipotik dalam KUHPerdata tersebut berasal dari jaman kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan jaminan sebagai akibat dari kemajuan dalam perkembangan pembangunan perekonomian. Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji menurut Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996 Pasal 11 ayat (2) tentang
5
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah yang selanjutnya disebut dengan UUHT, antara lain: 1) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/ atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/ atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan 3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan KetuaPengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji; 4) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
6
5) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji; 6) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; 7) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan 8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruhatau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum; 9) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan; 10) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; 11) Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4). Pasal-pasal dari ketentuan tersebut di atas tampak jelas bahwa dengan adanya janji-janji dalam APHT tersebut diharapkan bahwa dana yang telah diberikan dari kreditur kepada debitur dapat terselamatkan bila terjadi
7
masalah di kemudian hari. Pihak pemegang Hak Tanggungan yang memberi kredit kepada debitur berusaha untuk tidak dirugikan oleh debitur sebagai akibat penjualan benda jaminan. Janji-janji dalam APHT sangat penting artinya dalam hal pelaksanaan perjanjian kredit, kelalain dalam pencantumannya dapat berdampak merugikan bagi kreditur. Alasannya adalah adanya ketentuan dalam UUHT Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa benda hasil penjualan Hak Tanggungan dapat dimintakan pembersihan dari beban Hak Tanggungan. Hal ini tentu akan merugikan pihak pemegang Hak Tanggungan karena pemegang Hak Tanggungan tidak terlindungi lagi. Janji untuk tidak dibersihkan dari beban Hak Tanggungan oleh karena itu dalam APHT harus diperjanjikan. Janji ini sangat penting dalam pencantumannya karena berhubungan dengan eksekusi benda jaminan jika terjadi kredit macet,dan diperlukan untuk pelunasan utang. BPR Nguter Surakarta cabang Magelang dalam perjalanan pemberian kredit kepada nasabahnya, mengedapankan prinsip kehati-hatian guna perlindungan terhadap kreditnya. Klusula-klausula dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sebagaimana tercantum di ketentuan Pasal 11 ayat (4) UUHT yang memberikan perlindungan terhadap pemegang Hak Tanggungan, juga dimanfaatkan oleh BPR Nguter Surakarta cabang Magelang sebagai salah satu cara mencegah terjadinya kerugian terhadap kredit yang telah diberikan. Pelaksanaan pemberian kredit pada BPR Nguter Surakarta cabang Magelang didalam prakteknya tidak selalu
8
berjalan lancar seperti yang dikehendaki. Beberapa kasus yang terjadi mulai dari pelaksanaan perjanjian kreditnya yang mengalami kredit macet yang mana kredit dikatakan macet apabila telah terpenuhinya syarat kredit macet yang mana debitur tidak mampu lagi untuk membayar, hingga pada eksekusi yang dilakukan terhadap benda jaminan dikarenakan pihak debitur yang tidak bisa melunasi hutangnya kepada kreditur. Kasus yang pernah dihadapi terkait perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan oleh BPR Nguter Surakarta cabang Magelang adalah benda jaminan yang disewakan oleh pemberi Hak Tanggungan dimana terjadi perubahan terhadap perjanjian sewa tersebut tanpa persetujuan dari BPR Nguter Surakarta cabang Magelang (pemegang Hak Tanggungan) dimana nasabah bertindak berdasarkan pemahaman bahwa nasabah lah pemilik benda jaminan sehingga berhak bebas untuk melakukan apapapun terhadap bendanya tanpa mengingat bahwa benda tersebut sedang dijaminkan. Kasus lainnya adalah penjualan benda jaminan,dimana pada saat terjadinya kredit macet maka akan dilakukan eksekusi benda jaminan. Eksekusi benda jaminan merupakan keadaan apabila si debitur tidak bisa melunasi hutangnya maka kreditur berhak atas benda jaminan sebagai pelunasan sisa hutang dari debitur. Penjualan benda jaminan dari hasil eksekusi terkadang tidak mencukupi untuk pelunasan terhadap sisa hutang yang dimiiki oleh debitur, sehingga sisa piutang BPR Nguter Surakarta cabang Magelang tidak terlindungi lagi oleh Hak Tanggungan.
