BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sitor Situmorang adalah penyair Indonesia dan seorang tokoh sejarah. 1
Sajak-sajak penyair yang wafat di umur 90 pada 20 Desember 2014 ini dikenal oleh
publik
nasional
maupun
internasional. 2
Usianya
yang
panjang
memungkinkan Sitor menulis sajak dalam jumlah yang banyak yakni lebih dari 500 judul dengan kualitas yang mumpuni, salah satunya terbukti dari aneka ulasan yang ditulis oleh berbagai peneliti dari dalam negeri serta mancanegara. Keseluruhan hal ini menjadi landasan untuk mengkaji sajak-sajak Sitor Situmorang dengan menggunakan metodologi analisis sosio-historik yang diperkenalkan oleh sejarawan Kuntowijoyo. 3 Sajak-sajak Sitor Situmorang yang dikaji dalam studi ini adalah yang ditulisnya pada kurun waktu reformasi Indonesia, khususnya selama tahun 1998 hingga 2005, 4 yang sekaligus merupakan batasan temporal studi ini, 5 sedangkan
1
Profil Sitor Situmorang selengkapnya diulas pada bab II.
2
Sajaknya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sitor pun pernah melakukan lawatan ke luar negeri sebagai perwakilan sastrawan Indonesia. 3
Sampai sekarang relatif sedikit sejarawan yang menggunakan pendekatan tersebut di atas dalam kajian sejarah, termasuk di dalamnya penulisan skripsi. Pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana misalnya, sampai sekarang ini baru ada dua skripsi yang memakai pendekatan tersebut. Selengkapnya perihal pendekatan ini akan dibahas dalam sub bab metodologi. 4
Penetapan tahun 1998 hingga 2005 didasari atas temuan J.J. Rizal yang berhasil mendokumentasikan sajak-sajak Sitor Situmorang yang diciptakan tahun 1948 sampai 2005.
2
batasan spasial atau ruangnya adalah Indonesia, namun bukan dalam pengertian geografis, melainkan geokultural, sebab karya sastra tidak mempunyai batasan wilayah. Oleh karena itu digunakan istilah batasan geokultural, dalam pengertian, bahwa pada masa reformasi, Indonesia pernah menjadi wilayah kultural dari seorang penyair bernama Sitor Situmorang, yang karya-karya sajaknya tidak terikat pada letak geografis negaranya. Sekalipun Sitor Situmorang sudah berkarya jauh sebelumnya, namun karya-karyanya semasa Reformasi sangat menarik dikaji secara historis, sebab ini merupakan momentum penting bagi seluruh bangsa Indonesia karena diwarnai oleh banyak perubahan.6 Pada masa Reformasi ada sebuah proses pemulihan krisis multidimensional warisan rezim Soeharto, upaya demokratisasi serta transparansi di segala lini, gejolak sosial-politik di berbagai daerah, dan pengharapan akan lahirnya pemimpin dan Indonesia baru yang lebih baik. Semuanya itu merupakan sebuah dasar struktur yang tidak pelak turut memberi
5
Sekalipun menggunakan skup temporal 1998-2005, namun penjelasan dalam kajian ini tidaklah mutlak membahas kejadian-kejadian yang berurutan. Hal tersebut karena seperti dikatakan oleh Kuntowijoyo, kategori sejarah tidak selalu merupakan urutan yang bergantian, tetapi dapat saling bertumpang-tindih, sekalipun pada dasarnya ada urutan kronologinya. Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), p. 7. 6
Kendati merupakan momentum pergantian kekuasaan, nyatanya belum banyak perubahan yang signifikan seperti diharapkan oleh kaum reformis. Hal ini dapat ditelusuri dalam wawancara Tempo bersama Mochtar Pabottingi beberapa hari setelah Soeharto lengser. Pakar politik dari LIPI tersebut menyatakan bahwa selama era reformasi yang ada adalah pergantian pemerintahan bukan pergantian rezim. Mahasiswa menghendaki reformasi total. ―Wawancara Mochtar Pabottingi : ‗Habibie Selama Tiga Windu Dibina oleh Pak Harto,‖ tempo.co.id, diakses pada 1 Mei 2015 pukul 09.41 Wita.
3
pengaruh bagi masyarakat Indonesia, tak terkecuali Sitor Situmorang dalam menulis sajak-sajaknya. 7 Berdasarkan kajian sejarawan J.J. Rizal, ditemukan 44 sajak yang ditulis Sitor Situmorang selama masa reformasi, sedangkan sisanya lagi 561 buah dikerjakan jauh sebelumnya. Secara khusus, terdapat 31 karya bertema spiritualisme, 8 tujuh sajak tentang kecintaan pada tanah air, 9 dan enam sajak tentang kepedulian sosial10. Sajak-sajak tersebut di atas, bila ditempatkan pada kerangka kategori sejarah dan semesta simbolis yang menjadi formula dalam metodologi analisis sosio-historik dari Kuntowijoyo,11
terdapat enam
sajak yang tergolong
tradisional-patrimonial, dua sajak termasuk kategori sejarah kapitalis, 26 sajak merupakan pertumpang-tindihan kategori sejarah tradisional-patrimonial dengan kapitalisme, tiga sajak mengandung pertumpang-tindihan kategori sejarah
7
Hadirnya proses simbolis tidak terlepas dari dasar struktur yang melatarinya. Proses simbolis meliputi filsafat, agama, seni, ilmu, sejarah, mitor, dan bahasa. Selengkapnya lihat Kuntowijoyo, op.cit., pp. 3-6. 8
Sajak-sajak yang termasuk dalam tema spiritualisme antara lain sajak yang mengandung mistisisme, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat eksistensial, sangkan paraning dumadi, absurditas hidup dan manusia, termasuk pula sajak tentang cinta yang dalam ekspresinya merangkum lebih jauh dari hubungan tubuh, tetapi ruh, yakni cinta dalam pengertian sarana untuk mencapai pengalaman transendental. 9
Sajak-sajak yang termasuk dalam tema cinta tanah air antara lain yang berisi pernyataan sikap Sitor tentang kecintaannya pada tanah air yang tercermin dari kunjungan ke tempat-tempat tertentu di daerah-daerah di Indonesia, sajak mengenai karya seni yang berbicara tentang tanah air, sajak tentang atau ditujukan kepada tokoh-tokoh yang karyanya bertema tanah air. 10
Sajak-sajak yang termasuk dalam tema kepedulian sosial antara lain yang merujuk kepada tokoh sosial atau korban sosial, bernada protes dengan menggunakan pendekatan estetik parodi atau ironi. 11
Kerangka ini dijelaskan dalam metodologi sosio-historik proses simbolis dalam ibid., pp. 5-9.
4
kapitalis dan teknokratis, tujuh sajak mencerminkan pertumpang-tindihan kategori sejarah tradisional-patrimonial dengan kapitalis dan teknokratis. Penegasan unsur-unsur kategori di atas dilihat dari simbol dan norma yang terkandung dalam kategori tersebut.12 Sebagai contoh sajak 13 yang berada dalam kategori sejarah tradisional-patrimonial yaitu berjudul dalam sajak ―Kissah Seludang Menolak Mayang (dari Khasanah Syair Lama)‖ sebagai berikut : ―Terbalut beludru, seludang kasihmu, tenggelam aku, dalam rona birahi, menyelami lubuk terdalam, langit pandangmu, dengarkan degup, lagu kasmaran bersahutan, di arus banjir bandang, senggama sempurna, perpaduan suntuk, jagad jantanku dan betinamu, dua insani setubuh, padunya jagad kembar, jantanbetina, betina-jantan, terusung pusaran, nikmat segala musim, sepanjang usia bumi, kelahiran Adam dan Eva.‖14
12
Supaya dapat menentukan simbol dan norma suatu sajak Sitor, terlebih dahulu dilakukan analisis dengan melihat petunjuk-petunjuk yang ada pada sajaksajaknya. Petunjuk didapatkan dengan cara melihat unsur-unsur pembentuk sajak Sitor seperti tema, latar tempat, peristiwa yang diangkat, metafora atau kata-kata tertentu yang dapat dicari rujukannya. Tentang ini selengkapnya dibahas pada sub bab kerangka teoretis. 13 Pengutipan seluruh sajak Sitor Situmorang dalam penelitian ini mengubah susunan tipografi sajak yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk meringkas halaman dan memudahkan pembacaan isi sajak bagi pembaca karena disusun seperti paragraf kalimat yang sambung menyambung. Pergantian bait tidak disusun ke bawah, melainkan dijajarkan ke samping. Antara bait sebelumnya dan sesudahnya dipisahkan dengan tanda koma (,) yang ditambahkan secara sengaja. Adapun secara umum, sajak-sajak Sitor Situmorang tidak terlalu bermain pada tipografi, sehingga perubahan ini boleh dikata tidak mengubah makna inti dan mendasar dari sajak. 14 Sajak tersebut dapat dimasukkan kedalam kategori Sejarah Tradisional Patrimonial, karena kata ―jantan-betina‖ yang terkandung di dalamnya tidak sebatas menyinggung gender dalam arti biologis, melainkan menyangkut pemahaman spiritual yaitu konsep Lingga-Yoni, lebih jauh yakni konsep Nyegara-Gunung. Istilah ―senggama‖ oleh karenanya tidak semata merujuk pada hubungan badaniah, tetapi penyatuan unsur inti kehidupan. Pada bagian akhir sajak, disebutkan ―Adam dan Eva,‖ kisah ini dikenal dalam ajaran agama samawi. Anthony Synnott menyatakan Adam dan Eva atau Hawa adalah sebuah mitos penciptaan Kitab Kejadian, baca : Anthony Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, terj. Pipit Maizier (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), pp. 62-64. Aneka simbol yang bersifat mitis dan mengandung norma komunal serta kepatuhan ini mencerminkan jelas kategori sejarah tradisional-patrimonial.
5
Kategori sejarah tradisional-patrimonial juga terkandung dalam sajak ―Topeng‖ berikut ini : ―Gelombang birahi, meluap ranjang, saat tubuhmu kusentuh, dan menyembul di bawah, tekanan jari-jariku, di bawah lengkung bawah perutmu, basah, saat kau mengajari aku, jadi lelaki berserah, dalam bercinta, dan kau betina purba, yang menuntun, saat kita saling meraba, dalam bak mandi, saat, kau melukisi wajahku, dengan busa jadi, topeng mahluk, tersiksa‖ 15 Selain itu, tercermin pula pada ―Pagi‖ antara lain : ―Nanap memandang, mengingat pusarmu sepeninggalanmu, lekukan-lekukan terlalu akrab, tempatku, berlatih yoga, di sembulan tubuhmu, saat ingin mencium, menghirup dan haus, uap pagi tubuhmu, menusuk terlalu, dan aku gagal merengkuh, punggungmu biar tak terjatuh, di bahumu murni, lalu lehermu, kugigit, putting payudaramu, betis alis paha, kupu-kupu berterbangan, di kosong ranjang, sepeningalmu—detik nafsu tercurah, di liang pusarmu, sedang pandangmu nanap, terlalu asyik menduga, kedalaman lubuk perutku.‖16 Sementara itu, sajak yang termasuk kategori sejarah kapitalis seperti misalnya berjudul ―Perjalanan Malam‖ berikut ini : 15
Peristiwa ―bercinta‖ tidak semata merujuk pada hubungan badaniah, tetapi penyatuan unsur inti yang melahirkan kehidupan, seperti penyatuan lingga dan yoni, konsep Yin dan Yang, dan simbol mistis dan spiritualisme lainnya dalam berbagai keyakinan. Gede Prama, ‖Kidung Kasih Sayang,‖ gedeprama.blogdetik.com/2014/03/21/happines-jou-bliss/diakses pada 13 Juli 2015 pukul 12.45 Wita. 16
Sitor Situmorang beberapa kali menulis sajak dengan menyebut kata ―tantra‖ baik saat menulis tentang Borobudur (Budha) maupun ketika melakukan lawatan di Bali (Hindu). Dalam Budha, tantra mengacu kepada upaya mencari kesejatian diri, energi yin dan yang. Dalam agama Hindu, ajaran tantra merupakan simbol dan filosofi yang mengakar pada pemujaan terhadap penyatuan kekuatan Dewa Shiwa dan Dewi Shakti yang menciptakan kekuatan luar biasa (kundalini), baca : Arrayanov, ―Sex Ala Tantra,‖ m.kompasiana.com/diakses pada 1 Mei 2015, pukul 21.00 Wita. Dalam bahasa Gede Prama, disebutkan bahwa tantra ditandai oleh langkah awal untuk keluar dari segala bentuk dualitas. Ajaran tantra yang dalam prakteknya juga terkadang dibarengi dengan aktivitas seksual sebagai cara meraih pengalaman rohani ini. Lihat Gede Prama, ―Genta Shiva-Buddha,‖ gedeprama.blogdetik.com/diakses pada 1 Mei 2015 pukul 22.00 Wita. Ajaran Tantra tecermin dalam sajak ―Pagi‖ yang secara eksplisit menyebut istilah ―yoga‖ dalam kiasan-kiasan yang mengandung seksualitas.
