BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Dalam era globalisasi, persaingan bisnis menjadi sangat tajam, baik di
pasar domestik (nasional) maupun di pasar internasional atau global. Tanpa terkecuali di negara kita, dunia usaha di Indonesia juga berkembang dengan pesat. Perdagangan bebas AFTA di tahun 2003 dan APEC mulai tahun 2020 memberikan kesempatan para produsen untuk memasarkan produknya secara bebas. Adanya pasar bebas yang mengakibatkan dunia perdagangan menjadikan persaingan promosi yang lebih tajam, karena banyaknya jenis produk yang ditawarkan. Berbagai jenis produk yang ditawarkan sangat berhati-hati dalam mengisi celah-celah bisnis melalui berbagai macam strategi pemasaran. Hal ini merupakan tantangan bagi perusahaan terutama perusahaan baru untuk bertahan di dalam dunia kompetisi ini dan bersaing dengan perusahaan-perusahaan lama yang telah lebih dahulu dikenal masyarakat. Masing-masing perusahaan berupaya untuk dikenal, diperhatikan serta diminati banyak orang demi kelangsungan usahanya. Mencuri perhatian khalayak merupakan tugas yang tidak mudah. Diperlukan kerjasama dan komitmen yang tinggi dari perusahaan yang ingin sukses, dikenal dan diminati banyak orang. Persaingan yang ketat antar perusahaan membuat para pelaku dunia bisnis tersebut terus melakukan inovasi dan berani tampil beda dari para pesaingnya. Setiap perusahaan juga harus menampilkan ciri khas yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain.
1 Universitas Sumatera Utara
Ada banyak strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam rangka merebut perhatian dari khalayaknya salah satunya yakni melalui konsep experiential marketing. Pemikiran Bernd H. Schmitt tentang hubungan antara produk dan konsumennya yang dituangkan dalam buku Experiential Marketing (EM) memang sudah lama ada, sejak 1999 (http://202.59.162.82/swamajalah). Namun, rupanya dari tahun ke tahun ide memberi perhatian khusus terhadap perilaku dan aspirasi konsumen terus berkembang. Pemikiran dosen di Columbia Business School New York ini banyak dimanfaatkan untuk mendekati, mendapatkan dan mempertahankan konsumen loyal. Melalui konsep ini, perusahaan mencoba melibatkan konsemen melalui emosi, perasaan, mendorong mereka untuk berpikir, melakukan tindakan, maupun untuk menjalin komunitas. Keberhasilan mengeksekusi lima elemen ini akan membuat merek tertanam lebih dalam di hati konsumen. Kini, para produsen beramai-ramai menghadirkan pengalaman yang unik, positif dan mengesankan kepada konsumen. Dewasa ini, persaingan perusahaan untuk memperebutkan pelanggan tidak lagi terbatas pada atribut fungsional produk, melainkan juga sudah dikaitkan dengan merek yang mampu memberikan citra khusus bagi pemakainya. Merek dapat diistilahkan dengan ekuitas merek. Untuk memenangi persaingan, perusahaan harus berusaha untuk berada di deretan terdepan dalam benak konsumen pada saat konsumen membutuhkan. Untuk mencapai hal tersebut, produk harus memiliki ekuitas merek yang kuat. Meskipun porsi anggarannya masih relatif kecil dibandingkan dengan dua bauran komunikasi utama – iklan dan promosi – namun pengeluaran untuk event marketing semakin meningkat. Menurut Adi Wijaya, Presiden Direktur Redline,
2 Universitas Sumatera Utara
saat ini porsi brand activation di perusahaan semakin besar. Misalnya billing di Unilever untuk seluruh aktivitas mereknya anggarannya diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Sementara itu, Indofood, tahun ini telah memutuskan anggaran marketing-nya, 70% untuk event dan 30% untuk iklan (MIX (Marketing Xtra) edisi 07 / VI / Juli 2009). Event marketing activities (brand activation) adalah salah satu bentuk promosi merek yang mendekatkan dan membangun interaksi merek dengan penggunanya melalui aktivitas pertandingan olahraga, hiburan, kebudayaan, sosial, atau aktivitas publik yang menarik perhatian lainnya (Terence A. Shimp, 2003: 263). Event marketing / brand activation kini semakin diakui sebagai salah satu cara yang efektif dalam membangun ekuitas merek. Event marketing memiliki pengaruh yang besar karena keterlibatan customer di dalamnya. Menurut Sumardy dan Yoris Sebastian, pengamat marketing, dalam dua tahun terakhir, event atau brand activation memiliki peranan yang cukup besar dalam kegiatan komunikasi pemasaran. Padahal, sebelumnya event dianggap sebagai pelengkap kegiatan komunikasi lainnya karena perusahaan masih banyak mengandalkan kegiatan above the line atau pemasangan iklan pada media massa. Dalam perspektif membangun merek, brand activation mempunyai banyak peluang untuk mencapai keberhasilan. Ini karena event pada dasarnya diselenggarakan untuk menciptakan suasana hati yang santai dan bahagia. Pada saat itulah orang lebih mudah menerima pesan persuasi yang disampaikan pemilik merek (Terence A. Shimp, 2003: 263). Selain itu, seperti yang dikatakan oleh pengamat pemasaran yang juga konsultan OctoBrand, Sumardy, saat ini telah
3 Universitas Sumatera Utara
terjadi perubahan perilaku konsumen dalam membeli produk. Faktor yang sangat memengaruhi pembelian produk adalah bagaimana produk tersebut bisa dirasakan pelanggan. Selama ini pelanggan hanya melihat iklan dan kemasan produk, tapi tidak bisa merasakan produknya. Akibatnya pola ini bisa berdampak menjadi pedang bermata dua. Dengan memberikan pengalaman kepada konsumen, citra bisa meningkat dan loyalitas konsumen terjaga. Karena mereka bisa mendapatkan customer information yang kuat (http://202.59.162.82/swamajalah). Tujuan para pemasar menggunakan brand activation atau event marketing untuk membina hubungan dengan para konsumen, meningkatkan ekuitas merek, dan memperkuat ikatan dengan dunia perdagangan. Keberhasilan event sangat tergantung pada kesesuaian antara merek, event, dan pasar sasaran. Karena itu, sebagaimana halnya dengan setiap keputusan komunikasi pemasaran lainnya, titik awal brand activation yang efektif adalah menentukan pasar sasaran dan menjelaskan tujuan yang akan dicapai oleh suatu event. Event pemasaran tidak akan bernilai kecuali mencapai tujuan dari event tersebut (Terence A. Shimp, 2003: 264). Salah satu perusahaan yang aktif melakukan event marketing untuk menjaga loyalitas konsumennya adalah PT. Unilever Indonesia Tbk. Unilever memperkenalkan wahana bagi konsumennya untuk menggali lebih jauh berkaitan dengan salah satu produk perawatan kulitnya, Citra. Wahana yang dikenal dengan sebutan Rumah Cantik Citra (RCC) ini memang tidak menetap di satu tempat, melainkan berkeliling ke berbagai kota untuk menyambangi konsumennya. Erni Kertasasmita, Manajer Merek Senior Citra Unilever Indonesia mengatakan kehadiran RCC adalah wujud kepedulian Citra yang ingin membantu
4 Universitas Sumatera Utara
perempuan Indonesia meraih kecantikan jiwa-raga. Selain itu, Citra juga mencerminkan citarasa kecantikan lokal wanita Indonesia yang dikepung oleh produk perawatan kulit dan muka dari luar negeri karena Citra mengedepankan bahan baku tradisional yang diolah dan dikemas secara modern. Hal ini sesuai dengan semangat wanita Indonesia yang semakin modern tanpa harus menanggalkan kecantikan khas Indonesianya (http://202.59.162.82/swamajalah). Rumah Cantik Citra adalah suatu perwujudan dari misi Citra pada tahun 2006. Misi tersebut ada dua, yang pertama yakni menjadi merek perawatan kulit secara menyeluruh. Hal ini dapat dilihat dari daftar produk perawatan kulit yang dimiliki Citra saat ini yakni untuk perawatan badan; Citra Hand & Body Lotion, Citra Body Scrub, Citra Liquid Soap dan untuk perawatan muka; Citra Face Cleanser, Citra Hazeline Moisturizer. Misi yang kedua, Citra ingin membantu perempuan Indonesia menyeimbangkan kecantikan jiwa dan raga. Berdasarkan alasan tersebut, Citra memproduksi produk-produknya dengan menambahkan berbagai
wewangian
aromatherapy
(http://www.unilever.co.id/ourbrands/personalcare/citra.asp).
