PENDAHULUAN Latar Belakang Bertambahnya
jumlah
penduduk
disertai
dengan
meningkatnya
pendapatan mempengaruhi jumlah konsumsi pangan. Kebutuhan pangan tidak terbatas hanya pada komoditas pangan seperti beras atau jagung, tetapi juga sayursayuran. Kacang panjang (Vigna sinensis) merupakan jenis sayuran yang banyak diusahakan petani Indonesia serta mengandung banyak vitamin dan protein nabati (Afiat, 2009). Kacang panjang adalah tanaman yang telah di kenal sejak lama sebagai tanaman yang menyehatkan serta tumbuh baik di dataran rendah maupun dataran tinggi di Asia (Kuswanto et al. 2006). Apabila kontribusi kacang panjang dalam komposisi sayuran mencapai 10%, maka diperlukan sekitar 763.200 ton/tahun polong segar. Menurut Departemen Pertanian produksi kacang panjang tahun 2000 baru mencapai 313.526 ton polong segar atau sekitar 41% dari total kebutuhan penduduk, sehingga produksi kacang panjang belum dapat memenuhi kebutuhan gizi ideal penduduk Indonesia (Kuswanto et al. 2006). Penurunan produksi kacang panjang dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah serangan hama. Salah satu hama penting pada tanaman kacang panjang adalah hama penggerek polong (Maruca testulalis) (Sureja et al. 2010). M. testulalis adalah hama penting pada tanaman kacang-kacangan di daerah tropis dan subtropis. Hama ini mengakibatkan kerusakan karena menyerang tunas, bunga dan polong. Kerusakan yang disebabkan hama ini berkisar antara 9 sampai 51 % (Baghwat et al. 1998).
Dewasa ini cara pengendalian hama yang dianjurkan oleh pemerintah adalah pengendalian hama secara terpadu (PHT), yang bertujuan untuk memanfaatkan metode-metode
yang memenuhi
syarat -syarat ekonomi,
toksikologi dan ketentuan lingkungan. Pengendalian hayati, cara bercocok tanam dan penggunaan varietas yang tahan merupakan teknik pengendalian yang bekerjanya tidak bertentangan dengan fungsi faktor ekologi alami yakni dengan memanfaatkan bahan tanaman dan pemanfaatan berupa bakteri, jamur dan virus sebagai
agen
pengendali
yang bisa disebut
sebagai
pestisida
biologi
(Sostromarsono, 1990). Penggunaan pestisida dengan dosis besar dan dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan beberapa kerugian, antara lain residu pestisida akan terakumulasi pada produk-produk pertanian, pencemaran pada lingkungan pertanian, penurunan produktivitas, keracunan pada hewan, keracunan pada manusia
yang
berdampak
buruk
terhadap
kesehatan.
Manusia
akan
mengalami keracunan baik akut maupun kronis yang berdampak pada kematian (Runia, 2008). Berdasarkan literatur di atas pengendalian secara kimia memberikan efek yang kurang baik baik bagi tanaman, manusia maupun lingkungan. Oleh karena itu penelitian ini penting dilakukan untuk mencari alternatif pengendali lain yang lebih ramah lingkungan yaitu menggunakan insektisida biologi. Tujuan Penelitian Untuk mendapatkan insektisida biologi yang efektif terhadap hama penggerek polong (Maruca testulalis) pada tanaman kacang panjang di lapangan.
Hipotesis Penelitian 1.
Insektisida biologi mampu menekan serangan hama penggerek polong pada tanaman kacang panjang di lapangan.
2.
Larutan daun sirsak adalah insektisida yang paling efektif diantara insektisida biologi yang diuji.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif baru dalam pengendalian hama penggerek polong pada tanaman kacang panjang yang lebih ramah lingkungan.