6
―Di jalan pendek lagi sempit ini, kutahu masih ada teater kecil tua, Theatre de la Huchette yang serba mini, simpanan suasana abad tengah juga. Di ujung sananya ada pula, Toko buku Shakespeare, persinggahan dulu, pusat loak sastra dunia di usia menggebu, khayal muda boheme serba bebas dan bahagia. Dunia abad tengah mahasiswa Paris, Quartier Latin seniman abad sembilan belas jaya, di pinggir Montparnasse St. Germain des Pres, menjelang akhir abad 20 pula, Saat diri adalah Van Gogh, Gauguin, Picasso, sekalian Rimbaud, Lautrec, Baudelaire, Ionesco, ya, terlebih Shakespeare, si-pujangga Inggeris, –gaung suaranya– sambil mimpi: The World is a Stage dan Diri, sekalian penonton, tapi terlebih pelaku memerlang, di panggung percintaan sehari-hari, di jantung Paris abadi –panggung musimsemi– , tidur di siang – berangkat petang.‖ 17 Selain yang sudah disebutkan di atas, sajak yang mengandung kategori sejarah kapitalis yaitu ―Lagu Jembatan Kota Paris‖ : ―36 jembatan di kota ini. Namun, belum semuanya kulintasi. Dari jembatan Bir Hakeim, kulayangkan pandang ke hulu. Lewat bentangan Seine di bawah, dan kapal-kapal pesiar, hilir-mudik di arus, lewat puncak pepohonan Tuileries, dan atap-atap Louvre, putih menjulang, kubah-kubah Sacre Coeur, Di belakangku (ke arah hilir), masih menanti, jembatan Mirabeau, 36 jembatan kota ini. Belum, semuanya sempat kulintasi. Di air sungai di bawah, berdesah, lagu Apollinaire, sepanjang musim-musim, kenangan cinta‖18 Adapun pertumpang-tindihan kategori sejarah tradisional-patrimonial dan kapitalis tercermin dalam sajak ―Chartres Revisited‖: ―Adakah cahaya mistik kaca berwarna jendelanya, akan bersinar tercurah kembali dalam matabatin, seperti dulu 45 tahun lalu? Ketika bersama kekasihku berdua ziarah ke mari? Ia telah lama tiada, mati, akupun sudah uzur, menderita katarak mata rongrongan usia tua. Kumasuki ruang katedral remang-remang, (sehari sesudah Perayaan Kebangkitan Kristus), terlebih buram akibat mata rabun. Bahana musik organ menyambut, berbaur baru kemenyan dibakar, 17
Sajak ini tergolong dalam kategori sejarah kapitalis karena mengandung simbol realis dan norma individualis, lihat saja pada penggunaan aneka nama tempat dan nama tokoh yang memang ada dalam realita. 18
Sajak “Lagu Jembatan Kota Paris‖ juga mencantumkan berbagai nama jembatan, tempat, tokoh yang memang nyata ada (riil) sehingga termasuk dalam kategori sejarah kapitalis.
7
dan cahaya ratusan lilin. Perayaan komuni sedang dipersiapkan, Kuresapkan kekhidmatan peziarah, di antara turis mancanegara. Suara organ lenyap mendadak, Aku pun menengadah, mengangkat pandang, tertadah ke bubungan atap katedral, berharap memandang keajaiban cahaya, warna-warni gambar kisah Injil, tercurah, bakal melimpahruah dalam mata,Yang nampak keburaman semata, sejuta pecahan cahaya silau di selaputmata! Kulupa menderita katarak usia tua! Kepalaku kutundukkan menatap, membiasakan pandang pada cahaya lilin, Kubeli satu. Kunyalakan, atas nama kekasihku yang sudah mati, dan keyakinannya sebagai pemeluk teguh, atas nama kepasrahan usia tua, sejenak bahagia mengenang, cahaya melimpahruah, pernah tercurah, pada selaput mataku, kini tersimpan, dalam matabatin terdalam, bersama sinar wajah pemeluk teguh, kekasih yang sudah lama mati.‖ 19 Lihat pula sajak ―Cimetiere de Passy‖ ini : ―dua gadis, lewat bercanda, di rue Augereau… gambar masa depan, dan jalan Paris masa lalu, Lewat Champ de Mars, menyeberangi Pondt d‘Lena, nanti, dari pelataran Trocadero, kulayangkan pandang, menatap arus Seine, dan puncak Tour Eiffel, (dua gadis rue Augereau, kubayangkan menyatu dengan musim), aku naik ke bukit Passy, menyeberangi taman patung Marsekal Foch, masuk di suasana pekuburan, tua dan sesak, namun tempat terindah, meresapkan Sepi, berpadunya kesadaran Mati, dan Hidup gemuruh, di jantung kota Paris, seperti ziarah setiap kali, pada saat akan pergi, dan setiap kali datang kembali, -sekalipun hanya dalam kenangan-, kini terpatri gambar, dua gadis, lewat di rue Augereau, dalam balutan semesta, bisikan kenangan cinta, yang terukir dalam-dalam, di akar pepohonan gundul, di antara makammakam.‖ 20 Sajak ―Tari Sembah (Pergelaran Tari Pakarena di Balla Lampoa, Istana Raja Goa, Sulawesi Selatan)‖ berikut juga mengetengahkan pertumpang-tindihan kategori sejarah tradisional-patrimonial dan kapitalis :
19
Berbagai istilah kekristenan yang dimuat dalam sajak ini adalah salah satu indikator kategori sejarah tradisional-patrimonial dengan norma mitis dan komunal serta kepatuhan. Kategori sejarah kapitalis ditunjukkan dengan Chartres, sebuah katedral di Perancis, yang menjadi latar tempat dari sajak ini. 20
Dalam ―Cimetiere de Passy‖ pun bertebaran nama-nama benda dan lokasi yang dapat ditemukan dalam kehidupan nyata. Simbol mitis dapat ditelisik dari tema sajak yang membahas tentang absurditas hidup manusia, sebuah pertanyaan yang terkait konsep sangkan paraning dumadi (darimana asal dan akan kemana manusia setelah tiada).
8
―Diiringi suara serunai dan, genderang tabuhan dua kendang besar, sosok perempuan penari tua muncul, dalam temaram panggungtari pakarena akan mulai- halus dan lamban- dalam irama, bahasa tari purba mencari hubungan, dengan dunia atas dewa-dewa. Seperti perahu di atas gelora samudra, tubuh sang penari mengalun tenang, - didukung tabuhan seperti di medan perang, gerak tubuhnya memancarkan roh upacara, penghayatan ulang karyakarya gaib sejarah, para dewa dan para leluhur di dunia sana, Sesuatu alur puisi naskah La Galigo, tubuh penari menjelma jadi perahu rohani, melintasi bentangan angkasa demi angkasa, jadi tumpangan kita sebagai pelaut-pelaut, samudra batin, berlayar mencapai pantai hikmah, berhadapan muka dengan muka, dengan wajah asal-muasal semesta alam, menyampaikan sembah tarian bumi.‖21 Di sisi lain, sajak yang termasuk dalam pertumpang-tindihan kategori sejarah kapitalis dan teknokratis terlihat pada ―Bicara tentang Buruh, Bicara tentang Marsinah‖: ―Bicara tentang buruh, kita mengenang Marsinah : Mengenang keteladanannya, mengabdi, Kemudian berkorban nyawa, Marsinah kita kenang, sebaik murid hal ajaran, azaz perikemanusiaan keadilan, harkat serta martabat buruh, jadi sokoguru masyarakat berdemokrasi, dalam wujud negara R.I.-45, poros semangat berdikari sekalian pelopor, barisan pendukung emansipasi peradaban, maju sebagai pelaku dan teladan gerakan, pembaharuan masyarakat meninggalkan kekolotan, menggalang setiakawan dengan segenap, pejuang demokrasi di seantero bumi, siap menghadapi tantangan perjuangan, mengakhiri sistem dan kekuasaan, yang masih belum sedia melepaskan prinsip: penghisapan manusia atas manusia!‖ 22
21
Sitor menulis sajak ini saat berada di Goa, Sulawesi Selatan. Ia mencipta ―Tari Sembah‖ dari pengalaman konkret yang dilaluinya dalam sebuah ziarah di buan April tahun 2002. Kategori tradisional-patrimonial terasa langsung ketika melihat lokasi pertunjukan tari yakni di Istana Raja Goa dan ungkapan yang menunjukkan mistisisme Tari Pakarena itu sendiri antara lain dengan penyebutan ―dewa-dewa,‖ ―gaib,‖ ―leluhur,‖ dan sebagainya. 22
Marsinah adalah seorang pejuang buruh yang pada tahun 1993 berunjuk rasa menuntut peningkatan kesejahteraan buruh di PT CPS, Jawa Timur, yang tewas karena disiksa. Marsinah memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama dan menjadi simbol perjuangan kaum buruh. Namun pembunuh Marsinah yang sebenarnya belum dihukum sampai sekarang. Sumber : Yus Ariyanto, ―Marsinah, 21 Tahun Berlalu dan Pembunuhnya Belum Dihukum,‖
9
Pertumpang-tindihan tersebut tampak pula dalam ―Sebuah Catatan dari Jonggol‖ di bawah ini: ― Kucatat sebuah tamasya musim panen, di tanah Priangan, di tengah asap jerami, berlatar persawahan warna padi keemasan, jadi panggung impian wadah kenangan, di timur bukit-bukit dan hutan hijau, berkibar sebarisan umbul-umbul warna-warni, Di bawahnya nampak rombongan TV dari kota, sibuk, Mempersiapkan ajang bagi panggung sebuah skenario, Tiba-tiba seorang perempuan muda lagi cantik, (mirip selebriti sinetron) di depanku, lewat agaknya mengejar gilirannya tampil, (sebagai kekasih dalam kisah musim panen?) Mata bertemu mata. Sekejap saja, (akrabnya), Ditimpa suara orang memanggil namanya: Tjandra!, Gemanya bening mengiang di bukit-bukit sana, bersambut pula dalam hati bersama khayal: (tentu saja di luar skenario asli) Betapa mudah : dengan gaung namanya menuliskan skenario baru, sebuah skenario tandingan: dengan judul: Kisah dadakan cinta di Jonggol, di sore keemasan di musim panen.‖ 23
m.liputan6.com/diakses pada 1 Mei 2015 pukul 22.45 Wita. Sajak Sitor di atas juga berisikan protes sosialnya, usaha untuk menawarkan suatu kesadaran kemanusiaan, keadilan hukum, sosial, politik bagi pembaca. Upaya semacam ini merupakan ciri kategori sejarah teknokratis dengan simbol pseudorealis dan norma modifikasi perilaku. 23
