BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Industrialisasi telah tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Memasuki perkembangan era industrialisasi yang bersifat global seperti sekarang ini, persaingan industri untuk memperebutkan pasar baik pasar lokal, nasional, regional maupun internasional, dilakukan oleh setiap perusahaan secara kompetitif. Industrialisasi dalam melakukan aktivitasnya sudah tentu memerlukan SDM yang mendukung usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Bagaimanapun lengkap dan canggihnya sumber daya nonmanusia yang dimiliki oleh suatu perusahaan, tidaklah menjadi jaminan bagi perusahaan tersebut untuk mencapai suatu keberhasilan. Jaminan untuk dapat berhasil, lebih banyak ditentukan oleh sumber daya manusia yang mengelola, mengendalikan, dan mendayagunakan sumber daya non-manusia yang dimiliki. Neni (2005) menyatakan bahwa pada dasarnya kekuatan yang ada dalam suatu perusahaan terletak pada orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Apabila tenaga kerja diperlakukan secara tepat dan sesuai dengan harkat dan martabatnya, perusahaan akan mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh perusahaan. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa faktor sumber daya manusia memegang peranan yang paling penting dan utama dalam proses produksi, karena alat produksi tidak akan berjalan tanpa dukungan dan keberadaan SDM.
1
2
Faktor pekerja erat kaitannya dengan peningkatan produksi dan produktivitas. Keselamatan kerja dapat membantu peningkatan produksi dan produktivitas atas dasar bahwa dengan tingkat keselamatan yang tinggi, kecelakaan yang menjadi sebab sakit, cacat dan kematian dapat ditekan sekecil-kecilnya. Tingkat keselamatan yang tinggi sejalan dengan pemeliharaan dan penggunaan peralatan kerja dan mesin yang produktif dan efisien dan bertalian dengan tingkat produksi dan produktivitas yang tinggi (Suma’mur, 1996). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan hal yang penting bagi perusahaan karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Semakin cukup kuantitas dan kualitas fasilitas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), maka semakin tinggi pula mutu kerja karyawannya. Dengan demikian perusahaan akan semakin diuntungkan dalam upaya pencapaian tujuannya (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007). Untuk menjamin Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi para pekerja, pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan perundangan. Pemerintah Indonesia pertama kali telah membuat Undang-undang Kecelakaan tahun 1947 Nomor 33 yang berlaku tanggal 6 Januari 1951, disusul dengan Peraturan Pemerintah tentang Pertanyaan berlakunya Peraturan Kecelakaan tahun 1947 (PP No. 2 Tahun 1948), dan akhirnya UU No. 1 Tahun 1970 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja. UU yang terakhir inilah yang sekarang dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan K3. Meskipun
3
telah banyak peraturan perundangan yang mengatur tentang K3, tetapi masalah tersebut secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Setiap tahun ribuan kecelakaan terjadi di tempat kerja yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan materi, dan gangguan produksi. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Berdasarkan data di PT Jamsostek, angka kecelakaan kerja di Indonesia dalam lima tahun terakhir cenderung meningkat, pada tahun 2011 terdapat 99.491 kasus, sedangkan tahun 2010 hanya 98.711 kasus kecelakaan kerja, pada tahun 2009 terdapat 96.314 kasus, tahun 2008 terdapat 94.736 kasus, dan pada tahun 2007 terdapat 83.714 kasus. Keselamatan selama melakukan aktivitas kerja merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, perusahaan yang baik selalu peduli pada Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) karyawannya (Sungkono, 2012). Sementara itu, PT Jamsostek menyatakan dalam tahun 2012 setiap hari ada 9 pekerja peserta Jamsostek yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja, sementara total kecelakaan kerja pada tahun yang sama 103.000 kasus karena di Indonesia hanya 2,1 persen dari 15.000 perusahaan berskala besar yang menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) (Sholihin, 2014). Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi disebutkan bahwa sampai tahun 2013 di Indonesia tidak kurang dari enam pekerja meninggal dunia setiap hari akibat kecelakaan kerja. Angka tersebut tergolong tinggi dibandingkan negara Eropa hanya sebanyak dua orang meninggal per hari karena kecelakaan kerja (Anonim 1, 2014).