RCC
didesain
sedemikian rupa untuk mengkomunikasikan semua produk-produk perawatan kulit antara lain melalui desain ruangan ala Cina, Jepang dan Jawa. RCC juga memberikan terapi kecantikan dengan menggunakan berbagai teknik pijatan antara lain Shiatsu Massage, Tuina Massage, Himalayan Massage, Javanese Massage, Ayurveda Massage. Selain itu ada juga kelas Soul & Spirit Theraphy gratis yang diadakan setiap hari minggu, antara lain; terapi warna, senam refleksi ala cina, relaksasi, Yogalates, Javanese aura healing, Japanese aura healing, Anger Management ala Cina, dll. Terapi-terapi dan desain ruangan tersebut sesuai
5 Universitas Sumatera Utara
dengan tiap-tiap kandungan yang ada dalam produk Citra yakni Mangir dan Bengkoang dari Jawa (Indonesia), Teh Hijau Jepang, Bubuk Mutiara Cina. Event Marketing RCC ini mulai digelar pada pertengahan 2006 di Jakarta, Bandung dan Surabaya, Event ini telah dilakukan beberapa kali selama beberapa tahun. Awalnya memang kurang ‘menggigit’, namun belakangan event ini ditunggu para pelanggannya (http://202.59.162.82/swamajalah). Kemudian karena melihat respon konsumen yang dinilai baik, RCC kembali hadir di Jakarta dari 27 November 2006 sampai 31 Mei 2007, dan dari awal Juli sampai akhir Agustus 2007 RCC di Medan. Selanjutnya RCC kembali diadakan di empat kota besar di Indonesia, yakni di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan dengan periode yang lebih panjang dari tahun sebelumnya. Di kota Medan sendiri RCC hadir mulai bulan Mei 2009 sampai Mei 2010. Dengan menyewa sebuah rumah di daerah Jl. Dr. Mansyur dan “menyulapnya” menjadi tempat perawatan kecantikan diri yang nyaman, Citra berusaha untuk mencuri dan mempertahankan hati konsumennya. Menurut Erni, RCC adalah bagian dari aktivitas brand image building Citra. Tujuannya, untuk memperkuat citra merek Citra di benak konsumen, khususnya pencinta produk perawatan kulit dan muka lokal. Citra bukanlah sekedar produk perawatan tradisional, tapi juga sudah dikemas dan diolah secara modern seiring dengan kemajuan pola berpikir dan sikap wanita Indonesia itu sendiri yang semakin mandiri dan modern. Alasan utama kehadiran RCC, agar konsumen semakin kenal produk-produk Citra dan merasakan efek langsungnya pada kulit dengan menikmati berbagai macam perawatan spa. Dan, tentu saja meningkatkan angka penjualan (http://202.59.162.82/swamajalah).
6 Universitas Sumatera Utara
Menurut survei yang dilakukan oleh majalah marketing, Citra mempunyai indeks Top Brand 2010 yang paling tinggi dalam kategori Hand & Body Lotion yakni 54,7%. Angka tersebut jauh di atas pesaingnya yang menduduki peringkat 2 yakni Marina yang muncul dengan indeks 12,8%. Hal ini membuat Hand & Body Lotion Citra meraih Top Brand Award 2010 dan semakin mengukuhkan posisi Citra sebagai pemimpin pasar Hand & Body Lotion di Indonesia. Akan tetapi produk Citra yang lainnya yang juga diandalkan Citra sebagai produk perawatan kulit belum mendapatkan posisi yang kuat di benak konsumen. Sabun mandi Citra hanya mendapatkan Top Brand Indeks 2,6 %, namun untuk susu pembersih wajah Citra mendapatkan posisi keempat dengan indeks 8.0% dipimpin oleh Pond’s, Viva, dan Ovale (MARKETING, Februari 2010: 60-61). Peneliti memilih untuk meneliti tentang event marketing Rumah Cantik Citra karena peneliti merasa bahwa RCC cukup sukses sebagai sebuah event. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya kembali RCC selama beberapa kali di beberapa kota di Indonesia. Dari publisitas yang memuat RCC dapat dilihat bahwa RCC tidak pernah sepi dari pengunjung. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen sudah mulai aware dan menyukai produk yang ditawarkan. Namun ada beberapa pengunjung RCC kota Medan yang telah beberapa kali mengunjungi RCC menyatakan bahwa mereka tidak tertarik untuk tetap menggunakan produk Citra jika event RCC telah berakhir (Observasi peneliti pada November 2009). Padahal secara teoretis suatu event bermanfaat selain membina hubungan dengan konsumen juga berfungsi untuk meningkatkan ekuitas merek.