Fenomena perampasan tanah petani sekitar tahun 1998-an yang melibatkan intervensi negara dan tak jarang juga militer yang terjadi di sejumlah tempat di Indonesia, juga berlangsung di daerah di Jonggol, Jawa Barat. Sumber : Daniel Mangoting, ―Pertanahan Indonesia 1998: Terampasnya Alat Produksi Vital Petani,‖ Wacana No.15 (edisi khusus) Januari-Pebruari 1999, pp. 4-6. Akibatnya, petani Jonggol hidup dari mengerjakan tanah yang bukan miliknya. Oleh Sitor, kenyataan ini diolah menjadi sebentuk sajak yang bernada ironi dan parodi. Sitor membangun pseudorealis tentang ―musim panen,‖ ―warna padi keemasan‖ yang ―jadi panggung impian‖ dan ―wadah kenangan.‖ Kedatangan ―orang kota‖ dengan ―rombongan tv‖ hanya ―mempersiapkan ajang bagi pangggung sebuah skenario.‖ Masyarakat Jonggol juga menjual tanah mereka pada orang Jakarta (sumber: Mul, Boy, Ira, Lom, ―Jonggol Terlalu Lama Terkungkung,‖ Kompas (PIKNet), 23 Desember 1996, p. 1). Para ―orang kota‖ ini menjanjikan perbaikan kesejahteraan rakyat Jonggol dengan berbagai proyek pembangunan yang sebatas ―skenario‖ belaka. Salah satunya adalah pembangunan Jonggol sebagai Kota Mandiri oleh PT Bukit Jonggol Asri yang sahamnya dimiliki Bambang Trihatmodjo, putra Presiden Suharto yang mangkrak seiring krisis moneter dan lengsernya Orde Baru 1998). Bahkan rencana pengembangan kawasan Jonggol tersebut melahirkan Keppres nomor 1 tahun 1997. Jonggol juga sempat diwacanakan menjadi ibukota pemerintahan Republik Indonesia pada masa Orde Baru, selengkapnya baca ―Jonggol Alternatif Pusat Pemerintahan RI (3),‖ intelijen.co.id/ diakses pada 1
10
Lihat pula sajak ―Sandi Digital‖ berikut : ―Suaranya bening, gairah rindu, membaca sajak, lewat telpon, pesan lugu, sekaligus tertutup, dalam sandi semiotika melulurkan batas, antara Penanda, dan yang Ditandai, hanyut banjir, metabahasa tanpa kata, ingin berita, sepatah, sepatah kata saja.‖ 24 Pertumpang-tindihan tiga kategori sejarah sekaligus, yakni tradisionalpatrimonial dan kapitalis serta teknokratis, dapat disimak dalam sajak ―Missa Requiem di Siaran TV‖: ― Dua upacara di TV kuamati sekaligus, Satu : Upacara kenegaraan untuk bekas Presiden Perancis, Francois Mitterand yang meninggal, diterbangkan, jenazahnya, secara kemiliteran untuk dimakamkan di selatan di desa kelahirannya. Dua : Perayaan Missa Requiem, di katedral Notre Dame de Paris, dipimpin oleh kardinal, dihadiri Presiden dan kepala-kepala negara, Sementara jenazah diterbangkan ke tujuan, untuk dimakamkan di desa, di makam keluarga, ditayangkan silih berganti oleh TV, sambil kuamati, duduk seorang diri, bertanya, ke mana orang mati pergi, nanti. Aku lupa layar TV yang kuhadapi, lupa Presiden yang mati, lupa penggantinya yang duduk di dalam katedral, lupa kemegahan protokol kepala-kepala negara, yang hadir menghormati, lupa suara kardinal, gerak-gerik pelayan Missa, lupa warna pakaian mereka, Hanyut, sadar, tenggelam, dalam bentangan ruang tak ada ujung, gema nyanyian Gregorian, dari dunia orang mati-, menyanyikan kebangkitannya, kelak, bangkit dari Mati serupa Kristus, dalam
Mei 2015 pukul 23.56 Wita. ―Sebuah Catatan dari Jonggol‖ selain memperlihatkan kategori sejarah kapitalis, juga merupakan cermin sajak berkategori sejarah teknokratis yang menyatakan kekecewaan dengan realisme dan menjadikan proses simbolis sebagai usaha social engineering. 24
―Sandi Digital‖ kritik atau protes Sitor Situmorang terhadap kecanggihan teknologi media dan pencitraan, baik audio, visual, maupun audiovisual, yang tak jarang menghadirkan rekayasa. Dalam sebuah artikel yang dimuat koran Kompas, Warih Wisatsana menyatakan media tersebut di atas tak ayal menyuguhkan realitas imajiner, dunia rekaan yang seakan-akan lebih nyata dari kenyataan yang sebenarnya. Lihat: Warih Wisatsana, ‖Ilusi Globalisasi: Mantra Visual dan Mimikri,‖ Kompas, 21 Februari 2010, p. 20. Dari uraian ini, jelas bahwa ―Sandi Digital‖ adalah perpaduan antara kategori sejarah kapitalis dan teknokratis.
11
jasad kekal-Nya, Nanti – di Ujung Zaman, Sementara Diri, lebur dalam alunan, nyanyian Gregorian.‖ 25 Pertumpang-tindihan serupa juga tampak pada sajak ―Lagu Lautan Nusantara (berita ziarah, Agustus 1999, di pingir Danau Toba, di tengah kemelut sejarah bangsa)‖ : ―Di lembah menghadap teluk ini, berulang kali kita masih, akan datang- juga berharap pulang, bil aumur panjang, kini aku ziarah, masuk alam suratan takdir, di bayangan gunung-gunung berapi, yang membentengi dataran tinggi, danau-danau dan tanah datar, pesisir tanahair, datang untuk sujud, berulang mendengar kisahkisah, di desir sawah ladang dan, gelora sungai-sungainya, menyusu, pada sejarah Ibu Pertiwi, pilihan dan karunia, dari antara alam enam benua, -Nusantara kita! – Kini dalam bahaya! Kancah nasib-peruntungan, keturunan demi keturunan, dititipi panggilan hidup, dalam gema nyanyian, peredaran bulan dan matahari, Terbentuknya negara-bangsa, pada 17 Agustus 1945! pemikul tugas pencipta, pewaris nilai peradaban baru, berinti cinta tanah air tunggal! pusaka kelahiran di setiap dusun dari Sabang sampai Merauke, di lembah di pegunungan, sepanjang setiap sungai, sekujur pantai seluruh Nusantara, dalam ayunan irama pasangsurut, samudra sejarah, demi hukum ber-Tanah Air, demi karunia Maha Pencipta! Sepanjang masa!‖26
25
Kategori sejarah tradisional terlihat pada penggunaan istilah ―missa,‖ ―nyanyian Gregorian,‖ latar situasi di ―katedral Notre Dame de Paris‖ yang menunjukkan simbol mitis serta norma komunal dan kepatuhan. Kategori sejarah kapitalis bertebaran dalam sajak ini, salah satunya tampak ketika Sitor menyinggung peristiwa pemakaman mantan Presiden Perancis, Franscois Mitterand. Kategori sejarah teknokratis terasa dalam bait ―menyanyikan kebangkitannya, kelak, bangkit dari Mati, serupa Kristus, dalam jasad kekal-Nya.‖ Mitterand adalah presiden beraliran sosialisme pertama di Perancis. Melalui sajak ini, Sitor menyuarakan harapan dan dukungannya terhadap sosialisme. 26
Terminologi ―takdir‖ dan ―sujud‖ yang muncul dalam sajak ini menunjukkan simbol dan norma dalam kategori sejarah tradisional-patrimonial. Simbol dan norma kategori sejarah kapitalis dalam ―Lagu Lautan Nusantara‖ dapat dibuktikan dari berbagai hal, salah satunya penyebutan tanggal kemerdekaan Indonesia, penulisan sajak yang dilakukan pada Agustus 1999 dan ditujukan kepada tokoh Gus Dur. ―Nusantara kita! Kini dalam bahaya!‖ adalah seruan sekaligus ajakan kepada pembaca yang sarat norma modifikasi perilaku dalam kategori sejarah teknokratis.
12
Selain itu, terdapat pula sajak ―Eksil‖ yang merangkum ketiga kategori sejarah tersebut, simak saja berikut ini : ―Di alam kata-kata tak terucap, kami menjemput tanah, kami menghirup air purba, negeri kelahiran, Kami berkumpul, berdatangan dari diaspora Eropa, bersatu di tanah, dan air kenangan, Kesempatan bertemu lagi, mengantar seorang teman, Kami kuburkan di tanah orang, Merayakan setiakawan, persahabatan, kekal karena, dan dalam, matinya, menyatu dengan, cinta dan rindu, tanah airnya. Nusantara abadi!‖ 27
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat sebuah permasalahan yang menarik untuk dibahas, yakni sajak bertema apapun yang digarap Sitor pada era reformasi bila dilihat dengan memakai metodologi analisis sosio-historik dari Kuntowijoyo selalu menunjukkan adanya pertumpang-tindihan kategori sejarah.
1.2. Pertanyaan Penelitian Permasalahan tersebut di atas memperlihatkan adanya korelasi sebab akibat antara terjadinya pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajak Sitor Situmorang di era Reformasi dengan cara-caranya mengolah dasar struktur. Korelasi sebab-akibat tersebut baru sebatas asumsi atau landasan berpikir yang
27
Sajak ―Eksil‖ ditujukan kepada Budiman Sudharsono, seorang tokoh eksil yang pergi ke Perancis pada masa Orde Baru. Ini adalah bukti kategori sejarah kapitalis. Ziarah Sitor ke makamnya pada 1999 adalah wujud perenungannya pasca lengsernya Orde Baru tahun 1998. Kontemplasi sekaligus pernyataan tentang nasib eksil yang walau tersisihkan ke tanah orang namun tetap cinta pada tanah airnya sendiri. Ini merupakan cerminan kategori sejarah teknokratis. Konsep hidup yang kekal atau kehidupan setelah kematian seperti dikenal dalam ajaran Kristen tersirat dalam sajak ini dan memperlihatkan kategori sejarah tradisional-patrimonial. Tentang konsep hidup kekal, baca : jlwijaya, ―Hidup Kekal Diperoleh Akan Datang dan Juga Sekarang,‖ sabdaspace.org/node/10652, diakses pada 2 Mei 2015 pukul 09.00 Wita.
13
kebenarannya masih harus diuji dengan pembuktian-pembuktian melalui penelitian sejarah. Formulasi permasalahan tersebut di atas akan dijabarkan melalui tiga pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana ragam pemikiran Sitor Situmorang dalam sajak-sajaknya di era reformasi? 2. Bagaimana wujud pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajaksajak Sitor Situmorang di era reformasi? 3. Mengapa terjadi pertumpang-tindihan kategori sejarah pada sajak-sajak Sitor Situmorang di era reformasi? Dari pertanyaan penelitian di atas terdapat sub-sub pertanyaan yang akan dijawab menurut pemikiran sejarah pascastrukturalisme, antara lain : apakah ada keterputusan (discontinuity), patahan (rupture), kontingensi dan kebetulan (chance) di dalam sajak-sajak Sitor?28
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain : 1. Mengetahui pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam sajak-sajak Sitor Situmorang.
28
Kaum pascastrukturalis mengganti tahapan-tahapan historis dalam sejarah seperti feodalisme, kapitalisme (yang digunakan oleh kaum strukturalis) menjadi : keterputusan, patahan, kontingensi, dan kebetulan dalam pembentukan dinamika kultural dan institusional. Alexander Aur, ―Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog Antarperadaban,‖ dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (eds.), Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2005), p. 149.
14
2. Mengetahui wujud pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajaksajak Sitor Situmorang pada era reformasi. 3. Mengetahui penyebab terjadinya pertumpang-tindihan kategori sejarah pada sajak-sajak Sitor Situmorang di era reformasi.
