1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tanah Tabu 1, tidak sekedar novel etnografi yang mengisahkan keindahan alam dan keunikan cara hidup suku Dani Papua seperti apa yang disampaikan Kris Budiman 2. Secara literasi Anindita S. Thayf (selanjutnya ditulis Thayf) mengisahkan epos perjuangan perempuan suku Dani dari pemiskinan dan penindasan perusahaan emas atau Freeport. Membaca Tanah Tabu samahalnya melihat perjuangan tokoh perempuan dari stigma suami serta budaya patriarkat suku Dani. Cerita Tanah Tabu tidak mengisahkan satupun tokoh laki-laki yang memihak perempuan. Seolah-olah pengarang dengan sengaja mengilustrasikan laki-laki sebagai sumber peperangan antar suku, pelaku KDRT, dan oknum politik yang totaliter militeristis. Adapun kehadiran dua tokoh berkelamin laki-laki yang memihak keluarga Mabel, yakni ‘Pum’ dan ‘Kwee’ yang diketahui di akhir cerita bersosok ‘anjing tua’ dan ‘anak babi’. Keunikan lain dari literasi Tanah Tabu adalah diceritakan melalui sudut pandang orang pertama ‘aku’, tetapi dituturkan dari penuturan tiga tokoh: Leksi, Pum dan Kwee saling bergantian mengungkap perjalanan hidup Mabel yang diketahui sebagai tokoh problematik. 1
Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Jakarta: Gramedia Pustaka. Cetakan Pertama, Mei 2009. Kris Budiman merupakan salah satu dewan juri sayembara novel DKJ tahun 2008. Selain Budiman ada Linda Christanty dan Seno Gumira Ajidarma. Ketiga dewan juri menobatkan Tanah Tabu sebagai pemenang utama dan satu-satunya dari 278 naskah peserta yang mengikuti sayembara. Dikutip dari artikel “DKJ Gelar Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel 2008” karangan Wahyu Ari Wicaksono. Dipublish pada 10 Desember 2008 dalam laman http://www.kabarindonesia.com/. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2014. 2
2
Perjuangan Mabel merupakan manifestasinya memeroleh hak kemakmuran hidup. Karena Mabel sadar sebab apa dirinya terkapitalisasi. Kesadaran Mabel menunjukkan posisinya yang lebih tahu bagaimana cara memperlakukan dan mempertahankan hidup dari alam dibandingkan kaum laki-laki. Sebab adanya pertambangan Freeport, kehidupan Mabel semakin terpinggirkan dari alamnya. Freeport dalam proses pertambangan menempatkan antroposentrisme kapitalis sebagai fondasi. Perilaku antroposentris berusaha memutus dan memusnahkan relasi alam dengan perempuan, sehingga dampaknya menggerakkan kaum perempuan melakukan perlawanan. Menyikapi kenyataan itu, Mabel berusaha berada di garis depan dalam memperjuangkan kelestarian hutan, tumbuhtumbuhan, tanah, dan air di Lembah Baliem yang menjadi sumber penghidupan. Adapun bentuk perlawanan Mabel yakni menentang proyek pembangunan Freeport, seperti pembangunan jalan beraspal, perluasan lahan pertambangan yang berpengaruh pada penyempitan hutan dan ladang pertanian, pembangunan perumahan elit di sekitar pertambangan, serta kebijakan Freeport dalam mengendalikan harga komoditas di pasar tradisional. Thayf menempatkan Mabel sebagai tokoh problematik atau tokoh yang berperan utama dalam menggerakkan konflik cerita. Thyaf mengilustrasikan karakter Mabel terkonstruksi dari kompleksitas segala persolan hidup yang ia alami. Dimulai ketika masa gadis Mabel diadopsi oleh Tuan Piet yang berwarga negara Belanda. Tuan Piet merupakan orang asing pertama kali atau sebagai perwakilan Freeport yang datang ke Lembah Baliem. Masa pertumbuhan kedewasaan Mabel terlahir dari keikutsertaan dirinya dengan Tuan Piet untuk
3
hidup berpindah-pindah sebelum akhirnya kembali lagi ke Lembah Baliem. Sekembalinya Tuan Piet ditandai dengan mendirikan bangunan bertembok sebagai cikal bakal terbangunnya kawasan industri pertambangan Freeport. Saat hidup bersama Tuan Piet, kedewasaan Mabel mulai terbangun menjadi perempuan yang mandiri dan berpengetahuan. Sebab saat itu pula, Mabel pertama kalinya mengenal ilmu pengetahuan melalui buku-buku yang ia pelajari dari Tuan Piet. Apalagi gaya hidup Tuan Piet yang serba memanfaatkan peralatan modern semakin meneguhkan Mabel sebagai perempuan suku Dani yang berideologi berbeda dibandingkan perempuan lainnya. Setelah Mabel kembali di Lembah Baliem berbagai bentuk kedewasaan lain ia temui dalam pernikahan. Pada akhirnya Mabel mampu membangun keluarga dengan menantu (Mace) dan cucunya (Leksi) serta dua hewan peliharaannya, Pum dan Kwee. Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, keluarga Mabel sangat bergantung dengan SDA Lembah Baliem. Dari lembah yang subur dan menghijaukan, setiap hari Mabel berkebun untuk menanam sayur-mayur dan ketika tanaman sudah masak akan dijual di pasar. Siklus kehidupan Mabel, sudah turun-temurun dipraktikan oleh masyarakat Lembah Baliem. Dari alam Mabel mereproduksi tanaman demi keberlangsungan hidup. Akan tetapi, bukan berarti proses reproduksi yang dipraktikkan Mabel dengan cara menguasai alam dan mengeksploitasinya demi keuntungan semata. Melestarikan alam Lembah Baliem bagi Mabel selayaknya menghormati nenek moyang. Dalam kutipan berikut akan tampak dialog Mabel yang merepresentasikan dirinya menghormati alam Lembah Baliem.
4
“Gunung itu bukan sagu. Bukan buah merah. Tidak diperjual-belikan. Tanah kita keramat, Nak. Tabu. Diciptakan Yang Kuasa khusus untuk kita, tahukah kau kenapa? Sebab Dia tahu kita bisa diandalkan untuk menjaganya.” (Thayf. 2009:90) Legitimasi ‘keramat’ yang dimaksudkan Mabel; bumi Papua suci dan bertuah, sehingga tidak sepatutnya disentuh orang lain, apalagi dijarah atas dasar kekuasaan perorangan. Kemudian perihal wajar bilamana Mabel memaknai ketabuan itu sebagai warisan leluhur yang tidak boleh diusik. Mabel percaya bahwa suku Dani yang diamanahi leluhur untuk menjaganya. Oleh karena itu, keberadaan emas, perak, dan tembaga yang tersimpan di balik bebatuan gunung Ertsberg dan Grasberg ditabukan. Namun karena ketabuannya telah membelenggu dirinya sendiri. Sebab ‘tabu’ mengindikasikan ‘pantangan’. Pantangan berarti tidak boleh disentuh. Karena tidak pernah disentuh menjadikan alam Lembah Baliem menyimpan ‘keeksotisan’. Sedangkan sesuatu yang eksotis menggugah hasrat bangsa barat untuk mengungkapkan ‘rasa ketertarikan’. Ketertarikan inilah membuat bangsa Barat untuk singgah di bumi Papua. Singgah dengan berbagai misi mencari ladang baru jajahan. Semenjak kehadiran Tuan Piet di Lembah Baliem, konservatisme yang dianut
suku
Dani
mengalami
dilematis.
Terjadinya
dilematis
akibat
terkolonialisasi budaya baru yang dibawa Tuan Piet. Memang kehadiran Tuan Piet menjanjikan kemakmuran bersama sesuai kesepakatan awal dengan suku Dani. Akan tetapi, dalam praktiknya Tuan Piet tidak mengindahkan aturan perintisan wilayah industri yang arif lingkungan. Terealisasinya pembangunan infrastruktur pertambangan Freeport kemudian disadari suku Dani sebagai pengalihan nama kepemilikan Lembah Baliem kepada oknum tertentu. Adapun berdirinya Freeport
5
menyimbolkan adanya peradaban barat yang terkonstruksi di tengah-tengah hamparan konservatisme suku Dani. Misiologi pembangunan yang diskenarioi oleh ide-ide maskulinitas telah menyingkirkan kaum perempuan dari alam yang memiliki relasi saling berdampingan dan saling untung-menguntungkan. Memotret persoalan itu dari teori ekofeminisme perspektif Vandana Shiva 3, atas apa yang dialami tokoh perempuan Tanah Tabu merupakan ‘korban’ antroposentrisme kapitalis dari Lembah Baliem yang sejatinya menjadi tumpuan hidup. Antroposentrisme menggeser kedomestikan perempuan ke dalam sekat-sekat pembangunan yang telah dicanangkan bangsa Barat. Di saat inilah, memperlihatkan peran perempuan yang lebih berdekatan dengan alam diposisikan sebagai penyelamat dari dirinya dan masa depan ekosistem alam. Hal demikian dikarenakan legitimasi wacana yang
menyatakan bahwa, ‘bumi adalah ibu’. Wacana tersebut
dalam
perkembangannya malah membelenggu posisi perempuan. Barat memanfaatkan wacana tersebut untuk menundukkan dan menyingkirkan kaum perempuan dari peran pentingnya terhadap alam. Akibatnya ketika itu kaum perempuan tidak lagi mampu memproduksi kehidupan, baik secara biologis dan sosial mereka dalam menyediakan kebutuhan hidup. 4 Antroposentrisme diciptakan barat untuk mengambil alih kepemilikan SDA bangsa dunia ketiga sebagai ladang penjajahan. Dijalankan melalui proyek-proyek pembangunan demi tuntutan pembangunan peradaban. Barat sengaja menciptakan
3
Vandana Shiva. Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India. London: Zed Book. 1988. Hlm. xxxi. 4 Maria Mies. Patriarchy and Accumulation on a World Scale. London: Zed Books. 1986. Hlm. 55.