7 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti seberapa efektif pengadaan event marketing rumah Cantik Citra dalam mencapai tujuannya yakni peningkatan brand equity pada pengguna produk Citra di Kota Medan. 1.2
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : “Apakah event marketing Rumah Cantik Citra efektif dalam meningkatkan brand equity pada pengunjung Rumah Cantik Citra di Kota Medan?” 1.3
PEMBATASAN MASALAH Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga
dapat mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah tersebut yaitu sebagai berikut : 1. Penelitian ini menggunakan metode korelasional, yang bersifat mencari atau menjelaskan hubungan, yakni antara efektifitas program event marketing Rumah Cantik Citra dalam meningkatkan brand equity pada pengunjung citra di Kota Medan. 2. Objek penelitian ini adalah pengunjung Rumah Cantik Citra yang berjenis kelamin perempuan. 3. Pengunjung tersebut minimal telah tiga kali melakukan perawatan kecantikan di Rumah Cantik Citra. 4. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – April 2010. 1.4
TUJUAN dan MANFAAT PENELITIAN Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
8 Universitas Sumatera Utara
1. Untuk mengetahui kemampuan event marketing Rumah Cantik Citra dalam mengenalkan merek Citra. 2. Untuk mengetahui pengaruh event marketing Rumah Cantik Citra pada pengunjungnya. 3. Untuk mengetahui brand equity yang dimiliki pengunjung Rumah Cantik Citra terhadap brand Citra. 4. Untuk mengetahui efektifitas event marketing Rumah Cantik Citra dalam meningkatkan brand equity pada pengunjung Rumah Cantik Citra di Kota Medan. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya bahan referensi, bahan penelitian serta sumber bacaan khususnya mengenai di lingkungan Universitas Sumatera Utara. 2. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tempat bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama masa kuliah serta menambah wawasan peneliti tentang efektifitas event marketing suatu brand terhadap peningkatan brand equity di kalangan konsumennya. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan khususnya lembaga atau para pelaku event marketing (brand activation) di dalam mengkomunikasikan suatu merek kepada konsumen. 1.5
KERANGKA TEORI
9 Universitas Sumatera Utara
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39). Kerangka teori bermanfaat sebagai dasar dalam menjelaskan berbagai fenomena-fenomena yang penting dalam bidang yang diteliti. Kerlinger menyebutkan, teori adalah himpunan konstruk (konsep), defenisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6). Dalam penelitian ini, teori-teori yang dianggap relevan adalah Komunikasi Pemasaran, IMC (Integrated Marketing Communication) Event Marketing (brand activation), Teori AIDDA, Brand dan Brand Equity. 1.5.1
Komunikasi Pemasaran William G. Nickels dalam bukunya Marketing Communication and
Promotion, mendefinisikan komunikasi pemasaran sebagai berikut: proses pertukaran informasi yang dilakukan secara persuasif sehingga proses pemasaran dapat berjalan secara efektif dan efisien (Purba, 2006: 126). Menurut Philip Kotler, pemasaran adalah sebagai proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk serta nilai dengan pihak lain (Kotler dan Amstrong, 2004: 7). Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui beberapa istilah seperti kebutuhan (needs), keinginan (wants),
10 Universitas Sumatera Utara
permintaan (demands), produk (products), pertukaran (exchange), transaksi (transactions), dan pasar (markets). Marketing communication atau komunikasi pemasaran adalah segenap elemen dan teknik yang diperlukan untuk berkomunikasi dengan pasar, yakni mulai dari pembuatan kartu nama, label atau merek dagang, pengemasan produk, sampai pada periklanan, penyelenggaraan kegiatan-kegiatan humas dan pelayanan purna jual (Jefkins, 1995: 169). Komunikasi pemasaran adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan antara pembeli dan penjual yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan pemasaran perusahaan. Tujuan komunikasi pemasaran mengkomunikasikan keberadaan produk beserta mutu, komposisi, bentuk, warna, dan mereknya kepada khalayak sasaran dan diharapkan ada tanggapan balik dari konsumen sebagai lawan komunikasi. Pada umumnya, tanggapan dari khalayak yang dikehendaki adalah keputusan untuk membeli dan menghasilkan produk yang dihasilkan perusahaan. Marketing mix mendeskripsikan suatu kumpulan alat-alat yang dapat digunakan untuk mempengaruhi penjualan. Formula tradisional dari marketing mix ini disebut 4P, yaitu product (produk), price (harga), place (tempat atau distribusi), dan promotion (promosi / komunikasi pemasaran). Dalam komunikasi pemasaran, promosi merujuk pada semua bentuk komunikasi yang digunakan oleh organisasi untuk memberitahukan sesuatu dan mempengaruhi tingkah laku membeli dari pelanggan yang sudah ada dan pelanggan yang sudah ada menjadi pelanggan potensial. Komunikasi pemasaran
