BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pulau Bali sebagai destinasi wisata sudah terkenal baik pada tingkat nasional maupun internasional. Hal ini disebabkan oleh potensi yang dimiliki Bali, yaitu keindahan alam dan keunikan budayanya. Secara ekonomi, peran pariwisata bagi Bali sudah tidak dapat diragukan lagi karena pariwisata telah dapat membuka lowongan kerja dan kesempatan berusaha yang lebih luas sehingga dapat meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat. Namun sampai saat ini pembangunan pariwisata nampaknya belum dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat Bali karena pembangunan pariwisata Bali Utara, Barat dan Timur kondisinya relatif tertinggal dibandingkan dengan Bali Selatan. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dalam seminar nasional pariwisata di Universitas Udayana tanggal 28 Februari 2009 dengan tema “Pariwisata Sebagai Wahana Diplomasi Budaya dalam Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, mengatakan bahwa pembangunan pariwisata di Bali Selatan seperti Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan sebagian Kabupaten Gianyar telah melampaui ambang batas (over load), sementara di Bali Utara, Barat dan Timur masih jauh di bawah ambang batas (under load). Kawasan Pariwisata Kuta, Sanur, Nusa Dua, dan Ubud selalu ramai dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Meskipun kawasan Nusa Dua baru dikembangkan sekitar tahun 1980-an, namun sekitar tahun 1990-
1
2
an kawasan ini telah menjadi kawasan yang terkenal ke seluruh dunia sebagai kawasan pariwisata mewah dan eksklusif. Bahkan di bawah manajemen Bali Tourism Development Center (BTDC) kawasan ini telah meraih sertifikat Green Globe dalam penataan lingkungan (Bali Post, 10 September 2009) dari lembaga internasional sehingga akan membuat kawasan ini semakin terkenal di mata wisatawan. Selanjutnya, Kawasan Ubud kondisinya tidak jauh berbeda dengan Kawasan Nusa Dua. Kawasan ini selalu ramai dikunjungi wisatawan sehingga pariwisata sudah menjadi sumber penghasilan utama masyarakat setempat yang dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor lain seperti pertanian, peternakan dan industri kerajinan. Sebaliknya, Kabupaten Buleleng yang memiliki wilayah paling luas diantara kabupaten-kabupaten yang lain di Bali mendapat kunjungan wisatawan yang masih rendah. Perbedaan jumlah kunjungan wisatawan ke daya tarik wisata Kabupaten Buleleng, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar selama lima tahun terakhir seperti Tabel 1.1.
3
Tabel 1.1 Kunjungan Wisatawan ke Daya Tarik Wisata Jumlah Kunjungan Wisatawan (Domestik dan No.
Tahun
Mancanegara) ke Daya Tarik Wisata Kota Denpasar Kab. Gianyar Kab. Buleleng
(13 DTW) (16 DTW) (38 DTW) 1 2005 313.967 473.649 200.745 2 2006 225.204 492.487 206.670 3 2007 216.370 670.388 215.914 4 2008 295.912 750.703 155.199 5 2009 386.181 812.536 379.589 Sumber: Data Pariwisata Kota Denpasar (2009) Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar (2005-2009) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng (2005-2009)
Berdasarkan Tabel 1.1, Kabupaten Buleleng selama lima tahun terakhir memiliki tingkat kunjungan wisatawan yang lebih rendah dibandingkan dengan Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar. Padahal dari segi jumlah dan nilai, Kabupaten Buleleng memiliki daya tarik wisata yang paling banyak (38 DTW) dibandingkan dengan Kota Denpasar (13 DTW) dan Kabupaten Gianyar (16 DTW). Kalau ketimpangan pembangunan pariwisata
ini dibiarkan tentu akan