6
pembangunan yang berideologi kapitalisme, sehingga dampaknya menghancurkan sendi-sendi kehidupan dunia ketiga yang memegang teguh konservatisme. Parahnya lagi, pembangunan dikampanyekan bebarengan dengan pengenalan teknologi modern yang menjamin segala sesuatu persoalan kehidupan akan terselesaikan secara gampang dan cepat. Bagaimana persoalan ini ditemui dalam Tanah Tabu, bahwa Freeport memosisikan antroposentrisme sebagai pemberi roh untuk memfungsikan alat-alat teknologi pertambangan. Secara efektivitas penggunaan alat berteknologi atau mesin dapat mempercepat hasil pertambangan serta dapat menekan biaya upah pegawai. Akan tetapi, dikaji dari kemanusiaan adanya industri yang sepenuhnya mengandalkan tenaga mesin semakin memperparah jumlah pengangguran tenaga manusia. Apalagi tenaga manusia yang tidak berpendidikan atau terampil. Mesin-mesin pertambangan Freeport memporakporandakan bukit Ertsberg dan Grasberg selama hampir setengah abad. Kenyataan ini membuktikan kekuasaan Freeport atas Lembah Baliem yang letaknya berada di antara sisi puncak gunung Ertsberg dan Grasberg atau tidak jauh dari wilayah industri Freeport. Keserakahan Freeport mengalihfungsikan bentangan hutan dan lahan perkebunan suku Dani menjadi wilayah pertambangan. Pengalihfungsian lahan ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial suku Dani. Karena selain berburu, bertani adalah mata pencarian utama suku Dani. Adapun Mabel mengungkapkan ketimpangan hidup yang terjadi sebagai berikut. “Kalau anjing setia pada tuannya, kalau kucing kepada rumahnya, perusahaan di ujung jalan itu hanya setia pada emas kita. Tidak peduli apakah tanah, air dan orang-orang kita jadi rusak karenanya, yang penting
7
semua emas punya mereka. Mereka jadi kaya, kita tinggal miskin. Miskin di tanah sendiri!” (Thayf. 2009:133-134) Mabel mendakwa, praktik pertambangan Freeport dilakukan tanpa mengindahkan dampak dan kerugian yang ditinggalkan. Dari perspektif ilmu ekonomi, praktik industri seperti itu merupakan penerapan prinsip ekonomi kapitalis. Menurut Husnul (2008:38) paham ini dibawah aliran Marxis klasik; aliran yang meletakkan eksploitasi ekonomi yang sebanyak-banyaknya demi keuntungan semata. Adapun perlawanan-perlawanan yang dilakukan Mabel tidak lain usaha feminis-ekologis dalam menyikapi ketidakadilan sosial yang ditimbulkan Freeport. Karena adanya eksploitasi terhadap alam, akan berdampak kepada siapa yang paling tidak diuntungkan adalah dia (perempuan). Terjadinya eksploitasi menyebabkan kepunahan SDA bumi Papua. Kepunahan ekosistem alam Lembah Baliem samahalnya memiskinkan masa depan Mabel. Masa depan yang bergantung pada kelestarian ekosistem alam Lembah Baliem. Dikaji berdasarkan perspektif pengarang, berbagai polemik di Bumi Cendrawasih menjadi kegelisahan dan inspirasi Thayf. Berkarya sastra dipilih sebagai media mengungkapkan kegelisahan yang dialami. Walaupun ia bukan asli orang Papua, tetapi segala penderitan dan ketidakadilan yang dialami orang Papua terutama yang tinggal di sekitar Freeport membuatnya terpanggil untuk menuliskan. Menurut pengakuan Thayf, sebetulnya ia tidak berniat menulis sebuah novel tentang Papua. Riset yang dilakukan selama dua tahun didedikasikan atas sebuah buku non-fiksi anak-anak. Ia berkeinginan mengisahkan kekayaan dan keelokan panorama alam serta keunikan masyarakat Papua. Akan tetapi, selama perjalanan riset yang dikaji melalui media internet dan berbagai sumber lisan serta
8
tertulis, Thayf malah menemukan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat suku Dani atau salah satu suku yang mendiami gunung Jayawijaya, Papua. Niat saya yang semula ingin mengumpulkan bahan untuk menulis sebuah buku non-fiksi untuk anak-anak tentang keindahan panorama alam di Pulau Kepala Burung, Papua, sontak berubah haluan. Untuk apa menulis keindahan jika di sebelahnya ada penderitaan yang lebih nyata dan sangat membutuhkan perhatian? Kutipan di atas merupakan penggalan kisah Thayf yang ditulis di blog pribadinya dengan judul “Jendela Kesadaran: Proses Kreatif Novel Tanah Tabu”. 5 Artikel tersebut mengutarakan alasan Thayf kenapa menulis tentang Papua dan proses kreatif penciptaan Tanah Tabu. Dari kutipan itu pula mengindikasikan bahwa Thayf seorang environmentalis. Padahal secara edukatif ia beralmamater sarjana Teknik Elektro, Universitas Hasanudin. Namun apa yang dipelajari, diamati dan dipraktikkan di lapangan tidak harus sesuai dengan apa yang diperoleh di bangku perkuliahan. Hal ini dibuktikan Thayf yang gemar menulis buku. Selama proses kreatif Tanah Tabu ia berdomisili di Yogyakarta, tepatnya di lereng gunung Merapi yang sepi dan dikelilingi kebun salak pondoh bersama keluarganya. 6 Keberadaan Thayf yang jauh dari Papua, tidak membuat ia putus asa menuliskan tentang keindahan alam Papua beserta problematiknya. Kegemaran Thayf terhadap keindahan alam Indonesia, tidak hanya terbukukan dalam Tanah Tabu.
5
Dimuat pada tanggal 1 Februari 2009 di (http://jalansetapak.wordpress.com/2008/12/15/hanyasatu-juara-tanah-tabu). Diakses 14 Juli 2014. 6 Dikutip dari ulasan biografi Anindita S. Thayf yang termuat di halaman terakhir Tanah Tabu diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009.
9
Ia juga menulis sebuah novel remaja yang bertajuk keindahan alam Indonesia dalam, “R n B: Love in The Jungle” 7. Apa yang direpresentasikan Thayf melalui Tanah Tabu, selayaknya ia menyuarakan penderitaan kaumnya sebagai korban penindasan oleh programprogram
pembangunan
berideologikan
antroposentrisme
kapitalis.
Kaum
perempuan yang semakin terpinggirkan dari kedomestikan terhadap alamnya. Melalui Tanah Tabu samahalnya Thayf berusaha merintis gerakan peduli lingkungan. Gerakan yang merepresentasikan peran kaum perempuan dalam melestarikan alam berlandaskan pada tindakan kooperatif feminism. Gerakan kaum perempuan yang kemudian diafirmasi oleh ekofeminisme dalam memperlihatkan posisi kaum perempuan tampak lebih siap membuka ruang masyarakat baru. Atas kesadaran kaum perempuan sebagai korban sekaligus pelaku perlawanan, membuat kaum perempuan tampak lebih siaga dalam berjuang memunguti puing-puing tatanan alam yang berserakan. Singkatnya, upaya ini merupakan perwujudan prinsip feminitas dan ekologi menjadi satukesatuan paham yang mana guna memperjuangkan ketercapaian ‘kedamaian’ di dunia. Dunia yang kini terancam oleh tekanan antroposentrisme kapitalis dalam mewujudkan pembangunan peradaban modern serta mengagung-agungkan ilmu pengetahuan sebagai pilar utama berkehidupan. Berdasarkan persoalan di atas, dikaji melalui perspektif ekofeminisme bahwa ketimpangan sosial yang terjadi dalam Tanah Tabu merupakan buah dari sebagian besar program dan proyek pembangunan yang melanggar integritas 7 Novel ini menjadi pemenang ketiga dalam Lomba Cerita Konyol Remaja 2008 yang diselenggarakan PT Gramedia Pustaka Utama. Anindita S. Thayf. R n B: Love in The Jungle. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2008.
10
kaum perempuan sekaligus merusak produktivitas alam. Oleh karena itu, Shiva melalui ekofeminisnya menilai propaganda Barat dalam memproklamasikan gagasan ‘pembangunan peradaban’ telah menjadikan bangsa timur selayaknya lahan jajahan 8. Bangsa timur yang kental dengan kearifan tradisional dianggap barat sebagai bangsa yang tertinggal, sehingga proyek-proyek pembangunan yang berideologi kapitalisme dipilih sebagai alat dalam mencapai ‘kemajuan’ menurut model kemajuan barat. Apalagi barat juga mengkonsepsi gagasannya ke sebuah sistem yang disebut ‘ilmu pengetahuan’ dan kemudian disebarluaskan demi tercapainya afirmasi pelaksanaan proyek tersebut. Shiva menduga ilmu pengetahuan modern dijual sebagai sebuah sistem pengetahuan universal dan bebas nilai 9. Karena kebebasan itu mengakibatkan penggusuran terhadap semua sistem pengetahuan dan keyakinan lain seperti kearifan tradisional khas timur. Revolusi ilmu pengetahuan ini menyingkirkan semua kendala etika dan kognitif yang menghalangi penindasan dan penjarahan alam. Dengan demikian, alam dunia ketiga tidak lagi dipandang liar, karena keliarannya ditaklukan melalui tangan-tangan reduksionis ilmu pengetahuan. Alam menjadi sebuah mesin dan pemasok bahan mentah industri kapitalis barat 10. Dari sinilah Shiva menilai antroposentrisme abad modern lahir. Shiva berusaha membongkar perilaku antroposentris yang secara sosial, politik, dan ekonomi telah melegalkan proyek-proyek pembangunan kapitalisme. Dampak dari proyek tersebut diafirmasi oleh ilmu pengetahuan sebagai proses
8
Op.Cit. Shiva. 1988. Hlm. 3. Ibid. Hlm. 20. 10 Ibid. Hlm. xxxiv. 9
11
‘ilmiah’ guna mewujudkan keseragaman, sentralisasi dan pengendalian 11. Apa yang diidentifikasi dan diklarifikasi Shiva melalui ekofeminisnya akan diaplikasikan ke dalam objek materi penelitian ini. Maka akan tampak antroposentrisme kapitalis Freeport terhadap Lembah Baliem yang menyebabkan kehancuran tatanan alam Lembah Baliem dan ketimpangan hidup kaum perempuan suku Dani yang terefleksi dalam Tanah Tabu.
1.2 Rumusan Masalah Mabel mengalami ketimpangan hidup dari kekayaan SDA Lembah Baliem. Ketimpangan itu terjadi karena adanya perilaku antroposentrisme kapitalis Freeport berupa pertambangan emas, perak dan tembaga di Gunung Ertsberg dan Grasberg. Terjadinya antroposentris tersebut mengakibatkan Mabel yang hidupnya bergantung dengan alam mengalami dampak penderitaan paling parah dibandingkan kaum laki-laki. Dari rumusan permasalahan tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1) Bagaimana karakter antroposentrisme kapitalis terhadap alam Tanah Tabu dari perspektif ekofeminisme? 2) Bagaimana ekofeminisme memosisikan tokoh perempuan Tanah Tabu? 3) Mengapa tokoh perempuan dihadirkan pengarang sebagai pelaku perlawanan antroposentris?