11 Universitas Sumatera Utara
harus dirancang untuk memberitahukan pelanggan mengenai manfaat dan nilai dari produk atau jasa yang ditawarkan. Program atau strategi komunikasi pemasaran total sebuah perusahaan bisa terdiri dari iklan (advertising), penjualan langsung (direct selling), penjualan pribadi (personal selling), promosi penjualan (sales promotion), aktivitas hubungan masyarakat yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan iklan dan pemasarannya serta publisitas (Public Relation & Publicity) (Kotler dan Amstrong, 1997: 77). Hal ini sering disebut dengan bauran promosi (Promotion Mix). 1.5.2 IMC (Integrated Marketing Communication) Ada dua faktor yang mengubah wajah komunikasi pemasaran dewasa ini. Pertama, seiring terbagi-baginya pasar massal, pemasar mulai menjauh dari pemasar massal. Semakin lama mereka semakin mengembangkan program pemasaran terfokus yang dirancang untuk membangun hubungan yang lebih erat dengan pelanggan di pasar mikro yang cakupannya lebih sempit. Kedua, pesatnya perkembangan teknologi informasi semakin mempercepat gerakan ke arah pemasaran yang tersegmentasi. Teknologi informasi dewasa ini membantu pemasar untuk tetap dekat dengan kebutuhan pelanggan – informasi mengenai konsumen di tingkat individu dan rumah tangga tersedia dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada yang pernah ada sebelumnya. Teknologi baru juga menyediakan jalur komunikasi baru untuk menjangkau segmen pelanggan yang lebih kecil dengan pesan yang lebih disesuaikan (Kotler & Amstrong, 2001: 134). Pergeseran dari pemasar massal ke pemasaran tersegmentasi berdampak besar pada komunikasi pemasaran. Sebagaimana pemasaran massal melahirkan
12 Universitas Sumatera Utara
generasi baru komunikasi massa, pergeseran ke arah pemasaran satu-satu pun akan melahirkan generasi baru yakni upaya komunikasi yang lebih khusus dengan sasaran yang lebih tinggi (Kotler & Amstrong, 2001: 134-135). Dengan adanya lingkungan komunikasi yang baru ini pemasar harus memikirkan ulang peran berbagai jenis media dan alat-alat bauran promosi. Meskipun secara umum bentuk-bentuk promosi memiliki fungsi yang sama namun, tetapi bentuk-bentuk tersebut dapat dibedakan berdasarkan tugas-tugas khususnya. Perubahan lingkungan bisnis yang sarat dengan ketidakpastian dan perkembangan teknologi di zaman modern saat ini dan pemasaran telah dipandang dan didudukkan secara strategis dalam proses bisnis, dengat mengingat bahwa komunikasi merupakan determinant faktor dari pemasaran, bahkan, menurut pandangan Shimp (2003) dengan mengutip pemikiran Schultz, Tannebaum, dan Lauterborn (1996: 46), telah mengklaim bahwa pemasaran di era reformasi ini adalah komunikasi dan komunikasi adalah pemasaran, di mana keduanya tidak pernah bisa dipisahkan. Dengan demikian, sudah seharusnyalah komunikasi pemasaran juga dipandang sebagai “proses bisnis strategis”. Dari titik inilah konsep IMC mulai berkembang, yang melakukan revisi kritis terhadap keseluruhan pemikiran dan pendekatan komunikasi dalam konteks bisnis dan pemasaran modern (Estaswara, 2008 : 11 ). Menurut Estaswara, IMC merupakan proses dan konsep manajemen pesan untuk menyelaraskan persepsi tentang nilai merek melalui interaksi dengan semua significant
audience
perusahaan
dalam
jangka
panjang
dengan
mengkoordinasikan secara sinergis semua elemen komunikasi guna mendukung
13 Universitas Sumatera Utara
efisiensi dan efektifitas kinerja bisnis dan pemasaran dalam mencapai tujuannya (Estaswara, 2008 : 224-225 ). 1.5.3 Event Marketing Salah satu cara yang ampuh dalam menyampaikan pesan sebuah brand adalah dengan mengajak customer dan potential customer untuk terlibat dalam sebuah event yang diselenggarakan perusahaan. Hal ini dijelaskan oleh Tom Duncan dalam bukunya “IMC: Using Advertising & Promotion to Build Brands”, “event marketing is a significant situation or promotional happening that has a central focus and chapters the attention and involvement of the target audience.” Event marketing yang diselenggarakan harus memiliki pengaruh (impact) serta memberikan kesan mendalam kepada setiap orang yang hadir sehingga customer maupun potential customer bisa cukup lama mengingat pengalaman yang menyenangkan tersebut. Salah satu bentuk aktivitas pemasaran kategori below the line (lini bawah) yakni berupa aktivitas merek (brand activation). Marketing event (brand activation) adalah salah satu bentuk promosi merek yang mendekatkan dan interaksi merek dengan penggunanya melalui aktivitas pertandingan olahraga, hiburan, kebudayaan, sosial, atau aktivitas publik yang menarik perhatian lainnya. Dalam konsep Connected Marketing seperti yang dikemukakan penulisnya, Justin Kirby dan Paul Marsden, event atau brand activation merupakan salah satu upaya dalam menciptakan buzz marketing atau pembicaraan (word of mouth) yang positif tentang perusahaan, produk atau jasa oleh media dan publik (MIX (Marketing Xtra) edisi 07 / VI / Juli 2009).