membawa dampak-dampak negatif terhadap pariwisata Bali. Pujaastawa, et al. (2005:4) mengemukakan dampak-dampak negatif tersebut berupa makin meningkatnya kesenjangan ekonomi antara Bali Selatan dengan wilayah Bali lainnya, kepadatan penduduk, persaingan hidup serta ancaman terhadap lingkungan. Selanjutnya Adnyana dan Suarna dalam Dalem et al. (2007:3-21) mengemukakan dampak-dampak pariwisata terhadap lingkungan meliputi kerusakan hutan, penurunan keanekaragaman hayati, permasalahan sumber daya
4
air, pencemaran (udara, air dan tanah), abrasi/erosi pantai, kerusakan terumbu karang, serta permasalahan sampah dan limbah. Dalam rangka mengurangi dampak-dampak negatif tersebut maka perlu dilakukan pemerataan pembangunan pariwisata terutama ke daerah-daerah yang masih memiliki wilayah cukup luas seperti Kabupaten Buleleng. Menurut Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Bali, I Made Sujana (2009), Kabupaten Buleleng memiliki potensi pariwisata yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan Kabupaten Badung dan Gianyar baik dari segi keindahan alam dan keanekaragaman budayanya sehingga Kabupaten Buleleng diakui memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata unggulan dunia (Sujana, 2009). Kabupaten Buleleng memiliki luas 136.588 hektar atau 24,25 % dari luas wilayah Pulau Bali, memiliki panjang pantai dari ujung barat ke timur 144 km, terdiri dari 9 kecamatan, 129 desa definitif, 19 kelurahan, 550 dusun dan 58 lingkungan dengan jumlah penduduk 650.237 jiwa (BAPPEDA Kabupaten Buleleng, 2009). Topografi Kabupaten Buleleng yang nyegara gunung (Sukardi, 2006:4) artinya di bagian selatan berupa daerah pegunungan dan perbukitan, sedangkan di bagian utara merupakan dataran rendah yang berpantai, memiliki hutan seluas 51.436,21 hektar merupakan 9,13% dari luas Provinsi Bali atau 39,36% dari luas hutan di Bali (SLHD Bali, 2003 dalam Dalem, et al. 2005:15). Kondisi geografis ini dapat menguntungkan pengembangan ekowisata karena dapat dimanfaatkan untuk aktivitas pariwisata seperti trekking.
5
Selain alam, Kabupaten Buleleng juga memiliki banyak potensi budaya berupa pura-pura bersejarah yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda yang tersebar di desa-desa seperti Pura Maduwekarang di Desa Kubutambahan, Pura Beji dan Pura Dalem Kelod di Desa Sangsit, Pura Dalem Segara Madu dan Pura Beraban di Desa Jagaraga. Ukiran dan relief yang menghiasi dinding-dinding pura tersebut memiliki style realistis yaitu berupa alam, hewan, manusia dan budaya dengan pola rambatan dedaunan yang lebih besar dan sederhana. Banyak juga yang mengisahkan tentang unsur-unsur budaya luar (Barat) seperti sepeda, mobil, pesawat terbang, kapal laut dan patung orang-orang Eropa (Belanda) seperti yang terdapat pada Pura Beji Sangsit, Pura Maduwekarang Kubutambahan, Pura Dalem Segara Madu dan Pura Beraban Jagaraga. Di Desa Sangsit juga terdapat sebuah goa dan upacara bukakak yang memiliki nilai sejarah yang berhubungan dengan sistem persubakan. Setiap hari raya Nyepi lingkungan goa ini biasanya dikunjungi banyak wisatawan lokal yang berasal dari desa-desa sekitarnya. Sedangkan upacara bukakak merupakan upacara subak Beji yang unik karena tidak dapat dijumpai di tempat lain. Menurut sejarah Perang Jagaraga pada tahun 1846-1849 (Sastrodiwiryo, 1994) wisatawan asing, khususnya Belanda, sudah mengenal Desa Sangsit dan Jagaraga sejak satu setengah abad yang lalu. Ketika itu kapal-kapal tentara Belanda berlabuh di pantai Sangsit sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Jagaraga. Pada saat perang berlangsung pasukan Buleleng yang dipimpim oleh I Gusti Ketut Jelantik menggunakan Pura Dalem Segara Madu sebagai benteng pertahanan.