11
Ibid. Hlm. 19.
12
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berikut akan dipaparkan dua poin pembahasan terkait pertanyaan penelitian yang akan dijawab. Bagaimana dari pembahasan pertanyaan penelitian akan diperoleh tujuan dan manfaat yang dicapai dalam penelitian ini.
1.3.1 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini mengungkap karakter antroposentrisme kapitalis terhadap kehancuran tatanan alam Lembah Baliem serta ketimpangan sosial tokoh perempuan Tanah Tabu dari kekayaan SDA Lembah Baliem. Dari ketimpangan yang terjadi memperlihatkan dualisme tokoh perempuan, diposisikan sebagai korban sekaligus pelaku perlawanan. Terungkapnya tindakan kooperatif perempuan Tanah Tabu dalam melawan antroposentrisme kapitalis, akan menjawab alasan tokoh perempuan dihadirkan pengarang sebagai pelaku perlawanan berdasarkan perspektif ekofeminisme.
1.3.2. Manfaat penelitian Adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah tesis ini dapat menjadi sumber rujukan kajian ekofeminisme yang sekarang ini masih minim dijadikan objek formal oleh akademisi Indonesia. Dan juga, hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah pengetahuan masyarakat, agar lebih peduli dan ikut berperan serta dalam menjaga kelestarian ekosistem alam Indonesia, tanpa menjarah dan mengabaikan keberadaannya.
13
1.4 Tinjauan Pustaka Tanah Tabu, sebagai pemenang utama dan satu-satunya dalam sayembara novel DKJ tahun 2008, pastinya yang menjadikan novel ini sebagai objek materi penelitian sudah banyak dilakukan. Adapun penelitian yang ada, sepengamatan peneliti kebanyakan penelitian yang dilakukan hanya mengkaji novel tersebut dari aspek struktur novel. Berikut pemaparan tinjauan pustaka yang (hampir) memiliki kesamaan objek materi ataupun formalnya dengan penelitian ini. Pertama. Skripsi. Cahaya Khaeroni (2009). Konsep Ekofeminisme Vandana Shiva dan Implikasinya pada Pengembangan Paradigma Pendidikan Agama Islam Inklusif Gender. Penelitian ini memaparkan konsep ekofeminisme Vandana Shiva dan mencari implikasinya terhadap upaya pengembangan paradigma pendidikan iklusif gender dari perspektif Islam. Dengan berfokus pada data-data dokumentatif berupa karya-karya Shiva dan sumber-sumber sekunder. Dari hasil penelitian mengungkap, konsep ekofeminisme Shiva menegaskan perlunya pemulihan nilai feminine yang didasarkan pada prinsip keseluruhan yakni memandang alam sebagai organism hidup, memandang perempuan sebagai makhluk aktif dan produktif serta memandang laki-laki sebagai pengalihan konstruksi pemikiran dari tindakan penghancuran menuju kepeduliaan. Kedua. Tesis. Rita Lestari (2009). Citra Wanita dalam Karya Sastra: Tinjauan Kritik Sastra Ekofeminis Terhadap Kumpulan Cerpen “Jiwaku Adalah Wanita” Karya Azimah Rahayu. Penelitian ini mengungkap citra wanita berdasarkan pendekatan teori kritik sastra feminis. Melalui penelitian ini dapat diungkap bahwa perempuan dalam kumpulan cerpen JAW mengambil langkah
14
yang dianggap tepat untuk menyetarakan kedudukan dengan laki-laki seperti mengadopsi gaya pria, membebaskan diri dari perkawinan, memisahkan diri dari urusan domestik dan tidak mempedulikan masyarakat. Ketiga. Tesis. Lalu Alwan Haryadi (2011). Pelanggaran HAM pada Masyarakat Papua: Kajian Sosiologi Sastra Terhadap Novel Tanah Tabu. Penelitian ini mengungkap persoalan pelanggaran HAM dan persoalan lain yang menyangkut ketimpangan dan problematika yang ditimbulkan Freeport di Papua. Bagi peneliti, Tanah Tabu memberikan petunjuk adanya pelanggaran nilai-nilai HAM yang dialami sekarang dan menyoroti pelanggaran terhadap nilai-nilai HAM di masa mendatang yang masih kabur. Adapun penelitian ini menggunakan sosiologi sastra sebagai pisau analisis. Keempat. Skripsi. Ferdiana Angraini (2012). Citra Perempuan dalam Novel Tanah Tabu Karya Thayf S. Thayf (Kajian Feminisme). Adapun penelitian ini mempertanyakan bagaimana struktur novel Tanah Tabu dan representasi citra perempuan Papua dalam novel. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori Tzevan Todorov, yaitu analisis aspek sintaksis dan analisis aspek semantic dengan menggunakan pendekatan kritik sastra feminis ideologis yang menitikberatkan pada citra perempuan Papua. Peneliti mengungkap struktur karya sastra yang ada mulai dari tema sampai sudut pandang dalam novel. Citra perempuan Papua yang terefleksi dalam novel dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni citra fisik, citra psikis dan citra social. Bagi peneliti citra perempuan Tanah Tabu cenderung direpresentasikan secara negatif. Walaupun ada tokoh perempuan yang kuat dan
15
tegar secara fisik maupun psikis, tetapi ia tetaplah perempuan Papua yang tertindas. Kelima. Artikel. Bernadus Wibowo Suliantoro (2013). Konsep Keadilan Sosial yang Berwawasan Ekologis Menurut Vandan Shiva: Kajian dari Perspektif Etika Lingkungan. Penelitian ini mengungkap upaya mewujudkan keadilan sosial berwawasan ekologis dapat dilakukan dengan cara membongkar asumsi-asumsi pemikiran yang mendasarinya. Terungkapnya sisi-sisi ketidakadilan terhadap perempuan dan alam, serta peneliti menawarkan solusi-solusi alternatif dengan mengembangkan sistem nilai yang lebih memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Hal itu dilandasi dalam mewujudkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan akan sia-sia jika tidak diikuti dengan langkah-langkah konkrit menghentikan cara pandang maupun pola piker kapitalisme-patriarkat. Berdasarkan pemaparan beberapa penelitian di atas dapat diketahui bahwa penelitian dengan judul, ”Antroposentrisme Kapitalis Terhadap Alam dan Perempuan Tanah Tabu”, memiliki perbedaaan dengan kelima penelitian yang sudah dilakukan. Dalam penelitian ini, memosisikan Tanah Tabu sebagai objek material lebih menitikberatkan pada bentuk-bentuk antroposentrisme kapitalis pertambangan Freeport terhadap alam dan perempuan suku Dani. Dari aspek objek
formal juga memiliki perbedaan kajian. Sama-sama menjadikan
ekofeminisme perspektif Vandana Shiva, tetapi apa yang diungkap penelitian yang sudah ada hanya formula dasar dari teori tersebut. Sedangkan dalam penelitian ini perspektif ekofeminisme Shiva, dipahami dari asumsi terjadinya kepunahan ekosistem alam serta posisi perempuan yang terpinggirkan dari alam
16
merupakan ulah proyek-proyek pembangunan kapitalis, sekaligus melihat peran ilmu pengetahuan modern sebagai pengafirmasi berlangsungnya perilaku antroposentrisme kapitalis.
1.5 Landasan Teori Pada sub bab ini akan dipaparkan konsep teori ekofeminisme dalam perspektif Vandana Shiva. Pemaparan di mulai dari esensi ekofeminisme itu sendiri serta lahirnya antroposentrisme kapitalis sebagai factor utama lahirnya gerakan feminis dan ekologis. Kemudian ekofeminisme melihat antroposentrisme kapitalis digerakkan melalui proyek-proyek pembangunan indutrsi kapitalis dan dampak yang ditimbulkan berusaha diafirmasi oleh ilmu pengetahuan modern.
1.5.1 Ekofeminisme: Kerangka Berpikir Vandana Shiva Ekofeminisme dianggap mampu mengatasi berbagai persoalan-persoalan lingkungan hidup yang terintimidasi ideologi berwawasan kekerasan. Dari cara pandangnya yang feminis, ekofeminisme melihat keberadaan bumi telah teraniyaya oleh develomentalisme dan kapitalisme. Atas dasar kekuasaan, bumi beserta alamnya dieksploitasi dengan melanggengkan kaki-tangan maskulinitas yang memprakarsai patriarkat dan feodal. Menyebabkan komponen-komponen bumi hancur dan mengalami kepunahan. Terjadinya penjarahan inilah, ekofeminisme hadir ibarat seorang kesatria penyelamat bumi. Melalui kekuatan yang berbasiskan pada kekhasan perempuan akan kepiawaiannya dalam mengelola lingkungan dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Maklum saja bila
17
perspektif ilmu ini lebih dinaungi oleh perempuan. Adapun salah satu dari kesekian perempuan ekofiminisme yang ada adalah Vandana Shiva. Kehadiran Shiva, diisukan membawa nuansa baru bagi ekofeminisme. Ia secara brilian melakukan konstruksi perkawinan antara ekologi dan feminism yang berlandaskan kearifan budaya Selatan (India). Seringkali ia menghadirkan wacana-wacana alternative bagi aliran mainstream ekologi dan juga feminism. Ia pun secara mendasar mengkritik hampir semua tatanan yang mendominasi pikiran manusia dalam hal memaknai lingkungan sosialnya di masa ini dan masa mendatang. Nilai spiritualitas yang berakar pada kearifan pandangan hidup tradisi India, ia hadirkan sebagai solusi. Sebab baginya, gerakan lingkungan dan feminism yang ada telah terasuki ideologi patriarkat entah itu disadari tidaknya. Fokus kajian ekofeminisme Shiva, dilandasi atas dua ideologi yang saling berlawanan. Yakni antara prinsip ‘feminitas’ dan prinsip ‘maskulinitas’. 12 Bagi Shiva keduanya berpengaruh pada segenap kesatuan kehidupan. Ia memosisikan prinsip feminitas sebagai the sustenance perspective, yakni prinsip yang pokok bagi kehidupan. Sebagaimana prinsip yang bercirikan kedamaian, keselamatan, kasih sayang dan kebersamaan. Sedangakan maskulinitas menurut kaca mata Shiva, bercirikan persaingan, dominasi, eksploitasi dan penindasan, atau diperlambangkan sebagai prinsip penghancur. Namun baginya, feminitas sebagai suatu prinsip tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan. Demikian pula maskulinitas, tidak serta merta hanya dimiliki oleh kaum laki-laki. Bila memotret realitas, justru banyak sekali kaum perempuan dan bahkan aktivis feminism
12
Op.Cit. Shiva. 1988. Hlm. 23.