14 Universitas Sumatera Utara
Adapun beberapa fungsi event marketing antara lain memperkenalkan suatu merek produk tertentu, menjaga dan meningkatkan loyalitas pelanggan, memperkenalkan keunggulan suatu produk, dan juga terjadinya penjualan saat event. Selain fungsi-fungsi diatas, menurut www.pengusaha-indonesia.com terdapat beberapa fungsi lain dari event marketing yang digunakan perusahaan, yaitu: -
Memperkuat brand positioning dan image sebuah merek.
-
Untuk menarik pelanggan pesaing (brand switching).
-
Menunjukkan kelebihan dibandingkan kompetitor.
-
Menjaga dan meningkatkan loyalitas dari pelanggan.
-
Menciptakan brand awareness yang tinggi dan instan.
1.5.4 Teori AIDDA Sehubungan dengan uraian di atas, maka teori yang juga dipandang mendekati permasalahan penelitian ini adalah AIDDA. Teori AIDDA atau biasa dikenal dengan sebutan A-A Procedure adalah akronim dari kata-kata attention (perhatian), interest (minat), desire (hasrat), decision (keputusan), action (tindakan). Proses penahapan komunikasi ini mengandung maksud bahwa komunikasi hendaknya dimulai dengan membangkitkan perhatian. Dalam hubungan ini, komunikator harus menimbulkan daya tarik. Apabila perhatian komunikan telah terbangkitkan, hendaknya disusul dengan upaya menumbuhkan minat atau interest. Minat adalah kelanjutan dari perhatian yang merupakan titik tolak bagi timbulnya hasrat atau desire untuk melakukan suatu kegiatan yang diharapkan komunikator. Hasrat ada pada diri komunikan harus dilanjutkan
15 Universitas Sumatera Utara
dengan datangnya keputusan atau decision, yakni untuk melakukan kegiatan atau action sebagaimana diharapkan komunikator (Effendy, 1992: 304-305). Berkaitan dengan menumbuhkan tindakan membeli atau mengkonsumsi merek Citra, tahapan selektivitas masyarakat sebagai sikap penentuan pilihan mereka dapat dilihat melalui tahapan-tahapan konsep AIDDA, yang digambarkan sebagai berikut: •
Attention; dalam tahap ini, kegiatan mulai dilakukan dengan maksud untuk menumbuhkan perhatian khalayak terhadap event Rumah Cantik Citra (RCC).
•
Interest; ini adalah tahap kedua di mana khalayak tidak hanya menaruh perhatian terhadap event RCC tetapi juga mulai tertarik atau berminat.
•
Desire; dalam tahap ini khalayak telah mempunyai motivasi untuk mendatangi RCC dan mencoba perawatan diri yang ditawarkan di event tersebut.
•
Decision; pada tahap ini sikap sesungguhnya khalayak terhadap event mulai terlihat. Di tahap ini juga konsumen mengambil keputusan untuk menyukai atau membenci hal tersebut.
•
Action; ini merupakan tahap akhir dari formula ini. Pada tahap ini tercermin action atau tindakan khalayak untuk menggunakan merek yang telah dicobanya melalui event RCC (Kurniawati, 2006: 19).
1.5.5 Brand dan Brand equity Praktik branding telah berlangsung berabad-abad. Kata “brand” dalam bahasa Inggris berasal dari kata “brandr” dalam bahasa Old Norse, yang berarti “to turn”, mengacu pada pengidentifikasian ternak (Tjiptono, 2005:23). Pada
16 Universitas Sumatera Utara
waktu itu, pemilik peternakan menggunakan “cap” khusus untuk menandai ternak miliknya dan membedakan dari ternak milik orang lain. Melalui cap seperti ini konsumen menjadi lebih mudah mengidentifikasikan ternak-ternak berkualitas yang ditawarkan oleh para peternak bereputasi bagus. Manfaat merek sebagai pedoman yang memudahkan konsumen memilih produk tetap berlaku hingga saat ini. Menurut Kotler merek dipandang sebagai bagian dari produk sehingga branding dianggap sebagai aktivitas yang memberi nilai tambah bagi produk (Tjiptono, 2005: 10). Selanjutnya, ada beberapa pengertian brand equity yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Susanto dan Wijanarko (2004: 127) ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu barang atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan. Kemudian menurut East (1997: 29), “Brand equity or brand strength is the control on purchase exerted by a brand, and, by virtue of this, the brand as an asset that can be exploited to produce revenue” yang berarti ekuitas merek atau kekuatan merek adalah kontrol dari pembelian dengan menggunakan merek, dan, kebaikan dari merek, merek sebagai aset yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan. Sedangkan menurut Kotler dan Armstrong (2004: 292), “Brand equity is the positive differential effect that knowing the brand name has on customer response to the product or service”, yang artinya ekuitas merek adalah efek diferensiasi yang positif yang dapat diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa. Jadi brand equity adalah kekuatan suatu brand yang dapat
17 Universitas Sumatera Utara