TINJAUAN PUSTAKA Maruca testulalis Geyer. Klasifikasi hama Maruca testulalis Geyer. menurut Borror dan Dwight (1970) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Pyralidae
Genus
: Maruca
Spesies
: Maruca testulalis Geyer. Maruca testulalis meletakkan telur secara berkelompok pada daun, bunga
atau polong 2-4 butir/kelompok. Telur berbentuk lonjong agak pipih dan berwarna putih kekuningan. Stadia telur berlangsung 2- 3 hari (Aldywaridha, 2010). Imago betina lebih banyak meletakkan telurnya dipermukaan bunga karena tertarik pada bunga yang berwarna cerah dan permukaan tanaman yang berbulu lebat sebagai tempat meletakkan telur (Wijayanti dan Zaky, 2009). Panjang telur ini berkisar 0,015 sampai 0,58 mm dan memiliki lebar 0,15 sampai 0,38 mm. Larva melalui lima instar sebelum memasuki masa pupa (Sonune et al., 2010).
Gambar 1: Larva Maruca testulalis Geyer. Sumber : Koleksi pribadi
Larva berwarna hijau terang dengan kepala berwarna coklat gelap, dan terdapat bintik-bintik coklat pada bagian punggung dan bulu-bulu halus (Gambar 1). Panjang larva instar terakhir 16 – 18,5 mm. Larva M. testualis terdiri atas lima instar dengan masing-masing instar 2-4 hari. Masa stadia larva berlangsung 10-15 hari. Pupa berkembang di dalam tanah, berbentuk kokon. Panjang pupa 13,5 mm, dengan stadia pupa berlangsung 7 – 10 hari (Aldywaridha, 2010). Pupa M. testulalis yang baru terbentuk berwarna kehijauan atau kuning pucat kemudian berwarna coklat keabuan (Gambar 2). Pupa terdapat dalam kokon dan terbungkus oleh benang-benang halus (Wijayanti dan Zaky, 2009).
Gambar 2:Pupa Maruca testulalis Geyer. Sumber:Koleksi pribadi Imago berupa ngengat berukuran kecil dan sayap depan berwarna coklat terang atau kuning kemerah-merahan. Terdapat bercak putih ditengah sayap, sedangkan sayap belakang berwarna putih keabu-abuan dengan tepi berwarna coklat terang (Gambar 3). Panjang tubuh 11,2 mm dengan rentangan sayap berukuran 20-28 mm. Masa imago jantan dapat mencapai 12 hari dan betina 22 hari, siklus hidup antara 18-30 hari (Kalshoven, 1981).
Gambar 3: Imago Maruca testulalis Geyer. Sumber : http://www.malaeng.com Gejala Serangan Gejala serangan penggerek polong pada bunga menyebabkan bunga akan mengalami kerusakan dan berwarna pucat (Gambar 4b). Bunga tidak berproduksi dengan baik. Polong juga mengalami penurunan produksi. Polong kacang hijau berlubang dan bebercak kecil berwarna gelap (Parker et al.1995). Maruca testulalis pada stadia muda lebih menyukai bagian bunga dan jumlah larva yang masih hidup lebih banyak menempati bagian bunga dibanding pada bagian daun dan polong (Aldywaridha, 2010). (b)
(a)
Gambar 4: Gejala serangan. (a) pada polong Sumber: Koleksi pribadi
dan (b) bunga
Maruca testulalis menyerang bagian bunga dan polong. Polong yang diserang akan tampak lubang-lubang bundar kecil dan bijinya habis dimakan (Gambar 4a). Serangan pada bagian bunga dan polong ini berpengaruh langsung terhadap kualitas dan kuantitas produksi (Afiat, 2009). Kerusakan yang paling serius akibat serangan hama M. testulalis pada tanaman kacang panjang adalah dengan cara larva memakan tunas, bunga, daun muda dan polong muda, terkadang larva juga memakan daun dan batang yang lembut (Kalshoven, 1981). Insektisida Biologi Penggunaan insektisida kimia telah memberikan banyak dampak negatif bagi lingkungan karena itu diperlukan metode pengendalian lain seperti penerapan pengendalian hama terpadu (PHT). PHT melibatkan pengendalian secara kimiawi, biologis, kultur teknis dan penggunaan varietas resisten. Penggunaan insektisida biologi dapat dijadikan salah satu alternatif dalam menanggulangi organisme pengganggu tanaman (Dewi, 2007). Berdasarkan asalnya pestisida biologi dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida hayati dan pestisida nabati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman yang senyawa atau metabolit sekundernya memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit. Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa bakteri, jamur maupun virus yang bersifat antagonis terhadap organisme pengganggu tanaman (Djunaedy, 2009) Pestisida nabati dapat berfungsi sebagai : (1) penghambat nafsu makan (anti feedant); (2) penolak (repellent); (3) penarik (atractant); (4) menghambat
perkembangan; (5) menurunkan keperidian; (6) pengaruh langsung sebagai racun dan (7) mencegah peletakkan telur (Setiawati et al., 2008). Penggunaan pestisida sintetis yang dinilai praktis untuk mengendalikan serangan hama, ternyata membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitar bahkan bagi penggunanya sendiri. Namun dibutuhkan suatu alternatif lain yang tidak berdampak negatif seperti pestisida nabati yang ramah lingkungan. Pestisida nabati selain ramah lingkungan, pestisida nabati ini merupakan pestisida yang relatif aman dalam penggunaannya dan ekonomis (Nechiyana et al., 2011). Kelebihan utama penggunaan insektisida alami adalah mudah teurai atau terdegradasi secara cepat. Proses penguraiannya dibantu oleh komponen alam, seperti sinar matahari, udara dan kelembaban. Dengan demikian insektisida alami yang disemprotkan beberapa hari sebelum panen tidak meninggalkan residu (Sukrasno, 2003). Sirih (Piper betle) Tanaman sirih (Piper betle) di berbagai daerah di Indonesia disebut juga dengan ranub, belo, demban, cambai, sedah, dan suruh, termasuk dalam famili Piperaceae. Tanaman sirih mengandung minyak atsiri seperti kadinen, kavikol, sineol,
eugenol,
karofilen,
karvakol,
terpinen
dan
seskuiterpen
(Aldywaridha, 2010). Sirih merupakan tanaman merambat dan dapat mencapai tinggi 15 m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daun tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling dan bertangkai (Gambar 5). Senyawa yang terkandung
dalam sirih antara lain karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat, vitamin C, tanin, gula, pati, dan asam amino. (Setiawati et al., 2008).
Gambar 5: Sirih (Piper betle) Sumber : Koleksi pribadi Akar Tuba (Derris eliptica) Akar tuba selama ini dikenal sebagai bahan untuk meracuni ikan di sungai ternyata juga bersifat toksik pada hama. Akar tuba memiliki senyawa toksis rotenoid yang dapat mempengarugi enzim respirasi serangga organisme pengganggu tanaman seperti Spodoptera litura, Crocidolomia binotalis dan nematoda Meloidogyne incognita (Direktorat Bina Tanaman Perkebunan, 1994).
Gambar 6: Akar Tuba (Derris eliptica) Sumber : Koleksi pribadi
Akar tuba merupakan tumbuhan merambat yang membelit dengan tinggi kurang lebih 15 meter (Gambar 6). Akar tuba berperan sebagai moluskisida, insektisida, akarisida, nematisida. Akar tuba bekerja sebagai racun perut dan kontak, menyebabkan serangga untuk berhenti makan (Setiawati et al., 2008). Akar tuba mengandung senyawa rotenon, deguelin, elipton, toxicarol. Rotenon adalah racun kontak yang memiliki daya kerja lambat dan mudah terdegradasi oleh sinar matahari dan udara (Patty, 2011). Sirsak (Annona muricata) Sirsak adalah sejenis tanaman berkayu dan dapat hidup menahun. Daging buah bertekstur empuk dan berwarna putih (Gambar 6). Senyawa yang terkandung dalam sirsak antara lain senyawa tanin, fitosterol, Ca-oksalat dan alkaloid murisine. Cara kerjanya bersifat sebagai insektisida, racun kontak, penolak (repellent) dan penghambat makan (antifeedant). Bagian tanaman yang digunakan adalah daun dan biji (Setiawati et al., 2008).