1.4. Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian ini antara lain : 1. Menambah daftar penelitian tentang Sitor Situmorang sebagai seorang sastrawan dan intelektual. 2. Memperdalam pemahaman publik terhadap pemikiran Sitor Situmorang. 3. Meyakinkan sejarawan untuk tidak ragu-ragu menggunakan pendekatan kategori sejarah dan semesta simbolis Kuntowijoyo dalam penelitiannya. 4. Sebagai salah satu referensi untuk memahami sekaligus menegaskan peran karya sastra khususnya sajak sebagai sumber sejarah.
1.5. Tinjauan Pustaka Sampai saat ini telah ditemukan 605 sajak Sitor Situmorang yang dirangkum oleh sejarawan J.J. Rizal dalam dua jilid buku. Buku pertama yakni Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948 – 1979. Di dalamnya tidak hanya berisikan sajak-sajak Sitor melainkan juga ulasan tentang sosok serta kepenyairan Sitor Situmorang oleh Ajip Rosidi dan J.J. Rizal. Ajip menyatakan bahwa bagi Sitor menulis sajak seperti menulis catatan harian yang memberikan ruang bagi
15
siapapun untuk mengikuti perjalanan hidupnya. 29 Ajip menguraikan perihal profil kepenyairan Sitor Situmorang dari awal tahun 1948 hingga tahun 2000-an. 30 Sementara J.J. Rizal sendiri, dalam buku tersebut, mendedah alasan di balik pengumpulan dan penyusunan kumpulan sajak-sajak Sitor Situmorang antara lain : ―…perlu sebuah buku kumpulan sajak-sajak Sitor selengkaplengkapnya, baik yang sudah dikenal maupun yang terlupakan atau tersingkirkan dalam waktu yang lalu, yang lebih mengutamakan segi dokumentasi secara kronologis dan dapat pula berfungsi sebagai semacam bibliografi, dari sejak masa awal kepenyairannya di tahun 1948 sampai masa yang paling belakangan ini. Buku yang akan memungkinkan peneliti dan pembacanya dapat melihat evolusi kepenyairannya, sehingga dapat lebih utuh memahami Sitor dan karya-karyanya serta sejarahnya.‖ 31 Rizal melengkapi tulisan pertangunggjawabannya itu dengan menguraikan proses pengurutan sajak-sajak Sitor secara kronologis berikut dasar-dasar pertimbangan yang digunakannya. Penjelasan tersebut penting sebagai dasar dalam penelitian sejarah ini. Rizal juga membuat klasifikasi sajak Sitor berdasarkan lima periode kepenyairan yang ia rumuskan. 32 Buku kedua yaitu Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1980 – 2005 dengan pengantar dari E. Ulrich Kratz. Dalam pengantar yang ditulisnya, professor dari SOAS, London, ini menyebutkan adanya hubungan antara dunia pemikiran,
29
J.J. Rizal (ed.), op.cit, p. xix.
30
Ibid., pp. xix-xxv.
31
Ibid., pp. xxix-xxx.
32
Rizal pun mengungkapkan, Sitor senantiasa menulis sajak dari kehidupan nyatanya. Sejak karya pertamanya, Sitor menunjukkan bahwa dia bukan penyair yang mengasingkan diri dari kehidupan nyata di sekelilingnya. Ia adalah sosok yang intens mendalami budaya ibunya dan budaya global serta menjadi pelaku dalam berbagai zaman. Lihat : Ibid., pp. xxviii-xxxviii.
16
perasaan dan pengalaman Sitor dengan sajak-sajaknya. 33 Kratz juga menyinggung bahwa pengerjaan kumpulan sajak Sitor oleh J.J. Rizal ini turut melibatkan Sitor dalam pemeriksaan dan persiapan naskahnya: 34 Pada bagian akhir buku, J.J. Rizal mencantumkan tahun penciptaan sajak-sajak tersebut berikut judul buku atau koran
yang memuat karya Sitor, serta sumber-sumber lainnya. 35 Berbagai
keterangan tersebut semakin menguatkan kredibilitas kedua buku di atas sebagai sumber primer untuk penelitian sejarah ini. Belum ada buku lain yang menyuguhkan karya-karya terlengkap sajak-sajak Sitor Situmorang. Buku selanjutnya adalah otobiografi Sitor Situmorang yakni Sitor Situmorang : Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba yang ditulis sendiri olehnya. Otobiografi ini menuturkan riwayat hidup Sitor dari masa kecilnya hingga tahun 1977. Sitor menuturkan perjalanan hidupnya melalui sembilan bab, antara lain : ―Silsilah Si Ulubalang Soba,‖ ―Dari Harianboho ke Batavia,‖ ―Masa Remaja,‖ ―Perang Dunia Kedua,‖ ―Asia Tenggara Diduduki Jepang,‖ ―Revolusi,‖ ―Yogyakarta Ibu Kota Republik,‖ ―Konvoi di Tengah Sawah,‖ dan ―Tahun-Tahun Pengembaraan,‖ serta sebuah epilog yaitu berupa dokumentasi ritual adat atau ruwatan yang diikuti Sitor di Pusuk Buhit. 36 Buku ini secara khusus telah diulas oleh C.H. Watson. Watson menilai, membaca otobiografi tersebut selain untuk mengetahui pergulatan Sitor dalam menelusuri identitasnya, boleh dikata
33
J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1980-2005 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2006), p. xiii. 34
Ibid., p. xv.
35
Tidak semua sajak Sitor dapat dilacak tanggal, bulan, tahunnya secara lengkap, ada beberapa sajak yang hanya diberi keterangan tahun saja. 36
Sitor Situmorang, Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), p. 8.
17
merupakan renungan mengenai dinamika yang terjadi pada bangsa Indonesia selama 70 tahun (1930-2000).37 Otobiografi ini diperlukan untuk memperoleh informasi perihal dasar struktur yang membentuk Sitor Situmorang. Buku berikutnya berjudul Menimbang Sitor Situmorang. Pustaka ini disusun oleh J.J. Rizal dengan merangkum esai-esai penting dari berbagai tokoh nasional dan internasional yang mengulas tentang sosok dan karya Sitor Situmorang. Karangan V.S. Naipaul, peraih hadiah Nobel di bidang Sastra tahun 2001, membuka buka ini dengan mengisahkan perjumpaannya dengan Sitor di Jakarta dan rekonstruksi sejumlah peristiwa di masa lalu Sitor. Perihal pencarian identitas dan ketegangan diri Sitor Situmorang dalam menghadapi dua budaya yakni tradisional Toba dan modernitas Eropa, menjadi pokok bahasan dalam tulisan A.H. Jons. Kajian tentang sajak-sajak Sitor yang mengangkat gagasan eksistensialisme dan aliran simbolisme Perancis ditulis oleh sastrawan dan budayawan terkemuka Subagio Sastrowardoyo. Terdapat pula telaah buku Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, sebuah karya ilmiah tentang sejarah dan budaya etnis Toba yang ditulis oleh Sitor, disusun oleh Johann Angerler. Martina Heinshke mengaitkan pemikiran Sitor yang tercermin dalam karya-karyanya, terutama esei, dengan konteks sosial politik yang terjadi di Indonesia pada era pasca kolonial. Heinshke juga membedah pemikiran Sitor terhadap Marhaenisme dan kebudayaan Indonesia. A. Teeuw dan Mohammad Haji Saleh mengkaji sajak-sajak Sitor. Tulisan C.H. Watson tentang otobiografi
37
C.W. Watson, ―Sitor Situmorang, Dunia Penuh Ambivalensi: Renungan Otobiografis Sitor Situmorang Mengenai Indonesia Pascapenjajahan‖ terj. Koesalah Soebagyo Toer dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang Sitor Situmorang (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), p. 21.
18
Sitor juga termuat di dalamnya bersama sejumlah sajak karya penyair Indonesia yang menjadikan Sitor sebagai tema penulisannya. Membaca buku ini adalah upaya memahami sosok, pemikiran, dan sajak Sitor dari berbagai perspektif para peneliti dan pemikir Indonesia maupun mancanegara. Tiga hari setelah Sitor Situmorang meninggal pada 20 Desember 2014 lalu, J.J. Rizal kembali menulis buku tentang Sitor, kali ini bertajuk Sitor Situmorang : Biografi Pendek 1924-2014. Rizal membahas Sitor melalui tujuh bab, antara lain : ―Zaman Baru dan Dunia Lama,‖ ―Batavia, Penguasa Jepang dan Revolusi di Sumatra,‖ ―Revolusi Fisik dan Revolusi Seorang Diri,‖ ―Membawa Pulang Dunia dan Kampung Halaman,‖ ―Panglima Kebudayaan Marhaen,‖ ―Lembaga Kebudayaan Nasional,‖ ―Dunia Setelah Penjara Orde Baru.‖ Rizal menunjukkan aneka peristiwa sejarah di mana Sitor bertindak sebagai pelaku aktif politik, penyair yang menulis sajak dari zaman ke zaman, seorang yang intens mendalami budaya Batak, dengan wawasan keIndonesiaan yang kental dan dipengaruhi oleh pergulatan pemikiran Barat. Biografi ini kendati sangat ringkas adalah referensi yang penting untuk mencermati perjalanan hidup Sitor dari awal kelahiran hingga wafatnya. Demi mendapatkan contoh konkret perihal penelitian yang menggunakan kerangka analisis sosio-historik dari Kuntowijoyo, dilakukan pembacaan terhadap skripsi Jurusan Sejarah Universitas Udayana bertajuk ―Mesjid dalam Tiga Zaman: Studi tentang Perubahan Fisik Mesjid di Bali 1860-1991‖ karya Slamat Trisila (1997). Tulisan ini mengkaji pengaruh transformasi kondisi zaman sejak era kerajaan, kolonial hingga masa kemerdekaan terhadap perubahan fisik mesjid di Bali. Secara metodologis, batasan temporal dalam karya Trisila ditentukan dengan
19
menggunakan kerangka kategori sejarah. Trisila menyatakan, mesjid sebagai wujud budaya tidak mesti dicermati berdasarkan penjumlahan kronologinya tetapi dapat diamati dari segi evolusi artistik atau nilai budaya ekspresinya. 38 Skripsi kedua, masih dari kampus yang sama, berjudul ―Bahasa dan Sastra Betawi dalam Dimensi Sejarah : Studi Kasus Karya Sastra Firman Muntaco 1955-1993,‖ ditulis oleh Viktor P.S. Bancin. Bancin menelaah sastra Betawi yang digubah Firman Muntaco dengan menggali dasar struktur yang memengaruhi pengarang, super struktur yang terkandung dalam karya-karyanya serta sejauh mana fakta dalam prosa-prosa Muntaco dapat diuji kebenarannya dalam realitas sosial. 39 Ditemukan pula sejumlah judul skripsi yang mengulas tentang Sitor Situmorang antara lain bertajuk ―Nasionalisme dalam karya Sajak Sitor Situmorang pada Tahun 1966-1998,‖ karya Dosriani Damanik (2012), dari Jurusan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan. Damanik mengungkap gagasan dan bentuk nasionalisme Sitor Situmorang berdasarkan sajak-sajak yang telah ditulisnya selama kurun waktu yang telah ditetapkan serta menelisik pengaruh penerbitan kumpulan sajak Sitor Situmorang terhadap nasionalisme
38
Slamat Trisila, ―Mesjid dalam Tiga Zaman: Studi tentang Perubahan Fisik Mesjid di Bali 1860-1991,‖ (Skripsi S-1 Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1997), p.15. 39
Viktor. P.S. Bancin, ―Bahasa dan Sastra Betawi dalam Dimensi Sejarah : Studi Kasus Karya Sastra Firman Muntaco 1955-1993,‖ (Skripsi S-1 Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1999), p. 13.