18
zaman ini lebih mendominasikan ideologi maskulinitas. Dalam pandangan Shiva maskulinitas dalam proses sejarah menjadi ideologi yang dominan. Baginya maskulinitas berhasil merealisasi diri dalam berbagai aspek kehidupan, seperti developmentalisme, modernisasi, industralisme, militerisme, positivism dan reduksionisme serta berbagai ideologi kekerasan lainnya 13. Shiva pun menilai (1988:xxii) bahwa hampir semua pemikiran feminism yang ada, tanpa sadar telah menggunakan ideologi, epistemologi dan teori yang berdasarkan pada ‘prinsip maskulinitas’ yang pastinya anti ekologi. Melalui penilaian Shiva tersebut mengartikan semua pemikiran feminism yang ada tanpa kesadaran telah ikut menyingkirkan ‘prinsip feminisme’, dimana prinsip ini dimaknai sebagai satu ideologi yang ramah pada sesama manusia dan melindungi lingkungan. Dengan demikian dapat dipahami, inilah ideologi yang diperjuangkan Shiva melalui ekofeminisnya. Secara langsung Shiva berusaha menolak prinsip maskulinitas yang sejak lama sudah membaur melalui cara pandangnya kedalam aliran-aliran feminism pendahulu. Shiva melalui ekofeminismenya mencoba mendobrak aliran feminism pendahulunya dengan memperlihatkan perilaku kekakuan patriarkat yang terselubung. Menyikapi persoalan di atas, Shiva melalui pandangannya menawarkan ideologi baru dengan penuh dimensi spiritualitas dalam memandang alam secara feminin. Pandangan ini berbeda dengan umumnya aliran feminism yang berakar pada paham modernisme yang berlandaskan pada prinsip maskulinitas. Shiva (1988:26) menawarkan pendekatan holistik, yakni kaitan antara prinsip feminitas
13
Ibid. hlm 24.
19
dan ekologi. Dominasi prinsi maskulinitas dalam pandangan Shiva memosisikan ruang geraknya anti terhadap alam, sehingga membawa akibat tidak saja meningkatnya kekerasan pada kaum miskin dan perempuan, tetapi juga hancurnya ekologi dan sistem pengetahuan lainnya yang non-rasionalis, termasuk prinsip feminis 14. Pikiran Shiva berangkat dari kepeduliannya pada proses penghancuran ekologi dan penyingkiran prinsip feminitas beserta spiritualitas budaya kosmologi prakriti 15, oleh suatu ideologi maskulin yang bersandar pada budaya patriarkat dan kapitalisme serta reduksionime 16. Prakriti sebagai penyedia sumber daya tengah mengalami penghancuran oleh ideologi maskulinitas dan segenap bentuknya. Dalam hal ini Shiva menyikapi hancurnya alam juga berarti hancurnya prinsip feminitas. Perempuan prakriti adalah perempuan yang memiliki karakter yang aktif, sangat kuat, dan bertenaga produktif yang terbentuk dari dialektika antara penciptaan, pembeharuan dan pemberiaan makanan segala bentuk kehidupan 17. Oleh karena itu, perjuangan kaum perempuan prakriti dituntut oleh kesadaran bahwa alam adalah kekuatan yang hidup dan mereka adalah mitra alam dalam upaya menghasilkan barang produksi demi memenuhi kebutuhan hidup. Karena prakriti menjaga kelangsungan kehidupan, maka alam diperlakukan sebagai sesuatu yang bulat dan utuh serta tidak bisa terpisahkan. Shiva pun (1988:52) mendefinisikan lebih jauh bahwa sebagai perwujudan dan manifestasi prinsip
14
Ibid. hlm 26. Prakriti adalah gerakan yang populer dimana kaum perempuan di pedesaan India menghubungkan diri dengan alam melalui prakriti ini. Prakriti juga sebagai pengkategorian yang telah mengalami evolusi tinggi dalam kosmologi India. Ibid. hlm 49. 16 Ibid. hlm 49. 17 Ibid. hlm 50. 15
20
feminis yang bercirikan khas prakriti adalah: a) kreativitas, aktivitas dan produktivitas; b) keanekaragaman bentuk dan aspek; c) keterkaitan dan saling berhubungan antara setiap makhluk, termasuk manusia; d) kesinambungan antara alam dan manusia; e) kesucian kehidupan alam. Berdasarkan konsepsi prakriti yang ada dapat dipahami landasan teori Shiva menginterpretasikan ekofeminismenya melalui gerakan perjuangan ideologis dan budaya dengan melakukan dekonstruksi atas semua manifestasi ideologi maskulinitas. Agenda perjuangan Shiva bermula dari kekhawatirannya atas berkembangnya reduksionisme yang berkontribusi dengan prinsip maskulinitas. Mengapa reduksionisme dipermasalahkan Shiva? Yang dimaksud reduksionisme oleh Shiva (1988:xxiii) adalah suatu keyakinan dalam ilmu pengetahuan yang mereduksi kemampuan manusia, serta menolak kemungkinan adanya cara produksi pengetahuan lain maupun pengetahuan orang lain. Shiva semakin menilai
negatif reduksionisme karena reduksionisme
berusaha
menolak
kemampuan alam untuk bergenerasi dan memperbarui diri. Bagi Shiva (1988:xxiii) dasar ontologi kaum reduksionis adalah homogenitas, yakni hanya ada satu kebenaran, satu pendekatan dan satu cara dalam berpengetahuan. Kaum reduksionisme melihat seluruh sistem berasal dari kebenaran tunggal, yakni seluruh proses dasar dalam kehidupan di alam ini berjalan secara mekanis. Shiva berkeyakinan reduksionisme yang ada akan berusaha dilawan melalui gerakan lingkungan kaum perempuan. Dimana Shiva memosisikan kaum perempuan pada kesadarannya sebagai perempuan yang memiliki peran utama
21
dalam pelestarian dan pemulihan prinsip feminism 18. Gerakan ini tergagas berdasarkan ideologi pembebasan yang bersifat anti-gender. Hal ini dimaknai Shiva memiliki perbedaan dengan ideologi patriarkat yang mengedepankan gender sebagai landasan bagi usaha perusakan tatanan alam dan penjajahan atas kehidupan kaum perempuan. Melalui gerakan ini pula Shiva tampak berusaha menyadarkan kembali kaum perempuan dunia ketiga untuk lebih peka dan kembali sadar atas perilaku keperempuannya yang terlahir sebagai perempuan dunia ketiga. Shiva percaya bahwa alam dan perempuan merelasi ikatan yang tidak terpisahkan, keduanya akan sama-sama untung-diuntungkan selagi keduanya menyinergi dalam satu-kesatuan. Dalam menyikapi hal ini, kaum perempuan akan jauh lebih peka menjalin relasi tersebut bilamana kaum perempuan berperilaku kembali selayaknya citra kaum perempuan dunia ketiga.
1.5.2 Alam dan Perempuan: Merelasi Secara Alamiah Kedomestikan perempuan yang lebih berdekatan dengan alam secara tidak langsung diposisikan sebagai penyelamat dari dirinya sendiri yang adalah korban. Hal demikian dikarenakan legitimasi wacana yang menyatakan bahwa bumi adalah ibu. Wacana tersebut dalam perkembangannya malah membelenggu peran perempuan. Akan tetapi, perempuan seiring kodrat saling merelasi bumi (alam). Relasi keduanya semakin tampak bila ditelaah dari karakter yang ada. Perempuan dan alam sering dikatakan memiliki keidentikan yang sama-sama memikat.
18
Ibid. hlm 51.
22
Lantas mengapa perempuan diidentikkan dengan alam? Ketika perempuan berada di wilayah domestik, ia akan selalu bersinggungan dengan alam. Alam yang adalah rumah; pekarangan, taman, sawah atau areal perkebunan. Menurut Syaddad, ini merupakan usaha sosialisasi secara intens yang menyebabkan perempuan menanggung peran sebagai pelestari alam dalam arti yang sebenarnya. Bukan makna yang diturunkan dari istilah seperti, ‘ibu pertiwi’. 19 Sebagaimana yang diungkapkan Warren (dalam Tong, 2010:360), hal tersebut disebabkan oleh perempuan yang telah ‘dinaturalisasi’ (natural=alami[ah]), sedangkan alam telah ‘difeminisasi’. Maka sangatlah sulit untuk mengetahui kapan opresi yang satu berakhir dan yang lain mulai. Warren juga menekankan bahwa perempuan ‘dinaturalisasi’ ketika mereka digambarkan melalui acuan terhadap binatang, misalnya; sapi, serigala, ayam, ular, anjing betina, berang-berang, kelelawar, kucing, otak burung, otak kuda. Demikian pula alam ‘difeminisasi’ ketika ia diperkosa, dikuasai, ditaklukkan, dikendalikan, dipenetrasi, dikalahkan, dan ditambang oleh laki-laki. Candraningrum (2014:13) berpendapat adanya relasi alam dan perempuan terdiri atas relasi harfiah dan simbolis. Dikatakan harfiah karena dalam kenyataannya, perempuan ditempatkan di wilayah domestik (rumah) sebagai efek dari budaya patriarkat. Sedangkan relasi simbolis, mengacu pada pelabelan sifatsifat feminine yang berkesan subordinatif dan istilah yang mengacu pada penjadian objek untuk alam, yang mulanya diletakan pada perempuan. Misalnya diistilahkan dengan bumi, hutan perawan, ibu pertiwi, eksploitasi tambang dan 19
Irza A. Syaddad, 2015. Perempuan, Alam dan Kedaulatan. Dipublish 7 Desember 2012 dalam https://zirniirza.wordpress.com/tag/resensi-ekofeminisme-ii-narasi-iman/. Diakses 27 Mei 2015.
23
pemerkosaan hutan. Istilah-istilah metafor yang diidentikan pada perempuan seperti itu, terkadang malah menimbulkan penafsiran yang melemahkan kedudukan perempuan. Sehingga terjadinya eksploitasi tersebut disebabkan oleh mental dan nalar antroposentris yang tidak bersahabat dengan alam.