Gambar 7: Sirsak (Annona muricata) Sumber : Koleksi pribadi Daun sirsak diketahui dapat meningkatkan mortalitas hama misalnya hama thrips karena memiliki senyawa squamosin dan asimisin. Semakin tinggi konsentrasi senyawa tersebut maka semakin tinggi pula mortalitas pada hama
tersebut (Ningsih et al., 2012). Reaksi serangga terhadap senyawa alelokimia tertentu tergantung pada dosisnya. Penghambatan total oleh suatu senyawa anti makan (feeding detterent atau antifeedant) terjadi pada kisaran dosis efektif tertentu (Hasio, 1985). Berdasarkan penelitian Ningsih et al. (2013) tanin mempengaruhi pertunbuhan dan perkembangan larva dengan dua cara yaitu rasa sepat tanin dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan serta kemampuan tanin untuk mengikat protein di intesium yang menyebabkan penurunan daya cerna dan absorbs protein. Biopestisida daun sirsak juga mengandung tanin dalam kadar tinggi. senyawa tanin merupakan suatu senyawa yang dapat memblokir ketersediaan protein dengan membentuk kompleks yang kurang bisa dicerna oleh serangga. Senyawa tersebut dapat menghambat enzim pada saluran pencernaan sehingga akan merobek pencernaan serangga dan akhirnya menimbulkan kematian (Pabbage dan Tenrirawe, 2007). Insektisida yang berasal dari daun sirsak diketahui dapat mengendalikan hama rayap dengan perlakuan umpan yang dicampur dengan daun sirsak. Konsentrasi tertinggi yaitu 6 gram/toples memiliki mortalitas tertinggi pada rayap Akibat adanya senyawa acetogenin, antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin (Simanjuntak et al., 2007). Dari hasi penelitian diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka luas daun yang dimakan semakin sedikit. Konsentrasi ekstrak yang terlalu rendah menyebabkan
keberadaan ekstrak tidak dikenali oleh reseptor yang
terdapat pada membran dendrite dari sensila yang mampu mengenali keberadaan senyawa didalamya. Penurunan konsumsi makan larva uji disebabkan adanya
kandungan senyawa alelokimia yang terdapat dalam ekstrak daun sirsak seperti acetogenin. Pada konsentrasi yang tinggi acetogenin akan bersifat anti makan pada serangga, sedangkan pada konsentrasi rendah bersifat sebagai racun perut dan dapat menyebabkan kematian (Ambarningrum et al., 2012). Daun Pepaya (Carica papaya) Pepaya (C. papaya) merupakan tumbuhan yang berbatang tegak dan basah. Tinggi pohon pepaya dapat mencapai 8 sampai 10 m. Helaian daunya menyerupai telapak tangan manusia (Gambar 7). Pepaya dapat digunakan untuk obat malaria dan menambah nafsu makan. Pepaya juga bersifat sebagai insektisida, fungisida, dan rodentisida dan juga sebagai zat penolak (repellent). Pepaya mengandung betakarotene, pectine, d-galaktosa, I-arabinosa, papain, papayotimin papain, vitokinose, glucodise cacirin, karpain, papain, kemokapain, lisosim, lipase, glutamin, dan siklotransferase (Setiawati et al., 2008).
Gambar 7: Pepaya (Carica papaya) Sumber : Koleksi pribadi Daun pepaya mengandung enzim alkaloid karpain, pseudo karpain, glikosida, karposid, dan saponin. Alkaloid pada daun pepaya dapat berfungsi sebagai insektisida (Kurnia et al., 2012).
Konsentrasi ekstrak daun pepaya 100 g/l air telah mampu mengendalikan kutu daun Aphis gossypii dengan mortalitas total sebesar 91,99%. Konsentrasi yang mampu untuk mematikan serangga uji pada LC50 adalah 0,33% dan konsentrasi yang tepat untuk mengendalikan serangga uji pada LC95 adalah 2,70 (Nechiyana et al., 2011). Bacillus thuringiensis Seperti halnya pengendalian hayati lainnya (parasitoid dan predator), pemanfaatan patogen di lapangan dapat dilakukan dengan cara mengintroduksikan patogen ke dalam populasi hama dengan harapan dapat menekan secara lebih permanen. Penggunaan patogen B. thuringiensis mempunyai harapan untuk dikembangkan
di
masa
mendatang,
karena
mudah
dan
murah
serta
pengaplikasiannya yang efektif dan berwawasan lingkungan (Salaki, 2009). Bacillus thuringiensis menghasilkan kristal protein yang bersifat insektisidal disebut dengan δ-endotoksin. Kristal ini sebenarnya hanya merupakan protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek. Pada umumnya kristal B. thuringiensis di alam bersifat protoksin, karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga dapat mengubah kristal protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa toksin ini menyebabkan terbentuknya pori-pori pada sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Terganggunya keseimbangan osmotik ini menyebabkan sel menjadi bengkak dan pecah. Sel yang telah pecah akan menyebabkan kematian pada serangga (Hofte dan Whiteley, 1989).