9
Permasalahan yang dihadapi oleh BPR Nguter Surakarta cabang Magelang maka apabila dilihat, terkait erat kaitannya dengan janji-janji yang ada di APHT. Janji-janji dalam APHT ini merupakan tindakan pencegahan agar tidak terjadi kerugian. Penulis dalam hal ini berkeinginan untuk mengakaji secara lebih dalam terkait berbagai permasalahan yang dihadapi BPR Nguter Surakarta cabang Magelang seperti diatas secara teoritis maupun penyelesaiannya didalam praktek, sehingga dari sini akan terlihat seberapa efektifkah janji-janji didalam APHT dapat berjalan secara efektik untuk melindungi pemegang Hak Tanggungan dari segala kerugian yang mungkin timbul dikemudian hari. Prosedur eksekusi terhadap benda jaminan menjadi menarik untuk dibahas dikarenakan prosedur ini terkait dengan alur atau proses yang akan dilalui oleh kreditur (pemegang Hak Tanggungan) saat terjadi kredit macet sehingga akan dilakukan penyitaan terhadap benda jaminan. Prosedur ini ditempuh agar sesuai dengan aturan yang sedang berlaku dan berimplikasi pada sah nya eksekusi benda jaminan tersebut menurut hukum,sehingga menambah rasa aman bagi kreditur. Berdasarkan pendapat diatas maka mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul : “Penerapan Janji Janji Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan Pada Eksekusi Benda Jaminan Dalam Penyelesaian Kredit Macet Di PT. BPR Nguter Surakarta Cabang Magelang”.
10
B. Perumusan Masalah 1) Bagaimanakah penerapan janji-janji yang terdapat di Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) didalam pelaksanaan perjanjian kredit di Bank Perkreditan Rakyat Nguter Surakarta Cabang Magelang? 2) Bagaimana prosedur eksekusi dan penyelesain di praktek apabila benda jaminan yang telah dieksekusi namun belum mencukupi untuk pelunasan hutang di Bank Perkreditan Rakyat Nguter Surakarta Cabang Magelang? C. Keaslian Penelitian Berdasarkan dari penelusuran dari penulis maka telah ada beberapa penelitian mengenai Hak Tanggungan, antara lain : 1. “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Berdasarkan Parate Executie”.4 Ditulis oleh Ronald T.Magalik tahun 2012 pada prog3ram studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penulisan
hukum
ini
mengabil
permasalahan
bagaimanakah
perlindungan hukum kreditur dalam parate executie terhadap obyek Hak Tanggungan? Dan bagaimanakah eksistensi pemegang Hak Tanggungan
dalam
melakukan
parate
executie
obyek
Hak
Tanggungan?. Hasil penelitian adalah perlindungan hukum yang diperoleh kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama telah diperoleh dalam hal parate exeutie terhadap obyek Hak Tanggungan 4
Ronald T.Magalik, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Berdasarkan Parate Executie, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
11
(benda jaminan). Hal tersebut diketahui dari adanya kepastian hukum bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama dalam melakukan eksekusi terhadap obyek Hak Tanggungan berdasarkan prinsip parate executie. Eksistensi pemegang Hak Tanggungan pertama belum sepenuhnya diakui dalam melakukan parate executie terhadap obyek Hak Tanggungan. Pengaturan tentang prosedur pelaksanaan parate executie menimbulkan permasalahan, karena di satu sisi pelaksanaan penjualan terhadap obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa fiat Ketua Pengadilan Negeri. Akibatnya pelaksanaan parate executie yang merupakan hak kreditur menjadi kabur dan bahkan dapat dikatakan terjadi konflik norma. 2. “Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada PT Bank Danamon Indonesia, Tbk Unit Pasar Bandar Jaya Lampung Tengah”.5 Ditulis oleh Arsyasepta Prawidika tahun 2012 pada progaram studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penulisan hukum tersebut membahas mengenai alasan PT. Danamon ,Tbk Unit Pasar Bandar Jaya Lampung Tengah mengikat jaminan benda tidak bergerak dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk kredit produktif yang seharusnya cukup dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan perlindungan hukum yang diperoleh PT Danamon ,Tbk Unit Pasar Bandar Jaya 5
