I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Permintaan daging sapi terus meningkat dari tahun ke tahun seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2012) secara nasional kebutuhan daging sapi dan kerbau tahun 2012 untuk konsumsi dan industri sebanyak 484.000 ton, sedangkan ketersedianya sebanyak 399.000 ton (82,5%) dicukupi dari sapi lokal, sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar 85.000 ton (17,5%). Kekurangan ini dipenuhi dari impor berupa sapi bakalan dan daging yaitu sapi bakalan sebanyak 283.000 ekor (setara dengan daging 51.000 ton) dan impor daging beku sebnyak 34.000 ton. Saat ini telah banyak berkembang perusahaan peternakan yang menggemukan berbagai bangsa sapi potong untuk meningkatkan produksinya, sapi bakalan yang digemukan terdiri dari sapi lokal dan sapi impor. Pada umumnya perusahaan penggemukan sapi potong lebih banyak menggunakan sapi bakalan impor dari pada sapi bakalan lokal. Hal ini disebabkan sulitnya menyediakan bakalan lokal dalam jumlah yang cukup banyak sesuai dengan permintaan perusahaan, disamping itu pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bakalan impor lebih tinggi dibandingkan dengan sapi bakalan lokal. Penyebab utama sulitnya menyediakan bakalan lokal adalah masih rendahnya produktivitas sapi lokal, oleh karena itu upaya peningkatan mutu genetik ternak lokal harus terus dilakukan, salah satunya melalui persilangan. Menurut Hadi dan Ilham (2002) salah satu jenis sapi impor yang didatangkan ke
2
Indonesia adalah Sapi Limousin, yang memiliki keunggulan dibanding Sapi Lokal yaitu PBBH rata-rata 0,80-1,20 kg/hari. Konversi pakan rendah dan komposisi karkas tinggi dengan komponen tulang lebih rendah sedangkan PBBH sapi lokal PO (Peranakan Ongole) hanya mencapai 0,4 kg/hari. Menurut Sarwono dan Arianto (2006) bakalan yang dipilih untuk digemukan umumnya berjenis kelamin jantan dengan umur 2 dan 2,5 tahun atau dua pasang gigi seri susu yang telah tanggal (memiliki gigi tetap 2 pasang). Pada usia ini bakalan sapi Ongole memiliki bobot badan 250-300 kg pada awal penggemukan. Bakalan yang di bawah umur 2 tahun kurang efektif untuk digemukan karena pada umur tersebut pertumbuhan yang pesat hanya tulang dan gigi, serta pertumbuhan fisik cenderung meninggi. Bakalan yang telah mencapai umur 2 tahun baru akan membentuk jaringan daging dan lemak. Waktu yang dibutuhkan untuk penggemukan tidak selalu sama, perbedaan waktu atau lamanya penggemukan dipengaruhi oleh bobot badan awal bakalan. Bobot badan awal yang tinggi akan berpengaruh terhadap lamanya penggemukan sehingga tidak memerlukan waktu penggemukan yang lama dibandingkan dengan bakalan yang bobot awalnya lebih rendah. Sapi mengkonsumsi ransum berkaitan erat dengan bobot awal, dimana dengan bobot awal yang tinggi umumnya ternak menampilkan bentuk tubuh yang besar sesuai dengan kebutuhan energinya. Keadaan ini lebih lanjut akan berimplikasi pada performan PBBH, konsumsi dan efisiensi pakan yang akan dicapai. Efesiensi pakan adalah perbandingan (PBBH) dengan konsumsi pakan dalam satuan waktu yang sama (Santosa, 1995). Efesiensi pakan untuk produksi daging dipengaruhi oleh beberapa faktor bangsa ternak yang berkaitan dengan
3
pertumbuhan dan pertambahan bobot badan, komposisi dan produksi serta nilai gizi pakan yang dikonsumsi ternak. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Bobot Badan Awal Terhadap Efisiensi Pakan Pada Penggemukan Sapi Lokal Persilangan.
1.2.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut : 1.
Seberapa besar pengaruh bobot badan awal terhadap konsumsi pakan pada penggemukan sapi lokal persilangan
2.
Seberapa besar pengaruh bobot badan awal terhadap PBBH pada penggemukan sapi lokal persilangan
3.
Seberapa besar pengaruh bobot badan awal terhadap efisiensi pakan pada penggemukan sapi lokal persilangan
1.3.
Tujuan Penelitian Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Mengetahui seberapa jauh pengaruh bobot badan awal terhadap konsumsi pakan pada penggemukan sapi lokal persilangan
2.
Mengetahui seberapa jauh pengaruh bobot badan awal terhadap PBBH pada penggemukan sapi lokal persilangan
3.
Mengetahui seberapa jauh pengaruh bobot badan awal terhadap efisiensi pakan pada penggemukan sapi lokal persilangan
4
1.4.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan mengenai bobot badan awal yang baik untuk penggemukan dan lebih menguntungkan sehingga bermanfaat bagi peternak atau pengusaha penggemukan sapi yang menggunakan bakalan sapi lokal persilangan dalam menentukan bobot badan awal bakalan yang digemukan, untuk mendapatkan efesiensi pakan yang optimal. 1.5.