1.5.3 Konsep Ekofeminisme: Sinergisme Feminis dan Ekologis Implikasi ekofeminisme Shiva yakni berusaha menyinergikan prinsip feminism dan ekologi diupayakan saling terkait. Dalam artian, keterkaitan kedua prinsip tersebut telah memperluas wilayah gerak ekologi dan feminine serta memberi makna intelektual yang tertata pada norma kedua prinsip tersebut. Adapun indikator feminism lebih menekankan secara baik perspektif ‘holistik’ dan juga agenda persoalan yang ‘menyeluruh’ berdasarkan penghargaannya yang tinggi pada keanekaragaman. 20 Posisi perspektif holistik 21, dan agenda persoalan menyeluruh adalah menyatu sebagai prinsip-prinsip alam. Maka jelaslah prinsip feminine disini memosisikan diri kedalam perspektif dan agenda persoalannya seluruh persoalan etnis, perjuangan kelompok minoritas dan kelompok masyarakat yang tergusur untuk memperoleh hak hidup dalam kelompoknya sebagai kesatuan otonom dalam berperikehidupan di lingkungan sosial. Lantas, dengan apa kaum perempuan berkuasa melalui feminitasnya? Shiva menjawab kebimbangan ini melalui konstruksi dari pernyataan-pernyataannya. Dimana Shiva sebenarnya memosisikan feminitas kaum perempuan bukan sebagai prinsip yang lemah, justru kaum perempuan menjadi satu-kesatuan yang 20
Ibid. hlm. 12. Prinsip holistik dalam ekofeminisme diartikan sebagai cara pandang ekofeminisme dalam menempatkan prinsip feminitas dan prinsip ekologis dalam satu-kesatuan yang menyeluruh.
21
24
terbangun melalui kesadaran dan kepekaannya sebagai perempuan. Perempuan dalam dunianya tidak terbangun dalam individualism, berbeda jauh dengan maskulinitas yang lebih mengedepankan ego dan kekuasaan atas dirinya. Akan tetapi, perempuan sebagai makhluk sosial menyadari kehidupannya merupakan bagian dari komunitas, sehingga dalam hal ini Shiva menempatkan perempuan sebagai ‘kaum’. Pernyataan Shiva ini diperkuat dengan peristiwa Chipko atau peristiwa dimana 27 kaum perempuan pada tahun 1974 di Garhwal, India utara, melakukan protes untuk menentang penebangan pepohonan indigenous yang tumbuh di tanah mereka 22. Gerakan chipko ini ditandai dengan kaum perempuan yang mengikatkan tubuhnya pada batang pohon. Chipko dalam bahasa Hindi berarti ‘memeluk’. Dari peristiwa chipko menandai bahwa perempuan ketika melakukan perlawanan terhadap kaum kapitalis ataupun maskulinitas tidak berdiri sebagai individu melainkan sebagai komunitas atau kaum. Bersatunya kaum perempuan mengindikasikan bahwa perempuan tidak sebagai kaum yang lemah. Berdasarkan peristiwa Chipko di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya Shiva ingin memperlihatkan prinsip feminis kaum perempuan dalam melawan pelaku-pelaku eksplotasi yakni dengan cara memperlihatkan kekuatan dan keberanian perempuan berdasarkan jiwa keperempuannya yang penuh kasih sayang, toleransi, gotong-royong dan keibuan. Jadi kekuatan kaum perempuan dalam pandangan Shiva bukan berarti kekuatan yang mengadopsi kekuatan dari maskulinitas. Kaum perempuan melakukan perlawanan berdasarkan dunianya seperti menjadikan peralatan rumah tangga sebagai alat perang. Jadi disini dapat 22 Rosemarie Tong. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. 2004. Hlm 394
25
dipahami bahwa perempuan melawan melalui emosi keperempuannya, bukan mengedepankan egonya sebagaimana maskulinitas yang melakukan kekerasan melalui cara fisik. Perjuangan feminis kaum perempuan kontemporer adalah upaya-upaya baru untuk menetapkan bahwa kemantapan dan kestabilan bukanlah stagnasi, perempuan melalui prinsip feminis-ekologisnya terhadap alam dimaknai sebagai gerakan yang berkemajuan. Shiva memandang kehancuran alam melalui perspektif feminine dan ekologi. Ekofeminis merupakan interpretasi Shiva dari rasa kepeduliannya dalam menyikapi proses penghancuran ekologi dan penyingkiran prinsip feminine yang dilakukan oleh ideologi maskulinitas, yang berlandaskan pada budaya patriarkat dan kapitalisme. Kemudian feminine dan ekologi ditawarkan sebagai pendekatan yang holistik untuk mengkritisi antroposentrisme yang dikonstruksi barat melalui proyek pembangunan 23. Shiva meletakan prinsip feminis sebagai perspektif holistik didalam menyikapi persoalan. Perspektif holistik ini merupakan agenda didalam memandang persoalan secara menyeluruh berdasarkan penghargaannya yang tinggi pada keanekaragaman ekosistem alam. Shiva menyikapi kerusakan alam dan penyingkiran kaum perempuan ke pinggir adalah buah dari sebagian besar program dan proyek pembangunan yang didasarkan pada paradigma: program dan proyek pembangunan yang melanggar integritas kaum perempuan dan merusak produktivitas alam 24. Akibat paradigma tersebut mengakibatkan perempuan mengalami dualisme peran, sebagai korban 23 24
Ibid. Hlm. xxii. Op. Cit. Shiva. 1988. Hlm. 3.
26
dan pelaku perlawanan. Menurut Shiva posisi kaum perempuan sebagai korban dikarenakan kedosmetikan perempuan dunia ketiga yang bergantung pada alam 25. Alam yang adalah rumah; sebagai pekarangan, taman, sawah atau areal perkebunan. Apalagi kaum perempuan semakin terbelenggu posisinya akibat wacana bahwa ‘bumi adalah ibu’. Barat sebagai pelaku pembangunan dan kapitalisasi alam memanfaatkan wacana tersebut agar perempuan semakin tersingkirkan dari alamnya. Tersingkinya kaum perempuan dari alam akan mempermudah barat untuk mengkoloni SDA dunia ketiga. Kaum perempuan diposisikan sebagai pelaku perlawanan, dikarenakan perempuan yang masih tetap memelihara dan mendukung prinsip feminine. Oleh sebab itu, perempuan tampak lebih siap membuka dan menata ruang baru dibandingkan kaum laki-laki. Kesiagaan perempuan mengindikasikan usahanya dalam menyinergikan dengan prinsip ekologi. Karakter perempuan yang lebih feminine dan ekologis serta feminine dan etnisitas adalah kesatuan karakter yang alami, saling menyatukan dan sebangun 26. Prinsip feminine tersebut melahirkan gerakan kaum perempuan yang mengindikasikan naluri untuk empati, belas kasih, solidaritas, dan melestarikan ekosistem alam. Dari uraian di atas diketahui, cara kerja ekofeminisme adalah menganalisis persoalan lingkungan hidup dengan menggunakan pisau analisis feminis. Berikut dapat diasumsikan konsep inti ekofeminisme perspektif Vandana Shiva: 1) Pikiran Shiva berangkat dari kepeduliannya pada proses penghancuran ekologi dan penyingkiran prinsip feminitas beserta spiritualitas budaya 25 26
Ibid. Hlm. xiii. Ibid. Hlm. xiv.
27
kosmologi prakriti, oleh suatu ideologi maskulin yang bersandar pada budaya patriarkat dan kapitalisme. 2) Prinsip feminitas dan ekologis secara ‘holistik’ menempatkan relasi alam dan perempuan menjadi satu-kesatuan prinsip. 3) Prinsip feminitas perspektif Shiva adalah feminitas perempuan bukan pinsip yang lemah, justru Shiva berusaha mengembalikan perempuan sebagai satukesatuan ‘kaum’ yang terkonstruksi dari kesadaran dan kepekaannya sebagai perempuan dunia ketiga. 4) Ekofeminisme memosisikan kaum perempuan sebagai korban dan pelaku perlawanan didalam terjadinya eksploitasi terhadap alam dunia ketiga. Prinsip feminitas menilai akar persoalan, dampak yang ditimbulkan, khususnya spesifik pada kelompok rentan antara lain perempuan. Secara konsep ekofeminisme pada tataran yang lebih konseptual dan filosofis, keberadaannya ingin mendobrak cara pandang serta kerangka konseptual yang opresif, menindas yang merupakan wujud antroposentris. Bagaimana kerangka konseptual antroposentri dilegalkan secara umum dalam era kini dengan didukung oleh politik dan ekonomi liberalisme dan ilmu pengetahuan modern yang dualistik, mekanistik, dan reduksionis. Hal inilah memicu terselenggarakannya praktik pembangunan-pembangunan yang berlandaskan eksploitasi kapitalis. Sebagai gantinya, ekofeminisme menawarkan cara pandang dan kerangka konseptual yang integratif, holistik, dan intersubyektif.
28
1.5.4 Indikasi Ekofeminisme: Siapa Tersangkanya? Kehancuran
dan
kepunahan
ekosistem
bumi
dalam
pandangan
ekofeminisme diakibatkan oleh adanya perilaku menguasai alam, sehingga menyebabkan alam terkapitalisasi. Alam didominasi sesuai kebutuhan manusia yang selalu tidak tertuntaskan. Alam dipandang sesuatu yang menghasilkan dan dapat mendatangkan keuntungan hidup. Shiva (1988:16) menilai adanya hubungan baru dominasi dan penguasaan alam oleh pelaku kapitalis, juga berkaitan dengan pola baru dominasi dan penguasaan atas perempuan dan pengucilan kaum perempuan. Bila ditinjau kembali posisi perempuan dalam ekofeminisme, kaum perempuan diberi tempat yang ‘sejajar’ dengan kaum laki-laki. Kesejajaran yang didapat perempuan menurut Shiva dikarenakan peran utamanya sebagai pejuang atas alamnya. Shiva menilai hanya kaum perempuan yang mempunyai nilai dan memiliki perasaan terhadap alam. Segala sesuatu yang lain di bumi hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menghargai dan mau berusaha demi keberlangsungan hidup bersama. Perempuan yang lebih sensitive perasaannya memiliki tempat yang jauh mulia. Akan tetapi, di balik kemuliaannya menurut Shiva kaum perempuan diharuskan memikul beban sendiri bilamana ekosistem ataupun tatanan alam mengalami kepunahan. Beban yang dipikul disadari keofeminisme sebagai ‘balas budi’ kaum perempuan yang kehidupannya bergantung dengan alam. Menyadari kenyataan bahwa semua makhluk hidup bergantung pada lingkungan sekitarnya yakni alam yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari.