menambah atau mengurangi nilai dari brand itu sendiri yang dapat diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa yang dijual. Susanto dan Wijanarko (2004) yang mengadaptasi teori Aaker, menyatakan bahwa brand equity dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori: a. Brand awareness, adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori merek tertentu. Sedangkan pendapat lain dari East (1997: 29), “Brand awareness is the recognition and recall of a brand and its differentiation from other brands in the field” yang berarti adalah pengakuan dan pengingatan dari sebuah merek dan pembedaan dari merek yang lain yang ada di lapangan. Jadi brand awareness adalah kemampuan konsumen untuk mengingat suatu brand dan yang menjadikannya berbeda bila dibandingkan dengan brand lainnya. Bagan piramida brand awareness Puncak pikiran Pengingat an kembali merek Pengenalan merek Tidak menyadari merek Sumber: David A. Aaker (1997: 92) Gambar 1.1 Piramida Kesadaran 18 Universitas Sumatera Utara
Ada 4 tingkatan brand awareness seperti yang dapat dilihat pada gambar di atas, yaitu: 1. Tidak menyadari merek (Unaware of brand); tingkat yang paling rendah dalam piramida kesadaran merek, dimana konsumen tidak menyadari adanya suatu merek. 2. Pengenalan merek (Brand recognition); tingkat minimal dari kesadaran merek. Hal ini penting pada saat pembeli memilih suatu merek pada saat melakukan pembelian. 3. Pengingatan kembali terhadap merek (Brand recall); didasarkan pada permintaan seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini diistilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan, karena berbeda dari tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk memunculkan merek tersebut. 4. Puncak pikiran (Top of mind); apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan pengingatan dan orang tersebut dapat menyebutkan satu nama merek, maka merek yang paling banyak disebutkan pertama kali merupakan puncak pikiran. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada di dalam benak konsumen. b. Perceived quality, yaitu persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa berkenaan dengan maksud yang diharapkan. c. Brand association, adalah sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah produk. Asosiasi ini tidak hanya eksis, namun juga memiliki suatu
19 Universitas Sumatera Utara
tingkat kekuatan. Keterikatan pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi
pada
banyak
pengalaman
atau
penampakan
untuk
mengkomunikasikannya. d. Brand loyalty; merupakan ukuran kesetiaan seorang pelanggan pada sebuah merek. Menurut Susanto dan Wijanarko (2004: 2), dalam menghadapi persaingan yang ketat, merek yang kuat merupakan suatu pembeda yang jelas, bernilai, dan berkesinambungan, menjadi ujung tombak bagi daya saing perusahaan dan sangat membantu strategi pemasaran. Keller menyatakan brand equity adalah keinginan seseorang untuk melanjutkan menggunakan suatu brand atau tidak. Pengukuran dari brand equity sangatlah berhubungan kuat dengan kesetiaan dan bagian pengukuran dari pengguna baru menjadi pengguna yang setia. Brand equity baru terbentuk jika pelanggan mempunyai tingkat awareness yang dan familiaritas yang tinggi terhadap sebuah merek dan memiliki asosiasi merek yang kuat, positif dan unik dalam memorinya (Tjiptono, 2005: 39). 1.6
KERANGKA KONSEP Kerangka merupakan hasil pemikiran yang rasional yang merupakan
uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi, 2001:40). Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu, yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 57). Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran
20 Universitas Sumatera Utara
yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Pembatasan konsep dalam penelitian ini tidak saja untuk menghindari salah maksud dalam memahami konsep penelitian dalam penelitian, tetapi batasan konsep diperlukan untuk penjabaran variabel penelitian maupun indikator variabel (Bungin, 2005:92). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel bebas (X) Variabel bebas adalah segala gejala, faktor, atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi munculnya variabel kedua yang disebut variabel terikat. Tanpa variabel ini maka variabel berubah sehingga akan muncul variabel terikat yang berbeda atau yang lain bahkan sana sekali tidak ada atau tidak muncul (Nawawi, 2001:57). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah aktivitas event marketing atau brand activation Rumah Cantik Citra. 2. Variabel terikat (Y) Variabel terikat adalah sejumlah gejala atau faktor maupun unsur yang ada ataupun muncul dipengaruhi atau ditentukan adanya variabel bebas dan bukan karena adanya variabel lain (Nawawi, 2001:57). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah brand equity. 3. Variabel antara (Z) Sejumlah gejala yang tak dapat dikontrol tetapi dapat diperhitungkan dalam pengaruhnya terhadap variabel bebas (Nawawi, 2001: 58). Variabel antara adalah variabel yang berada diantara variabel bebas dan variabel