20
bangsa Indonesia. 40 Berdasarkan temuan di internet, ditemukan informasi adanya skripsi bertajuk ―Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Tjerita Pendek‖ ditulis oleh J.U. Nasution dari Universitas Indonesia.41 Skripsi ini memakai pendekatan sastra dalam penulisannya. J.J. Rizal mengangkat Sitor Situmorang dalam skripsi S-1 di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1998 dengan mengambil tajuk ―Nasionalisme di Padang Kurusetra Kebudayaan: Biografi Politik Sitor Situmorang (1956-1967).‖42 Esei-esei dan sejumlah judul skripsi yang mengulas Sitor Situmorang tersebut di atas tidak ada yang menggunakan metodologi analisis sosio-historik dari Kuntowijoyo. Untuk itu, tulisan ini akan membahas karya-karya Sitor Situmorang dengan memakai kerangka tersebut.
1.6. Metodologi Sejarah yang Digunakan Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu tentang istilah-istilah kunci yang digunakan dalam metodologi sosio-historik dari Kuntowijoyo. Pertama adalah pengertian dasar struktur yang dalam penelitian ini tidak merujuk kepada kondisi sosial dan ekonomi semata seperti kaum Marxis, tetapi juga meliputi sisi lain yaitu :
40
Dosriani Damanik, ―Nasionalisme dalam karya Sajak Sitor Situmorang pada Tahun 1966-1998,‖ http://digilib.unimed.ac.id/ diakses pada 17 Mei 2014 pukul 21.00 Wita. 41
J.U. Nasution, ―Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Tjerita Pendek,‖ http://lontar.ui.ac.id/diakses pada 17 Mei 2014 pukul 21.15 Wita. 42
p. 473.
J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1980-2005, op.cit.,
21
―… norma (terutama hukum dan politik), modus organisasi sosial (wujud historis struktur kelas dan lembaga-lembaga), sumber sosial (terutama ekonomi, demografi, pendidikan, teknologi). 43 Kedua adalah proses simbolis yakni : ―…kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari. Proses simbolis meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa.‖ 44 Dalam konteks penelitian ini, yang tergolong ke dalam proses simbolis adalah penciptaaan sajak-sajak oleh Sitor Situmorang yang merupakan wujud pemaknaan Sitor terhadap pengalaman hidupnya. Proses simbolis tidak terlepas dari dasar struktur yang memengaruhinya. Setiap proses simbolis mengandung superstruktur yaitu meliputi nilai, cita-cita, dan simbol ekspresif. 45 Penelitian ini menelusuri korelasi antara nilai, cita-cita, dan simbol-simbol ekspresif dalam sajak-sajak Sitor Situmorang dengan dasar stuktur masyarakat. George Huaco telah menyusun model dasar-superstruktur yang merupakan pengayaan dari konsep dasar struktur Karl Marx dipadukan dengan kategori dari Smelser yang sangat diperlukan dalam pembahasan seputar proses simbolis. Berikut adalah model tersebut yang dikutip dari buku Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat : Superstruktur nilai, cita-cita, simbol ekspresif norma (terutama hukum dan politik) modus organisasi sosial (wujud historis struktur kelas dan lembaga-lembaga) Dasar sumber sosial (terutama ekonomi, demografi, pendidikan, teknologi Tabel 2 : Model dasar-superstruktur dari Huaco 43
Kuntowijoyo, op.cit., p. 6.
44
Ibid., p. 3.
45
Ibid., p. 6.
22
yang menjadi salah satu dasar pemikiran Kuntowijoyo 46 Dasar struktur tidak dikaitkan secara langsung dengan superstruktur, melainkan melalui jaringan yang kompleks dan langkah-langkah antara.47 Artinya, manusia secara sadar dan tidak sadar hidup di dalam dasar struktur. Hasil interaksinya dengan dasar struktur, dicerna dalam pikiran, dipadukan, diselaraskan dengan sudut pandang, kebiasaaan sehari-hari, pola pikir dan orientasi ideologinya, kemudian terpantulkan di dalam nilai, cita-cita, dan simbol-simbol ekpresif karyakaryanya. Model ini menjadi kerangka dalam pembahasan lebih jauh perihal kaitan antara superstruktur yang terkandung dalam sajak-sajak Sitor Situmorang dan dasar struktur yang melingkupi Sitor. Dalam studi ini, akan dibicarakan pelembagaan produksi dan distribusi simbol-simbol dalam superstruktur sajak-sajak Sitor Situmorang di era Reformasi, karena itu sangat penting menggunakan pendekatan sosiologi budaya dari Raymond William, yang kemudian menjadi dasar
metodologi analisis sosio-
historik terhadap proses simbolis ala Kuntowijoyo. Metodologi ini terdiri dari tiga komponen pokok yaitu: lembaga-lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya atau norma-norma.48 Dijelaskan bahwa : ―…lembaga budaya berkaitan dengan subjek penghasil produk budaya, subjek yang bertugas melakukan kontrol dan bagaimana kontrol tersebut dilakukan. Sementara itu isi budaya berhubungan
46
Ibid., p. 5.
47
Ibid., p. 4.
48
Kuntowijoyo mengutip rumusan sosiologi budaya dari Raymond Williams. Raymond Williams adalah seorang pengamat dan kritikus kebudayaan tersohor yang mengemukakan kompleksitas makna kebudayaan (culture), lihat dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (eds.), op.cit., pp. 7-8. Akademisi dari Inggris yang juga novelis ini adalah pemikir kiri yang memberi sumbangan signifikan bagi kritik budaya dan seni Marxis.
23
dengan simbol-simbol yang diusahakan muncul dari produk budaya dan efek budaya menanyakan konsekuensi yang diinginkan dari proses budaya tersebut.49 Kuntowijoyo memetakan kerangka tersebut dalam tiga kategori sejarah, antara lain : kategori sejarah tradisional-patrimonial, kategori sejarah kapitalis, dan kategori sejarah teknokratis. Berikut adalah tabel yang menerangkan kerangka berpikir di atas: Proses Simbolis
Kategori Sejarah
Lembaga
Simbol
Norma
tradisional
masyarakat abdi dalem
mitis
komunal
patrimonial
raja perintah
mitis
kepatuhan
profesional
Realis
individualis
pseudorealis
modifikasi perilaku
kapitalis
pasar penawaran teknokratis
profesional negara pesanan
Tabel 2 : Rekonstruksi sejarah proses simbolis di Indonesia yang dibuat oleh Kuntowijoyo 50 Tabel di atas menunjukkan klasifikasi proses simbolis yang terjadi dalam tiga kategori sejarah. Bertolak dari rumusan Williams, Kuntowijoyo menjelaskan tabel tersebut di atas sebagai berikut : dalam kategori sejarah tradisional dan patrimonial, penghasil produk budaya yang sekaligus melakukan pengontrolan adalah raja bersama masyarakat abdi dalem melalui mekanisme perintah. Perintah diturunkan kepada seluruh rakyat dengan dibungkus simbol-simbol yang bersifat
49
Kuntowijoyo, loc.cit.
50
Ibid.
24
mitis untuk dijalankan sebagai ketentuan hidup bersama demi mewujudkan citacita egalitarian dan kepatuhan.51 Ketika sajak Sitor Situmorang berada dalam kategori sejarah tradisional-patrimonial, akan tampak unsur-unsur mitis seperti halnya dikenal dalam kisah-kisah mite, tabu, tradisi lisan, serta kisah-kisah dalam ajaran agama. Pada kategori sejarah kapitalis, produk budaya dibentuk oleh kalangan profesional dan atau pasar melalui cara-cara yang bersifat penawaran, bukan lagi perintah mutlak seperti kategori tradisional-patrimonial. Produk budaya yang dihasilkan bersifat realis atau ―betoel soedah kedjadian‖ yang sarat dengan nilainilai individualisme. Sajak Sitor Situmorang yang ditulis berdasarkan kenyataan yang dialaminya, hal yang ada atau terjadi di sekitarnya, serta mengangkat peristiwa historis tertentu tergolong dalam kategori sejarah kapitalis. Dalam kategori sejarah teknokratis, para subjek pencipta dan pengontrol produk budaya (profesional dan negara) berusaha untuk menjadikan proses simbolis sebagai cara untuk mengubah perilaku masyarakat atau social engineering.52 Pada kategori ini pula, dilakukan usaha-usaha untuk menyatakan kekecewaan terhadap realisme atau perlawanan melalui produk budaya yang bercirikan pseudorealis, realitas semu. Sebagai seorang intelektual, Sitor Situmorang juga menyatakan pemikiran dan menyuarakan protes sosial melalui sajak-sajaknya. Adapun contoh-contoh sajak yang termasuk dalam seluruh kategori di atas telah disebutkan sebelumnya di bagian latar belakang.
51
Ibid., p. 7
52
Ibid.
25
Pertumpang-tindihan kategori-kategori sejarah tersebut akan ditelaah dengan berangkat dari sajak-sajak Sitor terkini, yakni selama masa Reformasi, untuk kemudian dilacak jejak-jejaknya di masa lampau. Cara penulisan seperti ini juga dilakukan oleh Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1, 2, 3. yang melakukan pembalikan urutan dengan penjelasan dimulai dari waktu yang paling dekat.53 Metode penulisan ini, seperti disebutkan I Nyoman Wijaya dalam disertasinya, merupakan anjuran sejarawan James Vernon dalam merespon serangan akademik dari kaum pascamodernisme 54 yang sejak 1980-an memandang bahwa: ―…tulisan sejarah hanya sebuah wacana. Mereka menyerang pandangan sejarah ilmiah yang ditulis berdasarkan sumber primer. Pertanyaan mereka bukan apa itu sejarah, melainkan apakah mungkin sejarawan menyusun sejarah secara utuh. Dalam upaya menghadapi serangan itu, James Vernon menganjurkan supaya sejarawan mengerjakan sejarah intelektual zaman mereka sendiri, yaitu sejarah yang berdasarkan ide-ide.‖55 Adapun kritik kaum pascamodernisme tertuju kepada keyakinan para sejarawan strukturalis yang memandang bahwa penggunaan sumber-sumber
53
Jilid satu buku ini berbicara tentang Pembaratan, sementara jilid dua perihal Islamisasi, dan jilid tiga tentang Indianisasi. Kuntowijoyo mengatakan pembalikan semacam ini seperti teknik flash back dalam sinema. Penjelasan lengkap lihat Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation) (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2008), pp. 28-30. 54
Pengertian pascamodernisme dapat dipahami atas tiga konstruksi, antara lain : (a) zaman, (b) gaya dan (c) filsafat. Karya ilmiah ini merujuk kepada definisi pascamodernisme sebagai suatu filsafat. Sebagai filsafat, pascamodernisme mencakup pemikiran pascastrukturalisme, dekonstruksi, multikulturalisme, neo-relativisme, neo-marxisme, dan kajian-kajian gender. Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta : Ombak, 2007), pp. 335336. 55
Pandangan James Vernon ini dikutip dalam I Nyoman Wijaya ―Mencintai Diri Sendiri : Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007,‖ (Disertasi S-3 Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2009), p.18.
26
primer yang sezaman dengan suatu peristiwa sejarah di masa lampau adalah cara terkuat yang dapat dilakukan untuk mendekati kebenaran sejarah terkait.56 Keyakinan tersebut disangsikan oleh kaum pascastrukturalis lantaran rekonstruksi sejarawan strukturalis yang kendati pun sudah menggunakan perangkat metodologis, namun kerap mengandung bias, berat sebelah, baik karena prasangka dan relativisme sejarah serta kepentingan personal seperti ideologi, sehingga memengaruhi usaha penelusuran kebenaran sejarah. 57 Pemikiran pascamodernisme mengkritik pola-pola umum yang digunakan oleh sejarawan yang menganggap bahwa sejarah dan masyarakat berkembang ke arah yang lebih baik dan semakin maju dari waktu ke waktu dalam proses yang linear.58 ―Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis genealogi, lalu membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap spektakuler, seperti perang, serta mengabaikan peristiwa yang bersifat lokal dan tanpa kekerasan, misalnya kehidupan di pedesaan.‖59 Kaum pascastrukturalis menolak adanya konsep emansipasi dan kemajuan (the idea of progress), mereka memandang bahwa pada hakikatnya sejarah bersifat kacau (chaotic).60 Kaum pascastrukturalis kemudian memperkaya cara penulisan para sejarawan strukturalis tersebut. Michel Foucault menawarkan bahwa dalam
56
Dedi Irwanto dan Alian Syair, Metodologi dan Historiografi Sejarah (Yogyakarta: Eja_Publisher, 2014), p. 138. 57
Ibid., 176.