Kerangka Pemikiran Pemilihan bakalan merupakan langkah awal yang sangat menentukan
keberhasilan usaha penggemukan sapi potong. Bakalan sapi yang baik untuk digemukan baik lokal maupun impor dengan bobot badan antara 250-400 kg. Pola penggemukan sapi menunjukan pola fattening sapi umur 1,5-2,5 tahun yaitu katagori sapi feeder dengan bobot awal bakalan 250-325 kg, pola trading pada sapi umur 2,5-3,5 tahun yaitu katagori slaughter dengan bobot awal bakalan lebih dari 375 kg. Bobot badan awal yang rendah akan memberikan waktu penggemukan yang lama, sebaliknya bobot badan awal yang tinggi akan memberikan waktu penggemukan yang singkat. Waktu yang dibutuhkan untuk penggemukan setiap sapi tidak selalu sama, perbedaan waktu atau lamanya penggemukan dipengaruhi oleh bobot badan awal. Bobot badan awal yang tinggi akan berpengaruh terhadap lamanya penggemukan dan waktu yang dibutuhkan pun singkat sehingga tidak memerlukan waktu yang lama. Sapi mengkonsumsi ransum yang banyak sangat berhubungan dengan bobot awal, dimana dengan bobot awal yang tinggi umumnya ternak menampilkan ukuran tubuh yang sesuai dengan kebutuhan
5
energinya dan berpengaruh terhadap efisiensi pakan. Pemilihan sapi bakalan dengan bobot badan awal yang tinggi akan menurunkan PBBH apabila waktu dalam penggemukan terlalu lama sehingga konsumsi pakan akan tinggi dan tidak efisien dalam penggunaan pakan. Konsumsi pakan merupakan pemacu pertambahan bobot badan sapi, karena pada awal penggemukan konsumsi pakan pada sapi belum stabil dan masih mengalami stres, sehingga pertambahan bobot badan sapi belum maksimal. Ternak ruminansia yang normal (tidak dalam keadaan sakit/sedang berproduksi), mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan kebutuhannya untuk mencukupi hidup pokok ternak itu sendiri. Pertumbuhan dan perkembangan kondisi serta tingkat produksi yang dihasilkan akan memicu meningkatnya konsumsi pakan. Tinggi rendah konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan) dan faktor internal (bobot badan awal ). PBBH merupakan manifestasi dari kemampuan ternak dalam, mengubah sejumlah pakan yang dikonsumsi menjadi daging. PBBH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi total protein yang diperoleh setiap hari, lingkungan, kondisi fisiologis ternak dan tata laksana. PBBH pada mulanya berlangsung lambat dan semakin bertambahnya umur akan meningkat sampai dengan dicapainya kenaikan optimum pada saat ternak mencapai pubertas dan kecepatan PBBH-nya akan mulai menurun, selanjutnya setelah dewasa tubuh tercapai kecepatan PBBH akan konstan (Tulloh, 1978). Usri dan Santosa (1982), menyatakan bahwa PBBH sapi Peranakan Ongole jantan yang diberi pakan kualitas sedang sebesar 0,4 kg/hari.
6
Santosa (2005) menyatakan bahwa sapi hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi luar negeri yaitu Bos taurus dapat menaikan PBBH yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil persilangan antara sesama sapi lokal. Sapi turunan Simmental-Peranakan Ongole memiliki pertumbuhan yang cepat dengan PBBH mencapai 1,2 kg/hari (Hadi dan Ilham, 2002). Bobot sapih standar sebesar 205,03 kg, dan pada saat dewasa kelamin atau pubertas (umur 358 hari) bobot badan bisa mencapai 302,10 kg, dengan PBBH sebesar 0,844 kg dan efisiensi pakan 0,0272 (Taylor, 1984). Bobot badan awal yang lebih kecil (kurang dari 300 kg) menghasilkan PBBH yang tinggi dan efisiensi pakan yang tinggi. Hal ini disebabkan sapi dengan bobot awal kurang dari 300 kg mempunyai laju pertumbuhan yang cukup tinggi selama periode penggemukan (Sidauruk, dkk.,2001) Efisiensi pakan merupakan kebalikan konversi pakan, semakin tinggi nilai efisiensi pakan maka jumlah pakan semakin sedikit yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram daging. Lemak dan energi dalam ransum dapat memperbaiki efisiensi pakan karena semakin tinggi kadar lemak dan energi dalam ransum menyebabkan ternak mengkonsumsi pakan lebih sedikit tetapi menghasilkan PBBH yang tinggi. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Soeharsono (2010) Pada sapi silangan hasil IB bobot badan awal penggemukan di atas 450 kg terjadi penurunan PBBH dengan lama penggemukan 4 bulan. Pada bobot badan awal kurang 450 kg menghasilkan PBBH tertinggi (1,63/ekor/hari) dan bobot badan meningkat 42,32%, lebih efisien atas konsumsi BK pakan (FCR 8,82).
7
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut dapat dikemukakan hipotesis bahwa bakalan dengan bobot badan awal 250-300 kg pada saat penggemukan menghasilkan efisiensi pakan yang tinggi.
1.6.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan bulan November 2013 di Teaching Farm Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran, Sumedang.