29
Akan tetapi, adanya manusia yang hanya melihat alam sebagai sumber pemenuhan kebutuhan, telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan hancurnya kehidupan makhluk hidup lainnya. Manusia telah mengabaikan pentingnya relasi harmonis dengan lingkungannya. Alam tidak dipandang sebagai sesuatu yang bisa pula mengalami kematian dan punah selayaknya usia manusia. Malah sebaliknya, manusia ingin menguasai dan menduduki alam atas nama perorangan atau demi kepentingan
golongan
semata.
Atas
perilaku
manusia
‘rakus’
itulah
antroposentrisme dipahami sebagai paham yang mengorganisasikan kerakusan manusia. Ekofeminisme mendeteksi bahwa antroposentrisme hadir atas prakarsa bangsa barat yang paham dan lebih tahu kegunaan ilmu pengetahuan diciptakan. Kehadiran antroposentrisme yang merusak justru ditahbiskan sebagai kesucian dari epistemologinya ilmu pengetahuan. 27 Ilmu pengetahuan yang apatis berusaha menyingkirkan paham-paham yang menjunjung konservatif atau lokalitas. Menurut Shiva, hal ini dipengaruhi oleh gagasan ’Zaman Pencerehan’. Bagaimana konsep ini mengendalikan dan mengatur ulang pranata kehidupan melalui teori kemajuan yang dicetuskan. Teori kemajuan yang berpondasikan: ilmu pengetahuan modern dan pembangunan ekonomi yang tidak berafiliasikan pada kearifan lingkungan. Kedua aspek tersebut hanya mengejar esensi kemajuan tanpa batas dan tanpa penyadaran dampak-dampak yang telah ditimbulkan. Implikasinya pun secara berkesinambungan menghancurkan kehidupan tanpa ada penilaian seberapa cepat dan seberapa banyak keanekaragaman kehidupan di bumi satu-persatu mulai musnah. 27 Dikutip dari Suliantoro, Bernadus Wibowo. 2011. Rekonstruksi Pemikiran Etika Lingkungan Ekofeminisme Sebagai Fondasi Pengelolaan Hutan Lestari. Dalam Jurnal Bumi Lestari, Vol. 11 No. 1, Februari 2011. Hlm. 111-119.
30
Susilo (2008:89) menyatakan bahwa antroposentrisme melihat alam sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Berarti alam dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan manusia. Tujuan dalam hal pemenuhan hasrat yang tidak pernah kenyang. Dari pendapat Susilo dapat dipahami pula bahwa alam dikebirikan sehingga tidak lagi memiliki harga diri dan tidak mampu menilai kegunaan dirinya. Masih menurut Susilo bahwa antroposentrisme tidak layak dijadikan sebagai ideologi dalam berkehidupan. Susilo pun menjembatani atas saran yang menyatakan manusia tercipta sebagai makhluk sosial, hendaknya menyadari betapa tidak bernilainya manusia ketika tinggal di dunia ini tanpa alam semesta. Fakta yang harus disadari bersama bahwa manusia diberikan kehidupan oleh alam mulai dari bernafas sampai dengan kepemilikan kekayaan materi.
1.5.5 Antroposentrisme Kapitalis: Memerkosa Alam dan Perempuan Bagi Shiva, manusia adalah pelaku utama punahnya ekosistem bumi. Nalar antroposentrisme dilanggengkan sebagai usahanya untuk mendayagunakan alam. Karena hasrat yang selalu tidak terpuaskan, manusia melalui akal pengetahuannya berusaha memenuhi hasratnya dengan berbagai gagasan yang mengindikasikan eksploitasi. Salah satunya menggagas industrialisasi dengan alasan demi memenuhi kebutuhan perkembangan zaman yang tidak lain merupakan konsep yang bersifat reduksionis. Hal ini yang mendasari pikiran Shiva bahwa reduksionisme merupakan wujud dasar penerapan ilmu pengetahuan modern dan develomentalis (pembangunan) yang menghadirkan kapitalisasi terhadap alam. Ia
31
memercayai kedua aspek tersebut yang menyuburkan nalar antroposentrisme menjadi pilar utama pembangunan abad modern. Adapun
pemahaman
lain
terhadap
antroposentrisme
dapat
dilihat
berdasarkan pendapat Susilo (2008:37) bahwa semua makhluk di dunia ini ada dan hidup berdasarkan tujuan pada dirinya sendiri, sehingga manusia yang berakal menganggap dirinya lebih tinggi dari makhluk lain. Demi tercapainya tujuan manusia berusaha memiliki kedudukan lebih tinggi dari alam. Adanya tujuantujuan yang berlebihan atau berada di luar batas toleransi seperti itu didalam implementasinya selalu berusaha diingkari manusia. Permasalahan tersebut dikendarai oleh pendekatan antroposentrisme yang hanya melihat superioritas posisi manusia yang berkuasa atas alam. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dirumuskan bahwa antroposentrisme terkonstruksi dari ‘hasrat’ manusia yang menginginkan ‘kemakmuran’, karena hasrat itu tidak mampu terpuaskan dari dirinya, manusia mencari cara untuk menjadikan SDA sebagai ‘ladang’ pemenuhan hasrat. Manusia disini dapat dilabelisasikan kepada bangsa barat, dimana bangsa yang selalu merasa haus akan memenuhi ‘pembangunan peradaban’. Dalam memenuhi hasratnya, Barat menghadirkan ideologi antroposentris yang dikemas pada pembangunanpembangunan. Melalui ilmu pengetahuan modern, pembangunan digerakan dengan diberi nyawa kapitalis dan akal-akal maskulin. Sedangkan dunia ketiga yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dan masih perawan menjadi daya tarik Barat untuk dieksploitasi.
32
Ketika alam terantroposentris posisi perempuan akan tampak dari ketimpangan sosial yang ditimbulkan. Shiva (1988:7) menempatkan kaum perempuan paling pertama terpukul oleh adanya perilaku antroposentris, karena mereka yang paling miskin di antara yang termiskin. Kemiskinan kaum perempuan disebabkan oleh paradigma kedomestikannya di dalam kehidupan. Adapun kenyataan itu diperkuat oleh Shiva (1988:9) atas dua factor penyebab. Pertama, karena pekerjaan mereka bekerja sama dengan proses-proses alam. Kedua, pekerjaan yang memenuhi kebutuhan dasar dan menjamin kelangsungan hidup secara umum dianggap rendah. Oleh karena itu, kekerasan yang terjadi pada alam samahalnya menimbulkan kekerasan pada perempuan. Dari sini Shiva menyatakan alam dan perempuan diubah menjadi manusia pasif untuk digunakan dan ditindas untuk memenuhi nafsu yang tidak terkendalikan dan tidak dapat dekendalikan
oleh
kaum
laki-laki
yang
berkedudukan
sebagai
pelaku
antroposentris. Perilaku antroposentris tidak terlepas dari terjadinya transaksi terhadap alam yang dikomoditaskan. Alam menjadi bahan olah produksi suatu industri. Bagi Shiva (1988:9) kegiatan memproduksi barang sebagai kegiatan pokok ekonomi dianggap sama dengan pembangunan, kegiatan itu merusak potensi perempuan untuk menghasilkan penghidupan dan barang jasa untuk memenuhi kebutuhan pokok. Proses-proses produksi yang banyak menggunakan energy dan sumber daya yang lahir dari pertumbuhan ekonomi pasar ini menuntut pasokan sumber daya yang kian tinggi dari ekosistem. Terjadinya proses produksi terhadap alam kemudian
disikapi
sebagai
adanya
perilaku
kapitalisme.
Kapitalisme
33
menempatkan alam sebagai objek yang ditransaksikan agar mendapatkan keuntungan. Pergerakan kapitalisme membaur kedalam proyek-proyek industri yang menggunakan sumber daya mengganggu proses-proses ekologi penting, karena industri seperti itu tidak saja menuntut pasokan bahan baku yang tinggi, tetapi juga mencemarkan udara, air dan tanah. Semakin terjadinya antroposentris yang mengakibatkan pencemaran semakin mengalami kehancuran masa depan ekosistem alam. Apalagi perilaku antroposentris didukung oleh ilmu pengetahuan yang tidak menghormati kebutuhan alam dan pembangunan yang tidak menghormati kebutuhan manusia yang kehidupannya berpangku pada alam. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan kedalam beberapa asumsi dari konsep antroposentrisme kapitalis dalam memperlihatkan karakternya untuk mengeksploitasi alam dan menyingkiran kaum perempuan: 1) Antroposentrisme kapitalis: Karena hasrat yang selalu tidak terpuaskan, manusia melalui akal pengetahuannya berusaha memenuhi hasratnya dengan berbagai gagasan yang mengindikasikan eksploitasi kapitalis. 2) Karakter antroposentrisme kapitalis yakni opresif/ eksploitatif, reduksionis, kuasa-menguasai (kolonialisme), berwawasan ilmu pengetahuan modern dan berteknologi. 3) Antroposentrisme kapitalis melihat alam sebagai objek, alat, komoditas, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. 4) Antroposentrisme kapitalis hadir sebagai ideologi untuk menggerakkan kaki-tangan proyek-proyek pembangunan yang bermisikan ‘pembangunan peradaban’.
34
5) Antroposentrisme
berkonspirasi
dengan
ilmu
pengetahuan
modern:
mengabaikan cara-cara pengetahuan ekologi dan pendekatan holistik, serta mengebirikan kaum perempuan sebagai ahli. Sebuah kesadaran baru mulai muncul terkait mempersoalkan ilmu pengetahuan dan pembangunan yang menyingkap bahwa kedua aspek tersebut bukanlah kategori kemajuan yang universal, melainkan keduanya bagian dari proyekproyek khusus yang tidak lain wujud dari patriarkat Barat modern. Shiva melihat hal ini sangat mengebirikan keberadaan kaum perempuan dunia ketiga. Bahkan Shiva (1988:xxxiv) menyatakan ilmu pengetahuan modern dan pembangunan adalah pernyataan paling brutal dan mutakhir dari ideologi patriarkat yang membawa kehancuran bagi alam dan seluruh umat manusia. Keduanya dalam praktiknya melanggengkan akar-akar ideologi dan bias revolusi ilmu pengetahuan dan revolusi industri, bahkan pengaruh keduanya meluas ke dalam bidang-bidang kegiatan baru dan daerah-daerah penindasan baru.