Viabilitas entomopatogen dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, kelembapan, pH, radiasi sinar matahari, nutrisi dan zat kimia seperti pestisida. Semakin tinggi viabilitas jamur entomopatogen semakin efektif dalam mengendalikan hama (Susanto, 2007). Bacillus thuringiensis merupakan bakteri gram-positif berbentuk batang. Jika nutrien di mana dia hidup sangat kaya, maka bakteri ini hanya tumbuh pada fase vegetatif, namun bila suplai makanannya menurun maka akan membentuk spora dorman yang mengandung satu atau lebih jenis kristal protein. Kristal ini mengandung protein yang bersifat lethal jika dimakan oleh serangga yang peka (Bahagiawati, 2002). Beauveria bassiana Salah satu teknik pengendalian yang berprinsip ramah lingkungan adalah pemanfaatan agens hayati seperti jamur entomopatogenik Beauveria bassiana. Jamur ini bersifat saprofit dan parasit pada serangga, keberadaan jamur ini tidak mengganggu ekosistem dalam tanaman budidaya. Sekarang teknik pengendalian ini lebih dikenal dengan istilah pengendalian menggunakan bio-insektisida (BBP2TP, 2013). Beauveria bassiana diaplikasikan dalam bentuk konidia yang dapat menginfeksi serangga melalui kulit kutikula, mulut, dan ruas-ruas yang terdapat pada tubuh serangga. Jamur ini juga memiliki spektrum yang luas dan dapat mengendalikan banyak spesies serangga sebagai hama tanaman (Susanto, 2007). Virulensi bioinsektisida B. bassiana yang disimpan lebih dari 2 bulan akan menurun karena nutrisi dalam media banyak digunakan untuk memproduksi
konidia sehingga cendawan kehabisan cadangan nutrisi. Pada bioinsektisida ini kerapatan konidia dan viabilitas konidia juga akan menurun (Thalib et al., 2012). Insektisida kimia klorantraniliprol Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Dolat Rakyat Kabupaten Karo insektisida sangat penting bagi petani. Berdasarkan hasil wawancara, petani menggunakan insektisida sejak pertama sekali petani bertani. Petani mendapatkan pengetahuan mengenai insektisida dan penggunaan insektisida melalui tetangga atau masyararakat sekitar. Mereka menganggap bahwa insektisida merupakan bahan kimia atau racun yang digunakan untuk membasmi dan mengendalikan serangga penggangu (Maruli et al., 2012). Klorantraniliprol mempunyai nama kimia 3- bromo - N- [4 - kloro- 2– metil - 6 - [(metilamino) karbonilfenil ]- 1- (3 – kloro - 2- piridinil - 1 H – pirazo l – 5- karboksamida. Insektisida tersebut termasuk golongan senyawa antranilik diamida yang bersifat racun perut dan racun kontak (Djojosumarto,2008). Salah satu formulasi insektisida berbahan aktif klorantraniliprol yang terdaftar di Indonesia adalah Prevathon 50 SC. Insektisida tersebut terdaftar untuk mengendalikan hama S. exigua pada bawang merah; S. litura pada cabai; M. testulalis dan L. huidobrensis pada kacang panjang; Conopomorpha cramerella pada kakao; S. litura pada kedelai; Metisa plana, C. curvignathus, dan Setora nitens pada kelapa sawit; Phthorimaea opercutella dan L. huidobrensis pada kentang; P. xylostella dan C. pavonana pada kubis; Scirpophaga incertulas dan Cnaphalocrosis medinalis pada padi; S. excerptalis pada tebu; S. litura, Heliothis assulta, dan Helicoverpa armigera pada tembakau; dan H. armigera pada tomat (Widyawati, 2012).