58
Dedi Irwanto dan Alian Syair, op.cit., p. 143.
59
Ibid.
60
Alexander Aur, loc.cit.
27
sejarah juga ada konsep-konsep keterputusan (discontinuity), patahan (rupture), kontingensi dan kebetulan (chance).61 Sejumlah sejarawan berpegangan pada fakta-fakta yang didapatkan dari hasil analisis terhadap teks-teks secara struktur dengan tidak mempertimbangkan wacana yang ada di balik teks itu sendiri. Padahal ada sekian kebenaran di balik bahasa yang dihadirkan. Kaum pascamodernisme menolak kemanunggalan makna yang muncul dari sebuah teks yang disampaikan melalui bahasa tersebut. Demi tujuan itu, Julia Kristeva menawarkan penggunaan bahasa puitik yang justru menawarkan multimakna.62 Menurut Kristeva: ―…bahasa puisi adalah bahasa yang bersifat terbuka, yang mencoba merombak kebiasaan umum yang ada dalam rangka mencari sebuah bahasa alternatif yang menyegarkan, sehingga diharapkan ia mampu membuka cakrawala baru dalam pemahaman, apresiasi dan penafsiran.‖63 Kristeva menekankan bahwa bahasa puitik dapat ―menggerakkan ke arah berbagai ide, pemikiran atau tindakan-tindakan yang kreatif, inovatif, dan produktif.‖64 Dengan demikian, penggunaan sajak, dalam hal ini sajak-sajak Sitor Situmorang, justru memberikan tawaran bagi sejarawan dalam membaca realita. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Sitor dalam salah satu bait sajaknya yang berbunyi: ―tak ada yang lebih jelas dari, kekaburan puisi dan ia, tak berulang.‖ 65 Sitor meyakini bahwa sajak, kendati merupakan karya fiksional, bukan lahir dari rekaan 61
Ibid., p. 143.
62
Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan (Yogyakarta : Jalasutra, 2004), p. 463.
p. 67.
63
Ibid.
64
Ibid.
65
J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1948-1979, op.cit.,
28
semata-mata tetapi berpijak pada realita sehingga mengandung kejelasan dan kejujuran. Dengan demikian, secara keseluruhan, tulisan disusun melalui dua ramuan metodologi sejarah yakni : analisis sosio-historik dengan pendekatan kategorikategori sejarah dan semesta simbolisnya serta kerangka yang ditawarkan kaum pascastrukturalisme yaitu melacak adanya keterputusan (discontinuity), patahan (rupture), kontingensi dan kebetulan (chance) dalam sejarah. Seperti telah disebutkan di atas, dalam sajak-sajak Sitor Situmorang selama era reformasi terkandung pertumpang-tindihan kategori sejarah. Demi membuktikan asumsi awal, yakni adanya hubungan sebab akibat antara pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajak Sitor Situmorang dengan cara Sitor mengolah dasar struktur, dilakukan pelacakan ke masa lalu Sitor Situmorang. Model penulisan flash back ini mengikuti apa yang diajarkan oleh paham pascastrukturalisme. Pada akhirnya dapat dilihat pula, apakah terjadi keterputusan (discontinuity), patahan (rupture), kontingensi dan kebetulan (chance) pada sajak-sajak Sitor Situmorang.
1.7. Kerangka Teoretis Kajian historis bertujuan menyusun rekonstruksi masa lalu dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, verifikasi, serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta guna memperoleh simpulan yang kuat.66 Dalam upaya
66
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta : CV Rajawali, 1992), p. 16.
29
membantu proses tersebut, peneliti perlu menggunakan teori tertentu sehingga dapat menghasilkan tulisan sejarah yang ilmiah dan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Teori berguna sebagai kerangka penelitian, generalisasi, dan memberikan prediksi awal terhadap suatu permasalahan yang hendak dikaji. Seperti disebutkan Sartono Kartodirdjo dalam buku ―Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,‖ teori sangat penting karena : ―…memudahkan peneliti dalam merumuskan substansi penulisan naratif dengan segala unsur-unsurnya, seperti fakta-fakta, fakta, struktur, dan proses; faktor-faktor; dan lain sebagainya.Tanpa kerangka teoritis dan konseptual tidak ada butir-butir referensi untuk membentuk naratif, eksplanasi, argumentasi.‖67 Penelitian
ini
menggunakan
tiga
teori.
Teori
pertama
adalah
intertekstualitas. Intertekstualitas merupakan salah satu konsep utama dalam budaya pascamodernisme.68 Intertekstualitas menitikberatkan dimensi ruang dan waktu serta perubahan yang terjadi dalam kebudayaan. ―Sebuah kebudayaan dan objek-objeknya tidak pernah berada di ruang kosong, tidak berdiri sendiri, tidak self-determination, dan tidak otonom. Ia mesti berhubungan dan berdialog dengan kebudayaan-kebudayaan lain.‖69 Menurut Yasraf Amir Piliang, intertekstualitas adalah strategi intelektual utama sekaligus jalan keluar pascamodern dari keterasingan suatu objek kebudayaan dan
67
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), pp. 85-86. 68
Menurut Yasraf Amir Piliang, intertekstualitas adalah ―reaksi atas cara berpikir strukturalisme dalam kebudayaan, yang sarat dengan simplifikasi kebudayaan, yaitu dengan melihat kebudayaan sebagai sebuah relasi struktural antara bentuk dan makna atau penanda (signifier) dan petanda (signified), yang dianggap bersifat tetap, statis, dan tidak pernah berubah.‖ Yasraf Amir Piliang, op. cit., p. 432. 69
Ibid., p. 432.
30
masyarakatnya.70 Dengan kata lain, untuk menilai suatu ekspresi budaya, diperlukan upaya melihat teks-teks budaya yang terdahulu, karena seperti disebutkan dalam kutipan di atas, pada hakikatnya tidak ada teks yang berdiri sendiri (ada dari dan untuk dirinya sendiri). 71 ―Hanya lewat dialog dengan kebudayaan-kebudayaan lainlah sebuah kebudayaan dapat hidup, berkembang, berubah, dan bertransformasi. Intertekstualitas adalah semacam pelintasan sistem-sistem tanda (sign system) dari satu sistem budaya ke sistem budaya lainnya, yang mampu menghasilkan kategori-kategori kebudayaan baru yang sangat beraneka ragam, dalam wujud alegori, parodi, hibrida, sinkretisme, dan eklektisme. Intertekstualitas merupakan strategi intelektual utama dalam posmodernisme, yang dicirikan oleh sifat pengkodean ganda (double coding), yaitu semacam dialog antara teknik-teknik modern dan kode-kode kebudayaan masa lalu, dan juga dialog antara elit/populer, atau baru/lama.‖72 Lebih jauh, dalam buku Derrida, disebutkan bahwa prinsip intertekstualitas menjadi satu-satunya cara untuk melihat kebenaran karena tidak ada kebenaran di luar teks.73 Pemikiran tersebut di atas berakar dari terminologi intertekstual yang dikembangkan pertama kali oleh Julia Kristeva, seorang tokoh semiotika yang tergabung dalam kelompok Tel Quel74 (bersama Jacques Derrida dan Roland
70
Ibid., pp.432-433.
71
Ibid., p. 433.
72
Ibid.
73
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida (Yogyakarta : LKiS, 2009), p. 77.
74
Tel Quel adalah kelompok yang paling kritis terhadap strukturalisme dalam bahasa. Baca : Yasraf Amir Piliang, op.cit., p. 317.
31
Barthes) di Perancis. Kristeva memandang bahwa prinsip dasar intertekstualitas adalah hubungan antara sebuah teks dengan teks-teks lain. 75 Ia melihat bahwa : ―…setiap teks memperoleh bentuknya sebagai mosaik kutipankutipan, setiap teks merupakan rembesan dan transformasi dari teks-teks lain. Bagi dia, sebuah karya hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan atau dalam pertentangannya terhadap teks-teks lain yang menjadi resapannya.‖76 Menurutnya, hubungan antara suatu teks dengan teks-teks lain dapat dilacak dengan petunjuk-petunjuk yang dapat dilihat jejaknya pada teks itu sendiri. Jejak tersebut akan mengantar pembaca atau seorang peneliti kepada teksteks terdahulu.
77
Dalam menganalisis teks, Kristeva menawarkan jalan yaitu
dengan mencermati unsur-unsur struktur yang membentuk teks terkait seperti tema dan gagasan serta unsur-unsur di luar struktur seperti sejarah, budaya dan sebagainya. 78 Menurut Michael Bakhtin, seorang pencipta teks tidak berbicara dengan dan tentang dirinya sendiri, melainkan juga berhadapan dengan suara lain, teksteks lain. 79 Atas dasar pemikiran ini, Norman Fairclough mencari keterkaitan antara teori tersebut dengan tugas seorang wartawan yang dinyatakan sebagai berikut :
75
Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika (Yogyakarta: Paradigma, 2009), pp. 228-229. 76
Ibid., p. 229.
77
Yulis Majidatul, loc.cit.
78
Alfian Rokhmansyah, ―Teori Intertekstual (Pengantar),‖ academia.edu, diakses pada 23 April 2015 pukul 17.20 Wita. 79
Eriyanto, Analisis Wacana: (Yogyakarta: LKiS, 2012), p. 306.
Pengantar Analisis Teks Media
32
―Teori intertekstualitas dipakai untuk menghadirkan bagaimana wartawan menghadapi aneka suara itu dan bagaimana ia menampilkan suara dan pandangan banyak pihak itu dihadapkan dengan suaranya sendiri yang akan ditampilkan dalam teks berita.‖80 Dalam konteks penelitian ini, teori intertekstualitas digunakan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam sajak-sajak Sitor Situmorang dengan cara mencermati proses Sitor dalam menghadapi berbagai ―suara‖ atau teks-teks lain di luar sajaknya dan meramunya dengan pemikirannya sendiri sehingga menghasilkan sebuah teks baru. Kondisi intertekstualitas dalam sajak-sajak Sitor Situmorang dapat dilacak dengan melihat petunjuk-petunjuk yang ada pada sajaksajaknya. Petunjuk didapatkan dengan melihat unsur-unsur pembentuk sajak Sitor seperti tema, latar tempat, peristiwa yang diangkat, metafora atau kata-kata tertentu yang dapat dicari rujukannya dengan teks-teks lain. Sitor juga sering menulis sajak yang ditujukan bagi sejumlah sosok yang mana dapat turut menjadi petunjuk intertekstualitas. Dalam penelusuran ini, pembahasan tentang dasar struktur Sitor Situmorang dengan sendirinya akan terjadi. Piliang menganjurkan agar intertektualitas hendaknya jangan hanya pada tingkat permukaan dan penampakan saja, akan tetapi lebih bersifat substantif, dalam pengertian ada dialog-dialog budaya yang menyangkut nilai, norma, ideologi dan makna.81
Pendekatan intertekstual dalam penelitian ini pada
akhirnya akan mengungkap kategori-kategori sejarah dan ideologi Sitor Situmorang. Hal tersebut memungkinkan, karena proses intertekstualitas tidak
80
Ibid.
81
Ibid., p. 438.