Arsyasepta Prawidika, 2012, Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada PT Bank Danamon Indonesia, Tbk Unit Pasar Bandar Jaya Lampung Tengah, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
Lampung Tengah dalam penyelesaian kredit macet dengan lelang eksekusi objek Hak Tanggungan melalui Kantor Pelayanan Negara dan Lelang (KPKNL). Hasil dari penelitian adalah bahwa SKMHT akan memberikan kekuatan hukum terhadap kedudukan kreditur sebagai kreditur preferen apabila telah ditindak lanjuti dengan APHT. Selain itu terkait pelaksanaan lelang dilakukan karena dapat mewujudkan harga yang optimal, karena sistem pelelangan bersifat terbuka sehingga mengakibatkan barang akan terjual dengan harga yang optimal untuk pelunasan kredit 3. “Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Temanggung”.6 Ditulis oleh Yantut Agung Haryanto tahun 2009 pada program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan permasalahan : a. Bagaimana penyelesain kredit macet dengan jaminan Hak Tanggungan
pada
PT.
Bank
Rakyat
Indonesia
Cabang
Temanggung? b. Hambatan apa yang ditemui dalam penyelesaian kredit macet dengan jaminan Hak Tanggungan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Temanggung?
6
Yantut Agung Haryanto, 2009, Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Temanggung, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
Penelitian ini lebih menitikberatkan pada cara penanganan bila terjadi kredit macet yang dilakukan oleh bank serta apa saja hal yang sering menjadi permasalan dalam penyelesaian kredit macet tersebut. Perbedaannya dengan penelitian dari penulis adalah mengenai pada perlindungan hukum yang diperoleh oleh kreditur saat terjadinya kredit macet. Perlindungan hukum disini yang dimaksudkan adalah perlindungan hukum berdasarkan janji-janji yang terdapat pada APHT yang berisi perlindungan terhadap pemegang Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tangungan. Penelitian ini ingin mengetahui seberapa efektifkah janji-janji yang terdapat dalam ketentuanketentuan dari Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996 pasal 11 ayat (2) dalam praktek dari awal hingga terjadinya eksekusi terhadap obyek Hak Tanggungan. Dari penelusuran tersebut dapat dikatakan bahwa penelitian tentang “Implementasi Klausula Klausula Akta Pemberian Hak Tanggungan Pada Eksekusi Benda Jaminan Dalam Penyelesaian Kredit Macet Di PT. BPR Nguter Surakarta Cabang Magelang” adalah asli.
D. Faedah Yang Dapat Diharapkan 1) Secara Akademis Bagi ilmu pengetahuan yang telah ada diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum secara umum, khususnya pada ilmu hukum pada bidang Kenotariatan.
14
2) Secara Praktis a. Memberikan saran dan juga masukan kepada lembaga yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan setiap proses kegiatan agar dapat memberi perlindungan hukum bagi berbagai pihak; b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak dalam bidang perbankan khususnya dalam hal perkreditan dengan jaminan Hak Tanggungan.
2. Tujuan Penelitian A. Tujuan Obyektif 1) Untuk mengetahui dan mengakaji upaya Bank Perkreditan Rakyat Nguter Surakarta Cabang Magelang agar tidak dirugikan saat terjadinya eksekusi benda jaminan yang terdapat klausula-klausula dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)-nya 2) Untuk mengetahui dan mengakaji prosedur eksekusi benda jaminan dalam penyelesaian kredit macet di Bank Perkreditan Rakyat Nguter Surakarta Cabang Magelang B. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data akurat dan bahan dasar yang lengkap tentang obyek yang sedang dilakukan penelitian serta berguna dalam tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.