4
Riset yang dilakukan oleh badan dunia International Labour Organization (2003) menunjukkan, bahwa setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, setara dengan satu orang setiap 15 detik atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit atau kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Data terbaru dari Internasional Labor Organization (ILO),di Indonesia rata-rata per tahun terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja. Dari total jumlah itu, sekitar 70 persen berakibat fatal yaitu kematian dan cacat seumur hidup (Anonim 1, 2014). Sementara itu, jumlah kasus kecelakaan tenaga kerja di DIY paling banyak dialami tenaga kerja produktif dengan usia 26 hingga 30 tahun sepanjang kurun waktu 2013 lalu yang mencapai 1.347 kasus. Mayoritas disebabkan kecelakaan di lokasi tempat mereka bekerja di mana kondisi ini berbeda dibandingkan 2012 yang didominasi kecelakaan lalu lintas saat perjalanan pergi maupun pulang dari tempat kerja. Berdasarkan data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan DIY sepanjang 2013 lalu terjadi 1.347 kasus kecelakaan kerja. Sebanyak 651 kasus adalah kecelakaan di lokasi kerja, 460 kasus karena kecelakaan lalu lintas dan 236 kasus disebabkan kecelakaan di luar tempat kerja, yang bukan karena lalu lintas. Dari total perusahaan yang wajib memberikan BPJS di DIY yaitu 3.464 perusahaan yang sudah terdaftar BPJS 1.377 perusahaan. Sedangkan 2.000 lebih perusahaan belum mendaftar BPJS karena kebanyakan perusahaan berskala kecil dan sedang di DIY (Prayitno, 2014). Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kerupuk Subur memproduksi kerupuk berbahan baku tepung tapioka dan gaplek. Dari observasi pendahuluan yang
5
dilakukan, setiap aktivitas produksinya terdapat potensi bahaya baik dari segi manusia (pekerja), bahan baku, mesin dan peralatan serta lingkungan kerja. Kemungkinan potensi bahaya yang ada yaitu bahaya fisik, kimia, ergonomik, mekanis, dan listrik. Dari pengukuran yang dilakukan, di UKM Kerupuk Subur terdapat bahaya fisik pada stasiun kerja pembuatan bumbu cair dan bumbu pasta yang suhu ruangannya mencapai 35oC dan kelembabannya 56%. Kondisi lingkungan fisik yang ekstrem dapat mempengaruhi kesehatan pekerja. Selain itu, dari hasil wawancara dengan beberapa pekerja juga diketahui bahwa selama ini terkadang mereka mengalami kecelakaan kerja seperti terpercik api, kejatuhan benda, tersengat arus listrik, tangan pekerja terluka akibat terkena mesin pembuat adonan, dan kecelakaan-kecelakaan kerja yang lain. Pada saat observasi pendahuluan disebarkan kuesioner Nordic Body Map kepada semua pekerja yang berjumlah 9 orang. Kuesioner tersebut diisi oleh pekerja sebelum dan sesudah mereka selesai melakukan tugas pokoknya. Peta tubuh hasil kuesioner Nordic Body Map terdapat pada Lampiran 1. Berdasarkan peta tubuh tersebut, sebagian besar pekerja merasakan sakit pada beberapa anggota tubuhnya setelah mereka bekerja. Namun demikian, ada beberapa pekerja yang sebelum mulai bekerja justru mengalami sakit akibat melakukan aktivitas pada hari sebelumnya. Walaupun terdapat potensi bahaya kecelakaan maupun penyakit akibat kerja,
UKM Kerupuk Subur sama dengan
kebanyakan UKM yang lain, belum menerapkan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pihak industri tidak rutin menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) untuk pekerja.