1.5.5.1 Pembangunan: Kaki-Tangan Antroposentrisme Kapitalis Shiva (1988:1) menyatakan bahwa pembangunan adalah proyek pasca zaman penjajahan. Baginya konsep ini dipilih sebagai model kemajuan bagi seluruh dunia untuk mencapai kemajuan menurut model gaya modern barat bekas penjajah. Padahal pembangunan yang dipraktikkan Negara-negara Barat selalu menggunakan kekerasan psikis, ekonomi dan fisik. Pandangan Shiva tersebut bukan tidak beralasan, karena pembangunan yang dilakukan manusia saat ini disertai dengan perusakan alam.
35
Pengrusakan alam dikendarai oleh adanya mitos ‘mengejar ketertinggalan’ yang semakin memperlihatkan bahwa pembangunan adalah reduksionisme yang menjadi bagian dari prinsip maskulinitas dan berakarkan pada ideologi patriarkat. Menurut Shiva (1988:xxiv) adapun gagasan-gagasan yang melatarbelakangi pembangunanalisme yakni menjanjikan harapan bagi pemecahan masalah kemiskinan dan keterbelakangan berjuta-juta rakyat di dunia ketiga. Harapan itu pun kini telah menyebar dan dipergunakan sebagai visi, teori dan proses yang diyakini oleh rakyat di dunia. Akan tetapi, terwujudnya harapan ini justru malah membelenggu posisi kaum perempuan dan khusunya ekosistem. Konsep pembangunan yang serta merta dipaksakan pada berjuta-juta rakyat di dunia ketiga, bagi Shiva merupakan refleksi paradigma patriarkat tentang perubahan sosial yang sangat reduksionis. Shiva (1988:xxiv) menilai pengetahuan tentang pembangunan yang diproduksi oleh Negara barat dan dikirimkan ke rakyat dunia ketiga bukanlah pengetahuan netral, melainkan sarat dengan ideologi barat,
selain
mengandung
nafsu
untuk
mengontrol.
Melalui
diskursus
pembangunan, dunia pertama menetapkan control mereka pada dunia ketiga. Disini masyarakat dunia ketiga dilabeli ‘kekurangan dan tertinggal’, sehingga begitu mudahnya pemeran dunia pertama menerapkan teknologi dan keahlian professional yang dimiliki. Diskursus pembangunan selanjutnya, menurut Shiva tidak memberi legitimasi pada segala bentuk formasi sosial yang disebutnya ‘non-positivistic’. Dalam tahap ini terdapat adanya pengebirian resistensi model pengolahan pertanian tradisional yang teralihkan oleh teknik revolusi hijau. Bagaimana
36
revolusi hijau ini dinilai Shiva kehadirannya tidak hanya memberikan solusi mengenai kemajuan perekonomian. Akan tetapi, di lain sisi merupakan bagian proses dominasi dan kekuasaan budaya yang menggusur idelogi budaya dan politik perempuan Selatan. Lembaga keagamaan, pendidikan dan media massa dipergunakan untuk mempropagandakan revolusi hijau sebagai cara terbaik untuk memecahkan masalah kemiskinan. 28 Menurut Faqih revolusi hijau menciptakan konsep realitas yang dipaksakan pada semua lapisan masyarakat, sehingga memengaruhi selera, moralitas, kebiasaan serta nilai-nilai religious dan prinsip politik petani. Shiva melalui perspektifnya berusaha menyadarkan masyarakat dunia ketiga, bahwa pengenalan revolusi hijau sebenarnya hanya demi pemenuhan kepentingan perusahaan pupuk kimia, pestisida dan bibit multinasional. Dari awal kecurigaan Shiva didasari atas manifestasi revolusi hijau yang bersifat pengetahuan reduksionis. Dalam implementasinya berusaha menyingkirkan segala bentuk pengetahuan local dan mengancam keanekeragaman hayati yang merupakan manifestasi prinsip feminine. Apa yang mendasari ketergantungan perempuan pada alam dan paling utama berkepentingan didalamnya, pada tataran hegemoni revolusi hijau serta prinsip maskulinitas menjuluki hal tersebut sebagai ideologi primitive dan tidak produktif, sebab itu layak dikebirikan. Pelaksanaan pembangunan yang berdasarkan nilai ekonomi jual beli penggunaan sumber daya untuk menghasilkan barang dagangan di Negara-negara penjajah telah 28
menciptakan wilayah-wilayah
jajahan di dalam Negara
Dikutip dari pengantar buku yang disampaikan oleh Mansour Faqih dalam buku “Vandana Shiva Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India. Karya Vandana Shiva.” Dialih bahasakan oleh Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor, 1997. Hlm.xxvii.
37
bersangkutan. 29 Oleh sebab itu, pembangunan bisa dimaknai sebagai usaha lanjutan proses penjajahan. Karena pembangunan tidak lain dari usaha perluasan proyek menciptakan kekayaan menurut teori ekonomi modern patriarkat barat yang memeras atau menyingkirkan kaum perempuan dari lingkungannya. Di lain sisi juga adanya unsur pemerasan dan merusak alam serta merusak pilar-pilar kebudayaan yang mendasari terciptanya Negara tersebut. Itulah sebabnya, Shiva mewakili kaum perempuan dunia ketiga, kaum tani dan suku-suku bangsa lain berjuang membebaskan diri dari pembangunan. Keadaan perekonomian kaum perempuan yang buruk menurut Shiva (1988:2-3) bukan disebakan oleh ‘partisipasi’ kaum perempuan dalam ‘pembangunan’. Keadaan ekonomi mereka terbelakang justru karena partisipasi mereka yang dipaksakan dan tidak seimbang dalam pembangunan. Sebab perempuanlah yang memikul segala biaya pembangunan, tapi anehnya manfaat dari pembangunan itu sedikit pun tidak mereka rasakan dampaknya. Seolah-olah pembangunan yang dicanangkan hanya memupuk surplus semata tanpa memedulikan terbukanya
ladang-ladang
kemiskinan.
Tidak
salah Shiva
memproklamirkan watak pembangunan yakni hanya mementingkan urusan kelompok tertentu dan merampas hak kelompok lain, sehingga terjadi proses penjarahan yang berdampak pada ekologi dan terutama memiskinkan kaum perempuan. Bukti kemiskinan kaum perempuan diungkap Ester Boserup sebagai berikut: para penguasa yang sudah menghabiskan berabad-abad untuk menundukkan dan 29
J. Bandyopadhyay dan Vandana Shiva. Political Economy of Technological Polarisations. Vol. xviii. 1982. Hlm. 31.
38
melumpuhkan kaum perempuan menjadi sosok yang tidak berarti. Tanpa keterampilan dan tanpa memiliki kemampuan berpikir sendiri. Dan juga laki-laki penguasa tidak member peluang perempuan di Negara jajahan untuk memeroleh lahan, teknologi dan pekerjaan layak. 30 Para penguasa malah melakukan jual beli lahan kepada perorangan dengan tujuan mengeruk pendapatan pribadi yang semakin mengakibatkan kaum perempuan tergusur dan miskin di atas tanahnya sendiri. Penggusuran
perempuan
oleh
oknum pembangunan dari kegiatan
produktifnya disebabkan berbagai macam misi proyek-proyek pembangunan, sehingga berakibat persengketaan dan pengrusakan SDA yang menjadi tumpuan produktivitas pangan dan sumber penghidupan kaum perempuan. Pembangunan merebut hak dari tangan-tangan kaum perempuan atas pengelolaan dan pengendalian lahan, air dan hutan. Selain itu misi patriarkatnya juga mengakibatkan punahnya sistem ekologi lahan, air dan tumbuh-tumbuhan hutan. Kejinya lagi, kerusakan tatanan ekosistem yang dilakukan pembangunan dimaknai sebagai usaha ‘produktivitas’. Kegiatan produksi ini dijelaskan Shiva (1988:5) hanya bisa dilakukan oknum pembangunan bila memanfaatkan teknologi yang mampu menghasilkan barang. Dari pernyataan tersebut, paradigma pembangunan benar-benar timpang. Tidak mengenal kegiatan memulihkan kondisi alam dan menanggung keluh-kesah yang diderita perempuan. Pembangunan yang timpang jelas saja tidak mengindikasikan kearifan ekologi. Bagaimana polanya memaksakan ideologi barat yang beridentitaskan 30
Ester Boserup. Women’s Role in Economic Development. London: Allen and Unwin. 1970. Hlm. 74.
39
laki-laki dan serba keteknologian sebagai satu-satunya tolak ukur dalam menentukan nilai suatu kelas budaya dan gender. Pandangan reduksionis seperti itu dipaksakan pada perempuan, masyarkat non-barat dan alam sehingga realitasnya menjadi serba timpang. Ketiga kategori massa tersebut terpaling terpukul oleh krisis kemiskinan. Hal ini disebabkan karena mereka yang terpaling miskin di antara yang termiskin, dan mereka terpaling peka terhadap penderitaan. Karena hidup keseharian mereka yang selalu berdekatan dengan alam, dengan cara berperan selaku penopang dan ditopang oleh keberadaan ekosistem.