33
dapat terlepas dari pemikiran dan aspirasi sang pengarang teks itu sendiri, 82 kendati ada berbagai ―suara-suara lain‖ yang bercampur dan berdialog dengannya sebelum teks itu tercipta. Selain yang disebutkan di atas, studi ini memerlukan teori behaviorisme Skinner untuk mengetahui hubungan antara pengaruh reaksi lingkungan sosial terhadap perilaku dan pemikiran Sitor Situmorang serta sajak-sajaknya. Teori yang sangat terkenal dalam psikologi ini berpengaruh secara langsung terhadap sosiologi perilaku.83 Teori behaviorisme yang pertama digunakan dalam sosiologi oleh George Homans menyatakan bahwa: ―lingkungan tempat munculnya perilaku, entah itu berupa sosial atau fisik, dipengaruhi oleh perilaku dan selanjutnya ‗bertindak‘ kembali dalam berbagai cara. Reaksi ini, entah positif, negatif, atau netral, memengaruhi perilaku aktor berikutnya. Bila reaksi telah menguntungkan aktor, perilaku yang sama mungkin akan diulang di masa depan dalam situasi serupa. Bila reaksi menyakitkan atau menyiksa aktor maka perilaku itu kecil kemungkinannya terjadi di masa depan.‖84 Teori behaviorisme dapat digunakan untuk menelisik pengaruh reaksi atas perilaku Sitor Situmorang di masa lalu terhadap perkembangan diri dan pemikirannya berikutnya. Dengan kata lain, melalui teori ini pula akan diketahui bagaimana dasar struktur berdampak pada serta diri pribadinya sebagai aktor individual termasuk proses simbolis sajak-sajak Sitor Situmorang. Teori ini juga
82
Penjelasan Adbul Rahman Napiah berdasarkan pemahamannya terhadap prinsip intertekstual dari Julia Kristeva yang dikutip dalam Alfian Rokhmansyah, loc.cit. 83
George Ritzer dan Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam, terj. Alimandan (Jakarta: Kencana, 2012), p. 356. 84
Ibid.
34
menjelaskan tentang konsep hadiah (atau penguat) dan ongkos (atau hukuman). 85 Bila aktor memperoleh reaksi positif atas perilakunya, maka ia akan memperoleh hadiah, yang akan membuatnya mengulangi perilaku tersebut di kemudian hari. Bila aktor memperoleh reaksi negatif dalam sebuah hubungan pertukaran maka ia akan menanggung ongkos. Ongkos dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri serta kondisi-kondisi lain yang tidak menyenangkan.86 Adanya ongkos atau hukuman ini dapat menimbulkan rasa jera bagi aktor, sehingga cenderung enggan mengulangi perilaku serupa. Guna memperkokoh kerangka teoretis ini, maka digunakan pula teori pilihan rasional untuk mengetahui hal-hal mendasar lainnya yang juga berdampak terhadap pertumpang-tindihan Sitor Situmorang. Teori yang dirumuskan oleh Friedman dan Hecter ini menitikberatkan aktor sebagai subjek yang memiliki tujuan, motif atau maksud tertentu yang memengaruhi tindakannya. Tindakan seorang aktor juga tidak terlepas dari dua faktor utama pemaksa tindakan antara lain : ketersediaan sumber daya yang dimiliki aktor serta pengaruh keberadaan lembaga sosial. 87 Dijelaskan bahwa aktor yang memiliki sumber daya yang sedikit boleh jadi akan mengalami kesulitan dalam upaya mencapai tujuan-tujuannya, sementara aktor yang memiliki kekuatan lebih, akan lebih mudah menggapai
85
Ibid., pp. 356-357.
86
―Teori Pertukaran Sosial,‖ http://meiliemma.wordpress.com/ diakses pada 22 Agustus 2014 pukul 21. 38 Wita. 87
George Ritzer dan Douglas J.Goodman, op.cit., pp. 357-358.
35
tujuannya. 88 Pilihan rasional Sitor Situmorang dapat diselidiki menilik ke perjalanan hidupnya. Ada berbagai peluang atau kesempatan yang ia peroleh, tetapi tidak sedikit pula kondisi sulit yang dialami, yang kemudian mendorong Sitor untuk melakukan pertimbangan dan pilihan tertentu demi mewujudkan tujuannya. Adapun tindakan Sitor Situmorang, termasuk tindakan seluruh manusia di dunia, juga pastilah dipengaruhi oleh lembaga sosial tempat di mana individu tumbuh dan berkembang. Mengutip pendapat Friedman dan Hecter, seorang aktor pada galibnya akan : ―Merasakan tindakannya diawasi sejak lahirnya hingga mati oleh aturan keluarga dan sekolah; hukum dan peraturan; kebijakan tegas; gereja; sinagoge dan mesjid; rumah sakit dan pekuburan. Dengan membatasi rentetan tindakan yang boleh dilakukan individu dengan dilaksanakannya aturan permainan—meliputi norma, hukum, agenda, dan aturan pemungutan suara—secara sistematis memengaruhi akibat sosial.‖ 89 Sebagai manusia yang lahir dari kebudayaan Timur, Sitor niscaya tidak terlepas dari adat, tradisi dan kultur etniknya walaupun telah menerima pengaruh Barat yang diperoleh dari gereja, sekolah Belanda, pergaulan lintas bangsa, serta beraneka bacaan. Sebagai warga negara Indonesia, Sitor pun harus menerima konsekuensi mematuhi aturan serta undang-undang yang berlaku terlebih ia pernah menjadi pejabat terhormat sekaligus tahanan penjara. Sejumlah sajak-sajak Sitor pun sarat dengan pemertanyaan terhadap kehidupan, kematian, dan ekspresi pribadinya terkait permasalahan negara dan isu-isu universal.
88
Ibid., p. 357.
89
Ibid., p. 358.
36
Selain itu, pilihan rasional juga dapat dipengaruhi oleh berbagai informasi yang diperoleh oleh aktor.90 Dengan demikian, menurut teori pilihan rasional, baik sumber daya atau kesempatan, lembaga sosial maupun kuantitas serta kualitas informasi bisa mendorong aktor untuk melakukan tindakan tertentu dan menghindarkan tindakan yang lain. 91
1.8. Kerangka Konseptual Pada dasarnya konsep merupakan unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam satu bidang studi, dengan demikian konsep adalah penjabaran abstrak dari teori. 92 Oleh karena itu konsep-konsep yang digunakan dalam studi akan dicari teori-teoeri yang disebutkan di atas. Dalam teori intertekstualitas dari Julia Kristeva, terkandung sejumlah konsep antara lain : teks, hipogram, dan transformasi. Teks. Dalam buku Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media disebutkan pengertian teks dari Peter Garret dan Allan Bell secara sederhana yakni : ―…semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, -tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya.‖ 93
90
Ibid.
91
Ibid.
92
Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Sebuah Panduan Dasar (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), p. 20. 93
Eriyanto, op.cit., p. 9.
37
Pengertian di atas digunakan untuk membuka kemungkinan pembacaan atas teksteks yang terkait dengan sajak Sitor Situmorang. Misalnya saja, dalam sajak ―Lukisan dalam Lukisan‖ yang ditujukan kepada Srihadi dan istrinya Farida Soedarsono. Srihadi adalah pelukis yang terkenal dengan candi Borobudur sebagai subject matter dalam banyak karyanya, Sitor memiliki ikatan batin terhadap candi Borobudur yang dapat dibuktikan lewat sajak-sajaknya. Makna dari lukisan Srihadi Soedarsono sebagai sebuah teks—yang dapat dibaca dari kritik seni rupa yang telah beredar luas—bisa menjadi rujukan memahami sajaksajak Sitor Situmorang. Roland Barthes, seorang pascastrukturalis, mendefinisikan teks dalam kerangka pascamodernisme bukan sebagai ekspresi yang tunggal dan orisinil dari penciptanya sehingga maknanya pun tidak tunggal, di dalamnya terkandung aneka ragam bahasa masa lalu dan yang sudah ada. Dengan kata lain, dalam sebuah teks terdapat aneka ragam teks lain yang bercampur dan berinteraksi. Teks dipahami sebagai ―sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.‖94 Mengutip kembali pengertian teks dari Kristeva, teks dipandang sebagai kumpulan kutipan-kutipan, setiap teks tidak hadir secara tiba-tiba dalam ruang hampa melainkan merupakan rembesan dan transformasi dari teks-teks lain. Bagi Kristeva, ―sebuah karya hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan atau dalam pertentangannya terhadap teks-teks lain yang menjadi resapannya‖.95
94
Yasraf Amir Piliang, op.cit., pp. 335-336.
95
Kaelan, loc.cit.
38
Kembali pada sajak ―Lukisan dalam Lukisan‖ yang dibuat pada tahun 2001. Ketika hendak mencerna teks lukisan Srihadi, dengan sendirinya akan dibicarakan pula candi Borobudur sebagai sebuah teks, misalnya saja melalui tulisan-tulisan para kritikus seni maupun sejarawan yang mana tulisan mereka juga merupakan teks-teks. Pembicaraan tentang sosok dan kiprah Srihadi sendiri juga merupakan pembicaraan atas teks-teks lain. Contoh kecil ini menunjukkan bahwa dalam sebuah sajak Sitor saja dapat terlihat berbagai macam teks yang bercampur, bertumpang-tindih, yang dapat dibaca kaitan maupun pertentangannya satu sama lain, sehingga makna yang utuh dari karya Sitor dapat dicari. Banyak sedikitnya teks-teks yang dapat direngkuh dan ruang lingkup pemaknaannya bergantung kepada latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca atau peneliti. Hipogram. Salah satu konsep penting dalam teori intertekstual adalah hipogram. Hipogram merupakan teks pendahulu yang menjadi dasar atau memengaruhi teks yang lahir berikutnya.96 Dalam hipogram tersebut terkandung gagasan, ungkapan, simbol, peristiwa, dan sebagainya yang dimaknai oleh kreator dalam menciptakan teks.97 Menurut Michael Riffaterre, hipogram adalah struktur prateks yang menjadi energi puitika teks yang berfungsi sebagai petunjuk hubungan intertekstual bagi pembaca atau pengamat teks untuk meraih makna
96
Panji Pradana, ―Kajian Intertekstual dalam Novel Namaku Hiroko Karya N.H. Dini dan Memoirs of Geisha Karya Arthur Golden,‖ piiekaa.blogspot.com/ diakses pada 29 April 2015 pukul 16.00 Wita. 97
Tulisan Hutomo yang dikutip dalam Ibid.
39
yang lebih kaya. 98 Sifat hipogram dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam, antara lain : hipogram yang ditentang oleh teks berikutnya (negasi), yang diterima dan atau dikuatkan oleh teks baru (afirmasi), serta hipogram yang diperbaharui oleh teks selanjutnya (inovasi). 99 Transformasi. Intertekstual pada dasarnya bukan sebatas mencari rujukan dari suatu teks, melainkan juga menelusuri sejauh apa penyerapan atau transformasi dari teks satu ke teks lainnya.100 Adanya hipogram yang ditransformasikan ke dalam teks setelahnya merupakan fokus utama dalam kajian intertekstual. 101 Menurut Kristeva, dari transformasi itulah dinamika teks akan dapat ditemukan. Transformasi tersebut dapat berupa : ―…negasi, oposisi, sinis, lelucon dan parodi, maupun sebagai apresiasi, afirmasi, nostalgia, dan jenis pengakuan-pengakuan estetis lain, yang secara keseluruhan berfungsi untuk menemukan makna-makna yang baru…‖102 Selain konsep dalam teori intertekstual, berikut akan diterangkan pula konsep-konsep dalam teori behaviorisme dan pilihan rasional yang digunakan dalam kajian ini. Dalam berinteraksi, aktor mempertimbangkan hadiah dan biaya atau pengorbanan. Perilaku sosial menurut Homans merupakan pertukaran 98
Uraian dari Nyoman Kutha Ratna dalam ―Teori Dekonstruksi, Teori Postkolonialis, dan Teori Intertekstual,‖ eunikeyoanita.blogspot.com/ diakses pada 29 April 2015 pukul 17.23 Wita. 99
Uraian dari Ali Imron dalam Meina Febriani, ―Teori Intertekstual dalam Apresiasi Puisi,‖ banggaberbahasa.blogspot.com/ diakses pada 29 April 2015 pukul 17.30 Wita. 100
Pendapat Julia Kristeva yang dikutip dalam Umam Rejo S.S., ―Teori Intertekstualitas dalam Sastra Bandingan,‖ jendelasastra.com/ diakses pada 29 April 2015 pukul 18.00 Wita. 101 102
Ibid.