6
Selain sebagai desa bersejarah, Desa Jagaraga juga merupakan sebuah desa seni. Nyoman Diksa (67 tahun), seorang tokoh masyarakat dari Desa Kalisada yang lama tinggal di Desa Sawan, menuturkan bahwa pada zaman kepemimpinan Presiden Sukarno sekitar tahun 1950-an kesenian gong Jagaraga pernah pentas ke Rusia, tahun 1960-an pentas ke Kota Bangkok atas undangan raja Thailand, dan bahkan sering juga pentas di istana negara Jakarta atas undangan Presiden Sukarno. Beberapa seniman Bali seperti Made Wandres dan Gede Manik (pencipta dan pengembang tari Palawakya dan Truna Jaya) juga berasal dari Desa Jagaraga. Pemerintah Kabupaten Buleleng melestarikan nama Gede Manik dengan mendirikan sebuah gedung kesenian yang diberi nama Gedung Kesenian Gede Manik. Seorang tokoh seniman dari desa ini, Gde Yadnya (67 tahun), pernah mendapatkan piagam penghargaan Wija-Kusuma dari Bupati Buleleng pada tahun 1985 dan penghargaan Dharma Kusuma Madia dari Gubernur Bali pada tahun 1987 atas pengabdiannya di bidang seni. Menurut Nyoman Diksa pada tahun 1954 anggota kesenian Desa Sawan pernah melanglang buana ke Kota Peking dan tahun 1978 ke negara Perancis. Semenjak itu nama gong Sawan menjadi terkenal di kalangan masyarakat Asia dan Eropa khususnya Cina dan Perancis sehingga sekarang ada beberapa wisatawan baik dari Asia maupun Eropa yang mengunjungi tempat pembuatan gong di desa ini. Selain kerajinan gong, wisatawan juga tertarik dengan kerajinan pande besi dan suasana Pura Batu Bolong. Saat ini di Desa Sawan juga terdapat Geriya Taman Sri Empu (tempat tinggal orang suci dari klan Pande). Menurut Kepala Desa Sawan, Ketut Pande
7
(55 tahun), dalam waktu dekat akan di bangun juga sebuah pasraman Hindu, dimana wisatawan akan dapat belajar dan menyaksikan budaya Bali dan Hindu. Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Buleleng No 93 Tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Buleleng telah menetapkan 38 daya tarik wisata baik alam maupun budaya. Tiga dari 38 daya tarik wisata tersebut yaitu lingkungan Pura Beji, lingkungan Pura Dalem Kelod Sangsit, dan lingkungan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga berada di wilayah Kecamatan Sawan. Jumlah kunjungan wisatawan ke Pura Beji Sangsit adalah sesuai Tabel 1.2. Tabel 1.2 Kunjungan Wisatawan ke Pura Beji Wisatawan Domestik Mancanegara
Jumlah
No Tahun 1 2005 49 9.930 9.979 2 2006 38 9.186 9.224 3 2007 43 18.668 18.711 4 2008 71 19.492 19.563 5 2009 487 20.387 20.874 Sumber: Nyoman Mustika (Staf Penjaga Pura Beji), 2010
Pertumbuhan (%) 103 4,5 6,7
Berdasarkan Tabel 1.2 dapat diketahui bahwa kunjungan wisatawan ke Pura Beji terus mengalami peningkatan. Tahun 2007 mengalami peningkatan (103 %) yaitu dari 9.224 orang menjadi 18.711 orang, tahun 2008 (4,5 %), dan tahun 2009 (6,7 %). Wawancara awal tanggal 10 Februari 2010 dengan penjaga Pura Beji, Nyoman Mustika (40 tahun), dikatakan bahwa kunjungan paling banyak biasanya terjadi pada bulan Agustus yang mana bertepatan dengan musim panas dan liburan di negara asal wisatawan. Wisatawan yang berkunjung ke Pura
8
Beji kebanyakan berasal dari negara-negara Eropa seperti Belanda, Perancis Jerman, Inggris, Swiss, Spanyol dan sebagainya. Walaupun Pura Beji Sangsit telah mendapat kunjungan yang cukup tinggi, namun dampak ekonomi terhadap masyarakat masih sangat kurang. Penjaga Pura Beji, Mustika (40 tahun), mengatakan bahwa lama kunjungan wisatawan ke Pura Beji hanya sebentar dan donasi masuk ke pura masih bersifat sukarela. Setelah selesai melihat-lihat atau memotret keindahan pura wisatawan biasanya langsung pergi menuju Lovina atau tempat lain. Hal ini tentu disebabkan oleh kurangnya atraksi wisata di desa tersebut. Jumlah kunjungan wisatawan ke Pura Dalem Kelod dan Pura Dalem Segara Madu masih rendah. Walaupun tidak