1.5.5.2 Ilmu Pengetahuan: Mengafirmasi yang Memerkosa Bukan hanya ‘pembangunan’ yang menjadi sumber eksploitasi terhadap perempuan dan alam. Dalam tataran yang lebih mendalam, Shiva memaparkan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak lain dari usaha terselubungnya penerapan prinsip kapitalis. Ia mendakwa ilmu pengetahuan juga sekaligus mengabaikan cara-cara pengetahuan ekologi dan pendekatan holistik. Menurut Shiva (1988:20) ilmu pengetahuan yang melandasi proses pembangunan itu sendiri, juga sumber kekerasan. Ilmu pengetahuan modern dan pembangunan ternyata merupakan proyek patriarkat yang sengaja mengebirikan perempuan sebagai ahli. Negara-negara Eropa mempraktikkan revolusi ilmu pengetahuan dengan cara mengubah sifat alami alam yang ‘terra mater’ (ibu pertiwi) menjadi sebuah mesin dan pemasok bahan mentah. Bagi Shiva (1988:xxxiv) adanya praktik ini membuktikan bahwa revolusi ilmu pengetahuan telah menyingkirkan semua kendala etika dan kognitif yang menghalangi penindasan dan penjarahan alam. Sebabnya ilmu pengetahuan telah dijual sebagai sebuah sistem pengetahuan yang
40
universal dan bebas nilai. Adanya transaksi tersebut status yang seharusnya edukatif dan mencerahkan malah menggusur semua sistem pengetahuan dan keyakinan lain yang alamiah. Semua ini dapat terjadi akibat sifat universal serta netralnya dan logika metodenya untuk bersifat objektif tentang alam. 31 Padahal arus ilmu pengetahuan yang dominan, serta paradigma reduksionis atau mekanik merupakan tanggapan khusus sekelompok orang tertentu. Hal ini ditandai Shiva tidak lain dari dari wujud proyek spesifik laki-laki barat yang lahir pada abad 15 dan 17 sebagai perintis revolusi ilmu pengetahuan yang banyak dipuja-puji dalam praktiknya. Harding menyebut fenomena ini sebagai ‘proyek maskulin, borjuis dan barat’. 32 Menurut Boserup (1970:7) ilmu pengetahuan dihasilkan oleh kelompok umat manusia tertentu yakni, hampir seluruhnya oleh kaum laki-laki kulit putih kelas menengah. Bagi para penemu ilmu pengetahuan modern, ketergantungan pada bahasa gender tampak jelas: mereka mencari sebuah falsafah yang patut disebut ‘maskulin’. Bagaimana falsafah itu dapat dibedakan dari para pendahulunya yang tidak efektif melalui kekuatan ‘jantan’-nya. Serta bagaimana kemampuannya membelenggu alam untuk melayani laki-laki dan menjadikan alam tidak lain sebagi budak. Shiva pun menuding bapak ilmu pengetahuan modern yakni Francois Bacon mengenai konsepnya ‘knowledge is power’ telah memosisikan tataran ilmu ekologi dan feminism pada tataran terendah dan selayaknya objek jajahan. Gagasan Bacon (dalam Boserup, 1970:34) menyebutkan tentang kehakikian ilmu 31
Op.Cit. Shiva. 1988. Hlm. 20. Susan Harding. The Science Question in Feminism. Ithaca: Cornell University Press. 1986. Hlm.8. 32
41
pengetahuan
yang
dinilainya
sanggup
menghasilkan
keuntungan
serta
memperbesar kemampuan dan kekuasaan manusia, dinilai Shiva sebagai tradisi epistemology Barat yang membawa kekuatan praktis dan bersifat reduksionis. Sumbangan Bacon pada ilmu pengetahuan modern amat penting, akan tetapi dari segi alam, kaum perempuan dan kelompok pinggiran terkolonialisasi. Program Bacon dinilai Shiva sengaja khusus dirancang demi menguntungkan laki-laki Eropa semata. Sehingga program yang diterapkan merupakan proyek maskulin yang mendekonstruksi kearifan ekologi. Interdisipliner ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan mekanik yang digagas Barat, bagi Spedding (dalam Shiva, 1988:22) tidak hanya memberi arahan halus pada perjalanan alam. Kedua aspek tersebut memiliki kekuatan untuk mengalahkan dan menundukkan alam dan memporakporandakan dasar-dasarnya. Masyarakat yang didominasi oleh ilmu pengetahuan telah merubah konsep alamiahnya dimana eksosistem alam disiksa dalam laboratorium-laboratorium perusahaan dan proyek penelitian universitas yang didanai oleh orang barat. Dari sini tampak para ilmuwan laki-laki berkuasa membuat keputusan-keputusan atas nama keberlangsungan masyarakat mana yang boleh dijalankan dan yang dilarang. Wacana ilmu pengetahuan modern adalah kegiatan yang secara sadar diberi muatan patriarkat dan gender. Kesadaran Shiva (1988:23) atas alam yang semakin terlihat jelmaan perempuan yang perlu diperkosa dominasi laki-laki dikerahkan untuk menundukkannya. Citra bumi yang menghidupi menjadi kendala budaya untuk kepentingan kapitalisasi yang tengah merebak ke penjuru dunia. Bumi
42
dianggap sebuah sistem partikel diam dan mati yang digerakkan oleh kekuatankekuatan dari luar. Maka kerangka mekanik dapat mengesahkan manipulasi alam. Lagi pula sebagai sebuah kerangka konseptual, tata mekanik berkaitan dengan sebuah kerangka nilai yang didasarkan pada kekuasaan. Sehingga amat sesuai dengan arah yang diambil oleh kepentingan kapitalisme. 33 Ilmu dan maskulinitas bertautan dalam dominasi atas alam dan sifat feminine. Sementara ideologi ilmu dan gender saling memperkuat. Pada satu sisi ideologi ilmu membenarkan adanya perusakan alam, akan tetapi di lain sisi ia mengesahkan ketergantungan perempuan dan kewenangan laki-laki. Sebab itu disadari bahwa ilmu pengetahuan sebagai upaya laki-laki dalam menundukan alam dan kaum perempuan yang merupakan bagian penyempurnaan kebutuhan politis kapitalisme yang berideologikan patriarki ilmiah dan teknologi industri.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Langkah pertama dalam penelitian ini adalah menentukan objek material dan objek formal. Adapun objek materialnya berupa novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Sedangkan objek formal penelitian ini adalah teori ekofeminisme Vandana Shiva yang memperlihatkan perilaku antroposentrisme kapitalis: proyek pembangunan kapitalis dan opresi reduksionis ilmu pengetahuan modern. Berikut akan dipaparkan lebih terperinci data, sumber data, metode pengumpulan data dan langkah-langkah analisis penelitian. 33
Carolyn Merchant. 1980. The Death of Nature: Women, Ecology and Scientific Revolution. New York: Harper & Row. Hlm.193.
43
1.6.1. Data Penelitian Data dalam penelitian ini terbagi menjadi data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari kata, frasa, dan kalimat yang dikutip dari Tanah Tabu (diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Mei 2009; 237 halaman). Sedangkan data sekundernya berupa data lain yang diperoleh dari proses pembacaan jurnal, buku, koran, audio ataupun video yang memiliki relasi dengan data primer. Berikut dipaparkan lebih terperinci mengenai data-data penelitian yang dibutuhkan: 1) Data yang merepresentasikan karakter perilaku antroposentrisme kapitalis Freeport yang mengindikasikan kerusakan tatanan alam Lembah Baliem dan ketimpangan sosial yang dialami suku Dani. 2) Data yang memperlihatkan dualisme kaum perempuan suku Dani (diwakili Mabel) sebagai korban sekaligus pelaku perlawanan antroposentrisme kapitalis Freeport. Dikaji berdasarkan perspektif ekofeminisme akan teridentifikasi data yang menunjukkan kehancuran relasi alam dan perempuan, sehingga kaum perempuan terpinggirkan dari alamnya. 3) Diketahuinya data bentuk-bentuk perlawanan tersebut, mampu menjawab alasan pengarang menghadirkan tokoh perempuan sebagai pelaku utama perlawanan. Selain itu, akan diketahui pula sebab apa laki-laki dalam Tanah Tabu terkisahkan sebagai bagian pelaku ketimpangan sosial tokoh perempuan.
44
1.6.2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data penelitian ini melalui teknik dokumentasi. Baik data terdokumentasi melalui novel, artikel jurnal, rekaman (audio), gambar (video), ataupun artikel-artikel dari internet. Dalam pengumpulan data, pertamatama yang dilakukan adalah pembacaan dan pemahaman terhadap unsur cerita Tanah Tabu. Cerita yang merepresentasikan objek material yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
1.6.3. Metode Analisis Data Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan adalah: 1) Membaca Tanah Tabu dari awal cerita sampai akhir cerita secara teliti. 2) Mengidentifikasi dan menyalin data yang merepresentasikan perilaku antroposentrime kapitalis, kehancuran tatanan alam, dan indikasi data terhadap posisi perempuan sebagai korban sekaligus pelaku perlawanan antroposentrisme kapitalis. Representasi yang dimaksudkan berupa kata, klausa, frasa, kalimat ataupun dialog dalam Tanah Tabu. 3) Setelah mendapatkan data penelitian, kemudian mengklasifikasi data kedalam tabel-tabel data penelitian. Klasifikasi data kedalam tabel dibedakan sesuai dengan pertanyaan penelitian. Adanya tabel data akan memudahkan dalam menganalisis objek material dengan objek formal penelitian. Serta memudahkan dalam menentukan sub bab kajian.
45
4) Data yang sudah diklasifikasi akan dikaji berdasarkan objek formal atau dihubungkan satu sama lain, dalam sebuah proses yang disebut analisis penelitian. 5) Analisis penelitian dilakukan: Pertama, data yang mengindikasikan kehancuran tatanan alam Lembah Baliem akan direpresentasikan dengan konsep antroposentrisme kapitalis. Kedua, data berupa bentuk-bentuk ketimpangan sosial tokoh perempuan dari alamnya dipahami berdasarkan persepektif ekofeminisme dalam memosisikan peran perempuan sebagai korban. Ketiga, data yang menunjukkan pemberontakan tokoh perempuan atas ketimpangan yang dialami dipahami sebagai gerakan perlawanan. Keempat, dari terungkapnya bentuk perlawanan tokoh perempuan Tanah Tabu akan mampu menjawab alasan pengarang menghadirkan kaum perempuan sebagai pelaku perlawanan antroposentrisme kapitalis. Sekaligus menjawab penyebab ketidakhadiran satu pun laki-laki yang memihak kaum perempuan. 6) Membuat kesimpulan dan saran berdasarkan hasil analisis penelitian.
1.7 Sistematika Penyajian Tesis ini terdiri empat bab. Bab 1 adalah pendahuluan, yang terdiri atas subbab; latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II berjudul Sosok Maskulin Tanah Tabu: Yang berkuasa dan Yang Memerkosa. Dalam bab ini terdiri dari sub bab: 1) Laki-laki Dani: Berlindung
46
dalam Kuasa Patriarkat; 2) Freeport: Sosok Hantu yang Memerkosa. Melalui dua sub-bab tersebut, peneliti memaparkan karakter antroposentrisme kapitalis Freeport dalam mengeksploitasi alam Lembah Baliem seperti apa. Bab III berjudul, Dualisme Perempuan Tanah Tabu: Sebagai Korban dan Pelaku Perlawanan. Bab ini terdiri dari dua sub-bab yakni, Menjadi Korban karena Dikorbankan dan Ketidakadilan Membangkitkan Perlawanan. Dalam bab ini diungkapkan bagaimana ekofeminisme melihat posisi kaum perempuan Tanah Tabu
yang
diposisikan
sebagai
korban
sekaligus
pelaku
perlawanan
antroposentrisme kapitalis Freeport. Bab IV berjudul Alam Sebagaimana Perempuan Mengandung dan Melahirkan Kehidupan: Ekofeminisme Perempuan Tanah Tabu. Dalam bab ini mengungkap alasan tokoh perempuan dihadirkan pengarang sebagai pelaku perlawanan antroposentris. Persoalan ini dikaji berdasarkan peran perempuan yang hidupnya bergantung terhadap ekosistem alam. Bab V adalah penutup yang terdiri dari sub-bab kesimpulan dan saran peneliti.