21 Universitas Sumatera Utara
terikat yang berfungsi sebagai penguat atau pelemah hubungan antar variabel terikat. Variabel antara pada penelitian ini adalah karakteristik responden 1.7
MODEL TEORETIS Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat dibentuk model teoretis
sebagai berikut:
Variabel Bebas (X) Event Marketing Rumah Cantik Citra
Variabel Terikat (Y) Brand Equity
Variabel Antara (Z) Karakteristik Responden
Gambar 1.2 Model Teoritis
1.8
OPERASIONAL VARIABEL Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan di
atas, maka untuk lebih memudahkan penelitian diperlukan suatu operasional variabel terkait yaitu sebagai berikut:
22 Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1 Operasional Variabel
Variabel Teoritis
Variabel Operasioanal
1. Variabel Bebas (X) Event
Marketing
1. Product (produk) Rumah
Cantik Citra
2. Price (harga) 3. Place (tempat / distribusi) 4. Promotion
(promosi
/
komunikasi pemasaran) 2. Variabel Terikat (Y)
1. Brand awareness
Brand equity
2. Perceived quality 3. Brand associations 4. Brand loyalty
3. Variabel Antara (Z)
1. Usia
Karakteristik Responden
2. Pekerjaan 3. Pendapatan / Uang saku 4. Frekuensi
1.9
DEFINISI VARIABEL OPERASIONAL Definisi operasional merupakan unsur yang memberitahukan bagaimana
caranya mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1995: 46). Dengan kata lain, defenisi operasional adalah suatu informasi ilmiah atau semacam petunjuk pelaksana bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Maka variabel-variabel dalam operasionalisasi penelitian ini didefinisikan sebagai berikut: 1. Variabel bebas (Rumah Cantik Citra), terdiri dari:
23 Universitas Sumatera Utara
a. Product (produk), yaitu sesuatu yang ditawarkan oleh Rumah Cantik Citra kepada pelanggannya sebagai pertimbangan untuk mengkonsumsinya. b. Price (harga), yaitu besarnya nilai yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk membeli produk beserta persyaratannya. c. Place (tempat / distribusi), yaitu berkaitan dengan kemudahan konsumen dalam memperoleh produk. d. Promotion (promosi / komunikasi pemasaran), yaitu informasi yang dipublikasikan kepada masyarakat tentang keberadaan Rumah Cantik Citra dan fasilitas yang ditawarkan guna merangsang konsumen untuk melakukan perawatan kecantikan di Rumah Cantik Citra. 2. Variabel terikat (brand equity), terdiri dari: 1. Brand awareness, yaitu kemampuan konsumen untuk mengingat suatu brand dan yang menjadikannya berbeda bila dibandingkan dengan brand lainnya. Tingkatan brand awareness (kesadaran merek) yaitu: a. Unaware of brand; konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek. b. Brand recognition (pengenalan merek); responden dibantu dengan pilihan merek. c. Brand recall (pengingatan kembali terhadap merek); merek yang disebutkan oleh responden tanpa dibantu dengan pilihan merek.
24 Universitas Sumatera Utara
d. Top of mind (puncak pikiran); responden menyebut nama merek tersebut pertama kali. 2. Perceived quality; yaitu persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa berkenaan dengan maksud yang diharapkan. 3. Brand association; yaitu sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah produk. 4. Brand loyalty; merupakan ukuran kesetiaan seorang pelanggan pada sebuah merek. 3. Variabel antara (karakteristik responden), terdiri dari : a. Usia, yakni umur responden. b. Pekerjaan, yaitu bidang kerja responden sehari-hari. c. Pendapatan / Uang saku, yaitu jumlah uang saku yang diterima/dimiliki responden, baik per hari, per minggu atau per bulan. d. Frekuensi, yaitu frekuensi responden mengunjungi rumah cantik citra selama satu bulan. 1.10
HIPOTESIS Secara etimologis hipotesis dibentuk dari dua kata, yaitu hypo dan thesis.
Hypo berarti kurang dan thesis berarti pendapat. Jadi hipotesis merupakan kesimpulan yang belum sempurna, sehingga disempurnakan dengan membuktikan kebenaran hipotesis yaitu dengan menguji hipotesis dengan data di lapangan (Bungin, 2005:90). Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
25 Universitas Sumatera Utara
Ho:
Tidak terdapat hubungan event marketing Rumah Cantik Citra dengan peningkatan brand equity Citra di kalangan pengunjung RCC Kota Medan.
Ha:
Terdapat hubungan event marketing Rumah Cantik Citra dengan peningkatan brand equity Citra di kalangan pengunjung RCC Kota Medan.
26 Universitas Sumatera Utara