BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kebutuhan akan energi tiap tahunnya semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Namun demikian, hal ini tidak diiringi dengan ketersediaan akan sumber energi yang memadai. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara yang merupakan sumber energi utama di Indonesia ketersediaannya sudah mulai menipis. Pergolakan politik di Negara-negara penghasil sumber energi utama yang tidak menentu, turut juga memberi andil di dalam hal kelancaran pasokan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan bakar utama. Kondisi ini tentunya akan menimbulkan permasalahan yang mendasar yaitu semakin melonjaknya harga bahan bakar fosil tersebut, yang menyebabkan beban hidup masyarakat akan semakin besar. Disamping itu, penggunaan bahan bakar fosil secara terus-menerus berdampak buruk terhadap lingkungan, termasuk diantaranya pencemaran udara, emisi gas rumah kaca dan pemanasan global. Oleh karena itu menurut Hambali et al. (2007), sudah saatnya semua negara berupaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil dan beralih ke sumber energi alternatif berbahan baku nabati yang sifatnya terbarukan dan ramah lingkungan. Sejak tahun 2006, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 tentang Kebijakan Energi Nasional, Pemerintah Indonesia mulai mencanangkan pengembangan energi yang memprioritaskan ekspansi energi alternatif sebagai
1
sumber energi, dan mengurangi penggunaan energi berbasis minyak bumi. Salah satu sumber energi alternatif tersebut adalah biogas. Biogas merupakan salah satu bentuk energi alternatif yang memiliki prospek untuk dikembangkan. Selain merupakan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, pengembangan biogas juga dapat mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil, terutama bahan bakar minyak (BBM), disamping itu juga dapat meningkatkan keamanan pasokan energi nasional. Namun demikian, selain metana (CH4), keberadaan unsur-unsur lain di dalam biogas, misalnya CO2, H2O dan H2S, menyebabkan pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif cenderung belumlah optimal. Hal ini disebabkan karena keberadaan unsur-unsur lain yang disinyalir sebagai unsur-unsur penghambat itu dapat mengurangi nilai kalor dan menghambat proses pembakaran daripada biogas itu sendiri. Semakin besar kandungan metana (CH4) dalam biogas maka semakin bagus proses pembakarannya, demikian sebaliknya. Secara teoritis, pada proses pembakaran sempurna gas metana akan mengikuti reaksi CH4 + 2O2
CO2 + 2H2O. Karbondioksida (CO2) yang
dalam proses pembakaran sempurna gas metana merupakan hasil dari pembakaran itu sendiri, tentunya apabila terdapat dalam kandungan bahan bakar secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas dari pembakaran dan persentase panas yang dihasilkan oleh bahan bakar tersebut. Sementara itu, kandungan CO 2 di dalam biogas mempunyai persentase yang cukup besar (berkisar antara 25 - 45%). Menurut Kapdi et al. (2004), menghilangkan kandungan CO2 dalam biogas akan memberikan kualitas biogas yang lebih baik dan nilai energi yang konstan. Untuk
itulah pengurangan atau bahkan penghilangan kandungan CO 2 ini di dalam biogas sangatlah mutlak untuk dilakukan. Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar untuk memasak ataupun untuk menggerakkan mesin otto (mesin bensin) pada kenyataannya dapat langsung digunakan walaupun tanpa terlebih dahulu dilakukan pemurnian atau pembersihan dari unsur-unsur penghambat. Namun di dalam prosesnya, pembakaran yang dihasilkan tidaklah stabil. Disamping itu juga, penggunaan secara terus-menerus akan dapat mengurangi umur mesin karena terdapat kerak-kerak akibat pembakaran yang tidak sempurna karena adanya kandungan CO2 dan H2O dalam biogas dan akibat korosi yang ditimbulkan oleh kandungan H2S yang terdapat dalam biogas yang menghasilkan SO2 dan SO3 yang bersifat korosif. Kapdi, dkk. (2004), menyatakan bahwa proses penghilangan gas penghambat dalam biogas (CO2 removal) dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan proses absorbsi (dengan cairan). Absorbsi merupakan salah satu proses pemisahan dengan mengontakkan campuran gas dengan cairan sebagai penyerapnya, penyerap tertentu akan menyerap satu atau lebih pada komponen gas. Absorbsi dapat berlangsung dalam dua macam proses, yaitu absorbsi fisik dan absorsi kimia. (Andri, C. K., dan Hadiyanto, 2000). Pada proses absorbsi tentunya tidak terlepas dari penggunaan larutan penyerap/absorben. Menurut Noverry, P. (2007), pemilihan absorben sebagai penyerap CO2 di dalam proses absorbsi tergantung dari beberapa parameter diantaranya adalah konsentrasi CO2 di dalam aliran umpan. Ada beberapa jenis absorben yang dapat digunakan diantaranya yaitu absorben berbasis amine/hybrid