Suci Sundusiah dan Halimah, ―Pendekatan Intertekstual dalam Mengkaji Drama,‖ lib.unnes.ac.id, diakses pada 29 April 2015 pukul 18.05 Wita.
40
kegiatan yang terjadi setidaknya antara dua aktor, baik yang tampak maupun tersembunyi, dan memberikan reward atau mengeluarkan cost.103 Homans mengambil dua konsep ini dari teori ekonomi dasar. Homans berpendapat : ―Dalam konsep reward dan cost, individu bebas menentukan perilaku dalam berinteraksi dengan berpatokan pada manfaat apa yang ia dapat dan seberapa besar ia berkorban (mengeluarkan biaya) untuk mendapatkan manfaat tersebut.‖104 Hadiah (Reward/ Reinforcement). Hadiah diartikan sebagai sesuatu yang dapat memperkuat perilaku aktor. Dengan adanya reward atau reinforcement sebagai reaksi terhadap perbuatan aktor, maka kemungkinan aktor mengulang kembali perilakunya sangat besar. Terdapat dua jenis reinforcement yaitu yang positif dan negatif. Reinforcement positif adalah reaksi yang menyenangkan bagi aktor semisal pujian yang dilontarkan atas perbuatan yang telah dilakukan. Sementara reinforcement negatif diberikan ketika stimulus ditolak atau dihindari. Kendati demikian, reinforcement ini justru menguatkan aktor agar melakukan tindakan yang sama ketika berhadapan kembali dengan situasi yang serupa. 105 Biaya atau hukuman (Cost/Punishment). Hukuman berbeda dengan reinforcement negatif. Punishment bukan menguatkan melainkan mengurangi kemungkinan pengulangan perilaku oleh aktor. Ada dua jenis hukuman : presentation punishment, terjadi apabila stimulus yang tidak menyenangkan ditunjukkan atau diberikan; removal punishment, terjadi apabila stiumulus tidak ditunjukkan atau diberikan, artinya menghilangkan sesuatu yang menyenangkan
103
Ibid.
104
Ibid.
105
―Teori Belajar B.F. Skinner,‖ oktavianipratama.wordpress.com, diakses pada 23 Agustus 2014 pukul 21.00 Wita.
41
atau dinginkan. Berada dalam posisi bawahan dalam sebuah relasi sosial dapat dipandang sebagai cost. 106 Konsep biaya ini terkait dengan teori behaviorisme dan teori pilihan rasional yang mempertimbangkan biaya kesempatan (opportunity cost) dalam melakukan suatu tindakan. Biaya di sini tentu tidak saja mengacu pada faktor ekonomi, tetapi mencakup biaya dalam arti kerugian yang akan didapatkan. Sitor bersentuhan dengan banyak pihak dari berbagai struktur sosial. Selama proses tersebut, dapat digali apa saja kiranya reward yang diterimanya dan cost yang harus ia tanggung. Hadiah dan biaya tersebut berpengaruh terhadap perkembangan diri Sitor Situmorang yang giliran berikutnya memperjelas adanya pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam dirinya. Contoh reward yang pernah diperoleh Sitor seperti diakui sebagai sastrawan Indonesia yang terpilih mewakili negaranya dalam berbagai perjalanan kesenian ke luar negeri. Contoh reward lainnya semisal persahabatannya dengan sejumlah tokoh ternama, salah satunya adalah yang paling ia kagumi, yakni Presiden Soekarno. Contoh biaya atau hukuman yang harus ditanggung Sitor, yang paling mengemuka, adalah ketika ia dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun tanpa melalui proses pengadilan. Hubungan ini turut memengaruhi pilihan-pilihan dalam hidup Sitor berikutnya yang akan diselidiki dalam studi ini.
106
―Homans: tentang Pertukaran Sosial,‖ nyitz82.blogspot.com/2008/11/ diakses pada 23 Agustus 2014 pukul 21.10 Wita.
42
1.9. Metode Penelitian dan Sumber Dalam menggarap riset ini, dilakukan tahapan wawancara. Teknik wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab antara pewawancara dan informan dengan atau tanpa menggunakan
pedoman
wawancara. 107
Pada
tahun
2011
lalu,
penulis
berkesempatan wawancara Sitor. Ketika itu ia dan istrinya, Barbara L. Brouwer, tinggal untuk beberapa minggu di Jalan Cekomaria, Gang Melati, Denpasar, Bali. Wawancara berlangsung secara tidak terstruktur, artinya tidak sepenuhnya memakai kerangka pertanyaan, sebab terkadang secara spontan dan mengalir. Selain Barbara L. Brouwer, di rumah itu ada pula Jean Couteau (budayawan) dan Warih Wisatsana (sastrawan). Tujuan wawancara bukan sekadar untuk menggali informasi dari Sitor melainkan juga perspektif pihak lain yang juga telah mendalami sosok, karya dan kiprah Sitor selama ini. Sejak wawancara tersebut berlangsung, penulis yang baru duduk di semester tiga merasa tertarik untuk mempelajari sajak-sajak Sitor Situmorang dan meneliti sajak-sajaknya untuk dijadikan skripsi. Sejarawan Nyoman Wijaya mengingatkan penulis pada metodologi analisis sosio-historik yang ditulis Kuntowijoyo dalam buku Budaya dan Masyarakat serta menunjukkan ada dua karya skripsi yang telah dihasilkan dengan memakai metodologi tersebut di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana.
107
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2001), p. 126.
43
Setelah mendapat pemahaman yang jelas mengenai substansi pemikiran Kuntowijoyo dalam buku itu, penulis melanjutkan kembali penelusuran studi tentang Sitor Situmorang yang pernah disusun oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Langkah ini dilakukan dengan membaca satu per satu tulisan maupun ringkasan hasil penelitian yang berhasil dikumpulkan baik dari berbagai buku maupun internet. Hasil tinjauan ini membuktikan belum ada peneliti terdahulu yang menulis sajak-sajak Sitor Situmorang dengan menggunakan pendekatan analisis sosio-historik seperti diajarkan oleh Kuntowijoyo. Setelah yakin pada topik penelitian, selanjutnya diteliti pertumpangtindihan kategori sejarah pada sajak Sitor Situmorang dengan melakukan pembacaan atas teks sajak Sitor yang berhasil didokumentasikan oleh sejarawan J.J. Rizal dalam dua buku antologi sajak yakni Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-1979 dan Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1980-2005. Selain data tersebut, ditelusuri pula sumber-sumber primer berupa teks-teks puisi Sitor yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat serta teks ketikan puisi karya Sitor yang diperoleh dari Barbara L. Brouwer. Berdasarkan surat elektronik (email) dengan Barbara, diketahui bahwa belum ada buku yang mencetak sajak-sajak Sitor tahun 19982005 atau tahun setelahnya selain buku Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 19802005. Dari 44 sajak yang ditulis Sitor selama tahun 1998-2005 yang diperoleh dari buku tersebut di atas, dilakukan pengklasifikasian berdasarkan tema sajak untuk kemudian diselidiki kategori sejarahnya. Demi menunjang proses penulisan, dilakukan pembacaan terhadap buku otobiografi Sitor yang di dalamnya tecermin
44
pergulatan Sitor dalam menelusuri identitasnya serta keterlibatan dan pandangan pribadi Sitor terhadap dinamika yang terjadi pada bangsa Indonesia. Sebagai pelengkap, ditemukan pula sumber primer lain yakni sejumlah foto Sitor dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan tandatangan Sitor yang juga diperoleh dari Barbara L. Brouwer. Adapun sumber sekunder dalam studi ini di antaranya adalah tulisan-tulisan karya peneliti terdahulu yang menelaah sajak maupun sosok Sitor. Salah satunya adalah Menimbang Sitor Situmorang (Komunitas Bambu, 2009). Buku terbaru tentang Sitor yakni Sitor Situmorang: Biografi Pendek 1924-2014 juga menjadi referensi penting dalam mengetahui perjalanan hidup Sitor dari masa kanak hingga wafatnya. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan buku-buku yang ditemukan di Perpustakaan Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana, buku dan kliping surat kabar di Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Bali, kliping surat kabar Kompas dari Pusat Informasi Kompas yang diakses lewat internet (PIKNet) serta media on-line lainnya.
1.10. Sistematika Pembahasan Karya tulis ini disusun dengan sistematika pembahasan antara lain : diawali dengan bab I yang mengulas latar belakang riset, rumusan permasalahan, asumsi dan pertanyaan penelitian. Berangkat dari penjelasan tersebut, diterangkan pula perangkat-peragkat yang digunakan dalam penelitian ini sehingga mampu menjawab pertanyaan penelitian, antara lain : metodologi dan teori, sejumlah konsep yang menjadi pedoman, yang seluruhnya berasal dari studi pustaka yang
45
telah dikerjakan sebelumnya. Dalam bab I, disebutkan juga sejumlah tahapan penelitian yang telah dan akan dilakukan berikut sumber-sumber primer dan sekunder yang sudah diperoleh. Pada bab II dibahas biografi singkat Sitor Situmorang yang memuat perjalanan hidup Sitor yang disusun berdasarkan otobiografi Sitor serta sumbersumber lain. Pendekatan biografis ini memiliki banyak jendela yang membuka berbagai peristiwa yang lebih luas dari yang dialami oleh individu itu sendiri. Lewat uraian tentang sosok Sitor, giliran berikutnya dapat dianalisis sejarah lokal, sejarah nasional dan internasional yang terjadi pada kurun waktu tertentu yang melingkupi perjalanan hidup Sitor Situmorang sebagai seorang penyair dan tokoh sejarah yang melalui berbagai zaman (kolonial Hindia Belanda, kolonial Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, termasuk pula dalam arus sejarah dunia) serta bersentuhan dengan beraneka kultur (budaya Batak, Kristen, kultur kolonial, wawasan keIndonesiaan, marhaenisme, kultur modern, filsafat eksistensialisme, pemikiran pascamodern dan sebagainya) serta bangsa. Pendekatan biografis ini menjadi pintu masuk untuk menyelami dasar struktur dan pemikiran Sitor Situmorang. Bab III merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian pertama. Bab ini berisi aneka ragam pemikiran atau ideologi yang terdapat dalam sajak-sajak Sitor era reformasi yang didapatkan dengan menggunakan teori intertesktualitas. Uraian ini diperlukan untuk memperkaya dan memperkuat pemahaman terhadap sajaksajaknya. Bab IV adalah jawaban dari pertanyaan penelitian kedua. Dalam bab ini diuraikan wujud-wujud pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajak-sajak Sitor Situmorang di era reformasi yang diklasifikasikan berdasarkan tiga tema
46
utama antara lain : spiritualisme, cinta tanah air, dan kepedulian sosial. Khusus tema spiritualisme, hanya diambil beberapa sajak saja sebagai sampel yang dipandang cukup untuk mengungkap keberagaman kategori sejarah di dalam sajak Sitor. Penjelasan dalam bab IV ini juga menggunakan teori intertekstualitas untuk membedah simbol-simbol dan norma yang terkandung dalam setiap sajak. Bab V ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga, yaitu dengan melacak dasar struktur yang memengaruhi sajak-sajak Sitor Situmorang era reformasi. Proses pelacakan ini berpedoman kepada kerangka analisis sosio-historik dari Kuntowijoyo dan juga menggunakan teori intertekstualitas, teori behaviorisme dan teori pilihan rasional. Adapun bab VI berisi simpulan yang memuat tanggapan penulis terhadap jawaban atas pertanyaan penelitian.