6
Sebenarnya, risiko bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan tetapi merupakan sesuatu yang harus dikelola. Untuk dapat mengurangi/menghilangkan risiko yang ada maka perlu dilakukan identifikasi bahaya kerja pada setiap tahapan prosesnya yang selanjutnya dapat dianalisis risiko dan dilakukan pengendalian dari risiko yang ada. Upaya pencegahan kecelakaan kerja ini dapat dilakukan dengan menggunakan analisis Hazard Identification, Risk Assessment, and Risk Control (HIRARC). Pada dasarnya, Hazard Identification, Risk Assessment, and Risk Control (HIRARC) merupakan elemen pokok dalam Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan pengendalian bahaya kerja. Selain itu, HIRARC juga merupakan bagian dari sistem manajemen risiko (Ramli, 2010). Aktivitas dalam HIRARC ini mencakup identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan pengendalian risiko. Tujuan dari identifikasi bahaya adalah untuk menjamin agar proses produksi bisa berjalan secara terus-menerus dengan melindungi pekerja, peralatan dan lingkungan kerja dari terjadinya kecelakaan kerja. Proses identifikasi bahaya yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode Job Safety Analysis (JSA). Metode JSA dipilih karena metode ini menganalisis tingkat/potensi bahaya pada setiap prosedur kerja dan dapat memberikan rekomendasi perbaikan atau cara pencegahan bahaya pada pekerjaan. JSA berfungsi untuk menganalisis potensi bahaya dari pekerjaan yang akan dijalankan dan nantinya dapat membantu pekerja untuk memahami tahapan pekerjaan yang akan dilakukan. Selain JSA, salah satu metode yang dapat digunakan untuk
7
identifikasi bahaya adalah What-if Analysis. Namun, pada metode tersebut identifikasi bahaya tidak dilakukan pada setiap aktivitas kerja, tetapi langsung pada stasiun kerjanya sehingga ada kemungkinan terdapat potensi bahaya yang tidak teridentifikasi. 1.2
Rumusan Masalah Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa di UKM Kerupuk Subur belum
diterapkan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), padahal setiap tahapan produksi mempunyai potensi bahaya yang beragam. Oleh karenanya maka perlu dilakukan identifikasi bahaya pada setiap aktivitas produksinya agar dapat diketahui semua potensi bahaya kerja yang ada dan selanjutnya dilakukan penilain risiko untuk mengetahui level risiko bahaya yang telah teridentifikasi sebelumnya sehingga dapat diketahui bahaya apa saja yang tergolong risiko ekstrem. Hasil penilaian risiko tersebut dijadikan dasar untuk penyusunan rekomendasi pengendalian risiko apa yang dapat diterapkan pada UKM tersebut. 1.3
Batasan Masalah 1. Pengamatan dilakukan selama bulan Mei-Juli 2014 2. Pengkategorian risiko dilakukan berdasarkan matriks risiko yang bersumber pada UNSW Health and Safety, 2008. 3. Penelitian dilakukan hanya pada proses produksi kerupuk kering karena proses penggorengan tidak dilakukan oleh pekerja pabrik 4. Dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan aspek biaya
8
1.4
Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi bahaya kerja yang ada di UKM Kerupuk Subur 2. Mengidentifikasi bahaya kerja yang memiliki level risiko ekstrem 3. Menyusun rekomendasi pengendalian risiko untuk bahaya yang memiliki level risiko ekstrem
1.5
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan pengendalian risiko potensi
bahaya kerja oleh UKM yang bersangkutan dan UKM lain yang sejenis guna menciptakan lingkungan kerja dengan tingkat Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang tinggi bagi para pekerja sehingga produktivitas kerja tidak terganggu akibat kecelakaan kerja. Teridentifikasinya risiko membuat pekerja lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas kerjanya.