dan absorben berbasis karbonat/panas (untuk konsentrasi CO2 besar), serta absorben berbasis alkali (untuk konsentrasi CO2 kecil). Mahajoeno, E. (2008), di dalam penelitiannya menggunakan beberapa jenis absorben yang dibandingkan satu dengan yang lainnya, yaitu NaOH, CaO, Ethyilglikol, Ca(OH)2, dengan kadar masing-masing 50 mg/l. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa NaOH, CaO, Ethylglikol, Ca(OH)2 dengan kadar 50 mg/l dapat digunakan untuk penjerapan CO2 sehingga meningkatkan kualitas biogas, dengan persentase penyerapan berkisar antara 14 – 23%. Andri C. K., dan Hadiyanto (2000) menggunakan absorben NaOH 0,1 N, dengan memvariasikan laju alir daripada biogas umpan. Maarif, F., dan Januar A. F. (2007) juga melakukan hal yang sama di dalam penelitiannya yaitu menggunakan absorben NaOH dan juga memvariasikan laju alir daripada biogas umpan. Hasil dari penelitian ini adalah kandungan CO2 yang dapat terserap maksimum pada level 58,11% dan besarnya CH4 maksimum yang dapat dimurnikan 74,13%. Di dalam penelitian ini, metode pemurnian biogas (CO2 removal) yang digunakan yaitu metode absorbsi secara kimia di dalam suatu kolom absorbsi. Metode pemurnian biogas dengan metode absorbsi ini tentunya sudah umum digunakan. Namun demikian, pemilihan kolom absosbsi yang akan digunakan dapat dijadikan suatu perhatian yang layak untuk dikembangkan, karena merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan menentukan di dalam terjadinya proses absorbsi selain absorben. Terdapat banyak jenis kolom absorbsi yang sudah dikembangkan oleh beberapa peneliti yang sudah diuji dan
menghasilkan tingkat keefektivitasan yang berbeda-beda di dalam penyerapan gas yang diinginkan, meskipun menggunakan jenis absorben yang sama. Bertolak dari hal tersebut di atas, dilakukan penelitian pemurnian biogas dengan menggunakan teknik kolom manometer, yaitu menggunakan kolom absorbsi yang dibentuk menyerupai kolom manometer (manometry column), yang mana pada proses kerjanya memanfaatkan tekanan hidrostatik yang terdapat di dalam fluida, dengan menggunakan larutan penyerap (absorben) kalsium hidroksida (Ca(OH)2) yang dikombinasikan dengan larutan natrium hidroksida (NaOH) untuk mereduksi gas CO2 yang terdapat di dalam biogas umpan sehingga didapatkan kualitas biogas yang lebih baik. Berdasarkan hal itu, di dalam penelitian ini, dikembangkan teknik pemurnian biogas yang dilakukan dengan menggunakan teknik absorbsi kolom manometer, dengan menggunakan absorben Ca(OH)2 dan NaOH. Variabel-variabel yang dipelajari meliputi variabel proses, di antaranya konsentrasi absorben Ca(OH) 2 dan ketinggian permukaan absorben pada kolom absorbsi manometry column. Konsentrasi absorben Ca(OH)2 divariasikan dari 1M, 2M dan 3M serta ketinggian permukaan absorben pada 10cm, 30cm dan 40cm. Konsentrasi NaOH 1M dan ketinggian permukaan NaOH pada kolom absorbsi 20cm. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil penyerapan CO2 yang paling maksimal, sehingga dapat digunakan untuk mengurangi CO2 yang terdapat di dalam biogas.
1.2
Rumusan Masalah Bertitik tolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan suatu permasalahan yang harus diselesaikan, yaitu : apakah mekanisme alat pemurnian dengan teknik kolom manometer (manometry column) dapat digunakan untuk mereduksi CO2 yang terdapat di dalam biogas dan seberapa besar kadar CO2 setelah proses pemurnian?
1.3
Batasan Masalah Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang ada, dan agar penelitian
dapat dilakukan dengan lebih terarah, maka dilakukan beberapa batasan masalah di dalam penelitian ini antara lain : 1.
Biogas yang digunakan dalam penelitian ini adalah biogas yang terbuat dari bahan dasar kotoran ternak (dalam hal ini sapi) yang diambil dari instalasi biogas pada peternakan sapi.
2.
Kolom absorbsi yang digunakan dibuat dalam skala penelitian.
3.
Tidak membahas secara detail tentang variabel desain dari alat pemurnuian biogas.
4.
Tekanan dan kecepatan biogas umpan yang masuk ke dalam kolom absorbsi dikondisikan tetap (konstan).
5.
Konsentrasi larutan Ca(OH)2 divariasikan dari 1M, 2M hingga 3M.
6.
Ketinggian permukaan absorben Ca(OH)2 pada kolom absorbsi divariasikan dari 10cm, 30cm hingga 40cm.
7.
Pengukuran kualitas biogas hasil pemurnian dilakukan dengan menggunakan alat Gas Chromatografi – Mass Spectometry (GC-MS) untuk mengetahui perbedaan komposisi biogas sebelum dan sesudah dimurnikan.
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan
penemuan baru dibidang teknologi energi baru dan terbarukan, yaitu mengembangkan suatu teknik pemurnian biogas dengan metode absorbsi menggunakan teknik absorbsi kolom manometer (manometry column).
1.4.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: mengetahui teknik pemurnian biogas dari unsur CO2 dengan metode absorbsi menggunakan teknik kolom manometer (manometry column) dengan absorben kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan kombinasi dengan larutan natrium hidroksida (NaOH) pada satu rangkaian kolom absorbsi dan mengetahui seberapa besar kadar CO2 yang tersisa setelah proses pemurnian.
1.5
Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh beberapa manfaat, yaitu :
1. Dapat menghasilkan suatu teknik pemurnian biogas yang dapat dikembangkan
di
dalam
upaya
untuk
mereduksi
komponen
penghambat yang terdapat di dalam biogas. 2. Dapat menghasilkan biogas dengan kualitas yang lebih baik yang mendekati biometana (kualitas biogas yang mendekati metana murni), sehingga pemanfaatannya lebih optimal. 3. Memahami proses dan mekanisme pemurnian biogas. 4. Menambah wawasan tentang energi biogas dan pemanfaatannya sebagai energi alternatif. 5. Meningkatkan nilai tambah dari kotoran ternak yang selama ini digunakan sebagai pupuk kompos ternyata dapat juga digunakan sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. 6. Diperoleh data-data awal yang nantinya dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan selanjutnya.