tercatat secara akurat, dari hasil wawancara awal yang dilakukan peneliti dengan penjaga pura, Ketut Suradnya (60 tahun), dinyatakan bahwa kunjungan wisatawan ke Pura Dalem Segara Madu Jagaraga pada musim ramai (bulan Agustus) sekitar tiga sampai lima orang, dan pada musim sepi sering tidak ada kunjungan wisatawan selama berhari-hari (Wawancara tanggal 26 Februari 2010). Selain itu, ke dua pura tersebut juga belum memiliki fasilitas pendukung pariwisata yang memadai padahal ke dua pura tersebut sudah ditetapkan sebagai daya tarik wisata budaya oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng. Hasil pengamatan awal yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa Pura Dalem Kelod belum memiliki penjaga pura, fasilitas parkir, kamar mandi/toilet. Pura Dalem Segara Madu Jagaraga belum memiliki tempat parkir, kamar mandi/toilet dan lingkungan sekitar yang terkesan kotor.
9
Dari segi aksesibilitas, Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan memiliki lokasi yang cukup strategis, prasarana/sarana transportasi dan sistem komunikasi yang cukup lancar sehingga dapat menghubungkan ke tiga desa tersebut dengan desadesa lainnya di Kabupaten Buleleng. Fasilitas pendukung lainnya adalah sebuah hotel dan restoran, bank, dan puskesmas (Data Pokok Kecamatan Sawan, 2006). Dari segi pelayanan keamanan di Kecamatan Sawan terdapat sebuah Polisi Sektor dan Kodim dengan Bimas di masing-masing desa yang cukup memadai. Berdasarkan penjabaran di atas maka perlu diadakan pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. Dengan berbagai potensi yang dimiliki, namun potensi tersebut belum teridentifikasi dan dikembangkan secara optimal, maka dalam penelitian ini peneliti ingin mencari strategi pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Potensi-potensi daya tarik wisata budaya apa yang dimiliki Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan, Kabupaten Buleleng? 2. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan?
10
3. Bagaimana strategi pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan supaya dapat menarik kunjungan wisatawan secara lebih maksimal?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang dipaparkan, maka tujuan penelitian ini dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk merumuskan strategi dan program pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan, Kabupaten Buleleng. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui potensi daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. 3. Untuk mengetahui strategi pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan supaya dapat menarik kunjungan wisatawan secara lebih maksimal.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
11
1.4.1 Manfaat Teoretis 1. Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang potensi Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya. 2. Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan daya tarik wisata budaya di
Desa Sangsit,
Jagaraga dan Sawan. 3. Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang strategi pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan supaya dapat menarik kunjungan wisatawan secara lebih maksimal. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng, khususnya Bidang Pengembangan Daya Tarik Wisata, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam mengimplementasikan kebijakan pengembangan daya tarik wisata di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. 2. Bagi masyarakat Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan dalam menentukan program pengembangan pariwisata di wilayahnya. 3. Bagi biro perjalanan wisata, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata baru untuk menambah produk wisata yang telah ada sehingga dapat meningkatkan kunjungan dan pelayanan kepada wisatawan.